Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd
Aku terbaring di tempat tidur, tak mampu bergerak. Rasa takut menguasai setiap sel tubuhku. Sosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai lebat itu melayang di atasku, matanya yang melotot tajam menatapku dengan penuh kebencian. Setiap kali ia mendekat, aku merasa seolah-olah tubuhku beku, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku, bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tidak bisa.Wanita itu, dengan tawa melengking yang menembus seluruh ruangan, terus mengalirkan hawa dingin ke dalam tubuhku. “USIR WANITA ITU!” Suaranya terdengar jelas, menggetarkan seluruh ruangan. Sungguh, aku merasa tubuhku tak lagi berada dalam kendali diriku sendiri. Semuanya tampak kabur, berputar, dan hilang dalam kegelapan.Tuk! Tuk! Tuk!Terdengar suara ketukan yang begitu keras dari pintu kamar. Suara yang membawaku kembali ke dunia nyata, meskipun ketakutanku belum juga mereda. "Zara, buka pintunya, Sayang," terdengar suara Papa dari luar. Tak lama kemudian, su
Sejak kami memasuki mobil, suasana di dalamnya begitu sunyi. Wajah Papa terlihat lelah, seperti baru saja melewati hari yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, menatap ke luar jendela, mencerna peristiwa yang terjadi sebelumnya.“Papa, bagaimana kemarin?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu, berusaha memecah keheningan yang terasa kian menekan.Papa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Gimana apanya?” jawabnya sambil menyalakan mobil dan mulai mengendarai kami pulang.“Mbok Ikah meninggal, kenapa ya?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.“Kata dokter, kemungkinan besar karena serangan jantung,” jawab Papa sambil mengemudi.“Dokter tahu nggak, kapan Mbok Ikah meninggal?” tanyaku penasaran, mencoba merangkai petunjuk-petunjuk yang ada.“Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit,” jawab Papa singkat.
"Mbok!" panggilku keras, suaraku hampir membentur dinding."Ya, Non?" jawab Mbok Ikah dari dapur, suaranya terdengar biasa saja, seakan tidak ada yang aneh.Bergegas aku melangkah menuju dapur, langkahku agak terburu-buru. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, meskipun aku tidak bisa mengatakan apa itu. Begitu sampai di dapur, aku melihat Mbok Ikah sedang sibuk memasak."Ada apa, Non? Kenapa teriak-teriak?" tanya Mbok Ikah dengan nada penuh rasa ingin tahu."Daritadi dipanggil nggak nyahut, kok bisa-bisanya," kataku agak kesal, meski aku tahu bahwa Mbok Ikah bukan orang yang sengaja mengabaikanku."Maaf, Non, Mbok tadi nggak denger," jawab Mbok Ikah sambil melanjutkan mengaduk masakan dalam wajan besar."Emang lagi masak apa, Mbok?" tanyaku sambil memperhatikan bahan-bahan yang ada di atas meja."Masak ayam suwir dan sayur kol," jawab Mbok Ikah, sambil sibuk dengan sayur kol yang sedang dipindah ke mangkuk besar."Oh, begitu,
“Ada apa itu, Mbok?” tanyaku, heran, saat melihat Mbok Ikah membawa sebuah wadah kecil terbuat dari tanah liat. Di dalamnya, ada arang yang masih menyala dan mengeluarkan asap harum yang menyebar ke seluruh dapur.“Ke-me-nyan, Non,” jawab Mbok Ikah dengan suara pelan, seolah ragu menjelaskan sesuatu.“Kemenyan?” aku mengulang kata-kata Mbok Ikah, merasa tidak begitu paham.“Ya, Non. Wewangian tradisional, untuk pengharum ruangan,” jawab Mbok Ikah, mencoba memberi penjelasan.“Oh… jadi Papa belum pulang, Mbok?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari asap kemenyan yang kini memenuhi ruangan.“Belum, Non,” jawab Mbok Ikah singkat.“Mbok matikan kemenyan itu dulu ya. Asapnya sudah mulai memenuhi dapur,” kataku, sedikit khawatir karena aroma wangi itu mulai membuatku merasa aneh.“Iya, Non,” jawab Mbok Ikah, lalu bergegas menuju pint
Aku tidak bisa memahami sepenuhnya kata-kata yang baru saja diucapkan oleh wanita itu. "Korban?" pikirku dalam hati. Siapa yang dimaksudnya dengan "korban"? Apa maksudnya ini? Dan yang lebih mengganggu pikiranku adalah pertanyaannya yang tiba-tiba muncul: siapa yang datang?"Kenapa kamu tidak usir wanita itu?" suaranya kembali terdengar, memecah keheningan yang mulai menghantui pikiranku. Namun, tubuhku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan. Tidak bisa bergerak sedikit pun. Seolah-olah aku terkunci dalam tubuhku sendiri.Wanita itu, yang sebelumnya hanya terlihat samar, kini menghadapkan wajahnya kepadaku. Mata kami saling bertemu, dan aku merasakan seakan-akan dunia sekelilingku menjadi hening. Wajahnya sangat pucat, jauh berbeda dengan yang terakhir kali aku lihat. Entah mengapa, meski terlihat seperti manusia, ada sesuatu yang aneh dan tidak manusiawi dari raut wajahnya. Ada kesedihan yang begitu dalam tercermin dari matanya. Aku merasa jantungku
Aku perlahan membuka mata, merasakan sensasi aneh di pergelangan tangan kiri. Selang infus terpasang di sana, mengalirkan cairan ke dalam tubuhku. Ruangan rumah sakit yang asing ini terasa sepi, kecuali suara detak jam di dinding yang terdengar monoton. Aku menatap sekeliling, mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi yang membuatku merasa lemas.Papa terlelap di kursi sofa yang terletak di samping tempat tidurku. Aku memanggilnya dengan suara pelan, "Papa..." Namun, Papa tidak langsung terbangun. Aku mencoba lagi, sedikit lebih keras, "Papa!" kali ini, suara yang kuucapkan cukup jelas hingga akhirnya Papa terbangun."Ya, sayang?" jawab Papa, setengah terkejut, segera bangun dan mendekatiku."Aku haus, Papa..." ujarku dengan suara serak."Sebentar, sayang." Papa bergegas mengambil sebotol air mineral dari meja kecil di dekat tempat tidurku. Ia membukanya dan memberikannya padaku dengan hati-hati. "Gimana, badanmu sudah enakan?" tanyanya penuh perhatian.
Aku tak tahu harus mulai dari mana. Semua berjalan begitu cepat. Dalam waktu satu tahun, hidupku sudah berubah 180 derajat. Keluargaku hancur begitu saja. Segalanya berawal dari satu keputusan yang fatal, yang perlahan merenggut mereka satu per satu. Rasanya air mata ini sudah habis untuk menangisi kepergian mereka yang terlalu mendalam, sementara aku hanya bisa berdiri diam, menyaksikan semuanya terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa.Namaku Azarea Andini Sanjaya atau biasa dipanggil zara, anak pertama dari seorang pengusaha properti di timur pulau jawa milik Ardian Sanjaya nama dari papaku . Sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. Walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selang dua tahun kemudian, Papa menikah dengan seorang wanita bernama Erina Reswara . Wanita yang kini kusebut Mama., sangat baik padaku. Meski aku bukan anak kandungnya, Mama selalu merawatku dengan penuh cinta. Dari pernikahannya dengan Papa, aku mend
Aku perlahan membuka mata, merasakan sensasi aneh di pergelangan tangan kiri. Selang infus terpasang di sana, mengalirkan cairan ke dalam tubuhku. Ruangan rumah sakit yang asing ini terasa sepi, kecuali suara detak jam di dinding yang terdengar monoton. Aku menatap sekeliling, mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi yang membuatku merasa lemas.Papa terlelap di kursi sofa yang terletak di samping tempat tidurku. Aku memanggilnya dengan suara pelan, "Papa..." Namun, Papa tidak langsung terbangun. Aku mencoba lagi, sedikit lebih keras, "Papa!" kali ini, suara yang kuucapkan cukup jelas hingga akhirnya Papa terbangun."Ya, sayang?" jawab Papa, setengah terkejut, segera bangun dan mendekatiku."Aku haus, Papa..." ujarku dengan suara serak."Sebentar, sayang." Papa bergegas mengambil sebotol air mineral dari meja kecil di dekat tempat tidurku. Ia membukanya dan memberikannya padaku dengan hati-hati. "Gimana, badanmu sudah enakan?" tanyanya penuh perhatian.
Aku tidak bisa memahami sepenuhnya kata-kata yang baru saja diucapkan oleh wanita itu. "Korban?" pikirku dalam hati. Siapa yang dimaksudnya dengan "korban"? Apa maksudnya ini? Dan yang lebih mengganggu pikiranku adalah pertanyaannya yang tiba-tiba muncul: siapa yang datang?"Kenapa kamu tidak usir wanita itu?" suaranya kembali terdengar, memecah keheningan yang mulai menghantui pikiranku. Namun, tubuhku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan. Tidak bisa bergerak sedikit pun. Seolah-olah aku terkunci dalam tubuhku sendiri.Wanita itu, yang sebelumnya hanya terlihat samar, kini menghadapkan wajahnya kepadaku. Mata kami saling bertemu, dan aku merasakan seakan-akan dunia sekelilingku menjadi hening. Wajahnya sangat pucat, jauh berbeda dengan yang terakhir kali aku lihat. Entah mengapa, meski terlihat seperti manusia, ada sesuatu yang aneh dan tidak manusiawi dari raut wajahnya. Ada kesedihan yang begitu dalam tercermin dari matanya. Aku merasa jantungku
“Ada apa itu, Mbok?” tanyaku, heran, saat melihat Mbok Ikah membawa sebuah wadah kecil terbuat dari tanah liat. Di dalamnya, ada arang yang masih menyala dan mengeluarkan asap harum yang menyebar ke seluruh dapur.“Ke-me-nyan, Non,” jawab Mbok Ikah dengan suara pelan, seolah ragu menjelaskan sesuatu.“Kemenyan?” aku mengulang kata-kata Mbok Ikah, merasa tidak begitu paham.“Ya, Non. Wewangian tradisional, untuk pengharum ruangan,” jawab Mbok Ikah, mencoba memberi penjelasan.“Oh… jadi Papa belum pulang, Mbok?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari asap kemenyan yang kini memenuhi ruangan.“Belum, Non,” jawab Mbok Ikah singkat.“Mbok matikan kemenyan itu dulu ya. Asapnya sudah mulai memenuhi dapur,” kataku, sedikit khawatir karena aroma wangi itu mulai membuatku merasa aneh.“Iya, Non,” jawab Mbok Ikah, lalu bergegas menuju pint
"Mbok!" panggilku keras, suaraku hampir membentur dinding."Ya, Non?" jawab Mbok Ikah dari dapur, suaranya terdengar biasa saja, seakan tidak ada yang aneh.Bergegas aku melangkah menuju dapur, langkahku agak terburu-buru. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, meskipun aku tidak bisa mengatakan apa itu. Begitu sampai di dapur, aku melihat Mbok Ikah sedang sibuk memasak."Ada apa, Non? Kenapa teriak-teriak?" tanya Mbok Ikah dengan nada penuh rasa ingin tahu."Daritadi dipanggil nggak nyahut, kok bisa-bisanya," kataku agak kesal, meski aku tahu bahwa Mbok Ikah bukan orang yang sengaja mengabaikanku."Maaf, Non, Mbok tadi nggak denger," jawab Mbok Ikah sambil melanjutkan mengaduk masakan dalam wajan besar."Emang lagi masak apa, Mbok?" tanyaku sambil memperhatikan bahan-bahan yang ada di atas meja."Masak ayam suwir dan sayur kol," jawab Mbok Ikah, sambil sibuk dengan sayur kol yang sedang dipindah ke mangkuk besar."Oh, begitu,
Sejak kami memasuki mobil, suasana di dalamnya begitu sunyi. Wajah Papa terlihat lelah, seperti baru saja melewati hari yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, menatap ke luar jendela, mencerna peristiwa yang terjadi sebelumnya.“Papa, bagaimana kemarin?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu, berusaha memecah keheningan yang terasa kian menekan.Papa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Gimana apanya?” jawabnya sambil menyalakan mobil dan mulai mengendarai kami pulang.“Mbok Ikah meninggal, kenapa ya?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.“Kata dokter, kemungkinan besar karena serangan jantung,” jawab Papa sambil mengemudi.“Dokter tahu nggak, kapan Mbok Ikah meninggal?” tanyaku penasaran, mencoba merangkai petunjuk-petunjuk yang ada.“Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit,” jawab Papa singkat.
Aku terbaring di tempat tidur, tak mampu bergerak. Rasa takut menguasai setiap sel tubuhku. Sosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai lebat itu melayang di atasku, matanya yang melotot tajam menatapku dengan penuh kebencian. Setiap kali ia mendekat, aku merasa seolah-olah tubuhku beku, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku, bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tidak bisa.Wanita itu, dengan tawa melengking yang menembus seluruh ruangan, terus mengalirkan hawa dingin ke dalam tubuhku. “USIR WANITA ITU!” Suaranya terdengar jelas, menggetarkan seluruh ruangan. Sungguh, aku merasa tubuhku tak lagi berada dalam kendali diriku sendiri. Semuanya tampak kabur, berputar, dan hilang dalam kegelapan.Tuk! Tuk! Tuk!Terdengar suara ketukan yang begitu keras dari pintu kamar. Suara yang membawaku kembali ke dunia nyata, meskipun ketakutanku belum juga mereda. "Zara, buka pintunya, Sayang," terdengar suara Papa dari luar. Tak lama kemudian, su
Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd
Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t
Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe