Beranda / Horor / mungkin esok aku mati / Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

Share

Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

Penulis: erlee story
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-22 22:17:57

Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.

Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat aneh terus menghantui. Aku menggigit bibir, merasa ada sesuatu yang salah di rumah ini. Namun, logikaku terus berusaha menyangkal, mencari alasan yang masuk akal untuk setiap kejadian aneh yang mulai terungkap sejak aku kembali.

""Mbok, sarapannya ada di kamar aku, ya?" tanyaku kepada Mbok Ikah, yang masih berdiri di dekat pintu kamar Sandy.

"Iya, Non. Udah Mbok simpen di kamar," jawabnya.

"Ya udah, ceritanya lanjut di kamarku aja, Mbok. Aku juga penasaran sama lanjutan cerita soal Sandy," ajakku dengan nada setengah mendesak.

"Baik, Non. Nanti Mbok nyusul," jawabnya sambil tersenyum kecil, meskipun matanya menunjukkan keraguan. Dia kembali menutup pintu kamar Sandy perlahan, seolah takut membuat suara bising.

Aku memperhatikan gerak-gerik Mbok Ikah sebelum kembali ke kamarku sendiri. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit aku pahami, seperti dia menyimpan sesuatu yang tidak ingin diceritakan sepenuhnya. Namun, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh dulu.

Aku kembali ke kamar dengan langkah yang sedikit ragu. Di kepala ini, pikiran-pikiran aneh mulai memenuhi ruang. Rasa lelah setelah perjalanan panjang dari Georgia ke Indonesia, bercampur dengan kejadian-kejadian misterius yang baru aku alami, membuat tubuh dan pikiranku terasa berat.

Sekitar lima belas menit kemudian, Mbok Ikah masuk ke kamarku dengan membawa secangkir teh hangat. Aku duduk di pinggir tempat tidur, memberi isyarat kepadanya untuk duduk di sebelahku.

"Tadi ceritanya sampai mana, Mbok?" tanyaku setelah menyeruput teh yang dibawanya.

"Suara benda jatuh di kamar Den Marcell," jawabnya, mengingatkan.

Aku mengangguk pelan, memberi isyarat kepada Mbok Ikah untuk melanjutkan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara dengan nada yang pelan, seolah takut ada yang mendengarkan. "Non Zara, sejak kepergian Den Marcell, banyak hal aneh yang terjadi. Salah satunya, Den Sandy sering mengeluh mendengar suara benda jatuh dari kamar Den Marcell. Padahal kamar itu selalu terkunci sejak Den Marcell meninggal," ungkapnya.

"Maksud Mbok, suara benda jatuh? Apa nggak mungkin suara dari luar rumah?" tanyaku, mencoba mencari penjelasan logis.

"Nggak, Non. Soalnya suara itu jelas dari dalam kamar. Seperti suara buku jatuh dari meja atau kursi yang terseret pelan. Kadang-kadang, Mbok juga dengar suara itu pas lagi nyapu di dekat situ. Tapi Mbok pikir, mungkin cuma perasaan," jawabnya sambil memandangku dengan raut wajah penuh ketakutan.

"Kenapa Mbok nggak pernah cerita ke Papa atau Mama?" tanyaku lagi.

"Siapa yang mau percaya, Non? Lagipula, Mbok nggak mau bikin suasana makin tegang. Waktu itu, Non kan juga nggak di rumah. Mbok pikir, biar aja semuanya berlalu," katanya lirih, menundukkan kepala seolah menyesal.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ceritanya. "Terus, Sandy pernah bilang apa lagi soal suara-suara itu?"

Mbok Ikah menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan. "Den Sandy bilang, kadang dia merasa ada yang memperhatikannya dari jendela kamar Den Marcell. Dia bilang, ada bayangan hitam berdiri di sana. Mbok juga pernah lihat sekali, Non, tapi Mbok pikir itu cuma ilusi," katanya dengan suara bergetar.

Aku bergidik mendengar cerita itu. "Bayangan hitam? Mbok yakin itu bukan orang?" tanyaku, meski suara mulai bergetar.

"Nggak tahu, Non. Soalnya pas Mbok dekati, bayangan itu hilang. Tapi yang jelas, Den Sandy nggak pernah bohong soal apa yang dia rasain."

" Sandy juga sering bermimpi buruk, Non," lanjut Mbok Ikah.

"Mimpi apa, Mbok?" tanyaku penasaran.

"Katanya, dia sering dikejar ular besar berwarna hitam. Ular yang dia gambar di bukunya itu," jawabnya sambil menghela napas panjang.

Aku terdiam. Sekilas, ingatanku kembali ke gambar-gambar aneh di buku sketsa Sandy. Terutama gambar wanita berambut panjang yang tidak aku kenali.

"Mbok, Sandy pernah cerita tentang wanita di gambar itu?" tanyaku, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang ada.

Mbok Ikah mengangguk pelan. "Iya, Non. Dia bilang wanita itu sering muncul dalam mimpinya. Kadang-kadang, Sandy merasa wanita itu benar-benar ada di rumah ini."

"Maksudnya?"

Mbok Ikah menggenggam kedua tangannya erat-erat, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Den Sandy pernah bilang, wanita itu selalu mengikutinya. Bahkan dia merasa wanita itu ada di mana-mana, melihat setiap gerak-geriknya.

Aku bergidik mendengar penjelasan Mbok Ikah. Pikiranku mulai dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak masuk akal. Apa mungkin wanita dalam gambar Sandy itu adalah makhluk gaib? Apa hubungannya dengan ular hitam dalam mimpi Sandy?

Mbok Ikah melanjutkan ceritanya. Beberapa minggu sebelum Sandy meninggal, sikapnya semakin aneh. Dia sering mengunci diri di kamar, bersembunyi di dalam lemari, atau bahkan di kolong tempat tidur. Tengah malam, dia sering berteriak histeris, memanggil Mbok Ikah untuk menemaninya tidur.

"Dia bilang ada ular di kasurnya, Non," kata Mbok Ikah.

Aku memiringkan kepala, bingung. "Ular beneran, Mbok?"

"Mbok juga nggak tahu, Non. Soalnya setiap kali dicari, nggak pernah ada ular di sana," jelasnya. "Bapak sama Salim juga pernah bantu cari, tapi hasilnya sama aja."

Aku menarik napas panjang. Tidak mudah bagiku menerima cerita ini. Namun, melihat ekspresi serius Mbok Ikah, aku tahu dia tidak sedang mengarang.

"Terus, Mbok, kenapa Sandy bisa meninggal? Apa hubungannya sama semua ini?" tanyaku.

Mbok Ikah menunduk, menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. "Non Zara... Mbok rasa ini semua salah Mbok. Seandainya waktu itu Mbok nggak ninggalin Den Sandy sendirian, mungkin dia masih hidup sekarang."

"Maksud Mbok?" tanyaku bingung.

Mbok Ikah mulai bercerita tentang hari terakhir Sandy. Pagi itu, Mbok Ikah tidak menemukan Sandy di kamarnya. Setelah mencari di seluruh rumah, dia menemukannya sedang duduk di pinggir kolam renang. Sandy hanya menatap kosong ke permukaan air tanpa berkata apa-apa.

Ketika Mbok Ikah mendekatinya, dia mencoba bertanya dengan lembut, "Den Sandy, kok pagi-pagi udah di sini?" Namun, Sandy hanya menjawab pelan, "Aku cuma mau lihat air, Mbok." Jawabannya membuat Mbok Ikah bingung sekaligus khawatir.

Mbok Ikah melanjutkan, "Saya tanya lagi, apa Den Sandy sudah sarapan? Tapi dia malah bilang pengen berenang. Saya langsung larang, Non, karena air kolam itu sudah kotor banget. Sudah lama nggak dipakai. Tapi Den Sandy malah senyum sambil bilang, 'Cuma sebentar aja, Mbok.'"

"Terus, Mbok Ikah nggak sempat panggil Bapak atau siapa gitu buat ngecek Sandy?" tanyaku, penasaran sekaligus khawatir.

"Waktu itu Mbok pikir dia cuma bercanda. Soalnya setelah itu, dia tiba-tiba nyuruh Mbok bikinin nasi goreng," lanjut Mbok Ikah sambil menundukkan kepala. "Mbok kira dia udah baikan. Jadi Mbok turutin aja. Tapi... ternyata Mbok salah." Suaranya mulai bergetar.

"Salah gimana, Mbok?" tanyaku pelan, mencoba menyemangatinya untuk melanjutkan cerita.

"Pas Mbok balik ke kolam, Den Sandy udah nggak ada di tempatnya tadi. Mbok cari-cari di sekitar, nggak ada. Permukaan air kolam keruh banget, Non, jadi Mbok nggak bisa lihat ke dalamnya. Panik, Mbok langsung lari manggil Bapak," ceritanya sambil sesekali menyeka air mata.

"Terus, apa yang terjadi waktu Bapak datang?" tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya.

"Bapak langsung suruh Salim ambil pompa buat nguras air kolam. Pas airnya mulai surut, kami temukan tubuh Den Sandy di dasar kolam. Dia... dia udah nggak bernyawa, Non." Suara Mbok Ikah pecah, dan dia mulai menangis sesenggukan.

Aku menggigit bibir, menahan rasa sakit di dada yang mulai menyeruak. "Mbok... Mbok nggak salah. Jangan nyalahin diri sendiri," ujarku, mencoba menguatkan Mbok Ikah meskipun aku sendiri merasa bersalah. Jika aku ada di rumah saat itu, mungkin semuanya akan berbeda.

Papa bergegas menguras kolam renang. Ketika air mulai surut, tubuh Sandy ditemukan terbaring di dasar kolam. Dia sudah tidak bernyawa.

Aku menutup mulut, mencoba menahan isak tangis yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Rasa bersalah membanjiri hatiku. Jika saja aku tidak sibuk dengan urusanku sendiri, mungkin aku bisa membantu Sandy.

Mbok Ikah bangkit, mengambil gelas dan piring kosong di meja nakas. "Mbok mau bersih-bersih dulu, Non," katanya sebelum keluar dari kamar.

Aku masih terduduk di tempat tidur, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Ada terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapa wanita berambut panjang itu? Apa hubungannya dengan ular hitam? Dan, yang paling penting, ada apa dengan rumah ini?

Tiba-tiba, bulu kudukku meremang. Aku merasa seperti sedang diawasi. Namun, tidak ada siapa-siapa di kamar ini. Aku membaringkan tubuh, mencoba mengusir rasa takut yang perlahan menyelimuti.

Dalam hati, aku bersumpah akan menemukan jawabannya. Aku tidak akan membiarkan Sandy dan Marcell menjadi korban terakhir. Tetapi, di mana aku harus memulai? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari jendela kamarku. Aku terlonjak kaget, menoleh dengan cepat. Namun, ketika kudekati, tidak ada apa-apa di sana. Hanya bayangan malam yang gelap dan suara angin yang berhembus lembut. "Mungkin cuma angin," gumamku, mencoba mengusir rasa takut.

Namun, ketika aku berbalik, aku merasakan sesuatu. Sebuah kehadiran. Aku berhenti, berdiri mematung di tengah kamar. Suasana terasa begitu sunyi, hingga suara detak jarum jam terdengar jelas di telingaku. Aku berusaha menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"Non Zara..." suara serak itu terdengar samar, nyaris seperti bisikan. Aku membeku. Suara itu berasal dari arah pintu kamar Marcell. Tanpa sadar, kakiku melangkah pelan menuju pintu. Ketika tanganku menyentuh gagang pintu, suara itu menghilang begitu saja.

Aku menggigit bibir, jantungku berdetak kencang. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah semua ini hanya imajinasiku? Atau mungkin ini pertanda bahwa jawaban yang kucari ada di balik pintu itu? Dengan tangan gemetar, aku memutar gagang pintu perlahan. Di saat itulah, firasat aneh menguasaiku, seolah ada sesuatu yang menunggu di balik sana.

Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan, tapi aku yakin satu hal: ini baru permulaan dari misteri yang lebih besar.

Bab terkait

  • mungkin esok aku mati   Bab 8. Si perempuan rambut panjang

    Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 9. Tanda kehidupan

    Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 10. Siluman ular

    Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 11. Usir wanita itu!!!

    Aku terbaring di tempat tidur, tak mampu bergerak. Rasa takut menguasai setiap sel tubuhku. Sosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai lebat itu melayang di atasku, matanya yang melotot tajam menatapku dengan penuh kebencian. Setiap kali ia mendekat, aku merasa seolah-olah tubuhku beku, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku, bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tidak bisa.Wanita itu, dengan tawa melengking yang menembus seluruh ruangan, terus mengalirkan hawa dingin ke dalam tubuhku. “USIR WANITA ITU!” Suaranya terdengar jelas, menggetarkan seluruh ruangan. Sungguh, aku merasa tubuhku tak lagi berada dalam kendali diriku sendiri. Semuanya tampak kabur, berputar, dan hilang dalam kegelapan.Tuk! Tuk! Tuk!Terdengar suara ketukan yang begitu keras dari pintu kamar. Suara yang membawaku kembali ke dunia nyata, meskipun ketakutanku belum juga mereda. "Zara, buka pintunya, Sayang," terdengar suara Papa dari luar. Tak lama kemudian, su

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • mungkin esok aku mati   Bab 19: Pesugihan

    Sejak kami memasuki mobil, suasana di dalamnya begitu sunyi. Wajah Papa terlihat lelah, seperti baru saja melewati hari yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, menatap ke luar jendela, mencerna peristiwa yang terjadi sebelumnya.“Papa, bagaimana kemarin?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu, berusaha memecah keheningan yang terasa kian menekan.Papa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Gimana apanya?” jawabnya sambil menyalakan mobil dan mulai mengendarai kami pulang.“Mbok Ikah meninggal, kenapa ya?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.“Kata dokter, kemungkinan besar karena serangan jantung,” jawab Papa sambil mengemudi.“Dokter tahu nggak, kapan Mbok Ikah meninggal?” tanyaku penasaran, mencoba merangkai petunjuk-petunjuk yang ada.“Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit,” jawab Papa singkat.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • mungkin esok aku mati   Bab 12. Mimpi buruk

    "Mbok!" panggilku keras, suaraku hampir membentur dinding."Ya, Non?" jawab Mbok Ikah dari dapur, suaranya terdengar biasa saja, seakan tidak ada yang aneh.Bergegas aku melangkah menuju dapur, langkahku agak terburu-buru. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, meskipun aku tidak bisa mengatakan apa itu. Begitu sampai di dapur, aku melihat Mbok Ikah sedang sibuk memasak."Ada apa, Non? Kenapa teriak-teriak?" tanya Mbok Ikah dengan nada penuh rasa ingin tahu."Daritadi dipanggil nggak nyahut, kok bisa-bisanya," kataku agak kesal, meski aku tahu bahwa Mbok Ikah bukan orang yang sengaja mengabaikanku."Maaf, Non, Mbok tadi nggak denger," jawab Mbok Ikah sambil melanjutkan mengaduk masakan dalam wajan besar."Emang lagi masak apa, Mbok?" tanyaku sambil memperhatikan bahan-bahan yang ada di atas meja."Masak ayam suwir dan sayur kol," jawab Mbok Ikah, sambil sibuk dengan sayur kol yang sedang dipindah ke mangkuk besar."Oh, begitu,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • mungkin esok aku mati   Bab 13. Suara misterius

    “Ada apa itu, Mbok?” tanyaku, heran, saat melihat Mbok Ikah membawa sebuah wadah kecil terbuat dari tanah liat. Di dalamnya, ada arang yang masih menyala dan mengeluarkan asap harum yang menyebar ke seluruh dapur.“Ke-me-nyan, Non,” jawab Mbok Ikah dengan suara pelan, seolah ragu menjelaskan sesuatu.“Kemenyan?” aku mengulang kata-kata Mbok Ikah, merasa tidak begitu paham.“Ya, Non. Wewangian tradisional, untuk pengharum ruangan,” jawab Mbok Ikah, mencoba memberi penjelasan.“Oh… jadi Papa belum pulang, Mbok?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari asap kemenyan yang kini memenuhi ruangan.“Belum, Non,” jawab Mbok Ikah singkat.“Mbok matikan kemenyan itu dulu ya. Asapnya sudah mulai memenuhi dapur,” kataku, sedikit khawatir karena aroma wangi itu mulai membuatku merasa aneh.“Iya, Non,” jawab Mbok Ikah, lalu bergegas menuju pint

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-05
  • mungkin esok aku mati   Bab 14. Menunggu giliran

    Aku tidak bisa memahami sepenuhnya kata-kata yang baru saja diucapkan oleh wanita itu. "Korban?" pikirku dalam hati. Siapa yang dimaksudnya dengan "korban"? Apa maksudnya ini? Dan yang lebih mengganggu pikiranku adalah pertanyaannya yang tiba-tiba muncul: siapa yang datang?"Kenapa kamu tidak usir wanita itu?" suaranya kembali terdengar, memecah keheningan yang mulai menghantui pikiranku. Namun, tubuhku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan jari-jari tangan. Tidak bisa bergerak sedikit pun. Seolah-olah aku terkunci dalam tubuhku sendiri.Wanita itu, yang sebelumnya hanya terlihat samar, kini menghadapkan wajahnya kepadaku. Mata kami saling bertemu, dan aku merasakan seakan-akan dunia sekelilingku menjadi hening. Wajahnya sangat pucat, jauh berbeda dengan yang terakhir kali aku lihat. Entah mengapa, meski terlihat seperti manusia, ada sesuatu yang aneh dan tidak manusiawi dari raut wajahnya. Ada kesedihan yang begitu dalam tercermin dari matanya. Aku merasa jantungku

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06

Bab terbaru

  • mungkin esok aku mati   Bab 25. Tumbal Terakhir

    Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m

  • mungkin esok aku mati   Bab 24. Teror itu sudah datang

    Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan

  • mungkin esok aku mati   Bab 23: Menemui Mbah Susno

    Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se

  • mungkin esok aku mati   Bab 22. Kecelakaan

    Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se

  • mungkin esok aku mati   Bab 21: Tak Disangka

    Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.

  • mungkin esok aku mati   Bab 20. Terungkap

    Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi

  • mungkin esok aku mati   Bab 18. Tersadar dari koma

    Tanganku terasa gemetar saat memegang sepucuk surat dari Mbok Ikah. Rasa terkejut dan perasaan tidak percaya melanda hatiku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa segala pengorbanan Mbok Ikah ternyata demi keselamatanku. Air mataku pun mulai menetes, menyesali segala sikap dan perkataan kasar yang pernah kuucapkan padanya. "Seandainya aku membukakan pintu untuk Mbok Ikah dulu..." gumamku dalam hati. Penyesalan itu mengusik pikiranku tanpa henti.Dalam surat itu, Mbok Ikah menyebutkan nama Ratih, sosok wanita misterius yang sering muncul dalam bayanganku. Aku merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan Ratih? Apakah dia ingin membantuku atau malah bersekongkol dengan si Wanita Ular yang menakutkan itu? Terlebih lagi, sikap Ratih yang tiba-tiba menyuruhku untuk tidak membuka pintu waktu itu semakin menambah kecurigaanku. Apa maksudnya itu?Selain itu, ada juga Pak Salim. Apa benar dia yang terlibat dalam hal-hal berbau ilmu hitam yang Mbok Ikah sebutkan dalam sur

  • mungkin esok aku mati   Bab 17: Dugaan

    "Tok! Tok!""Non Zara," terdengar suara dari luar kamar."Masuk, Mbok!" jawabku, masih duduk di atas tempat tidur, memandangi sekeliling kamar yang terasa begitu sepi.Mbok Ikah memasuki kamar dengan senyum lembut di wajahnya, sambil membawa semangkuk sop ayam yang panas. Aromanya mengingatkanku pada masa-masa ketika kami masih sering memasak dan makan bersama di dapur."Mbok, tau aja Zara lagi lapar," kataku, merasa sedikit terhibur oleh perhatian Mbok Ikah.Mbok Ikah tersenyum manis. "Mbok selalu tahu, Non," jawabnya dengan lembut.Aku memandang sop ayam itu dan mendekatkan sendok ke mulutku. Rasanya begitu enak, meskipun di balik rasa lezat itu, hatiku terasa berat."Mbok semalem ke mana aja? Aku nungguin kok nggak diantar makanan sih. Kan lapar," keluhku, mencoba menggali lebih jauh tentang apa yang terjadi semalam.Mbok Ikah menunduk sejenak, wajahnya tampak sedih. "Mbok sudah pergi, Non.""Pagi-pagi begini pergi ke

  • mungkin esok aku mati   Bab 16. Salah tuduh

    Kegelapan malam terasa semakin pekat. Aku berdiri kaku di tengah kamar, mataku terfokus pada pintu yang sudah hampir terlewati, sementara suara teriakan Mbok Ikah semakin nyaring di luar. Namun, ada sesuatu yang lebih menakutkan yang menghalangiku untuk membuka pintu. Sesosok perempuan dengan rambut panjang, hitam, dan mengerikan berdiri tepat di depan pintu, menghalangi jalananku."Non! Tolong buka pintunya!" teriak Mbok Ikah, suaranya penuh dengan kepanikan.Namun, semakin aku mendekatkan diri, semakin aku merasa terjebak. Wanita dengan rambut panjang itu berdiri tanpa bergerak, wajahnya tertunduk, dan atmosfer di sekitarnya begitu mencekam. "Non, jangan buka pintunya!" suaranya terdengar lembut namun penuh peringatan.Tentu saja aku merasa ragu. Apakah aku harus mempercayai sosok ini yang jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan? Namun, suara Mbok Ikah yang semakin panik menambah kebingunganku. Aku tahu bahwa wanita yang ada di luar kamar itu adalah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status