Beranda / Horor / mungkin esok aku mati / Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

Share

Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

Penulis: erlee story
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-22 22:17:57

Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.

Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat aneh terus menghantui. Aku menggigit bibir, merasa ada sesuatu yang salah di rumah ini. Namun, logikaku terus berusaha menyangkal, mencari alasan yang masuk akal untuk setiap kejadian aneh yang mulai terungkap sejak aku kembali.

""Mbok, sarapannya ada di kamar aku, ya?" tanyaku kepada Mbok Ikah, yang masih berdiri di dekat pintu kamar Sandy.

"Iya, Non. Udah Mbok simpen di kamar," jawabnya.

"Ya udah, ceritanya lanjut di kamarku aja, Mbok. Aku juga penasaran sama lanjutan cerita soal Sandy," ajakku dengan nada setengah mendesak.

"Baik, Non. Nanti Mbok nyusul," jawabnya sambil tersenyum kecil, meskipun matanya menunjukkan keraguan. Dia kembali menutup pintu kamar Sandy perlahan, seolah takut membuat suara bising.

Aku memperhatikan gerak-gerik Mbok Ikah sebelum kembali ke kamarku sendiri. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit aku pahami, seperti dia menyimpan sesuatu yang tidak ingin diceritakan sepenuhnya. Namun, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh dulu.

Aku kembali ke kamar dengan langkah yang sedikit ragu. Di kepala ini, pikiran-pikiran aneh mulai memenuhi ruang. Rasa lelah setelah perjalanan panjang dari Georgia ke Indonesia, bercampur dengan kejadian-kejadian misterius yang baru aku alami, membuat tubuh dan pikiranku terasa berat.

Sekitar lima belas menit kemudian, Mbok Ikah masuk ke kamarku dengan membawa secangkir teh hangat. Aku duduk di pinggir tempat tidur, memberi isyarat kepadanya untuk duduk di sebelahku.

"Tadi ceritanya sampai mana, Mbok?" tanyaku setelah menyeruput teh yang dibawanya.

"Suara benda jatuh di kamar Den Marcell," jawabnya, mengingatkan.

Aku mengangguk pelan, memberi isyarat kepada Mbok Ikah untuk melanjutkan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara dengan nada yang pelan, seolah takut ada yang mendengarkan. "Non Zara, sejak kepergian Den Marcell, banyak hal aneh yang terjadi. Salah satunya, Den Sandy sering mengeluh mendengar suara benda jatuh dari kamar Den Marcell. Padahal kamar itu selalu terkunci sejak Den Marcell meninggal," ungkapnya.

"Maksud Mbok, suara benda jatuh? Apa nggak mungkin suara dari luar rumah?" tanyaku, mencoba mencari penjelasan logis.

"Nggak, Non. Soalnya suara itu jelas dari dalam kamar. Seperti suara buku jatuh dari meja atau kursi yang terseret pelan. Kadang-kadang, Mbok juga dengar suara itu pas lagi nyapu di dekat situ. Tapi Mbok pikir, mungkin cuma perasaan," jawabnya sambil memandangku dengan raut wajah penuh ketakutan.

"Kenapa Mbok nggak pernah cerita ke Papa atau Mama?" tanyaku lagi.

"Siapa yang mau percaya, Non? Lagipula, Mbok nggak mau bikin suasana makin tegang. Waktu itu, Non kan juga nggak di rumah. Mbok pikir, biar aja semuanya berlalu," katanya lirih, menundukkan kepala seolah menyesal.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ceritanya. "Terus, Sandy pernah bilang apa lagi soal suara-suara itu?"

Mbok Ikah menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan. "Den Sandy bilang, kadang dia merasa ada yang memperhatikannya dari jendela kamar Den Marcell. Dia bilang, ada bayangan hitam berdiri di sana. Mbok juga pernah lihat sekali, Non, tapi Mbok pikir itu cuma ilusi," katanya dengan suara bergetar.

Aku bergidik mendengar cerita itu. "Bayangan hitam? Mbok yakin itu bukan orang?" tanyaku, meski suara mulai bergetar.

"Nggak tahu, Non. Soalnya pas Mbok dekati, bayangan itu hilang. Tapi yang jelas, Den Sandy nggak pernah bohong soal apa yang dia rasain."

" Sandy juga sering bermimpi buruk, Non," lanjut Mbok Ikah.

"Mimpi apa, Mbok?" tanyaku penasaran.

"Katanya, dia sering dikejar ular besar berwarna hitam. Ular yang dia gambar di bukunya itu," jawabnya sambil menghela napas panjang.

Aku terdiam. Sekilas, ingatanku kembali ke gambar-gambar aneh di buku sketsa Sandy. Terutama gambar wanita berambut panjang yang tidak aku kenali.

"Mbok, Sandy pernah cerita tentang wanita di gambar itu?" tanyaku, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang ada.

Mbok Ikah mengangguk pelan. "Iya, Non. Dia bilang wanita itu sering muncul dalam mimpinya. Kadang-kadang, Sandy merasa wanita itu benar-benar ada di rumah ini."

"Maksudnya?"

Mbok Ikah menggenggam kedua tangannya erat-erat, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Den Sandy pernah bilang, wanita itu selalu mengikutinya. Bahkan dia merasa wanita itu ada di mana-mana, melihat setiap gerak-geriknya.

Aku bergidik mendengar penjelasan Mbok Ikah. Pikiranku mulai dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak masuk akal. Apa mungkin wanita dalam gambar Sandy itu adalah makhluk gaib? Apa hubungannya dengan ular hitam dalam mimpi Sandy?

Mbok Ikah melanjutkan ceritanya. Beberapa minggu sebelum Sandy meninggal, sikapnya semakin aneh. Dia sering mengunci diri di kamar, bersembunyi di dalam lemari, atau bahkan di kolong tempat tidur. Tengah malam, dia sering berteriak histeris, memanggil Mbok Ikah untuk menemaninya tidur.

"Dia bilang ada ular di kasurnya, Non," kata Mbok Ikah.

Aku memiringkan kepala, bingung. "Ular beneran, Mbok?"

"Mbok juga nggak tahu, Non. Soalnya setiap kali dicari, nggak pernah ada ular di sana," jelasnya. "Bapak sama Salim juga pernah bantu cari, tapi hasilnya sama aja."

Aku menarik napas panjang. Tidak mudah bagiku menerima cerita ini. Namun, melihat ekspresi serius Mbok Ikah, aku tahu dia tidak sedang mengarang.

"Terus, Mbok, kenapa Sandy bisa meninggal? Apa hubungannya sama semua ini?" tanyaku.

Mbok Ikah menunduk, menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. "Non Zara... Mbok rasa ini semua salah Mbok. Seandainya waktu itu Mbok nggak ninggalin Den Sandy sendirian, mungkin dia masih hidup sekarang."

"Maksud Mbok?" tanyaku bingung.

Mbok Ikah mulai bercerita tentang hari terakhir Sandy. Pagi itu, Mbok Ikah tidak menemukan Sandy di kamarnya. Setelah mencari di seluruh rumah, dia menemukannya sedang duduk di pinggir kolam renang. Sandy hanya menatap kosong ke permukaan air tanpa berkata apa-apa.

Ketika Mbok Ikah mendekatinya, dia mencoba bertanya dengan lembut, "Den Sandy, kok pagi-pagi udah di sini?" Namun, Sandy hanya menjawab pelan, "Aku cuma mau lihat air, Mbok." Jawabannya membuat Mbok Ikah bingung sekaligus khawatir.

Mbok Ikah melanjutkan, "Saya tanya lagi, apa Den Sandy sudah sarapan? Tapi dia malah bilang pengen berenang. Saya langsung larang, Non, karena air kolam itu sudah kotor banget. Sudah lama nggak dipakai. Tapi Den Sandy malah senyum sambil bilang, 'Cuma sebentar aja, Mbok.'"

"Terus, Mbok Ikah nggak sempat panggil Bapak atau siapa gitu buat ngecek Sandy?" tanyaku, penasaran sekaligus khawatir.

"Waktu itu Mbok pikir dia cuma bercanda. Soalnya setelah itu, dia tiba-tiba nyuruh Mbok bikinin nasi goreng," lanjut Mbok Ikah sambil menundukkan kepala. "Mbok kira dia udah baikan. Jadi Mbok turutin aja. Tapi... ternyata Mbok salah." Suaranya mulai bergetar.

"Salah gimana, Mbok?" tanyaku pelan, mencoba menyemangatinya untuk melanjutkan cerita.

"Pas Mbok balik ke kolam, Den Sandy udah nggak ada di tempatnya tadi. Mbok cari-cari di sekitar, nggak ada. Permukaan air kolam keruh banget, Non, jadi Mbok nggak bisa lihat ke dalamnya. Panik, Mbok langsung lari manggil Bapak," ceritanya sambil sesekali menyeka air mata.

"Terus, apa yang terjadi waktu Bapak datang?" tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya.

"Bapak langsung suruh Salim ambil pompa buat nguras air kolam. Pas airnya mulai surut, kami temukan tubuh Den Sandy di dasar kolam. Dia... dia udah nggak bernyawa, Non." Suara Mbok Ikah pecah, dan dia mulai menangis sesenggukan.

Aku menggigit bibir, menahan rasa sakit di dada yang mulai menyeruak. "Mbok... Mbok nggak salah. Jangan nyalahin diri sendiri," ujarku, mencoba menguatkan Mbok Ikah meskipun aku sendiri merasa bersalah. Jika aku ada di rumah saat itu, mungkin semuanya akan berbeda.

Papa bergegas menguras kolam renang. Ketika air mulai surut, tubuh Sandy ditemukan terbaring di dasar kolam. Dia sudah tidak bernyawa.

Aku menutup mulut, mencoba menahan isak tangis yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Rasa bersalah membanjiri hatiku. Jika saja aku tidak sibuk dengan urusanku sendiri, mungkin aku bisa membantu Sandy.

Mbok Ikah bangkit, mengambil gelas dan piring kosong di meja nakas. "Mbok mau bersih-bersih dulu, Non," katanya sebelum keluar dari kamar.

Aku masih terduduk di tempat tidur, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Ada terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapa wanita berambut panjang itu? Apa hubungannya dengan ular hitam? Dan, yang paling penting, ada apa dengan rumah ini?

Tiba-tiba, bulu kudukku meremang. Aku merasa seperti sedang diawasi. Namun, tidak ada siapa-siapa di kamar ini. Aku membaringkan tubuh, mencoba mengusir rasa takut yang perlahan menyelimuti.

Dalam hati, aku bersumpah akan menemukan jawabannya. Aku tidak akan membiarkan Sandy dan Marcell menjadi korban terakhir. Tetapi, di mana aku harus memulai? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari jendela kamarku. Aku terlonjak kaget, menoleh dengan cepat. Namun, ketika kudekati, tidak ada apa-apa di sana. Hanya bayangan malam yang gelap dan suara angin yang berhembus lembut. "Mungkin cuma angin," gumamku, mencoba mengusir rasa takut.

Namun, ketika aku berbalik, aku merasakan sesuatu. Sebuah kehadiran. Aku berhenti, berdiri mematung di tengah kamar. Suasana terasa begitu sunyi, hingga suara detak jarum jam terdengar jelas di telingaku. Aku berusaha menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"Non Zara..." suara serak itu terdengar samar, nyaris seperti bisikan. Aku membeku. Suara itu berasal dari arah pintu kamar Marcell. Tanpa sadar, kakiku melangkah pelan menuju pintu. Ketika tanganku menyentuh gagang pintu, suara itu menghilang begitu saja.

Aku menggigit bibir, jantungku berdetak kencang. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah semua ini hanya imajinasiku? Atau mungkin ini pertanda bahwa jawaban yang kucari ada di balik pintu itu? Dengan tangan gemetar, aku memutar gagang pintu perlahan. Di saat itulah, firasat aneh menguasaiku, seolah ada sesuatu yang menunggu di balik sana.

Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan, tapi aku yakin satu hal: ini baru permulaan dari misteri yang lebih besar.

Bab terkait

  • mungkin esok aku mati   Bab 8. Si perempuan rambut panjang

    Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 9. Tanda kehidupan

    Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 10. Siluman ular

    Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 1: Ketika Musibah Menghampiri

    Aku tak tahu harus mulai dari mana. Semua berjalan begitu cepat. Dalam waktu satu tahun, hidupku sudah berubah 180 derajat. Keluargaku hancur begitu saja. Segalanya berawal dari satu keputusan yang fatal, yang perlahan merenggut mereka satu per satu. Rasanya air mata ini sudah habis untuk menangisi kepergian mereka yang terlalu mendalam, sementara aku hanya bisa berdiri diam, menyaksikan semuanya terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa.Namaku Azarea Andini Sanjaya atau biasa dipanggil zara, anak pertama dari seorang pengusaha properti di timur pulau jawa milik Ardian Sanjaya nama dari papaku . Sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. Walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selang dua tahun kemudian, Papa menikah dengan seorang wanita bernama Erina Reswara . Wanita yang kini kusebut Mama., sangat baik padaku. Meski aku bukan anak kandungnya, Mama selalu merawatku dengan penuh cinta. Dari pernikahannya dengan Papa, aku mend

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 2: Mama

    Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 3. Penyakit Misterius

    Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu."Hal..."Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal."Gawat?" Papa terdengar terkejut."Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku."Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat."Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam."Mama cerita?" tanya Papa."Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal."Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya.""Tapi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 4: Siapa yang Meninggal?

    Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja."Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur."Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar."Aku di rumah sakit sama Bi Ikah.""Mama? Sudah kabarin Mama?""Sudah, Mama lagi mau pulang."Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 5: Kejutan

    Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku."Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran."Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan."Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik."Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya."Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13

Bab terbaru

  • mungkin esok aku mati   Bab 10. Siluman ular

    Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd

  • mungkin esok aku mati   Bab 9. Tanda kehidupan

    Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t

  • mungkin esok aku mati   Bab 8. Si perempuan rambut panjang

    Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe

  • mungkin esok aku mati   Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

    Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an

  • mungkin esok aku mati   Bab 6: Gambar

    ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang

  • mungkin esok aku mati   Bab 5: Kejutan

    Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku."Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran."Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan."Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik."Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya."Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang

  • mungkin esok aku mati   Bab 4: Siapa yang Meninggal?

    Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja."Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur."Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar."Aku di rumah sakit sama Bi Ikah.""Mama? Sudah kabarin Mama?""Sudah, Mama lagi mau pulang."Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bis

  • mungkin esok aku mati   Bab 3. Penyakit Misterius

    Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu."Hal..."Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal."Gawat?" Papa terdengar terkejut."Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku."Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat."Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam."Mama cerita?" tanya Papa."Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal."Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya.""Tapi,

  • mungkin esok aku mati   Bab 2: Mama

    Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, ber

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status