Home / Horor / mungkin esok aku mati / Bab 5: Kejutan

Share

Bab 5: Kejutan

Author: erlee story
last update Last Updated: 2025-01-13 19:25:29

Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?

"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku.

"Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran.

"Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan.

"Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik.

"Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya.

"Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.

Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"

Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang tergeletak di dalamnya. Tubuhku mulai lemas saat mengamati ukuran kantung jenazah itu.

"Kamu mau peluk untuk terakhir kalinya?" tanya Papa dengan suara yang hampir tak terdengar.

Aku hanya bisa termenung, tak sanggup berkata apa-apa.

"Mas, boleh dibuka sebentar?" perintah Papa pada salah satu petugas ambulan. Petugas itu membuka kantong jenazah dengan perlahan, dan seketika itu juga jantungku seperti terhenti. Di dalam kantung jenazah itu terbaring tubuh Sandy yang sudah terbujur kaku, hanya mengenakan celana pendek yang lusuh.

"Apa itu Sandy?" tanyaku dengan suara gemetar.

Papa mengulangi pertanyaannya dengan lembut, "Kamu mau peluk Sandy untuk terakhir kalinya?"

Aku merasa pusing, tubuhku kehilangan tenaga, dan pandanganku mulai gelap. Tanpa bisa mengendalikan diri, aku terjatuh dan pingsan.

"Sandy!" teriakku keras-keras, sebelum akhirnya kesadaranku hilang.

***

"Yang sabar, Zara," ucap Bi Ikah yang duduk di ujung tempat tidurku. Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku gemetar. Tangisan yang tak terbendung mengalir begitu saja, dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam.

"Zara, minum dulu." Bi Ikah menawarkan segelas teh hangat.

"Kenapa harus Sandy, Bi?" aku terisak, rasanya seperti dunia ini terlalu berat untuk dipikul.

"Sudah jalannya, Zara," jawab Bi Ikah dengan lembut.

"Kenapa harus Zara yang kehilangan dua adik dalam waktu lima bulan?" aku mengeluh, tidak bisa menerima kenyataan yang begitu pahit.

"Zara harus sabar," Bi Ikah mencoba menenangkan.

"Minum tehnya dulu, Zara," Bi Ikah kembali menawarkan. Aku meneguk sedikit, kemudian menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri.

"Bi, sekarang jenazah Sandy ada di mana?" tanyaku pelan, meskipun aku sudah tahu jawabannya.

"Tadi Papa bilang, jenazah Sandy ada di rumah duka dekat rumah sakit Bayu Asih. Mau ke sana, Zara?" jawab Bi Ikah.

Aku mengangguk pelan, tubuhku terasa begitu lelah.

"Zara siap-siap dulu, ganti baju atau mandi. Bi nanti minta Rey pulang dulu," kata Bi Ikah, sebelum berjalan keluar kamar.

"Iya, Bi. Zara lupa, kopernya masih ada di taksi," kataku.

"Sudah Bi pindahkan, Zara. Itu ada di samping kasur," jawab Bi Ikah sambil menunjuk koper kecil di samping tempat tidurku. Lalu ia menutup pintu kamar dengan perlahan.

Aku bangkit, mengambil koper yang berisi pakaian. Kamarku masih terlihat bersih dan terawat, seperti biasa. Selama setahun lebih, Bi Ikah benar-benar menjaga semuanya dengan penuh perhatian. Aku menghela napas, kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Pakaian-pakaian lama masih tertata rapi. Aku mencari pakaian berwarna hitam—aku harus mengenakan pakaian yang layak untuk berduka. Aku menemukannya, lalu bergegas pergi ke kamar mandi.

Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari kamar. Rumah ini terasa agak gelap, beberapa lampu memang sengaja dimatikan. Saat melangkah menuju ruang tengah, mataku menangkap sesuatu dari sudut pandang. Seorang sosok berdiri di tengah lorong yang mengarah ke dapur, membelakangiku.

"Bi?" panggilku pelan.

"Iya, Zara," sahut Bi Ikah dari ruang tengah.

Aku menoleh cepat ke ruang tengah, tetapi ketika aku melihat lorong, sosok itu sudah tidak ada.

Aku tidak berpikir macam-macam. Mungkin karena kelelahan, aku mulai berhalusinasi. Lalu, aku melanjutkan langkah menuju ruang tengah.

"Bi, tadi ada orang di dapur, siapa itu?" tanyaku, mencoba menghilangkan rasa penasaran.

"Enggak ada siapa-siapa di rumah, Zara," jawab Bi Ikah.

"Oh ya udah, salah lihat berarti," kataku sambil mengangguk.

"Iya, Zara. Mobil sudah datang. Mau pergi sekarang?" tanya Bi Ikah lembut.

"Iya, Bi," jawabku, mencoba menenangkan diri.

Kami berjalan ke luar rumah. Jupri, supir kami, sudah menyambut kami di samping mobil.

***

Sepanjang perjalanan ke rumah duka, aku terus menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Bayangan Sandy, adik kecilku yang kini telah pergi, terus menghantui pikiranku. Sesampainya di rumah duka, aku melihat banyak orang berkumpul—keluarga besar dan teman-teman sekolah Sandy. Kehadiranku membuat beberapa dari mereka terkejut, terutama keluarga besar. Mereka menghampiriku, berusaha menguatkan, sementara beberapa di antaranya mempertanyakan ketidakhadiranku saat Marcell meninggal.

Aku ingin sekali menjelaskan alasannya, tapi aku menahan diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Apa mereka tidak berpikir? Kakak mana yang tidak ingin menemani adiknya di saat-saat terakhir? Sampai detik ini, penyesalan itu tetap menghantuiku.

Setelah melewati berbagai ucapan belasungkawa, aku akhirnya berdiri di depan peti mati Sandy. Peti mati yang indah berwarna biru langit, seperti warna kesukaannya. Aku mendekat, menatap wajahnya untuk terakhir kalinya. Sandy tampak tampan, mengenakan setelan jas biru muda yang semakin membuatnya terlihat menawan.

"Sandy, maafin kakak," bisikku sambil memeluk peti matinya. "Kakak sayang Sandy. Sandy yang tenang ya di surga."

Setelah prosesi doa oleh pendeta, jenazah Sandy dibawa ke pemakaman keluarga—tempat Marcell berbaring selamanya. Aku pun ikut serta, mengikuti semua prosesi pemakaman, dan berkunjung ke makam Marcell. "Jaga Sandy di surga ya, Dek," batinku, kemudian berjalan keluar dari area pemakaman.

Di perjalanan pulang, aku lebih banyak melamun. Memikirkan reaksi Mama ketika ia bangun nanti. Bagaimana dia harus menghadapi kenyataan bahwa dua buah hatinya telah pergi.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Hanya Bi Ikah yang kuizinkan masuk untuk mengantarkan makan malam. Papa? Aku masih kesal padanya.

Aku berbaring, menangis sambil menatap beberapa foto keluarga yang ada di kamar. Siapa sangka, dua tahun lalu kami masih terlihat bahagia, liburan bersama. Sekarang, hanya tinggal aku, Papa, dan Mama yang masih terbaring di rumah sakit.

Mata mulai terasa berat. Namun, sebelum aku benar-benar tertidur, aku melihat ada bayangan hitam berdiri di belakangku—terpantul di kaca lemari yang ada di hadapanku. Dengan cepat aku membalikkan tubuh, tetapi bayangan itu menghilang.

"Udah waktunya tidur," batinku, sambil memeriksa jam di ponselku yang menunjukkan pukul 11 malam. Lalu aku menutup mata, dan tak lama kemudian, aku tertidur.

***

Zara!

Zara!

Sayup-sayup terdengar seseorang memanggilku dari luar kamar. Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju suara itu.

Zara!

Arah suara itu berasal dari dapur. Kulangkahkan kaki menuju dapur, melewati lorong yang gelap gulita.

Zara!

Mataku tertuju pada sosok yang sedang berdiri di dapur, membelakangiku.

"Zara!" ucap sosok itu lirih.

Aku baru tersadar bahwa suaranya mirip sekali dengan...

"Marcell?" tanyaku, terkejut. Sosok itu perlahan membalikkan tubuhnya.

"Marcell, bukannya kamu sudah...?" tanyaku dengan suara tercekat. Sosok itu perlahan membalikkan tubuhnya, wajah yang dulu sangat kukenal mulai terlihat samar-samar dalam cahaya remang. Mataku seakan tak bisa mempercayai apa yang kulihat.

"Zara, kenapa... kenapa kamu enggak datang?" suara Marcell terdengar lirih, seperti bisikan yang datang dari dunia yang jauh.

Aku mundur selangkah, jantungku berdegup kencang. "Tapi... kamu sudah... kamu sudah meninggal, Marcell. Aku..." aku tak bisa melanjutkan kalimatku, bibirku kaku, kata-kata seperti tercekat di tenggorokan.

Marcell tersenyum, tapi senyumnya terlihat begitu pahit, begitu jauh. "Zara, aku... aku enggak bisa pergi. Aku enggak bisa tenang kalau kamu masih seperti ini." Dia mengangkat tangan, seolah ingin menyentuhku, namun tubuhnya tetap jauh, bagaikan bayangan yang sulit dijangkau.

Aku terdiam, mataku terbuka lebar, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah ini hanya mimpi yang sangat nyata? "Marcell, kamu... kamu bukan dia. Kamu enggak bisa jadi dia. Marcell sudah... sudah meninggal." Suaraku nyaris tak terdengar, namun aku tahu dia mendengarnya.

"Zara, kenapa kamu harus menyiksa diri sendiri seperti ini? Kami semua... kami semua ingin kamu bahagia. Kami enggak bisa beristirahat tenang kalau kamu terus merana seperti ini," kata Marcell lagi, suaranya semakin memudar.

"Jangan! Jangan tinggalkan aku!" aku berteriak, hampir terisak, tapi saat aku berusaha mendekat, sosok itu perlahan menghilang, seperti kabut yang tertiup angin. Aku berdiri di tempat, tubuhku terasa kaku dan dingin. Tidak mungkin. Tidak mungkin ini terjadi. Marcell... Marcell tidak mungkin muncul begitu saja.

Aku melangkah mundur dengan hati yang berdebar kencang. Pintu dapur di depanku semakin menjauh, dan lorong yang gelap semakin terasa mengerikan. Aku berlari, kaki-kakiku seakan tak mampu menggerakkan tubuh ini lebih cepat. Sepertinya lorong ini tak ada ujungnya, seperti sebuah ruang tak berkesudahan yang terus menyedotku semakin dalam.

"Ada apa, Zara? Kenapa kamu lari?" Suara Bi Ikah terdengar di belakangku, dan aku menoleh dengan cepat.

Namun, di belakangku, bukan Bi Ikah yang kulihat. Melainkan sosok yang jauh lebih familiar, yang sangat aku kenal.

"Sandy?" aku berguman tak percaya, memandang sosok adikku yang sudah tiada.

Sandy tersenyum, wajahnya tampak lembut dan penuh kasih sayang. "Kak, kenapa kamu selalu kayak gini? Kamu harus bangkit, Kak. Aku... aku enggak mau kamu terus begini." Suaranya penuh dengan kehangatan yang membuat hatiku semakin teriris.

"Aku enggak kuat, Sandy... aku enggak bisa kehilangan kamu juga." Aku terisak, jatuh berlutut di tengah lorong yang terasa semakin panjang. Semua rasa sakit yang sudah terkubur dalam hatiku tiba-tiba meledak begitu saja. Aku merasa terperangkap dalam kenangan yang tak bisa kulepaskan.

Sandy menatapku dengan mata yang penuh pengertian. "Kak, kami semua cuma mau kamu bahagia. Kamu harus kuat. Kalau kamu terus terpuruk, kami enggak akan tenang di sana. Mama juga pasti ingin kamu bangkit."

Aku terdiam, air mataku terus mengalir tanpa bisa kubendung. "Tapi aku enggak tahu bagaimana lagi... aku enggak bisa hidup tanpa kalian berdua. Tanpa Marcell, tanpa Sandy... Rasanya dunia ini kosong."

Sandy melangkah maju, mengulurkan tangannya. "Kak, kalau kamu enggak bisa berdiri untuk diri sendiri, coba berdiri untuk Mama dan Papa. Mereka butuh kamu. Kami semua butuh kamu, Kak."

Aku menatap tangan Sandy yang terulur. Dengan perlahan, aku menggenggamnya, meskipun aku tahu bahwa tangannya tidak benar-benar ada. Itu hanya bayangan—bayangan yang aku ciptakan dalam pikiranku. Tapi rasanya, aku merasa lebih kuat.

"Sandy... aku akan mencoba, aku janji," bisikku, berharap kata-kataku bisa sampai kepadanya, meski aku tahu ia tak benar-benar bisa mendengarnya.

"Terima kasih, Kak," jawab Sandy dengan senyum lembut. Kemudian, ia mulai menghilang, semakin jauh, seperti sebuah embusan angin yang tak terlihat lagi.

Aku berdiri, tubuhku terasa lebih ringan, meskipun rasa sakit itu tetap ada, aku tahu kini aku harus berusaha lebih kuat. Aku tidak bisa membiarkan kenangan itu menghantuiku selamanya. Aku harus menghadapi kenyataan, untuk Sandy, untuk Marcell, dan untuk Mama serta Papa.

Aku berbalik, menatap lorong yang kini terasa lebih terang, seperti jalan baru yang terbuka. Tanpa sadar, aku melangkah keluar dari dapur dan menuju ruang tengah.

Bi Ikah melihatku dengan mata khawatir. "Zara, kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih terasa berat. "Iya, Bi. Aku... aku baik-baik saja." Aku mencoba tersenyum, meskipun itu terasa sangat dipaksakan.

"Tapi, Zara..." Bi Ikah ragu, "Kamu baru saja terlihat seperti... seperti orang yang hilang."

Aku menghela napas panjang. "Aku... aku hanya butuh waktu, Bi. Butuh waktu untuk sembuh."

Bi Ikah tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatapku, kemudian dengan lembut, ia berkata, "Kalau kamu butuh apa-apa, aku di sini."

Aku tersenyum kecil, berterima kasih pada Bi Ikah, meskipun aku tahu aku harus menempuh perjalanan ini sendirian. Aku harus belajar menerima kenyataan, bahwa hidup harus terus berjalan meskipun terkadang rasanya terlalu sulit untuk diterima.

Langkah pertama sudah kuambil. Sekarang, aku hanya perlu melanjutkan perjalanan ini.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • mungkin esok aku mati   Bab 6: Gambar

    ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang

    Last Updated : 2025-01-13
  • mungkin esok aku mati   Bab 7. Teror yang Menimpa Adikku

    Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an

    Last Updated : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 8. Si perempuan rambut panjang

    Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe

    Last Updated : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 9. Tanda kehidupan

    Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t

    Last Updated : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 10. Siluman ular

    Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd

    Last Updated : 2025-01-22
  • mungkin esok aku mati   Bab 11. Usir wanita itu!!!

    Aku terbaring di tempat tidur, tak mampu bergerak. Rasa takut menguasai setiap sel tubuhku. Sosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai lebat itu melayang di atasku, matanya yang melotot tajam menatapku dengan penuh kebencian. Setiap kali ia mendekat, aku merasa seolah-olah tubuhku beku, terperangkap dalam ketakutan yang mencekam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku, bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tidak bisa.Wanita itu, dengan tawa melengking yang menembus seluruh ruangan, terus mengalirkan hawa dingin ke dalam tubuhku. “USIR WANITA ITU!” Suaranya terdengar jelas, menggetarkan seluruh ruangan. Sungguh, aku merasa tubuhku tak lagi berada dalam kendali diriku sendiri. Semuanya tampak kabur, berputar, dan hilang dalam kegelapan.Tuk! Tuk! Tuk!Terdengar suara ketukan yang begitu keras dari pintu kamar. Suara yang membawaku kembali ke dunia nyata, meskipun ketakutanku belum juga mereda. "Zara, buka pintunya, Sayang," terdengar suara Papa dari luar. Tak lama kemudian, su

    Last Updated : 2025-02-03
  • mungkin esok aku mati   Bab 19: Pesugihan

    Sejak kami memasuki mobil, suasana di dalamnya begitu sunyi. Wajah Papa terlihat lelah, seperti baru saja melewati hari yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, menatap ke luar jendela, mencerna peristiwa yang terjadi sebelumnya.“Papa, bagaimana kemarin?” tanyaku setelah beberapa saat berlalu, berusaha memecah keheningan yang terasa kian menekan.Papa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Gimana apanya?” jawabnya sambil menyalakan mobil dan mulai mengendarai kami pulang.“Mbok Ikah meninggal, kenapa ya?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.“Kata dokter, kemungkinan besar karena serangan jantung,” jawab Papa sambil mengemudi.“Dokter tahu nggak, kapan Mbok Ikah meninggal?” tanyaku penasaran, mencoba merangkai petunjuk-petunjuk yang ada.“Kurang lebih 12 jam sebelum diperiksa di rumah sakit,” jawab Papa singkat.

    Last Updated : 2025-02-03
  • mungkin esok aku mati   Bab 12. Mimpi buruk

    "Mbok!" panggilku keras, suaraku hampir membentur dinding."Ya, Non?" jawab Mbok Ikah dari dapur, suaranya terdengar biasa saja, seakan tidak ada yang aneh.Bergegas aku melangkah menuju dapur, langkahku agak terburu-buru. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, meskipun aku tidak bisa mengatakan apa itu. Begitu sampai di dapur, aku melihat Mbok Ikah sedang sibuk memasak."Ada apa, Non? Kenapa teriak-teriak?" tanya Mbok Ikah dengan nada penuh rasa ingin tahu."Daritadi dipanggil nggak nyahut, kok bisa-bisanya," kataku agak kesal, meski aku tahu bahwa Mbok Ikah bukan orang yang sengaja mengabaikanku."Maaf, Non, Mbok tadi nggak denger," jawab Mbok Ikah sambil melanjutkan mengaduk masakan dalam wajan besar."Emang lagi masak apa, Mbok?" tanyaku sambil memperhatikan bahan-bahan yang ada di atas meja."Masak ayam suwir dan sayur kol," jawab Mbok Ikah, sambil sibuk dengan sayur kol yang sedang dipindah ke mangkuk besar."Oh, begitu,

    Last Updated : 2025-02-04

Latest chapter

  • mungkin esok aku mati   Bab 25. Tumbal Terakhir

    Sejam berlalu dengan hening, kami hanya duduk diam di dalam kamar, memproses segala yang baru saja terjadi. Keheningan ini hanya dipecahkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka."Kriet!" Pintu bergerak, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Mama. Kami segera menoleh ke arah pintu.“Zara, kamu tidak mau keluar cari sarapan?” tanya Mama, sambil melirikku saat perawat sedang memeriksanya.“Iya, Bun. Sebentar,” jawabku sambil melirik ke arah Andre, yang masih tenggelam dalam pandangannya pada ponsel."Udah aman," bisik Tante Vira, memberi isyarat bahwa situasi sudah terkendali.Aku kemudian bangkit, menarik tangan Andre yang masih terbuai dengan layar ponselnya. Dengan langkah ragu, aku melangkah keluar kamar.Kami memilih untuk membeli sarapan di sekitar rumah sakit, tidak ingin pergi terlalu jauh. Tubuhku memang sangat lelah, dan kurang tidur membuat langkahku semakin berat.Setelah sarapan, kami m

  • mungkin esok aku mati   Bab 24. Teror itu sudah datang

    Aku berdiri di dekat pintu kamar rumah sakit, menatap ke arah tempat tidur tempat Mama berbaring. Mataku penuh haru, seolah tak percaya bahwa Mama akhirnya sadar setelah sekian lama koma. Aku merasa gugup, hatiku dipenuhi banyak perasaan yang sulit dijelaskan."Mama!" Aku memanggilnya pelan, sedikit gemetar. Langkahku menuju ranjang Mama semakin mendekat."Zara..." Suara Mama terdengar lembut, namun penuh kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan betapa lelah dan terlukanya hati seorang ibu."Apa yang terjadi, Bun? Kenapa Mama bisa begini?" Tanyaku, mencoba untuk mencari jawaban atas semua yang sudah terjadi. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku."Kenapa kamu enggak bilang kalau Marcell dan Sandy sudah meninggal?" Mama akhirnya bertanya, suaranya terputus-putus. Ia tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang harus diterimanya."Maafkan Zara, Mama," jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku menggenggam tangan Mama, merasakan

  • mungkin esok aku mati   Bab 23: Menemui Mbah Susno

    Mataku terasa berat, saat mendengar kabar tentang kepergian Papa. Meskipun dia telah melakukan hal-hal yang tak termaafkan, dia tetaplah orang tua kandungku. Tidak mudah untuk mengabaikan rasa itu begitu saja."Zara, kamu di mana sekarang?" suara Om Har terdengar penuh kecemasan dari ujung telepon."Zara udah pulang ke Jerman, Om," jawabku sambil berusaha menahan suara yang mulai serak."Jangan bohong, Zara," jawab Om Har dengan nada yang tegas. "Tadi pagi Papa telepon, dia tanya kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia, kan?"Aku terdiam. Menghadapi kenyataan ini begitu sulit. Tidak tahu apa yang harus aku katakan."Zara, kamu kenapa sih? Sebenernya kamu ada masalah apa sama Papa?" Om Har kembali bertanya, seolah merasa ada sesuatu yang tak beres."Enggak ada masalah apa-apa, Om," jawabku, meskipun dalam hatiku ada banyak hal yang ingin kuungkapkan.Om Har mendengus pelan. "Zara, bohong lagi. Om tahu ada yang kamu se

  • mungkin esok aku mati   Bab 22. Kecelakaan

    Kereta yang aku tumpangi akhirnya sampai di Stasiun Yogyakarta tepat pukul lima sore. Dengan cepat, aku keluar dari gerbong dan langsung mencari transportasi yang bisa membawaku ke rumah Tante Vira. Berdasarkan alamat yang Mama berikan, rumah Tante Vira tak terlalu jauh dari stasiun.Tak lama setelah aku melangkah keluar stasiun, sebuah taksi melintas di depanku. Aku segera melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Setelah itu, aku memberitahu alamat yang hendak dituju. Sang sopir pun mengangguk dan segera menyalakan mesin taksi.Di dalam taksi, aku hanya duduk dengan tenang dan memandang pemandangan sekitar. Aku menikmati suasana Jogja yang mulai senja, udara yang terasa segar, dan kedamaian yang hadir setelah dua minggu penuh kecemasan dan ketegangan. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak merasa seutuh ini—tenang dan bebas.Setelah beberapa menit berkendara, taksi mulai memasuki kawasan perumahan dengan rumah-rumah bergaya minimalis. Aku menatap se

  • mungkin esok aku mati   Bab 21: Tak Disangka

    Aku merasakan tubuhku dihantam keras ke tanah. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang luar biasa. Nafasku sesak, dadaku terasa panas dan berdetak keras, namun aku tetap bertahan. Perlahan aku membuka mata. Sesosok wajah yang aku kenal muncul di hadapanku, wajah yang selama ini menjadi simbol perlindunganku, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar. Wajah itu adalah Papa."Zara, sayang," Papa memanggil dengan lembut, mencoba mendekatiku. Namun saat mataku menatapnya, amarahku kembali membara. Selama ini, dia lah yang menjadi sumber penderitaanku dan keluargaku. Dia yang menyebabkan kematian Marcell, Sandy, dan Mbok Ikah. Dia juga yang membuat Mama terbaring tak sadar."Papa!" aku berteriak, merasa sakit hati yang dalam. Rasanya aku ingin marah dan mengungkapkan semua kekesalanku, tapi kata-kata itu hanya keluar dalam isakan. "Papa jahat!" teriakku lagi, mendorong tubuhnya yang berdiri di dekatku. Aku tidak ingin ada yang menyentuhku, apalagi seorang pembunuh.

  • mungkin esok aku mati   Bab 20. Terungkap

    Aku berlari mendekati kamar Papa, jantungku berdebar kencang. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara Papa sedang berbicara dengan seseorang, namun kata-katanya terdengar tegang, seperti ada ketegangan yang begitu kuat."Apa yang kamu mau di sini?" suara Papa terdengar keras, menahan amarah."Saya ingin tahu janjimu!" jawab suara seorang wanita dengan nada tinggi dan penuh desakan."Saya sudah bilang, sabar!" Papa membalas dengan nada suara yang semakin meninggi."Waktunya sudah semakin dekat. Kamu masih harus cari dua tumbal lagi!" wanita itu berbicara dengan nada yang semakin tinggi, hampir seperti mengancam."Atau saya akan ambil anak itu!" lanjut wanita itu, yang membuat seluruh tubuhku merasa dingin.Kakiku terasa lemas. Bagaimana bisa Papa terlibat dalam semua ini? Bagaimana dia bisa tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan, sekarang aku menjadi sasarannya. Tiba-tiba, semua terasa seperti mi

  • mungkin esok aku mati   Bab 18. Tersadar dari koma

    Tanganku terasa gemetar saat memegang sepucuk surat dari Mbok Ikah. Rasa terkejut dan perasaan tidak percaya melanda hatiku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa segala pengorbanan Mbok Ikah ternyata demi keselamatanku. Air mataku pun mulai menetes, menyesali segala sikap dan perkataan kasar yang pernah kuucapkan padanya. "Seandainya aku membukakan pintu untuk Mbok Ikah dulu..." gumamku dalam hati. Penyesalan itu mengusik pikiranku tanpa henti.Dalam surat itu, Mbok Ikah menyebutkan nama Ratih, sosok wanita misterius yang sering muncul dalam bayanganku. Aku merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan Ratih? Apakah dia ingin membantuku atau malah bersekongkol dengan si Wanita Ular yang menakutkan itu? Terlebih lagi, sikap Ratih yang tiba-tiba menyuruhku untuk tidak membuka pintu waktu itu semakin menambah kecurigaanku. Apa maksudnya itu?Selain itu, ada juga Pak Salim. Apa benar dia yang terlibat dalam hal-hal berbau ilmu hitam yang Mbok Ikah sebutkan dalam sur

  • mungkin esok aku mati   Bab 17: Dugaan

    "Tok! Tok!""Non Zara," terdengar suara dari luar kamar."Masuk, Mbok!" jawabku, masih duduk di atas tempat tidur, memandangi sekeliling kamar yang terasa begitu sepi.Mbok Ikah memasuki kamar dengan senyum lembut di wajahnya, sambil membawa semangkuk sop ayam yang panas. Aromanya mengingatkanku pada masa-masa ketika kami masih sering memasak dan makan bersama di dapur."Mbok, tau aja Zara lagi lapar," kataku, merasa sedikit terhibur oleh perhatian Mbok Ikah.Mbok Ikah tersenyum manis. "Mbok selalu tahu, Non," jawabnya dengan lembut.Aku memandang sop ayam itu dan mendekatkan sendok ke mulutku. Rasanya begitu enak, meskipun di balik rasa lezat itu, hatiku terasa berat."Mbok semalem ke mana aja? Aku nungguin kok nggak diantar makanan sih. Kan lapar," keluhku, mencoba menggali lebih jauh tentang apa yang terjadi semalam.Mbok Ikah menunduk sejenak, wajahnya tampak sedih. "Mbok sudah pergi, Non.""Pagi-pagi begini pergi ke

  • mungkin esok aku mati   Bab 16. Salah tuduh

    Kegelapan malam terasa semakin pekat. Aku berdiri kaku di tengah kamar, mataku terfokus pada pintu yang sudah hampir terlewati, sementara suara teriakan Mbok Ikah semakin nyaring di luar. Namun, ada sesuatu yang lebih menakutkan yang menghalangiku untuk membuka pintu. Sesosok perempuan dengan rambut panjang, hitam, dan mengerikan berdiri tepat di depan pintu, menghalangi jalananku."Non! Tolong buka pintunya!" teriak Mbok Ikah, suaranya penuh dengan kepanikan.Namun, semakin aku mendekatkan diri, semakin aku merasa terjebak. Wanita dengan rambut panjang itu berdiri tanpa bergerak, wajahnya tertunduk, dan atmosfer di sekitarnya begitu mencekam. "Non, jangan buka pintunya!" suaranya terdengar lembut namun penuh peringatan.Tentu saja aku merasa ragu. Apakah aku harus mempercayai sosok ini yang jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan? Namun, suara Mbok Ikah yang semakin panik menambah kebingunganku. Aku tahu bahwa wanita yang ada di luar kamar itu adalah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status