Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?
"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku.
"Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran.
"Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan.
"Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik.
"Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya.
"Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.
Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"
Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang tergeletak di dalamnya. Tubuhku mulai lemas saat mengamati ukuran kantung jenazah itu.
"Kamu mau peluk untuk terakhir kalinya?" tanya Papa dengan suara yang hampir tak terdengar.
Aku hanya bisa termenung, tak sanggup berkata apa-apa.
"Mas, boleh dibuka sebentar?" perintah Papa pada salah satu petugas ambulan. Petugas itu membuka kantong jenazah dengan perlahan, dan seketika itu juga jantungku seperti terhenti. Di dalam kantung jenazah itu terbaring tubuh Sandy yang sudah terbujur kaku, hanya mengenakan celana pendek yang lusuh.
"Apa itu Sandy?" tanyaku dengan suara gemetar.
Papa mengulangi pertanyaannya dengan lembut, "Kamu mau peluk Sandy untuk terakhir kalinya?"
Aku merasa pusing, tubuhku kehilangan tenaga, dan pandanganku mulai gelap. Tanpa bisa mengendalikan diri, aku terjatuh dan pingsan.
"Sandy!" teriakku keras-keras, sebelum akhirnya kesadaranku hilang.
***
"Yang sabar, Zara," ucap Bi Ikah yang duduk di ujung tempat tidurku. Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku gemetar. Tangisan yang tak terbendung mengalir begitu saja, dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam.
"Zara, minum dulu." Bi Ikah menawarkan segelas teh hangat.
"Kenapa harus Sandy, Bi?" aku terisak, rasanya seperti dunia ini terlalu berat untuk dipikul.
"Sudah jalannya, Zara," jawab Bi Ikah dengan lembut.
"Kenapa harus Zara yang kehilangan dua adik dalam waktu lima bulan?" aku mengeluh, tidak bisa menerima kenyataan yang begitu pahit.
"Zara harus sabar," Bi Ikah mencoba menenangkan.
"Minum tehnya dulu, Zara," Bi Ikah kembali menawarkan. Aku meneguk sedikit, kemudian menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri.
"Bi, sekarang jenazah Sandy ada di mana?" tanyaku pelan, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
"Tadi Papa bilang, jenazah Sandy ada di rumah duka dekat rumah sakit Bayu Asih. Mau ke sana, Zara?" jawab Bi Ikah.
Aku mengangguk pelan, tubuhku terasa begitu lelah.
"Zara siap-siap dulu, ganti baju atau mandi. Bi nanti minta Rey pulang dulu," kata Bi Ikah, sebelum berjalan keluar kamar.
"Iya, Bi. Zara lupa, kopernya masih ada di taksi," kataku.
"Sudah Bi pindahkan, Zara. Itu ada di samping kasur," jawab Bi Ikah sambil menunjuk koper kecil di samping tempat tidurku. Lalu ia menutup pintu kamar dengan perlahan.
Aku bangkit, mengambil koper yang berisi pakaian. Kamarku masih terlihat bersih dan terawat, seperti biasa. Selama setahun lebih, Bi Ikah benar-benar menjaga semuanya dengan penuh perhatian. Aku menghela napas, kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Pakaian-pakaian lama masih tertata rapi. Aku mencari pakaian berwarna hitam—aku harus mengenakan pakaian yang layak untuk berduka. Aku menemukannya, lalu bergegas pergi ke kamar mandi.
Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari kamar. Rumah ini terasa agak gelap, beberapa lampu memang sengaja dimatikan. Saat melangkah menuju ruang tengah, mataku menangkap sesuatu dari sudut pandang. Seorang sosok berdiri di tengah lorong yang mengarah ke dapur, membelakangiku.
"Bi?" panggilku pelan.
"Iya, Zara," sahut Bi Ikah dari ruang tengah.
Aku menoleh cepat ke ruang tengah, tetapi ketika aku melihat lorong, sosok itu sudah tidak ada.
Aku tidak berpikir macam-macam. Mungkin karena kelelahan, aku mulai berhalusinasi. Lalu, aku melanjutkan langkah menuju ruang tengah.
"Bi, tadi ada orang di dapur, siapa itu?" tanyaku, mencoba menghilangkan rasa penasaran.
"Enggak ada siapa-siapa di rumah, Zara," jawab Bi Ikah.
"Oh ya udah, salah lihat berarti," kataku sambil mengangguk.
"Iya, Zara. Mobil sudah datang. Mau pergi sekarang?" tanya Bi Ikah lembut.
"Iya, Bi," jawabku, mencoba menenangkan diri.
Kami berjalan ke luar rumah. Jupri, supir kami, sudah menyambut kami di samping mobil.
***
Sepanjang perjalanan ke rumah duka, aku terus menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Bayangan Sandy, adik kecilku yang kini telah pergi, terus menghantui pikiranku. Sesampainya di rumah duka, aku melihat banyak orang berkumpul—keluarga besar dan teman-teman sekolah Sandy. Kehadiranku membuat beberapa dari mereka terkejut, terutama keluarga besar. Mereka menghampiriku, berusaha menguatkan, sementara beberapa di antaranya mempertanyakan ketidakhadiranku saat Marcell meninggal.
Aku ingin sekali menjelaskan alasannya, tapi aku menahan diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Apa mereka tidak berpikir? Kakak mana yang tidak ingin menemani adiknya di saat-saat terakhir? Sampai detik ini, penyesalan itu tetap menghantuiku.
Setelah melewati berbagai ucapan belasungkawa, aku akhirnya berdiri di depan peti mati Sandy. Peti mati yang indah berwarna biru langit, seperti warna kesukaannya. Aku mendekat, menatap wajahnya untuk terakhir kalinya. Sandy tampak tampan, mengenakan setelan jas biru muda yang semakin membuatnya terlihat menawan.
"Sandy, maafin kakak," bisikku sambil memeluk peti matinya. "Kakak sayang Sandy. Sandy yang tenang ya di surga."
Setelah prosesi doa oleh pendeta, jenazah Sandy dibawa ke pemakaman keluarga—tempat Marcell berbaring selamanya. Aku pun ikut serta, mengikuti semua prosesi pemakaman, dan berkunjung ke makam Marcell. "Jaga Sandy di surga ya, Dek," batinku, kemudian berjalan keluar dari area pemakaman.
Di perjalanan pulang, aku lebih banyak melamun. Memikirkan reaksi Mama ketika ia bangun nanti. Bagaimana dia harus menghadapi kenyataan bahwa dua buah hatinya telah pergi.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Hanya Bi Ikah yang kuizinkan masuk untuk mengantarkan makan malam. Papa? Aku masih kesal padanya.
Aku berbaring, menangis sambil menatap beberapa foto keluarga yang ada di kamar. Siapa sangka, dua tahun lalu kami masih terlihat bahagia, liburan bersama. Sekarang, hanya tinggal aku, Papa, dan Mama yang masih terbaring di rumah sakit.
Mata mulai terasa berat. Namun, sebelum aku benar-benar tertidur, aku melihat ada bayangan hitam berdiri di belakangku—terpantul di kaca lemari yang ada di hadapanku. Dengan cepat aku membalikkan tubuh, tetapi bayangan itu menghilang.
"Udah waktunya tidur," batinku, sambil memeriksa jam di ponselku yang menunjukkan pukul 11 malam. Lalu aku menutup mata, dan tak lama kemudian, aku tertidur.
***
Zara!
Zara!
Sayup-sayup terdengar seseorang memanggilku dari luar kamar. Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju suara itu.
Zara!
Arah suara itu berasal dari dapur. Kulangkahkan kaki menuju dapur, melewati lorong yang gelap gulita.
Zara!
Mataku tertuju pada sosok yang sedang berdiri di dapur, membelakangiku.
"Zara!" ucap sosok itu lirih.
Aku baru tersadar bahwa suaranya mirip sekali dengan...
"Marcell?" tanyaku, terkejut. Sosok itu perlahan membalikkan tubuhnya.
"Marcell, bukannya kamu sudah...?" tanyaku dengan suara tercekat. Sosok itu perlahan membalikkan tubuhnya, wajah yang dulu sangat kukenal mulai terlihat samar-samar dalam cahaya remang. Mataku seakan tak bisa mempercayai apa yang kulihat.
"Zara, kenapa... kenapa kamu enggak datang?" suara Marcell terdengar lirih, seperti bisikan yang datang dari dunia yang jauh.
Aku mundur selangkah, jantungku berdegup kencang. "Tapi... kamu sudah... kamu sudah meninggal, Marcell. Aku..." aku tak bisa melanjutkan kalimatku, bibirku kaku, kata-kata seperti tercekat di tenggorokan.
Marcell tersenyum, tapi senyumnya terlihat begitu pahit, begitu jauh. "Zara, aku... aku enggak bisa pergi. Aku enggak bisa tenang kalau kamu masih seperti ini." Dia mengangkat tangan, seolah ingin menyentuhku, namun tubuhnya tetap jauh, bagaikan bayangan yang sulit dijangkau.
Aku terdiam, mataku terbuka lebar, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah ini hanya mimpi yang sangat nyata? "Marcell, kamu... kamu bukan dia. Kamu enggak bisa jadi dia. Marcell sudah... sudah meninggal." Suaraku nyaris tak terdengar, namun aku tahu dia mendengarnya.
"Zara, kenapa kamu harus menyiksa diri sendiri seperti ini? Kami semua... kami semua ingin kamu bahagia. Kami enggak bisa beristirahat tenang kalau kamu terus merana seperti ini," kata Marcell lagi, suaranya semakin memudar.
"Jangan! Jangan tinggalkan aku!" aku berteriak, hampir terisak, tapi saat aku berusaha mendekat, sosok itu perlahan menghilang, seperti kabut yang tertiup angin. Aku berdiri di tempat, tubuhku terasa kaku dan dingin. Tidak mungkin. Tidak mungkin ini terjadi. Marcell... Marcell tidak mungkin muncul begitu saja.
Aku melangkah mundur dengan hati yang berdebar kencang. Pintu dapur di depanku semakin menjauh, dan lorong yang gelap semakin terasa mengerikan. Aku berlari, kaki-kakiku seakan tak mampu menggerakkan tubuh ini lebih cepat. Sepertinya lorong ini tak ada ujungnya, seperti sebuah ruang tak berkesudahan yang terus menyedotku semakin dalam.
"Ada apa, Zara? Kenapa kamu lari?" Suara Bi Ikah terdengar di belakangku, dan aku menoleh dengan cepat.
Namun, di belakangku, bukan Bi Ikah yang kulihat. Melainkan sosok yang jauh lebih familiar, yang sangat aku kenal.
"Sandy?" aku berguman tak percaya, memandang sosok adikku yang sudah tiada.
Sandy tersenyum, wajahnya tampak lembut dan penuh kasih sayang. "Kak, kenapa kamu selalu kayak gini? Kamu harus bangkit, Kak. Aku... aku enggak mau kamu terus begini." Suaranya penuh dengan kehangatan yang membuat hatiku semakin teriris.
"Aku enggak kuat, Sandy... aku enggak bisa kehilangan kamu juga." Aku terisak, jatuh berlutut di tengah lorong yang terasa semakin panjang. Semua rasa sakit yang sudah terkubur dalam hatiku tiba-tiba meledak begitu saja. Aku merasa terperangkap dalam kenangan yang tak bisa kulepaskan.
Sandy menatapku dengan mata yang penuh pengertian. "Kak, kami semua cuma mau kamu bahagia. Kamu harus kuat. Kalau kamu terus terpuruk, kami enggak akan tenang di sana. Mama juga pasti ingin kamu bangkit."
Aku terdiam, air mataku terus mengalir tanpa bisa kubendung. "Tapi aku enggak tahu bagaimana lagi... aku enggak bisa hidup tanpa kalian berdua. Tanpa Marcell, tanpa Sandy... Rasanya dunia ini kosong."
Sandy melangkah maju, mengulurkan tangannya. "Kak, kalau kamu enggak bisa berdiri untuk diri sendiri, coba berdiri untuk Mama dan Papa. Mereka butuh kamu. Kami semua butuh kamu, Kak."
Aku menatap tangan Sandy yang terulur. Dengan perlahan, aku menggenggamnya, meskipun aku tahu bahwa tangannya tidak benar-benar ada. Itu hanya bayangan—bayangan yang aku ciptakan dalam pikiranku. Tapi rasanya, aku merasa lebih kuat.
"Sandy... aku akan mencoba, aku janji," bisikku, berharap kata-kataku bisa sampai kepadanya, meski aku tahu ia tak benar-benar bisa mendengarnya.
"Terima kasih, Kak," jawab Sandy dengan senyum lembut. Kemudian, ia mulai menghilang, semakin jauh, seperti sebuah embusan angin yang tak terlihat lagi.
Aku berdiri, tubuhku terasa lebih ringan, meskipun rasa sakit itu tetap ada, aku tahu kini aku harus berusaha lebih kuat. Aku tidak bisa membiarkan kenangan itu menghantuiku selamanya. Aku harus menghadapi kenyataan, untuk Sandy, untuk Marcell, dan untuk Mama serta Papa.
Aku berbalik, menatap lorong yang kini terasa lebih terang, seperti jalan baru yang terbuka. Tanpa sadar, aku melangkah keluar dari dapur dan menuju ruang tengah.
Bi Ikah melihatku dengan mata khawatir. "Zara, kamu baik-baik saja?"
Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih terasa berat. "Iya, Bi. Aku... aku baik-baik saja." Aku mencoba tersenyum, meskipun itu terasa sangat dipaksakan.
"Tapi, Zara..." Bi Ikah ragu, "Kamu baru saja terlihat seperti... seperti orang yang hilang."
Aku menghela napas panjang. "Aku... aku hanya butuh waktu, Bi. Butuh waktu untuk sembuh."
Bi Ikah tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatapku, kemudian dengan lembut, ia berkata, "Kalau kamu butuh apa-apa, aku di sini."
Aku tersenyum kecil, berterima kasih pada Bi Ikah, meskipun aku tahu aku harus menempuh perjalanan ini sendirian. Aku harus belajar menerima kenyataan, bahwa hidup harus terus berjalan meskipun terkadang rasanya terlalu sulit untuk diterima.
Langkah pertama sudah kuambil. Sekarang, aku hanya perlu melanjutkan perjalanan ini.
BERSAMBUNG
ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang
Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an
Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe
Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t
Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd
Aku tak tahu harus mulai dari mana. Semua berjalan begitu cepat. Dalam waktu satu tahun, hidupku sudah berubah 180 derajat. Keluargaku hancur begitu saja. Segalanya berawal dari satu keputusan yang fatal, yang perlahan merenggut mereka satu per satu. Rasanya air mata ini sudah habis untuk menangisi kepergian mereka yang terlalu mendalam, sementara aku hanya bisa berdiri diam, menyaksikan semuanya terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa.Namaku Azarea Andini Sanjaya atau biasa dipanggil zara, anak pertama dari seorang pengusaha properti di timur pulau jawa milik Ardian Sanjaya nama dari papaku . Sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. Walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selang dua tahun kemudian, Papa menikah dengan seorang wanita bernama Erina Reswara . Wanita yang kini kusebut Mama., sangat baik padaku. Meski aku bukan anak kandungnya, Mama selalu merawatku dengan penuh cinta. Dari pernikahannya dengan Papa, aku mend
Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, ber
Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu."Hal..."Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal."Gawat?" Papa terdengar terkejut."Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku."Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat."Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam."Mama cerita?" tanya Papa."Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal."Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya.""Tapi,
Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku bergetar hebat. Mimpi itu begitu nyata dan menakutkan. Suara gamelan yang melambung, suara wanita itu yang memanggil-manggil namaku, semuanya seperti masih bergema di dalam kepalaku. Aku duduk tegak di ranjang, tanganku masih memegang selimut yang terkoyak sedikit karena aku terjaga secara mendadak. Sungguh, itu adalah mimpi yang paling menyeramkan yang pernah ku alami."Pantas saja," gumamku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Itu hanya mimpi, bukan kenyataan.” Namun, meskipun aku meyakinkan diriku sendiri, rasanya aku tak bisa sepenuhnya menepis perasaan takut yang menggelayuti.Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di kamar. Dug! Suara yang keras membuat jantungku hampir meloncat keluar. Aku terlonjak, langsung menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu?" bisikku cemas.Aku menekan tombol lampu meja di samping ranjang, mencoba mengusir kegelapan yang menyelubungi kamar. Tetapi saat lampu menyala, mataku terbelalak kaget. Di depan aku, berd
Mobil melaju perlahan, membawa kami melewati jalan-jalan yang sunyi. Malam semakin larut, dan hanya ada suara deru mesin mobil yang terdengar di antara keheningan. Aku duduk di samping Papa, menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa cemas yang menggelayuti hati. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di udara. Papa, yang biasanya sangat tenang dan terkendali, kali ini terlihat sangat gelisah.“Papa?” Panggilku pelan, mencoba menarik perhatian Papa yang masih menatap lurus ke depan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, karena Papa tak pernah berhenti menatap jembatan yang kami lewati.Papa akhirnya menoleh kepadaku, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Ini… tempat yang menyedihkan bagi Papa,” jawabnya dengan suara yang berat, hampir tak terdengar. Aku terkejut mendengar nada suara Papa yang begitu lemah.“Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba jadi begitu serius?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah mulai merasakan sesuatu yang t
Alarm ponselku berbunyi, memecah keheningan malam. Mataku yang masih berat, terpejam rapat, membuatku hanya menggapai ponsel di atas nakas untuk mematikannya. “Zara, bangun!” suara itu terdengar samar, memecah lamunanku.“Iya, bentar... masih ngantuk,” jawabku tanpa membuka mata, merasa enggan untuk terjaga.Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kesadaranku mulai pulih. Aku mulai merasa ada yang aneh. “Loh? Itu suara siapa?” batinku, pelan-pelan membuka mata, mencoba mencari asal suara.Dan tiba-tiba, teriakan tajam keluar dari mulutku, "Argh!" Aku melompat terkejut saat melihat sosok seorang wanita berambut panjang berdiri di dekat tempat tidur, tepatnya di sisi kanan tempat tidur, dekat nakas.Panik dan ketakutan langsung menguasai diriku. Dengan cepat, aku terjatuh ke sisi kiri tempat tidur, mencoba menjauh dari sosok itu sambil berteriak, “Pergi! Mau apa kamu? Pergi!”Namun, tidak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, hanya berdiri di sana, seakan tidak peduli dengan teriakanku. Pe
Sejak kecil, aku tidak pernah terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis. Meskipun kami tinggal di ujung timur Pulau Jawa, daerah yang terkenal dengan aura mistisnya, segala cerita tentang hantu, kutukan, atau roh-roh gentayangan hanyalah mitos di pikiranku. Tapi, baru sehari kembali ke rumah ini, aku sudah mengalami banyak kejadian aneh yang sulit dijelaskan dengan logika.Pikiranku terus mengulang-ulang kejadian tadi pagi, saat aku tidak bisa membuka pintu kamar Marcell. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas masuk ke sana dan tidak ada tanda-tanda keanehan. Ketika mencoba menarik kenop pintu lagi, tetap saja terkunci rapat, seperti ada sesuatu yang sengaja menahannya dari dalam. Aku masih berdiri terpaku di depan pintu, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. "Siapa yang tadi membuka pintunya?" pikirku, merasa ada yang tidak beres. Punggungku mulai dingin oleh rasa takut yang merayap perlahan. "Mungkin aku cuma terlalu capek," gumamku mencoba menghibur diri, meskipun firasat an
ARGH!Aku terbangun dengan tubuh terengah-engah, kepalaku berdenyut, dan napasku tersengal. Suara teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku, menggema di lorong yang tak berujung. Aku berlari, namun entah mengapa jalan itu selalu memanjang, seolah tak ada ujungnya. Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah cahaya. Semakin lama, cahaya itu semakin terang dan membutakan mataku...HUAAA!Aku berteriak keras, terbangun dari tidurku yang gelisah, dengan jantung yang berdetak tidak teratur. Tubuhku lemas, rasa haus melanda seketika. Segera aku meraih segelas air di meja nakas dan meminumnya dengan cepat. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti aku baru tidur sekitar dua jam yang lalu.Suasana rumah yang sunyi tiba-tiba diganggu oleh suara keras yang datang dari luar.PRANG!Bunyi benda jatuh itu terdengar begitu jelas, namun aku enggan untuk mengecek. Apa yang terjadi dengan rumah ini? Sudah lebih dari setahun aku meninggalkannya, dan kenapa rasanya semakin menakutkan? Ada sesuatu yang
Seharusnya kedatanganku hari ini untuk mengejutkan mereka, tapi kenapa aku yang mendapat kejutan? Jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?"Zara," kini Papa sudah ada di hadapanku."Mama, siapa yang meninggal?" tanyaku, penuh kebingungan dan kekhawatiran."Kamu ngapain pulang?" Papa bertanya balik, suaranya penuh kejutan."Mama, siapa yang meninggal?" aku semakin panik."Jawab dulu pertanyaan Papa! Kok kamu bisa di sini?" Papa bertanya keras, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya."Aku pengen pulang, Papa. Pengen ketemu Mama. Pengen peluk Sandy. Pengen lihat Papa juga," jawabku dengan emosional.Tiba-tiba, Papa tertunduk lesu. Tangannya meraih pundakku, lalu memelukku dengan erat. "Mama, jenazah siapa yang ada di dalam ambulan?" bisikku, hampir tak sanggup menahan rasa takut. "Apa itu Sandy?"Papa melepaskan pelukannya, menggenggam tanganku dengan lembut. Perlahan, ia menuntunku ke ambulan. Kini aku sudah berdiri di pintu belakang ambulan, menatap kantung jenazah berwarna hitam yang
Bibirku terasa kelu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Marcell. Padahal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengannya. "Kondisinya gimana, San?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata, berharap Marcell baik-baik saja."Kak Marcell sudah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruang ICU," balas Sandy, semakin membuat hatiku hancur."Kamu sekarang di mana?" tanyaku lagi, dengan suara yang sedikit gemetar."Aku di rumah sakit sama Bi Ikah.""Mama? Sudah kabarin Mama?""Sudah, Mama lagi mau pulang."Sandy bercerita lebih lanjut tentang kecelakaan yang menimpa Marcell. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan saat dia pulang setelah menjaga Mama di rumah sakit. Kecelakaan itu membuat Marcell tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis dengan luka serius di kepala, dan dokter sedang berusaha menyelamatkannya.Tak terasa, air mataku mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bis
Di tengah kecemasan akan kondisi Mama, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Papa?" batinku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Segera aku mengangkat panggilan telepon itu."Hal..."Belum sempat Papa menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Papa lagi ngapain sih? Gak tahu apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal."Gawat?" Papa terdengar terkejut."Iya, Mama sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku dengan suara tegang. "Mending sekarang Papa buru-buru pulang, kasihan Mama. Marcell sama Sandy juga gak mungkin bisa urus Mama di rumah sakit!" lanjutku."Iya, besok pagi Papa pulang," jawab Papa singkat."Papa juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Papa?" aku tidak bisa menahan emosi yang sudah terpendam."Mama cerita?" tanya Papa."Iya, kan emang udah seharusnya Zara tahu." jawabku, semakin kesal."Bukan gitu, Zara. Papa takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, Papa sudah dapat solusinya.""Tapi,
Sejak dua hari lalu, aku hanya bisa menatap layar ponselku, berharap Mama akan segera mengangkat video call dariku. Namun, seperti biasa, tidak ada satu pun respons. Pesan-pesan yang ku kirimkan juga tetap hanya tercatat dengan tanda centang satu. Rasanya cemas sekali, dan aku merasa seolah terperangkap dalam kebingunganku sendiri.Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa Papa membentak Mama dengan begitu marah? Apakah Mama baik-baik saja? Beragam pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku ingin sekali menghubungi Papa, namun rasa takut mencegahku. Aku tahu, jika aku terlalu banyak bertanya, Papa mungkin akan semakin marah. Namun, jika aku diam saja, apa yang akan terjadi?Semalam, aku mencoba tidur dengan harapan bisa sedikit melupakan kecemasan yang menggerogoti hatiku, namun tetap saja tidur itu datang dengan penuh kegelisahan. Pagi harinya, aku kembali mencoba menghubungi Mama. Namun, tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi Marcell dan Sandy, ber