Kepulangan Vika dan Rafael ke rumah membawa kehangatan yang telah lama hilang. Aldo menyambut mereka dengan senyum tulus dan pelukan erat, berusaha meyakinkan Vika bahwa ia bersungguh-sungguh dengan perubahan yang dijanjikannya. Beberapa minggu pertama terasa seperti bulan madu yang tertunda. Aldo berusaha keras untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, pulang tepat waktu, dan aktif terlibat dalam mengurus Rafael. Mereka kembali menikmati momen-momen sederhana seperti makan malam bersama, membacakan cerita sebelum tidur, dan menghabiskan akhir pekan di taman.Namun, di balik keharmonisan yang mulai terbangun, Vika masih menyimpan keraguan. Bayangan Karina dan ketidakpedulian Aldo di masa lalu masih menghantuinya. Ia mengamati setiap gerak-gerik Aldo, mencari tanda-tanda kebohongan atau kembalinya kebiasaan lama. Kepercayaan yang retak tidak semudah itu untuk dipulihkan.Suatu malam, saat mereka sedang menonton televisi bersama, telepon Aldo berdering. Nama yang tertera di layar mem
Hujan turun deras membasahi jalanan kota Jakarta sore itu. Vika berlari kecil, mencoba menghindari hujan dengan mendekap tasnya erat-erat. Langkahnya terburu-buru menuju halte bus terdekat. Namun, nasib berkata lain. Sebuah genangan air yang dalam tidak dapat dihindarinya, membuat sepatunya basah kuyup."Astaga! Hari ini benar-benar sial," gerutunya pelan.Saat ia tiba di halte, napasnya masih tersengal. Dari sudut mata, ia melihat seorang pria berdiri di sana, juga berteduh. Pria itu tinggi, dengan wajah tegas dan tatapan tajam. Ia mengenakan kemeja putih yang sedikit basah di bagian bahu, mungkin terkena percikan hujan. Tanpa sadar, Vika memperhatikannya."Kau basah kuyup," suara pria itu membuat Vika tersentak.Vika mengerjap, merasa malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan orang asing. "Iya, genangan air sialan ini membuat sepatuku seperti kolam renang mini," jawabnya sambil tersenyum kecil.Pria itu tersenyum tipis. "Ak
Sejak pertemuan di halte itu, Vika dan Aldo mulai sering bertemu. Bukan kebetulan, ternyata mereka bekerja di gedung yang sama, hanya berbeda lantai. Suatu pagi, tanpa sengaja, mereka bertemu di kafe kecil dekat kantor."Vika?" Aldo menyapanya dengan sedikit terkejut.Vika menoleh dan tersenyum. "Aldo! Kau juga suka kopi di sini?"Aldo mengangguk. "Ya, menurutku kopi di sini punya rasa yang khas. Kau suka kopi hitam atau yang manis?"Vika tertawa kecil. "Aku tim kopi manis. Kau?""Aku lebih suka yang pahit.""Wah, kontras sekali dengan seleraku," goda Vika.Aldo tersenyum. Percakapan mereka mengalir begitu saja, membuat keduanya semakin nyaman satu sama lain. Hari itu, tanpa mereka sadari, menjadi awal kebersamaan yang lebih dari sekadar pertemanan.Hari-hari berlalu dengan cepat. Setiap pagi, mereka secara tidak sengaja bertemu di kafe yang sama, memesan kopi yang sama, dan mengobrol tentang banyak ha
Hari-hari yang mereka habiskan bersama semakin mendekatkan hati mereka. Namun, kabar tentang kepindahan Aldo ke luar negeri mulai menjadi bayangan kelam dalam pikiran Vika.Suatu sore, di kafe yang biasa mereka kunjungi, Vika memberanikan diri untuk bertanya."Aldo, kapan kau akan berangkat?"Aldo menatapnya sejenak, lalu menghela napas berat. "Minggu depan, Vika. Aku mendapatkan kepastian tadi pagi."Vika merasa dadanya sesak. Ia tahu ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari Aldo membuat semuanya terasa lebih nyata. "Jadi... ini benar-benar terjadi."Aldo menggenggam tangannya di atas meja. "Aku ingin kita tetap berhubungan, Vika. Aku tidak ingin kehilanganmu."Vika tersenyum pahit. "Tapi hubungan jarak jauh itu sulit, Aldo. Kau tahu itu.""Aku tahu. Tapi aku percaya kita bisa melewatinya," jawab Aldo penuh keyakinan.Mereka berdua terdiam cukup lama, membiarkan kata-kata yang baru saja diuca
Malam telah berganti pagi, dan Vika masih terjaga di kamarnya. Ponselnya tergeletak di sampingnya, menampilkan layar obrolan dengan Aldo. Mereka telah mengirim pesan beberapa kali sejak keberangkatan Aldo, tetapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa kosong dalam hati Vika.Hari-hari pertama tanpa Aldo terasa begitu hampa. Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada kenangan mereka berdua. Warung kopi tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama, taman di mana mereka pertama kali bertemu, dan bahkan hujan yang turun membuatnya mengingat saat Aldo meminjamkan jaketnya kepadanya.Vika menatap langit dari balik jendela kamarnya. "Bagaimana kalau semuanya berubah? Bagaimana kalau dia bertemu seseorang di sana dan melupakanku?" gumamnya lirih.Ia mencoba menepis pikiran buruk itu, tetapi ketakutan dan keraguan terus menggerogoti hatinya. Jarak memang hanya sebuah angka, tetapi perasaan bisa berubah kapan saja. Aldo selalu meyakinkannya bahwa mereka bi
Hari-hari terus berjalan, dan jarak di antara Vika dan Aldo semakin terasa nyata. Dulu, mereka selalu berbicara setiap hari, berbagi cerita tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup mereka. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Percakapan mereka semakin jarang, dan ketika mereka berbicara, itu tidak lagi seperti dulu. Tidak ada lagi tawa yang mengalir dengan mudah, tidak ada lagi kata-kata manis yang menghangatkan hati. Vika mulai merasa semakin terasing. Ia mencoba mengalihkan perasaannya dengan fokus pada pekerjaannya, tetapi tetap saja pikirannya selalu kembali kepada Aldo. Setiap malam, ia menunggu pesan atau telepon dari Aldo, tetapi sering kali ia hanya mendapat balasan singkat atau bahkan tidak ada sama sekali. Hatinya semakin hancur, dan ia mulai bertanya-tanya, apakah Aldo masih mencintainya seperti dulu? KERAGUAN DAN KECEMASAN Suatu hari, Vika memutuska
Liburan di pantai memberikan suntikan energi baru bagi Vika dan Aldo. Mereka kembali ke rutinitas sehari-hari dengan semangat yang lebih besar. Vika semakin fokus pada karirnya di bidang desain grafis, sementara Aldo terus mengembangkan bisnisnya di bidang teknologi. Keduanya saling mendukung dalam setiap langkah yang diambil. Namun, kebahagiaan mereka tidak sepenuhnya sempurna. Meskipun hubungan mereka semakin membaik, Vika masih memiliki sedikit keraguan di hatinya. Ia merasa perlu untuk memastikan bahwa mereka benar-benar berada di jalur yang benar sebelum melangkah lebih jauh dalam hubungan ini. Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam di restoran favorit mereka, Aldo tiba-tiba berkata, "Vika, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu." Vika menatap Aldo dengan penuh perhatian. "Ada apa?" "Aku sudah memikirkannya matang-matang," kata Aldo sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin kita merencanakan masa depan bersama. Aku ingin kita serius." Vika terkejut me
Setelah pernikahan yang bahagia dan bulan madu yang menyenangkan, Vika dan Aldo kembali ke rutinitas mereka dengan semangat baru. Namun, kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Munculnya konflik baru mulai menguji kekuatan cinta mereka. Beberapa bulan setelah kembali dari bulan madu, Aldo mulai merasakan tekanan di tempat kerjanya. Proyek baru yang dipegangnya ternyata lebih rumit daripada yang diperkirakan. Ia harus menghadapi tenggat waktu yang ketat dan tuntutan dari atasannya. Sementara itu, Vika juga sibuk dengan proyek desain grafisnya yang menuntut perhatian penuh. Keduanya berusaha untuk saling mendukung, tetapi sering kali mereka merasa lelah dan stres. Aldo sering pulang larut malam, dan Vika merasa kesepian di rumah. Meskipun mereka saling mencintai, jarak emosional mulai terasa di antara mereka. Suatu malam, saat Vika menunggu Aldo pulang, ia menerima pesan dari Rina, sahabatnya. Rina mengajak Vika untuk keluar bersamanya. "Kita butuh waktu untuk bersantai! Ayo kita
Kepulangan Vika dan Rafael ke rumah membawa kehangatan yang telah lama hilang. Aldo menyambut mereka dengan senyum tulus dan pelukan erat, berusaha meyakinkan Vika bahwa ia bersungguh-sungguh dengan perubahan yang dijanjikannya. Beberapa minggu pertama terasa seperti bulan madu yang tertunda. Aldo berusaha keras untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, pulang tepat waktu, dan aktif terlibat dalam mengurus Rafael. Mereka kembali menikmati momen-momen sederhana seperti makan malam bersama, membacakan cerita sebelum tidur, dan menghabiskan akhir pekan di taman.Namun, di balik keharmonisan yang mulai terbangun, Vika masih menyimpan keraguan. Bayangan Karina dan ketidakpedulian Aldo di masa lalu masih menghantuinya. Ia mengamati setiap gerak-gerik Aldo, mencari tanda-tanda kebohongan atau kembalinya kebiasaan lama. Kepercayaan yang retak tidak semudah itu untuk dipulihkan.Suatu malam, saat mereka sedang menonton televisi bersama, telepon Aldo berdering. Nama yang tertera di layar mem
Setelah berjanji untuk lebih terbuka dan saling mendukung, Vika dan Aldo berusaha memperbaiki hubungan mereka. Namun, ketegangan yang terus meningkat dari pekerjaan, gangguan Karina, dan tanggung jawab sebagai orang tua mulai menguji komitmen mereka. Pada bagian ini, konflik semakin intens, membawa mereka pada titik di mana keputusan besar harus diambil. Aldo semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Proyek teknologi yang ia kerjakan mendapat perhatian besar dari perusahaan, tetapi juga membawa tekanan yang luar biasa. Ia sering pulang larut malam dengan wajah lelah dan pikiran yang penuh. Vika, di sisi lain, mulai merasa bahwa Aldo tidak lagi memberikan waktu untuk keluarga mereka. Suatu malam, saat Aldo pulang lebih larut dari biasanya, Vika mencoba berbicara dengannya. "Aldo, kita perlu bicara," katanya dengan nada serius. Aldo melepaskan jasnya dan duduk di sofa tanpa menatap Vika. "Aku tahu apa yang akan kamu katakan, Vika. Aku minta maaf karena terlalu sibuk." “Tidak hanya sibu
Setelah pernikahan yang bahagia dan bulan madu yang menyenangkan, Vika dan Aldo kembali ke rutinitas mereka dengan semangat baru. Namun, kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Munculnya konflik baru mulai menguji kekuatan cinta mereka. Beberapa bulan setelah kembali dari bulan madu, Aldo mulai merasakan tekanan di tempat kerjanya. Proyek baru yang dipegangnya ternyata lebih rumit daripada yang diperkirakan. Ia harus menghadapi tenggat waktu yang ketat dan tuntutan dari atasannya. Sementara itu, Vika juga sibuk dengan proyek desain grafisnya yang menuntut perhatian penuh. Keduanya berusaha untuk saling mendukung, tetapi sering kali mereka merasa lelah dan stres. Aldo sering pulang larut malam, dan Vika merasa kesepian di rumah. Meskipun mereka saling mencintai, jarak emosional mulai terasa di antara mereka. Suatu malam, saat Vika menunggu Aldo pulang, ia menerima pesan dari Rina, sahabatnya. Rina mengajak Vika untuk keluar bersamanya. "Kita butuh waktu untuk bersantai! Ayo kita
Liburan di pantai memberikan suntikan energi baru bagi Vika dan Aldo. Mereka kembali ke rutinitas sehari-hari dengan semangat yang lebih besar. Vika semakin fokus pada karirnya di bidang desain grafis, sementara Aldo terus mengembangkan bisnisnya di bidang teknologi. Keduanya saling mendukung dalam setiap langkah yang diambil. Namun, kebahagiaan mereka tidak sepenuhnya sempurna. Meskipun hubungan mereka semakin membaik, Vika masih memiliki sedikit keraguan di hatinya. Ia merasa perlu untuk memastikan bahwa mereka benar-benar berada di jalur yang benar sebelum melangkah lebih jauh dalam hubungan ini. Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam di restoran favorit mereka, Aldo tiba-tiba berkata, "Vika, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu." Vika menatap Aldo dengan penuh perhatian. "Ada apa?" "Aku sudah memikirkannya matang-matang," kata Aldo sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin kita merencanakan masa depan bersama. Aku ingin kita serius." Vika terkejut me
Hari-hari terus berjalan, dan jarak di antara Vika dan Aldo semakin terasa nyata. Dulu, mereka selalu berbicara setiap hari, berbagi cerita tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup mereka. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Percakapan mereka semakin jarang, dan ketika mereka berbicara, itu tidak lagi seperti dulu. Tidak ada lagi tawa yang mengalir dengan mudah, tidak ada lagi kata-kata manis yang menghangatkan hati. Vika mulai merasa semakin terasing. Ia mencoba mengalihkan perasaannya dengan fokus pada pekerjaannya, tetapi tetap saja pikirannya selalu kembali kepada Aldo. Setiap malam, ia menunggu pesan atau telepon dari Aldo, tetapi sering kali ia hanya mendapat balasan singkat atau bahkan tidak ada sama sekali. Hatinya semakin hancur, dan ia mulai bertanya-tanya, apakah Aldo masih mencintainya seperti dulu? KERAGUAN DAN KECEMASAN Suatu hari, Vika memutuska
Malam telah berganti pagi, dan Vika masih terjaga di kamarnya. Ponselnya tergeletak di sampingnya, menampilkan layar obrolan dengan Aldo. Mereka telah mengirim pesan beberapa kali sejak keberangkatan Aldo, tetapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa kosong dalam hati Vika.Hari-hari pertama tanpa Aldo terasa begitu hampa. Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada kenangan mereka berdua. Warung kopi tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama, taman di mana mereka pertama kali bertemu, dan bahkan hujan yang turun membuatnya mengingat saat Aldo meminjamkan jaketnya kepadanya.Vika menatap langit dari balik jendela kamarnya. "Bagaimana kalau semuanya berubah? Bagaimana kalau dia bertemu seseorang di sana dan melupakanku?" gumamnya lirih.Ia mencoba menepis pikiran buruk itu, tetapi ketakutan dan keraguan terus menggerogoti hatinya. Jarak memang hanya sebuah angka, tetapi perasaan bisa berubah kapan saja. Aldo selalu meyakinkannya bahwa mereka bi
Hari-hari yang mereka habiskan bersama semakin mendekatkan hati mereka. Namun, kabar tentang kepindahan Aldo ke luar negeri mulai menjadi bayangan kelam dalam pikiran Vika.Suatu sore, di kafe yang biasa mereka kunjungi, Vika memberanikan diri untuk bertanya."Aldo, kapan kau akan berangkat?"Aldo menatapnya sejenak, lalu menghela napas berat. "Minggu depan, Vika. Aku mendapatkan kepastian tadi pagi."Vika merasa dadanya sesak. Ia tahu ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari Aldo membuat semuanya terasa lebih nyata. "Jadi... ini benar-benar terjadi."Aldo menggenggam tangannya di atas meja. "Aku ingin kita tetap berhubungan, Vika. Aku tidak ingin kehilanganmu."Vika tersenyum pahit. "Tapi hubungan jarak jauh itu sulit, Aldo. Kau tahu itu.""Aku tahu. Tapi aku percaya kita bisa melewatinya," jawab Aldo penuh keyakinan.Mereka berdua terdiam cukup lama, membiarkan kata-kata yang baru saja diuca
Sejak pertemuan di halte itu, Vika dan Aldo mulai sering bertemu. Bukan kebetulan, ternyata mereka bekerja di gedung yang sama, hanya berbeda lantai. Suatu pagi, tanpa sengaja, mereka bertemu di kafe kecil dekat kantor."Vika?" Aldo menyapanya dengan sedikit terkejut.Vika menoleh dan tersenyum. "Aldo! Kau juga suka kopi di sini?"Aldo mengangguk. "Ya, menurutku kopi di sini punya rasa yang khas. Kau suka kopi hitam atau yang manis?"Vika tertawa kecil. "Aku tim kopi manis. Kau?""Aku lebih suka yang pahit.""Wah, kontras sekali dengan seleraku," goda Vika.Aldo tersenyum. Percakapan mereka mengalir begitu saja, membuat keduanya semakin nyaman satu sama lain. Hari itu, tanpa mereka sadari, menjadi awal kebersamaan yang lebih dari sekadar pertemanan.Hari-hari berlalu dengan cepat. Setiap pagi, mereka secara tidak sengaja bertemu di kafe yang sama, memesan kopi yang sama, dan mengobrol tentang banyak ha
Hujan turun deras membasahi jalanan kota Jakarta sore itu. Vika berlari kecil, mencoba menghindari hujan dengan mendekap tasnya erat-erat. Langkahnya terburu-buru menuju halte bus terdekat. Namun, nasib berkata lain. Sebuah genangan air yang dalam tidak dapat dihindarinya, membuat sepatunya basah kuyup."Astaga! Hari ini benar-benar sial," gerutunya pelan.Saat ia tiba di halte, napasnya masih tersengal. Dari sudut mata, ia melihat seorang pria berdiri di sana, juga berteduh. Pria itu tinggi, dengan wajah tegas dan tatapan tajam. Ia mengenakan kemeja putih yang sedikit basah di bagian bahu, mungkin terkena percikan hujan. Tanpa sadar, Vika memperhatikannya."Kau basah kuyup," suara pria itu membuat Vika tersentak.Vika mengerjap, merasa malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan orang asing. "Iya, genangan air sialan ini membuat sepatuku seperti kolam renang mini," jawabnya sambil tersenyum kecil.Pria itu tersenyum tipis. "Ak