Bab.21 Rindu yang Menyiksa Ryan memindai wajah itu. Lekat dan lama, dia merasa tersihir oleh pesona pemuda itu. Senyuman itu, sorot mata itu, garis rahang itu. Ah, Ryan menggeleng! Jika dia saja dengan mudah terpesona oleh sopan santun pemuda itu bagaimana dengan anak gadisnya?“Oh, kamu yang namanya Rey?” “Iya, Om.”“Zora tiap hari cerita tentang kamu.”“Papa!” Zora melotot pada Papanya.“Apa?” tanya Ryan. “Ya sudah. Turun sana, naik motor bisa nyelip-nyelip. Nunggu selesai macet pasti bakalan lama, Ra.”Tak menyangka hati Papa akan mudah sekali luluh begitu melihat wajah Rey. Zora terheran-heran dengan sikap Papanya. Ini, jangan-jangan Papa berpikir kalau Rey adalah pacarnya.“Tolong jaga Zora ya,” kata Ryan begitu Rey menarik setang gas. Dari dalam mobil dia terus mengawasi hingga kedua muda-mudi itu hilang dari pandangannya. Ah, melihat keduanya Ryan jadi teringat masa yang telah terlewat. Dulu s
Bab.22 Lukisan untuk Nisa“Ryan...Ryan. Kamu tidak peka dengan perasan wanita.” Nisa berdiri lalu berjalan ke dekat sofa, mengambil tas yang dia letakkan di atas meja.“Benar. Jika saya waktu itu peka. Saya tidak akan kehilangan istri saya.”“Lisa mencintai kamu.”“Dan saya mencintai kamu.” Ryan bangkit dan bergerak mendekat kepada Nisa. Nisa menunduk. Untuk pertama kalinya dia mendengar kata cinta terucap dari bibir Ryan. Tidak! Itu pasti hanya omong kosong pria di depannya.“Katakan sekali lagi. Saya ingin mendengarnya.” Nisa memberanikan diri menatap mata Ryan. Ryan menelan ludah. Tidak semudah itu mengatakan perasan kepada Nisa. Tadi dia hanya keceplosan. Ryan menggeleng pelan.“Mari saya antar lihat-lihat ke bawah.” Ryan mengalihkan pembicaraan.Nisa tersenyum sinis. Benar dugaannya, itu hanya omong kosong Ryan. “Saya boleh ambil foto Zora?”“Jangan. Nanti Anda menculik dia.”Nisa menginjak kaki Ryan dengan keras. “Ya sudah. Tapi awas kalau Anda menculik anak gadis saya.”“Di
Bab.23 Lukisan untuk Nisa (b)“Ada. Sudah dikasih susu tapi enggak mau. Sesekali tidurlah di sini temani Zora.”“Enggak enak sama tetangga.”“Ya nginepnya pas di rumah enggak ada aku sama Bapak. Kamis depan kami ke peternakan. Nginep di sana. Jadi, kamu bisa bebas tidur di sini.”“Akan aku pertimbangkan.” Lisa kecewa mendengar jawaban Ryan. Pria itu hatinya bagai tak tersentuh. Atau mungkin sudah mati rasa? Entah, Lisa pusing memikirkan itu.Ryan mengamati perubahan air muka Lisa. Dia tersenyum lalu menggeleng. Lisa memang menarik, bolehlah dikatakan cantik. Namun hati Ryan tidak sedikitpun tergelitik. Dan lagi Lisa masih punya suami, meski wanita itu tidak pernah memperkenalkan suaminya secara langsung.“Mas Ryan, bisa kita bicara berdua?”“Bicara saja.”“Hmm, bukan di sini.”“Sama saja kita sedang berdua, kan?”Lisa menarik kursi di sebelah Ryan lalu mendudukinya. Dia berpangku tangan sembari tersenyum memperhatikan Ryan. Dilihat dari segala sudut pandang, pria itu tetap menarik per
Bab.24 Bagaimana Kalau Aku Memaksa?“Mas Ryan masih cinta sama Mbak Nisa?”“Tentu. Dia cinta pertama. Dan aku pastikan dia pula yang terakhir. The one and only. Satu-satunya di sini.” Ryan menunjuk dadanya dengan kuas yang dia pegang.Lisa menutup mulut dengan telapak tangan kirinya. Sementara sebelah tangganya menopang pada dinding. Pijakan kakinya limbung.“Kamu kenapa Lis?”“Aku cinta sama kamu, Mas.”Kuas di tangan Ryan jatuh. Dia mengubah posisi duduk menghadap kepada Lisa yang kini menatap dengan nyalang. Sungguh, tak pernah menyangka bahwa wanita muda itu akan berani menyatakan cinta, sedangkan dia masih berstatus sebagai istri orang.“Aku cinta sama kamu. Apa kamu buta dengan semua perhatian yang aku berikan selama ini?”“Lisa?”“Aku kira semua perhatian yang Mas Ryan berikan padaku dan Reyza adalah sebentuk cinta. Ternyata aku salah menduganya. Aku yang terlalu percaya diri.”Ryan mengusap wajah. Dia menghela nafas lalu mengembuskan kasar. Tak kuasa Ryan bersihadap dengan L
Bab.25 Kamu Ketahuan, Sa♧♧♧Raya mengakhiri sambungan telepon dari Nisa begitu sampai di depan pintu rumah Ryan. Bekas teman satu kost itu meminta dirinya datang menjenguk Zora. Sekaligus mengirim informasi tentang perkembangan bayi perempuan yang kini berusia tujuh bulan.Merepotkan benar memang temannya yang satu itu. Seminggu sekali Raya harus menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga Adji Anggoro guna memastikan keadaan Zora. Mencatat setiap pertumbuhan bayi berpipi bakpao itu lalu disampaikan kepada Nisa. Tak habis pikir ulah Nisa, bukannya bertanya langsung pada Ryan. Eh, wanita itu justru menyuruh Raya menjadi antek. Apa namanya kalau bukan antek jika diam-diam mengambil foto bayi itu?“Mbok Narti...,” panggil Raya setelah mengetuk pintu. “Ini aku, Mbok. Aku Raya....”Tak ada sahutan. Raya mencoba membuka pintu. Dan, beruntung sekali hari ini. Pintu tidak dikunci, Raya bebas masuk tanpa menunggu dibukakan dari dalam.“Mbok,” sapa Raya begitu dia melewati ruang tengah dan
Bab.26 Bagaimana Kalau Zora Kangen?“Kamu ketahuan, Sa.” Raya menyeringai sambil mengedipkan sebelah mata. Memberi kode pada Lisa bahwa dia sudah menyimpan kartu As wanita muda itu.Lisa menyorot tajam mata Raya.“Mau lari ke mana?”Ryan hanya melongo melihat kedua wanita di depannya bersitegang. Di sini, dalam situasi begini, Ryan merasa bagaikan anak keledai yang tak menahu persoalan orang lain.“Ada apa Raya?” tanya Ryan setelah Lisa meninggalkan ruang kerjanya. “Kamu merahasiakan sesuatu tentang Lisa?”“Enggak,” sahut Raya tenang. Meskipun dia tahu satu rahasia besar tentang suami Lisa yang ternyata seorang penipu, Raya tidak akan mungkin memberitahu Ryan. Biar saja itu menjadi rahasia Raya.“Terima kasih kamu datang di waktu yang tepat.”“Yakin?” cibir Raya setengah tak percaya pada Ryan. “Kamu menikmati kok.”Ryan mengangkat bahu sambil berlalu. Dia harus menemui Lisa, harus bicara baik-baik pada wanita itu.“Lisa di mana, Mbok?” Ryan bertanya pada Mbok Narti yang tengah menidur
Bab.27 Surat Cinta“Bagaimana kalau Zora kangen?” tanya Ryan parau. Bayi perempuannya begitu dekat dengan Lisa. “Reyza juga pasti akan kangen sama Papanya,” sahut Lisa seiring dengan senyuman terbaiknya.“Nanti Papanya Zora kangen loh sama kamu,” sindir Raya ikut menimpali. Geram sedari tadi diam saja. “Aku juga akan kangen sama Mas Ryan.” Lisa tak mau kalah. Dia hanya menyulut api, koreknya Raya yang menyediakan. Jadi, jangan salahkan bila api itu justru balik membakar hati Raya.Ryan menggaruk tengkuk leher. Kehilangan Nisa membuatnya pusing. Menjadi duda muda nan rupawan ternyata tidaklah mudah. Bukan hanya gadis, bahkan wanita yang masih bersuami sekalipun mengejar cintanya. Huh, Ryan geleng-gelang kepala memikirkan masa depannya nanti.“Aku boleh pamitan dulu sama Zora?” Tentu saja boleh. Siapa yang akan melarang seorang ibu bertemu anaknya? Ryan tersenyum kecut membayangkan saat terakhir kali bertemu Nisa. Malam itu dia dengan lantang melarang wanita itu untuk bertemu dengan
Kejutan Paling Mengejutkan“Opa bilang gue punya saudara susu.” Zora memberi tahu satu kejutan yang paling mengejutkan.“Hah?”“Namanya Reyza.”“Hah? Reyza? Reyza Mahendra maksud lu? Teman sekelas kita?” Dengan lantang Lani menyahut omongan Zora. Kali ini dia benar-benar terkejut mendengar pengakuan sahabat baiknya.Zora menyeringai. Entah lah, Reyza yang mana dia tidak tahu. Tinggalnya di mana juga Zora belum tahu. Papa bilang kehilangan jejak mereka.“Sial banget lu kalau beneran si Eza yang jadi saudara susu lu,” kelakar Lani setelah berhasil meredam keterkejutan yang membuat kepalanya berdenyut.“Kenapa begitu?”“Eza ganteng, Zora!”“Memang!”Apa salahnya punya saudara sepersusuan yang ganteng dan juara kelas. Ya, walaupun pembawaan pemuda itu kaku. But, tidak masalah buat Zora. Yang penting enak dipandang. Dan satu lagi...apa sialnya punya saudara ganteng?“Kalian enggak boleh pacaran.”Tunggu! Pacaran Lani bilang? Siapa yang naksir siapa? Zora memang suka dengan Eza, mengakui ke
Akhir Sebuah Awal“Beneran motor Damar. Ngapain dia di sini? Katanya lagi di tempat Zora?“ Rey garuk-garuk kepala setelah melihat nomor polisi sepeda motor tersebut. Bodoh amat! Bukan urusan Rey, dia berlari mengejar Om Salman dan Mamanya. Mereka berdiam diri di depan pintu. Rey melongok ke dalam. Untung dia lebih tinggi dari Om Salman dan Mamanya. Namun sayang, dia tidak bisa melihat jelas sepasang mempelai di depan sana. Kedua mempelai berdiri membelakangi tengah sibuk menyalami para tamu undangan.“Kita telat, Om. Acara akad udah kelar.” Sungguh, Rey berharap semoga mereka langsung pulang.“Kita masuk sekarang?” Salman menepuk punggung Sandra. Kemudian menggamit lengan adiknya itu.Sandra mengangguk saja. Tak bisa membohongi hati, bila dia benar cemburu. Sandra pernah berpikir setelah kepergian Nisa dari hidup Ryan, wanita yang menjadi ibu kandung anak susunya itu tidak akan pernah muncul lagi. Namun kadang kenyataan tak sesuai dengan harapan. “Assalamualaikum,” sapa Salman mem
Pernikahan Kedua“Yan, gimana perasaan kamu ketemu Lisa?”Seketika rasa legit itu menjelma jadi pahit. Ryan tercekat dengan pertanyaan Nisa. Untuk menjabarkan tentang perasaannya tidak akan mudah. Ada senang ada juga kecewa.Senang karena Ryan tak perlu jauh-jauh mencari keberadaan ibu susu Zora. Kecewa karena ternyata selama belasan tahun telah dibohongi oleh wanita bernama asli Sandra A. Hutama.“Entah.”“Harusnya dari dulu aku bilang sama kamu. Tapi setiap ingat kelakuan kalian... aku sedih, Yan. Kamu hampir tergoda.”Ryan mengaku salah. Dia pria normal yang butuh penyaluran hasrat. Ketika ada seorang wanita yang dengan sukarela menawarkan tubuhnya, dia pun tergoda. Beruntung waktu itu dia bisa menguasai diri. Dan lebih mujur karena saat itu Raya datang di waktu yang tepat.“Maafkan aku, Nis.”“Kamu enggak mau minta maaf karena menceraikan aku?”“Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku minta maaf atas semua sakit hati dan kesulitan yang kamu rasakan. Aku mi
Cinta Pertama Rey“Eza, boleh kita ikut belajar bareng lu?” tanya Zora pada sang juara kelas. Mimpi apa Eza tadi malam, pagi-pagi sudah mendapati Zora dan Lani di depan pintu. Dia saja baru sampai, belum duduk belum ambil nafas. Ambil nafas sih jelas sudah, ada-asa saja Eza!“Boleh, ayo!” Eza sengaja menarik tangan Lani. Mau menarik tangan Zora, dia belum berani. Zora masih sedingin bongkahan gunung es. Sulit untuk menaklukkan hati Zora. Setidaknya begitulah pendapat Eza. “Bukan sekarang.” Zora masih berdiri di depan pintu. Baik Eza maupun Lani menoleh ke belakang. Lani bahkan sudah geregetan menghadapi tingkah Zora. “Kapan?” tanya Eza. “Maksudnya, kapan saja terserah kamu,” ralat pemuda itu cepat. Zora tersenyum canggung. Tujuan utama belajar bersama Eza bukanlah untuk memperbaiki nilai ulangan. Ada satu misi khusus yakni menyelidiki tentang kehidupan pribadi pemuda itu dan Mamanya yang bernama Elisa.Meski kemungkinannya sangat kecil, tapi Zora sangat berharap bahwa Eza adala
Menuang Rindu“Sandra Aurelisa Hutama. Apa kabar kamu, sudah lama kita tidak berjumpa?”“Lisa?” tanya Ryan tak kalah kaget. “Kamu benar Lisa?”“Lisa?” Salman lebih kaget. Kejutan yang diberikan Nisa berkali lipat dari dugaannya. “Kalian mengenal adik saya?”Sandra menggigit bibir. Tak menyangka bahwa dia akan bertemu lagi dengan Nisa dan Ryan. Orang-orang yang ingin dia hindari justru datang tepat di hadapannya. Kebohongan yang dia rangkai dengan mulus untuk menutupi jati diri, bisa terkuak saat ini juga. Dia tidak mau terlihat buruk di mata Ryan.“Lisa, dia ini....” Penjelasan Ryan belum selesai.“Mitra bisnis Ryan,” potong Nisa cepat. “Sama seperti kita, Kak.”“Ya ampun, rupanya berkenalan dengan Anda membuka jalan untuk bertemu kembali dengan adik saya yang hilang.” Salman menjabat erat tangan Ryan. “Terima kasih....”Bila itu keinginan Nisa, maka Ryan akan ikuti permainan calon istrinya. Salman tidak boleh tahu bila adiknya ternyata seorang penipu. Paling tidak, begitulah yang ada
Sandra A. HutamaJakarta, Maret 2022Lani bolak balik dari dalam kelas ke depan pintu. Di tangannya ada selembar kertas bertuliskan beberapa nama. Dia sudah mendapat beberapa kandidat saudara sepersusuan Zora.“Ada apa?” tanya Eza masih dari tempat duduknya di barisan bangku paling belakang.Lani hanya melebarkan kedua bibirnya membentuk senyum. Dia tidak ingin Eza tahu tentang misinya kali ini. Lani sedang main detektif-detektifan bersama Zora. “Enggak ada,” jawab Lani singkat. Dia berbalik lagi ke depan pintu.Melihat sekali lagi kertas di tangannya. Pada nomor tiga terdapat nama Eza. Jadi, tidak mungkin Lani akan membocorkan misi ini pada pemuda bertubuh tinggi itu.Tak jauh dari tempatnya berdiri, dua sosok pemuda yang sangat dia kenal berjalan bersisian. Kedua bersahabat itu memang terkenal solid. Di mana dan ke mana saja selalu bersama. Bukan bak pinang dibelah dua, wajah keduanya tidaklah mirip. “Ayang gue udah dateng?” tanya Damar saat melintas di depan Lani.Tak bersuara, L
Hikmah dari Kepergian Nisa“Kamu yang khilaf. Kalau saya melakukannya dengan sadar.” Nisa sengaja memancing. Nah loh, rasakan itu Ryan.“Kenapa mau melakukan itu bersama saya?”“Terlambat sekali kamu baru menanyakan ini?”“Lebih baik terlambat daripada penasaran seumur hidup.”“Sudahlah, Yan. Aku mau pulang. Capek, ingin istirahat. Ingin tidur.” Nisa bergeser ke kiri, Ryan mengikuti. Nisa bergeser ke kanan, Ryan juga mengikuti. Begitu terus sampai lima kali.“Tolong minggir, aku mau lewat.”“Jawab dulu.”“Minggir.”“Jawab dulu. Kenapa tidak menghindar saat saya memulainya?”“Perlu dijawab, Yan?”“Harus.”“Seharusnya kamu bisa membaca jawabannya dari tatapan mata saya.”Tidak ada tulisan di mata indah itu. Lalu bagaimana Ryan bisa membaca tatapan mata Nisa. Seharusnya bisa. Jika menilik ke belakang, pada tahun-tahun yang telah berlalu. Ryan tidak pernah melihat Nisa menatap pria manapun dengan mata berbinar seperti tatapan wanita itu kepadanya.Ryan mendapat jawabannya. Dia tersenyu
Rumah Rehabilitasi Jiwa“Tapi bolehkah Kakak buat perhitungan dengan pria ini?” Salman menunjuk muka Ryan dengan sumpit yang dipegang.Ryan menyingkirkan tangan Salman dari depan mukanya. Enak saja main tunjuk-tunjuk. Ayo, kalau mau buat perhitungan, Ryan akan meladeni. Dengan suka hati, demi harga diri dan mantan yang sebentar lagi naik pangkat jadi calon.“Kak Salman?” ratap Nisa memohon. Jangan sampai ada pertumpahan darah di restoran milik Salman. Hal itu akan mengurangi kredibilitas, Nisa tidak ingin itu terjadi. Bisa berkurang jumlah pengunjung kalau terjadi huru-hara di tempat ini.“Pria ini yang sudah membuat kamu terluka?” Tatapan Salman tak lepas dari mata Ryan yang mulai berkobar.“Pria ini yang menelantarkan kamu?”“Pria ini yang membuat kamu jauh dari anak kamu sendiri?”“Hei...pria yang sudah menyakiti Nisa berkali-kali lipat, siap-siap dengan serangan saya.” Cerocos Salman tanpa memberi kesempatan Ryan untuk menyanggah.Ryan menyunggingkan senyum. Satu sudut bibirnya t
De Javu“Tante Sandra....” Damar membuka pintu dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah besar itu. “Tante di mana?”Dari belakang, Rey menimpuk kepala Damar dengan kantong plastik hitam berisi seragam pramukanya yang basah. “Masuk rumah orang itu pakai salam,” cibir Rey. “Ini mah asal nyelonong aja.”Damar mengelus kepalanya. Nasibnya sial karena punya teman macam Rey. Dia melayangkan tinju ke bahu Rey, tapi meleset. Pemuda itu mundur segesit anak panah.Rey berkelit saat Damar melakukan serangan balasan. Rey tertawa senang karena kepalan tangan Damar tidak mengenai dirinya. Bergegas dia lari ke belakang, tempat laundry tujuannya. Mencari asisten rumah tangga.“Jangan bilang Mama bajunya basah. Tolong langsung dicuci ya, Mbak.” Rey memberikan seragam kotornya pada asisten rumah tangga. Untungnya punya asisten rumah tangga yang umurnya tak terpaut jauh adalah, dia bisa diajak kerja sama. Mbak Asisten justru lebih pro pada Rey, padahal yang memberi upah tiap bulan nyonya rumah.“Si
Duda Meresahkan“Mama lebih berat dari Zora waktu itu. Tapi Papa kuat gendong Mama.”Nisa menendang kaki Ryan. Tidak tahu malu! Lihatlah, Raya sedang menahan tawa. Dan muka Zora...?“Waktu kapan?” tanya Zora.Nah, loh waktu kapan tanya Zora. Jawab Ryan, jawab!“Di Puncak bukan?” sindir Raya. Kali ini dia tak dapat menahannya. “Nisa meriang sih, jadi enggak bisa main api unggun bareng teman-teman kita.”“Mama meriang kenapa?”Nisa tersenyum kecut. Dia melirik pada Raya dan Ryan bergantian. Di depan Zora lancang benar mereka membicarakan tentang hari itu. Nanti kalau Zora jadi ingin tahu lebih banyak, siapa yang menjawab coba?“Ayo naik ke punggung Papa.”Kesempatan langka. Sudah lama sekali dia tidak digendong Papa. Kalau tidak salah ingat mungkin terakhir kali digendong saat jatuh dari sepeda waktu kelas satu SMP.“Zora sama Mama berat siapa, Pa?”“Ya Papa enggak tahu kalau sekarang. Mama kan gendut sekarang.”“Mama enggak gendut kok.” Zora membela Mamanya. Faktanya begitu. Mama canti