Bab.23 Lukisan untuk Nisa (b)“Ada. Sudah dikasih susu tapi enggak mau. Sesekali tidurlah di sini temani Zora.”“Enggak enak sama tetangga.”“Ya nginepnya pas di rumah enggak ada aku sama Bapak. Kamis depan kami ke peternakan. Nginep di sana. Jadi, kamu bisa bebas tidur di sini.”“Akan aku pertimbangkan.” Lisa kecewa mendengar jawaban Ryan. Pria itu hatinya bagai tak tersentuh. Atau mungkin sudah mati rasa? Entah, Lisa pusing memikirkan itu.Ryan mengamati perubahan air muka Lisa. Dia tersenyum lalu menggeleng. Lisa memang menarik, bolehlah dikatakan cantik. Namun hati Ryan tidak sedikitpun tergelitik. Dan lagi Lisa masih punya suami, meski wanita itu tidak pernah memperkenalkan suaminya secara langsung.“Mas Ryan, bisa kita bicara berdua?”“Bicara saja.”“Hmm, bukan di sini.”“Sama saja kita sedang berdua, kan?”Lisa menarik kursi di sebelah Ryan lalu mendudukinya. Dia berpangku tangan sembari tersenyum memperhatikan Ryan. Dilihat dari segala sudut pandang, pria itu tetap menarik per
Bab.24 Bagaimana Kalau Aku Memaksa?“Mas Ryan masih cinta sama Mbak Nisa?”“Tentu. Dia cinta pertama. Dan aku pastikan dia pula yang terakhir. The one and only. Satu-satunya di sini.” Ryan menunjuk dadanya dengan kuas yang dia pegang.Lisa menutup mulut dengan telapak tangan kirinya. Sementara sebelah tangganya menopang pada dinding. Pijakan kakinya limbung.“Kamu kenapa Lis?”“Aku cinta sama kamu, Mas.”Kuas di tangan Ryan jatuh. Dia mengubah posisi duduk menghadap kepada Lisa yang kini menatap dengan nyalang. Sungguh, tak pernah menyangka bahwa wanita muda itu akan berani menyatakan cinta, sedangkan dia masih berstatus sebagai istri orang.“Aku cinta sama kamu. Apa kamu buta dengan semua perhatian yang aku berikan selama ini?”“Lisa?”“Aku kira semua perhatian yang Mas Ryan berikan padaku dan Reyza adalah sebentuk cinta. Ternyata aku salah menduganya. Aku yang terlalu percaya diri.”Ryan mengusap wajah. Dia menghela nafas lalu mengembuskan kasar. Tak kuasa Ryan bersihadap dengan L
Bab.25 Kamu Ketahuan, Sa♧♧♧Raya mengakhiri sambungan telepon dari Nisa begitu sampai di depan pintu rumah Ryan. Bekas teman satu kost itu meminta dirinya datang menjenguk Zora. Sekaligus mengirim informasi tentang perkembangan bayi perempuan yang kini berusia tujuh bulan.Merepotkan benar memang temannya yang satu itu. Seminggu sekali Raya harus menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga Adji Anggoro guna memastikan keadaan Zora. Mencatat setiap pertumbuhan bayi berpipi bakpao itu lalu disampaikan kepada Nisa. Tak habis pikir ulah Nisa, bukannya bertanya langsung pada Ryan. Eh, wanita itu justru menyuruh Raya menjadi antek. Apa namanya kalau bukan antek jika diam-diam mengambil foto bayi itu?“Mbok Narti...,” panggil Raya setelah mengetuk pintu. “Ini aku, Mbok. Aku Raya....”Tak ada sahutan. Raya mencoba membuka pintu. Dan, beruntung sekali hari ini. Pintu tidak dikunci, Raya bebas masuk tanpa menunggu dibukakan dari dalam.“Mbok,” sapa Raya begitu dia melewati ruang tengah dan
Bab.26 Bagaimana Kalau Zora Kangen?“Kamu ketahuan, Sa.” Raya menyeringai sambil mengedipkan sebelah mata. Memberi kode pada Lisa bahwa dia sudah menyimpan kartu As wanita muda itu.Lisa menyorot tajam mata Raya.“Mau lari ke mana?”Ryan hanya melongo melihat kedua wanita di depannya bersitegang. Di sini, dalam situasi begini, Ryan merasa bagaikan anak keledai yang tak menahu persoalan orang lain.“Ada apa Raya?” tanya Ryan setelah Lisa meninggalkan ruang kerjanya. “Kamu merahasiakan sesuatu tentang Lisa?”“Enggak,” sahut Raya tenang. Meskipun dia tahu satu rahasia besar tentang suami Lisa yang ternyata seorang penipu, Raya tidak akan mungkin memberitahu Ryan. Biar saja itu menjadi rahasia Raya.“Terima kasih kamu datang di waktu yang tepat.”“Yakin?” cibir Raya setengah tak percaya pada Ryan. “Kamu menikmati kok.”Ryan mengangkat bahu sambil berlalu. Dia harus menemui Lisa, harus bicara baik-baik pada wanita itu.“Lisa di mana, Mbok?” Ryan bertanya pada Mbok Narti yang tengah menidur
Bab.27 Surat Cinta“Bagaimana kalau Zora kangen?” tanya Ryan parau. Bayi perempuannya begitu dekat dengan Lisa. “Reyza juga pasti akan kangen sama Papanya,” sahut Lisa seiring dengan senyuman terbaiknya.“Nanti Papanya Zora kangen loh sama kamu,” sindir Raya ikut menimpali. Geram sedari tadi diam saja. “Aku juga akan kangen sama Mas Ryan.” Lisa tak mau kalah. Dia hanya menyulut api, koreknya Raya yang menyediakan. Jadi, jangan salahkan bila api itu justru balik membakar hati Raya.Ryan menggaruk tengkuk leher. Kehilangan Nisa membuatnya pusing. Menjadi duda muda nan rupawan ternyata tidaklah mudah. Bukan hanya gadis, bahkan wanita yang masih bersuami sekalipun mengejar cintanya. Huh, Ryan geleng-gelang kepala memikirkan masa depannya nanti.“Aku boleh pamitan dulu sama Zora?” Tentu saja boleh. Siapa yang akan melarang seorang ibu bertemu anaknya? Ryan tersenyum kecut membayangkan saat terakhir kali bertemu Nisa. Malam itu dia dengan lantang melarang wanita itu untuk bertemu dengan
Kejutan Paling Mengejutkan“Opa bilang gue punya saudara susu.” Zora memberi tahu satu kejutan yang paling mengejutkan.“Hah?”“Namanya Reyza.”“Hah? Reyza? Reyza Mahendra maksud lu? Teman sekelas kita?” Dengan lantang Lani menyahut omongan Zora. Kali ini dia benar-benar terkejut mendengar pengakuan sahabat baiknya.Zora menyeringai. Entah lah, Reyza yang mana dia tidak tahu. Tinggalnya di mana juga Zora belum tahu. Papa bilang kehilangan jejak mereka.“Sial banget lu kalau beneran si Eza yang jadi saudara susu lu,” kelakar Lani setelah berhasil meredam keterkejutan yang membuat kepalanya berdenyut.“Kenapa begitu?”“Eza ganteng, Zora!”“Memang!”Apa salahnya punya saudara sepersusuan yang ganteng dan juara kelas. Ya, walaupun pembawaan pemuda itu kaku. But, tidak masalah buat Zora. Yang penting enak dipandang. Dan satu lagi...apa sialnya punya saudara ganteng?“Kalian enggak boleh pacaran.”Tunggu! Pacaran Lani bilang? Siapa yang naksir siapa? Zora memang suka dengan Eza, mengakui ke
Mama Masih HidupTak tahan lagi. Sari memukul kepala Ryan dengan keras. Dia membeliak bak kilatan pedang terhunus siap mengoyak siapa pun yang berani melawan. “Jangan bertindak bodoh untuk yang kedua kali.” Setelah mengatakan itu Sari memilih keluar dari ruang kerja Ryan. Kepalanya bertambah pusing menghadapi tingkah konyol anak semata wayangnya yang susah sekali untuk melupakan masa lalu.“Bu,” panggil Ryan saat ibunya membuka pintu. “Ibu dapat salam dari mantan sekaligus calon menantu,” lanjut Ryan kemudian begitu Sari menoleh.Sari hanya menggeleng. Sengaja dia mengabaikan kata-kata Ryan. Dia anggap itu hanya gurauan. Sudahlah, dia ingin istirahat saja di kamar. Belum sampai di kamar, dia bertemu Zora di ruang tengah. Gadis itu berlari menghampiri, memeluk dan mencium pipi Sari. Pasti ada maunya, Sari paham betul jika cucunya sedang merajuk.“Oma, Zora enggak mau punya Mama tiri.”“Siapa bilang kamu mau punya Mama lagi?” Sari mencubit hidung bangir Zora.“Surat itu,” lirih Zora
“Zora dengarkan Papa. Mama masih hidup.”Zora mendongak. Dia sudah ingin menjerit lagi, tetapi saat itu juga dia mendengar Mbok Narti ikut bicara.“Akhirnya Mas Ryan berterus terang,” kata Mbok Narti dengan mata berkaca-kaca. “Mbok sudah lama menunggu saat-saat ini.”Ryan menoleh pada Mbok Narti di depan pintu. Di belakang tubuh Mbok Narti, Ryan melihat Sari berdiri melipat tangan di depan dada. Kemudian Ryan melihat Sari tersenyum dan mengangguk.“Mama kamu masih hidup, Ra.” Ryan kembali meyakinkan Zora.Tumpah lagi air mata Zora. Kali ini dia tidak meraung, hanya sedu sedan di antara isak dan sesenggukan. Dia memandang lekat mata Papanya, mencari letak kebohongan di sana.“Mama masih sendiri sama seperti Papa. Mari bekerja sama dengan Papa, Ra. Kita rebut hati Mama lagi.”“Papa...eng...gak bo...ong?”“Enggak. Besok Zora mau ketemu Mama?” tanya Ryan.Tentu saja dia harus membawa Zora sebelum Nisa pulang ke Bali. Siapa tahu ketika bertemu Zora, wanita itu akan berubah pikiran. Nisa s