Siang itu tampak seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah ruang VIP lantai atas di sebuah hotel yang terkenal dengan bisnis esek-eseknya, Axelis Hotel.Di belakangnya menyusul keluar seorang laki-laki paruh baya, berperut sedikit buncit.Hari masih siang, tapi sudah ada saja laki-laki hidung belang yang datang untuk mendapatkan jasanya. Usia wanita itu sendiri sudah hampir 45 tahun. Tapi, wanita yang mudanya dulu pernah jadi biduan terkenal di ibu kota itu masih tampak cantik.Kecantikan seorang wanita dewasa yang sudah matang.Dengan memaksakan sebuah senyum tipis di wajahnya, wanita tersebut melepas kepergian pria hidung belang yang setia memakai jasanya tersebut. Setelah sebelumnya sang pria sempat memasukan beberapa lembar uang ratusan di sela pakaian atasnya yang sedikit terbuka."Eh, bang Komar?" Sapa wanita tersebut terkejut ketika melihat seorang pria telah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitupun dengan pria langganannya, yang langsung bergegas pergi begitu melihat pria
Di tempat lainnya, Silvi baru saja membuka pintu kamarnya dan tepat di saat bersamaan pintu kamar kakaknya yang berada tepat di sebelah kamarnya juga terbuka. Mata keduanya masih sembab, sehabis menangis karena apa yang terjadi pada mereka sehari sebelumnya. Dan alasan dibalik kesedihan mereka adalah karena orang yang sama, Zaha."Eh, ka-kakak?""Adek?."Ujar mereka bersamaan. Keduanya tampak sama-sama canggung. Terutama karena yang menjadi penyebab kesedihan mereka adalah orang yang sama. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, tanpa bersuara. Sepertinya, apa yang terjadi kemarin, telah membuat mereka susah tidur. Setelah terdiam beberapa saat lamanya, Silvi tiba-tiba bersuara, "Kak, aku baru sadar satu hal.. Ini tentang kak Zaha.""Hmn, kakak juga." Ucap Anna terkejut.Keduanya saling bertatapan dan seperti memiliki pikiran yang sama."Iya, kak. Kakak pasti mikir ada yang aneh juga, 'kan? Tentang sikap kak Zaha kemarin." Ucap Silvi sambil memikirkan sesuatu.Anna mengangguk, "Iya,
"Hmn, tapi jangan bahas itu dulu sekarang! Terus, sekarang kita harus bagaimana dong, dek?" Tanya Anna gelisah. Ia tidak ingin Zaha kembali menjauhi dirinya. Pengalaman beberapa waktu lalu, cukup membuat Anna merasa tersiksa, ia tidak mau lagi berjauhan dengan Zaha. Zaha seakan sudah menjadi candu tersendiri bagi Anna. Berada dekat dengan Zaha, membuat Anna merasa aman dan nyaman. Hal yang tidak pernah ia dapatkan dari cowok manapun yang pernah ia kenal."Entahlah, kak. Aku juga belum tahu harus bagaimana! Sepertinya, kita harus cari tahu sendiri, apa yang menyebabkan kak Zaha bersikap seperti ini dan terkesan menjauhi kita. Bisa jadi, kak Zaha bersikap seperti itu agar kita tidak terlibat dalam masalahnya." Ucap Silvi lirih, coba menganalisa semua petunjuk yang ada di kepalanya. Dibanding dengan Anna, mungkin Silvi lebih berbakat untuk meneruskan profesi ayah mereka yang merupakan seorang perwira tinggi dan sekarang dipercaya sebagai salah satu petinggi di Badan Intelelijen
Pasar Tanah Kuda yang biasanya ramai, mendadak berubah menjadi pasar yang mencekam, ketika pasar di tutup paksa siang itu. Setiap gerbang yang menjadi akses masuk ke dalam pasar dijaga ketat oleh preman bertubuh kekar dan berwajah sangar. Bahkan setiap akses jalan menuju kasar juga dijaga ketat oleh sekelompok preman. Mereka tampak berjaga dengan sangat awas dan memeriksa setiap orang yang hendak masuk ataupun keluar dari pasar. Siang itu, saat Anna dan Silvi sampai di pasar tersebut. Mereka melihat seorang gadis sedang ribut-ribut di depan gerbang masuk pasar. Alasannya sederhana, karena gadis remaja cantik yang masih berseragam sekolah tersebut, tidak diijinkan masuk ke dalam pasar oleh para preman yang sedang berjaga. "Cih, cewek itu lagi.." Lirih Anna tampak kesal. "Loh, kakak kenal?" Tanya Silvi heran melihat reaksi Anna. Anna tidak menjawab pertanyaan adiknya dan langsung menghampiri gadis yang sedang terlibat adu mulut dengan para preman tersebut. "Cintya, ada apa?" Tanya
Dua kelompok besar saling berhadapan di depan salah satu gedung tua yang ada di Wilayah Timur ibu kota. Gedung yang terdiri dari dua lantai itu sendiri merupakan peninggalan jaman Belanda yang kini beralih fungsi menjadi markas utama dari Kelompok Timur. Gedung itu sangat besar dan sanggup menampung ratusan orang di setiap lantainya, karena pada jaman dulu memang difungsikan sebagai gedung pertemuan untuk acara-acara besar.Orang-orang yang tinggal di wilayah timur mengenal gedung itu sebagai gedung hitam, karena semua transaksi gelap terjadi di dalam sana dan orang biasa tidak akan pernah berani mendekati gedung itu. Jangankan orang biasa, aparat saja tidak berani mendekatinya. Kecuali mereka yang menjadi antek dan kaki tangan para petinggi dalam gedung tersebut.Gedung itulah yang akan menjadi saksi sebuah pertempuran besar hari ini.Zaha datang dengan diikuti oleh ratusan anggotanya dari Kelompok Selatan. Wajah mereka tampak dingin, karena kedatangan mereka kali ini adalah untuk pe
"Hahaha, anjing masih sombong juga mereka." Tawa lawan mengejek."Hahh haahh.. kita matiin aja cepat." Ujar lainnya dengan napas memburu. Mereka tidak menyangka, akan menghadapi lawan yang alot. Bahkan dengan kondisi jumlah mereka yang unggul, justru malah membuat daya perlawanan lawan semakin sengit. Jika tidak cepat dimatikan, ia justru khawatir lawan akan dapat membalikan keadaan."Matiin kita? hehehe, gimana kalian mau nyentuh ketua Kami? jika mengalahkan kami saja kalian tidak sanggup?" Tawa Kulup terang-terangan mengejek lawan. Mulutnya yang sudah berdarah, membuat tawanya terlihat jadi menyeramkan."Anjing.. Seraanng!" Teriak lawan memberi komando. Ke empatnya pun kompak menyerang secara serentak Indra dan Kulup.WoshBam. Bam.Tidak ada satupun di antara mereka yang saling mengendurkan serangan. Sehingga pertarungan berlangsung semakin alot. Di sisi lain Inggek tampak mulai terbiasa dengan pola serangan lawan.Wosh! Badan yang besar menjadi keunggulan tersendiri bagi pihak
"Biarkan dia bicara, bang!" Ucap Zaha dari belakang, lalu dengan santai dan satu tangannya berada di dalam sau celananya, ia berjalan ke depan."King?" Ucap Kulup ragu. Ia terlihat begitu waspada dan tidak ingin musuh mengambil kesempatan untuk menyerang King, di depannya."Sudah, gak apa-apa, bang! Aku akan mengurusnya." Ujar Zaha memberi kode mata. Ia mengisyaratkan, kalau ia bisa mengatasinya."Bicaralah!" Perintah Zaha pada Dion.Dion terlihat heran dan merasa aneh. Tidak menyangka, jika ketua kelompok Selatan yang hendak diajaknya bicara masih sangat muda dan mungkin masih berusia remaja. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu, sehingga ia tidak mengenali Zaha sebagai sebagai pemimpin kelompok selatan yang baru.Tapi, melihat semua orang dan pemimpin Distrik di Kelompok Selatan sangat menghormati dan tunduk padanya, sehingga Dion pun tidak berani meremehkan remaja yang berdiri di depannya itu."Saya kontak yang dihubungi oleh anggota anda." Kata Dion masih tampak ragu dan sung
"Kapanpun kalian siap. Sesuai aturan lama." Ujar pria yang berdiri di tengah dengan nada sinis. Empat orang rekannya mengambil posisi siaga, begitupun dengan para Pemimpin Distrik beserta anak buah mereka. Dari segi jumlah, Kelompok Timur masih lebih unggul, dua kali lipatnya pasukan Kelompok Selatan yang tidak datang dengan seluruh pasukannya dan itupun sudah ditambah pasukan Kelompok Timur yang membelot mendukung mereka. Karena pembalasan hari itu terkesan mendadak dan tanpa direncanakan sama sekali. Meski begitu, hal itu tidak menyurutkan langkah mereka sama sekali. Yang terjadi, semangat mereka justru semakin terlecut dan membara, karena pertempuran hari itu mempertaruhkan harga diri dan juga pembalasan atas keluarga mereka yang tersakiti. "King, jangan maju dulu! Biar yang lainnya mengurus mereka terlebih dahulu." Kata Cak Timbul berbisik dan berdiri di sebelah kanan Zaha. Mendengar ucapan salah satu pemimpin Pasukan Kiri barusan, membuat Cak Timbul terpaksa harus mengatur re
Setahun kemudian.Seorang remaja yang baru saja beranjak dewasa, baru saja keluar dari sebuah gedung milik kepolisian. Posturnya tampak tegap, senada dengan ekspresinya yang terlihat cerah dengan dibalut seragam khas siswa akademi militer.Bagaimana tidak? Ia baru saja dinobatkan sebagai lulusan akademi militer terbaik dari sekian ribu siswa akademi dan masa depan cerah sudah menanrtinya.Tidak hanya masa depan, karena tepat di luar gedung juga ada beberapa orang yang sangat ia kenal, telah menantinya dengan senyum cerah dan tatapan penuh harap, yang membuat dirinya serasa dibanggakan oleh mereka.Di antara mereka, ada seorang wanita cantik dengan wajah ayu yang masih mengenakan almamater mahasiswa kedokteran dari sebuah universitas ternama.Begitu melihat sang pemuda yang telah lama dinantinya keluar, wanita tersebut sudah tidak sabar untuk untuk buru-buru menghampirinya."Anna, kenapa harus terburu-buru begitu? Sampai kamu langsung melupakan masih ada kami di sini!" Ujar sang ayah t
Tepat, di saat Angel berpikir jika Zaha sudah tewas dan berniat untuk menyusulnya, sebuah kenanehan yang tidak lazim terjadi.Midun yang saat itu sudah berhasil bangun, pijakannya tiba-tiba menjadi goyah. Dari dalam mulutnya, keluar darah berwarna kehitaman dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak berhenti sampai di situ, pembuluh darahnya meledak dan membuat darahnya menyembur keluar dengan sangat deras.Saat itu, Angel baru menyadari, jika penampilan Midun sudah sangat berantakan.Sampai akhirnya, Midun dengan ekspresi tidak rela jatuh ambruk ke tanah dan selanjutnya tidak lagi bergerak.Apa Midun telah tewas?Angel sulit mempercayai apa yang sedang dilihatnya saat itu.Apa itu artinya, Zaha menang?Lalu, di mana Zaha saat ini?Begitu menyadari situasinya, Angel segera mengedarkan pandangannya dengan liar untuk mencari keberadaan Zaha.Secercah harapan muncul dalam dirinya. Selanjutnya, Angel dengan langkah panik segera menyusuri tempat pertarungan dan mencari keberadaan Zaha.Antara
Angel segera berlari ke arah Bulan dan mendekap tubuhnya. Jika saja ia lebih cepat menyadari tujuan Bulan yang sebenarnya, ia tidak mungkin mau melanjutkan pertarungan yang menyebabkan Bulan dapat kehilangan nyawanya."Gadis bodoh! Apa yang kamu lakukan? Apa yang coba kamu buktikan, hah?" Teriak Angel tidak terima. Kedua tangannya bergetar hebat ketika mendekap tubuh Bulan yang semakin lemah dan mulai terasa dingin. Perasaan Angel menjadi kacau. Dia tidak tahu, apa ini kemenangan yang harus dirayakannya? Kemenangan yang seharusnya membuat dia merasa lega, karena telah menyingkirkan satu orang musuh kekasihnya. Tapi, kenyataannya tidak begitu!Angel justru merasakan rasa sakit dan kehilangan yang sulit untuk dijelaskan. Bahkan, Angel sendiri tidak tahu bagamaina mendeskripsikan perasaannya saat ini."Bulan... katakan, kenapa?" Isak Angel dengan perasaan berantakan.Bulan terbatuk dan kembali memuntahkan darah yang sudah bercampur dengan organ dalam tubuhnya. Tatapannya sendiri sudah m
Di sudut lain yang tidak jauh dari tempat pertarungan antara Zaha dan Midun, terjadi pertarungan yang tidak kalah sengit antara Angel melawan Bulan. Meski pertarungan keduanya tidak seintens pertarungan Zaha dan Midun, karena mereka hanya mengandalkan kemampuan fisik serta kekuatan bathin mereka sendiri. Pertarungan keduanya tetap saja mempertaruhkan hidup dan mati.Sikap Angel yang serius dan tanpa ragu, membuat Bulan tidak bisa memanfaatkan keunggulannya dengan baik. Pertarungan yang semula di dominasi oleh Bulan, perlahan mulai diambil alih oleh Angel dan membuat Bulan kepayahan.Jika pertarungan ini tidak melibatkan Zaha, Angel mungkin tidak akan ragu untuk berpihak ke sisi Bulan dan keluarganya. Bagaimanapun, beberapa waktu yang mereka habiskan bersama, Bulan dan Angel sudah menjadi cukup dekat dan sudah terlihat seperti saudara. Bagi Angel, Bulan adalah parner berlatih yang telah membantunya untuk mengasah kemampuan tenaga dalamnya, serta meningkatkan kemampuannya secara keselu
Maran yang berada di dalam tubuh Midun mendengus dingin, 'Jika Mandigo sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, itu artinya ia ingin bertarung habis-habisan dengan kita. Selama ini, kami selalu imbang. Sepertinya, ia berniat memanfaatkan kekuatan anak itu untuk mengalahkan kita.' 'Hehehe., sepertinya ia terlalu meremehkanku. Baiklah, jika ini yang kamu inginkan, aku akan memasang taruhan yang sama denganmu.' Maran tertawa dingin dan keinginan bertarungnya naik berkali-kali lipat. Tentu saja, Maran juga tidak ingin kalah dengan rival abadinya tersebut. Segera, Midun pun merasakan kekuatan penuh Maran mengalir ke dalam tubuhnya dan membuat kekuatannya meningkat secara signifikan. Sekarang, Midun tidak perlu lagi memikirkan kekuatan lawan. Ini adalah pertama kalinya Midun merasakan kekuatan penuh Maran mengalir di dalam tubuhnya. Perasaan itu begitu luar biasa! Selama ini, Maran bahkan tidak pernah menunjukkan kekuatan seperti ini padanya. Wajar saja, Midun menjadi semakin bersemanga
Boom, boom,Dhuaar!Dalam sekejap, Zaha dan Midun sudah bertarung puluhan jurus. Serangan dan kecepatan mereka, tidak bisa diukur dengan mata telanjang. Karena keduanya sudah jauh melampaui level yang bisa diraih oleh manusia biasa.Pertarungan mereka, juga tidak lagi mengedepankan teknik yang tertulis di atas lembaran kertas ilmu beladiri. Di sekitar tempat mereka bertarung, banyak menyisakan lobang yang cukup dalam dan tidak beraturan, yang menunjukkan betapa tinggi intensitas pertarungan keduanya.Saat seperti ini, jurus dan teknik bukan lagi menjadi sesuatu yang penting. Keduanya bergerak dengan kecepatan tinggi dan didominasi oleh naluri bertarung tingkat tinggi yang tidak bisa diukur oleh teknik beladiri manapun.Bagi keduanya, puncak dari ilmu beladiri bukan lagi terletak pada teknik. Tapi pada insting, mental dan kecepatan. Siapa yang memiliki ketiganya akan menjadi penentu akhir kemenangan. Tapi, kerena hasil pertarungan mereka masih berimbang, di mana tidak ada satu pihak
Meski sudah mendapat peringatan dari Mandigo tentang kekuatan Maran, makhluk mistis milik Midun. Zaha masih saja bertindak nekat untuk menghadapinya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri. Wus! Baru saja Zaha mengindahkan peringatan Mandigo, Midun sudah menghilang dari tempat ia semula berdiri dan hanya menyisakan kabut bayangan di belakang. Saat itu, Zaha merasakah kegelisahan yang luar biasa. 'Sangat cepat!' Zaha dengan kemampuan barunya, bahkan sama sekali tidak bisa melihat pergerakan mantan gurunya tersebut. Sampai, ketika Midun tiba-tiba sudah muncul tepat di depannya pada detik berikutnya dan melayangkan sebuah pukulan sederhana yang sulit untuk dicegat Zaha. Di saat kritis seperti itu, Zaha hanya sempat mengangkat kedua lengannya ke depan dada untuk menahan serangan Midun. Itu saja, sudah membuat ia terlempar mundur sejauh belasan meter dan terhempas di tanah dalam posisi telentang dengan kondisi cukup buruk. Wus!
Kreek, kreek.Tumpukan batu yang menimbun tubuh Zaha bergerak dan meledak, begitu Zaha dengan tatapan menyala bangkit dari dalamnya.Sungguh luar biasa katahanan tubuhnya!Bahkan setelah tertimbun oleh dinding dan tiang rumah seperti itu, ia tidak terluka sama sekali, selain debu dan pasir yang mengotori tubuh dan pakaiannya. Melihat hal itu, Midun mau tidak mau mulai menganggap serius Zaha sebagai lawan yang pantas untuk menjadi lawannya. Jika pada pertarungan sebelumnya, Midun masih beranggapan Zaha sebagai seorang murid yang masih butuh banyak bimbingan untuk berkembang. Namun tidak setelah mereka bertukar belasan jurus, di mana Zaha mampu mengimbanginya dan bahkan beberapa kali membuatnya terpaksa harus berusaha keras untuk menahan serangannya.Zaha bukan lagi anak kemarin sore yang sedang berkembang. Dia sudah matang!Tingkat kematangan seperti itu adalah tingkat seorang ahli. Ketajaman serta instingnya terbangun seiring dengan pengalamannya. Ditambah, Zaha sekarang memiliki kek
Kehadiran Angel mampu mengalihkan perhatian Bulan. Tidak hanya berhasil memaksa Bulan bertarung satu lawan satu, Angel juga mampu menjauhkan Bulan dari Zaha. Dengan begitu, Zaha bisa fokus sepenuhnya bertarung melawan Midun.Tidak lama setelah keduanya pergi, pertarungan antara Zaha dan Midun pun segera dimulai.Jika melihat dari karakter Zaha, dia bukan karakter yang akan memulai pertarungan terlebih dahulu. Kecuali ia sedang dalam misi yang mengharuskannya untuk bergerak cepat, seperti saat ia masih berkarir di militer dulunya.Sayangnya, kali ini ia harus berhadapan dengan Midun, gurunya sendiri. Mereka memiliki karakter bertarung yang sama. Dalam pertarungan satu lawan satu seperti ini, mereka berdua cenderung menjadi karakter yang pasif di awal. Mengamati dan menganalisa kemampuan lawan adalah kunci dari kemenangan. Itulah yang Zaha pelajari dari Midun.Namun sekarang, situasinya berbeda. Zaha tidak mungkin menunggu Midun untuk menyerangnya lebih dulu. Bagaimanapun, ia sangat me