"Kalau boleh tahu, bagaimana saya bisa dibawa kesini, dokter? Siapa saja yang tahu kalau saya ada disini?"
"Kamu benar-benar tidak ingat sama sekali ya?" Tanya dokter Anna sambil memegang dahiku.
"Sebentar! Kamu tahu siapa namamu kan, dek?" Tanyanya lebih lanjut.
Aku menggelengkan kepala, bukan tidak tahu siapa diriku, hanya saja, aku tidak tahu terbangun dalam tubuh siapa. Ini sebuah misteri yang aku sendiri belum tahu jawabannya.
Dokter Anna membuka berkas yang dibawanya dan mambacakan 'data'ku, "Nama kamu Zaha Kurniawan, usia 18 tahun. Sekolah di SMA negeri xx kelas 12. Nama ibu, Fitri dan kamu memiliki seorang saudara perempuan, Zanna Kirania Fitri. Ingat?" Terang dokter Anna sambil menatapku dan melihat reaksiku.
"Zaha?" Lirihku pelan.
'Apa ini sebuah kebetulan? Bagaimana bisa, Aku terbangun dalam tubuh yang sangat asing bagiku, namun memiliki nama yang sama? Astaga! Lelucon macam apa yang sedang dimainkan semesta dengan takdirku? Bahkan untuk menikmati kematian pun, Aku tidak bisa?' Pikirku tidak mengerti.
Dokter Anna duduk di samping tempat tidurku, dengan ramah menjelaskan tentang kecelakaan yang menimpaku sebelumnya, atau tepatnya, kecelakaan yang menimpa remaja yang raganya sekarang ku tempati.
"Hmn, perlahan mungkin Kamu akan bisa mengingat semuanya."
"Seminggu yang lalu, kamu kena tabrak oleh sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang wanita, detail persisnya mungkin kamu bisa tanyakan pada polisi yang menangani masalah ini nantinya."
"Untungnya, ayah dari wanita tersebut mau bertanggung jawab dan mau menanggung seluruh biaya pengobatanmu hingga pulih."
"Mungkin memorimu terhalang karena gegar otak akibat kecelakaan itu. Kalau dari hasil rontgen, tidak ada masalah dengan syaraf otak."
"Namun beberapa hari yang lalu, kami sempat khawatir karena detak jantungmu berhenti beberapa saat. Kami pikir akan kehilanganmu saat itu." Jelas dokter Anna menceritakan apa yang terjadi padaku pasca kecelakaan.
"Jantung saya berhenti? Jam berapa itu dokter?" Tanyaku coba memastikan.
"Jam 11.25 malam, tepat saat gerhana bulan 2 hari yang lalu."
'Hmn, itu cukup menjelaskan misteri aneh yang terjadi padaku saat ini. Lalu, jika aku terbangun dengan tubuh ini, lalu bagaimana nasib diriku yang jatuh ke dalam jurang saat itu?'
Kebetulan TV yang sedang nyala dalam ruangan sedang memutar sebuah berita yang sedang heboh-hebohnya, yaitu berita tentang diriku yang telah membunuh perwira tinggi kepolisian.
Para perawat yang sedang menemani dokter Anna sangat antusias dengan berita tersebut. Entah bagaimana dalam berita tersebut bisa menginformasikan dengan lengkap informasi tentang diriku.
Namun disana, aku diberitakan sebagai aktor teroris yang telah lama merencanakan untuk melakukan aksi kejahatan, termasuk berita tentang aksi pembunuhan lainnya.
Dalam berita itu, aku benar-benar di framing sebagai penjahat sadis yang layak untuk dihukum mati. Dalam berita itu juga menginformasikan, bahwa pasukan gabungan Polisi dan TNI berhasil menembak mati diriku sebelum akhirnya jatuh ke jurang.
Aku merasa marah dengan semua kebohongan yang disampaikan dalam berita tersebut, padahal orang yang ku bunuh adalah orang yang layak untuk mati karena kejahatan yang telah dilakukannya.
"Kalian bisa matikan berita itu!" Perintah Dokter Anna yang tampak memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap konten berita tersebut.
Selain diriku, ternyata dokter Anna adalah orang yang tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh si pembawa berita.
"Eh, iya! Maaf, dokter. Berita ini sangat heboh akhir-akhir ini. Padahal terorisnya ganteng loh! Tapi, kok ya bisa jadi pembunuh sadis begitu ya?" Heran salah seorang perawat yang bernama Shinta. Sepertinya semua orang yang menonton berita sampah seperti itu telah termakan mentah-mentah dengan isi berita yang disampaikan.
Begitulah media, mereka kebanyakkan hanya menyampaikan berita yang telah di setting untuk kepentingan penguasa, atau hanya untuk kepentingan mereka semata.
"Bisa kalian tidak membahas itu disini?" Tanya dokter Anna lagi tidak senang.
Sekilas ku perhatikan, ada gurat sedih di wajahnya, mungkin itulah alasan kenapa ia terlihat agak murung ketika baru masuk ke dalam ruangan ini.
'Apa Anna bersedih karena kematianku?'
Kalau iya, mungkin hanya dia lah yang bersedih atas kematianku. Disaat semua orang justru bersuka cita atas kematian 'teroris' itu, paling tidak itulah cap yang menempel pada diriku saat ini.
"Hei, kenapa kamu malah diam?" Tanya dokter Anna padaku sambil coba memaksakan senyumnya. Bagaimana pun, berita barusan tampak cukup mempengaruhi moodnya.
"Ehm, tidak apa-apa, dokter! Oh ya, apa keluargaku ada kesini, bu dokter?" Tanyaku coba mengalihkan topik.
"Sore tadi mereka kesini. Mereka sangat senang, begitu mengetahui kalau Kamu sudah sadar. Kalau malam begini, biasanya tidak ada yang menunggu. Mungkin mereka lagi ada kerjaan, saya kurang tahu." Jawab dokter Anna.
"Ada lagi yang bisa saya bantu untukmu, dek?" Tanya Dokter Anna sebelum keluar dari ruangan.
"Tidak ada, dokter. Dokter jangan bersedih ya!" Ujarku spontan sambil menatap matanya yang tampak masih menunjukkan sedikit gurat kesedihan.
"Eh, ma-maksudnya?" Tanya Dokter Anna sedikit grogi ketika tatapannya beradu pandang dengan mataku.
"Gak ada maksud apa-apa, dokter! Hanya harapan dari seorang pasien yang telah dokter rawat dengan sepenuh hati."
"Dokter orang baik yang telah banyak membantu banyak pasien seperti saya. Jadi, saya akan senang jika melihat dokter yang merawat saya berbahagia." Entah kenapa, kata-kata itu begitu saja meluncur dari mulutku. Tampak dokter Anna sedikit mengerutkan keningnya mendengar ucapanku barusan. Mungkin ia pikir, kalimat seperti terdengar aneh keluar dari mulut remaja seperti 'diriku'.
"Memang menurut kamu, saya lagi tidak bahagia begitu?" Tanyanya sambil berusaha tersenyum.
"Perasaan dokter, hanya dokter sendirilah yang tahu." Jawabku singkat.
Raut wajah dokter Anna sesaat terlihat berubah, sebelum dia berhasil menguasai dirinya kembali.
"Ternyata kamu pintar juga bermain kata-kata, hihihi. Sekarang, kamu istirahat yang cukup yah, dek! Mungkin besok atau lusa, kamu sudah bisa kembali ke rumah." Ujar Dokter Anna.
"Ya, terimakasih Dokter."
Selanjutnya, dokter Anna berlalu diikuti oleh kedua perawat yang mendampinginya.
Keesokan harinya, kulihat seorang wanita dengan usia yang sudah matang, datang menjenggukku.Walau Aku merasa asing, tapi Aku tahu kalau dia adalah ibu dari raga yang ku'diami' saat ini. Dia lah yang dimaksud oleh dokter Anna sebagai ibuku sebelumnya."Astaga! Nak, ka-kamu beneran sudah sadar?" Tanya Ibu tersebut dengan tatapan penuh haru dan bahagia.Dari melihat penampilannya, aku bisa tahu kalau 'ibu'ku ini dari ekonomi rendah. Aku jadi tersenyum sendiri di dalam hati, karena aku bisa menyimpulkan jika tubuh anak tempat rohku terlahir kembali ini, berasal dari keluarga yang biasa saja."Kamu beneran tidak ingat dengan ibu, nak?" Tanya ibu tersebut pelan, terlihat ada kesedihan dan beban yang berat didalam tatapannya. Ia berjalan ke samping kasurku, lalu mengusap kepalaku pelan dengan kasih sayang ke ibuannya.Tanpa sadar, perlahan air mata mengalir begitu saja keluar dari kelopak mataku. Walau Aku sama sekali tidak mengenal wanita yang sedang mengusap lembut kepalaku ini. Namun, us
Melihat betapa tulusnya pak Hadi dan putrinya untuk membantu Zaha dan keluarganya, Zaha ikut angkat suara. Utamanya, untuk membalasa kebaikan pada Hadi."Oh ya, Pak. Maaf kalau sebelumnya saya lancang." Ujar Zaha memberanikan diri, karena dari awal berjumpa dengan Sherlin dan Pak Hadi, seperti ada yang aneh dengan tatapan Sherlin pada ayahnya tersebut. Zaha yang semasa aktif di kesatuan, jelas sangat mengerti dengan ekspresi tersebut."Iya, ada apa Nak Zaha?"Zaha menatap Sherlin sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya pada Pak Hadi."Saya tidak tahu ada masalah apa antara pak Hadi dengan mbak Sherlin sebelumnya..." Ucap Zaha hati-hati. Dia sangat menjaga perasaan Sherlin ataupun pak Hadi yang telah bertanggung jawab pada Zaha, baik selama ia tidak sadarkan diri sampai telah bersedia mengantarkan dirinya dan ibunya pulang ke rumah. Jadi, Zaha memberanikan diri untuk berbicara untuk kebaikan Sherlin dan Ayahnya tersebut."Maksud, nak Zaha?" Tanya Pak Hadi mengerutkan keningnya sambil me
Sore harinya, setelah pak Hadi dan Sherlin pulang dari rumah keluarga Zaha. Sebuah motor sport berhenti di depan pagar rumah, terlihat sepasang sejoli sedang berbincang dengan mesranya.Entah apa yang mereka perbincangkan, tampak si wanita bersikap begitu mesra pada si pengendara motor sport tersebut. Tidak lama, wanita tersebut masuk ke dalam rumah. Dengan cueknya ia melangkah masuk begitu saja ke dalam kamarnya, tanpa mempedulikan sang ibu dan adik yang telah menunggunya sejak tadi."Kamu dari mana Nak?" Sapa bu Fitri menyapanya."Udah lah, gak usah tanya-tanya bisa gak, sih? Gue capek, mau istirahat." Jawab wanita tersebut dengan ketusnya.Bu Fitri sampai tercekat mendengar jawaban kasar dari putrinya. Memang, sejak putri sulungnya itu sudah bisa mencari uang sendiri untuk membiayai kuliahnya yang seharusnya itu adalah tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Namun karena kesulitan ekonomi, apalagi bu Fitri hanyalah seorang pedagang kecil. Sehingga ia tidak bisa lagi membiayai sekola
POV Zanna Kirania FitriAku begitu bangga, saat kerja kerasku akhirnya membuahkan hasil.Setelah kini, aku menjadi pacarnya Ronal, salah seorang mahasiswa terpopuler di kampusku. Walau banyak yang mengatakan jika ia adalah seorang playboy, tapi masa bodohlah!Dengan menjadi pacarnya, paling tidak orang-orang tidak akan lagi menganggapku sebagai seorang Mahasiswi miskin yang tidak laku.Walau, kadang ada juga gosip-gosip tidak enak yang mengatakan kalau aku adalah seorang gadis matre. What ever, lah! Yang penting, Aku yang sekarang bisa menjadi pacarnya salah seorang cowok terpopuler di kampusku.Awalnya, Aku sudah sangat senang dan berbunga-bunga begitu diantar oleh Ronal pulang ke rumahku. Ia yang baru seminggu ini jadi pacarku, bahkan sampai mengantarku langsung ke depan rumahku.Sebenarnya, aku sempat malu sih, kalau sampai Ronal tahu keadaan rumahku seperti apa? Namun, karena melihat kesungguhan dan ketulusannya menerimaku apa adanya. Akhirnya aku mau juga ketika diantar olehnya.
POV ZahaJam 4 pagi, Aku sudah terbangun seperti kebiasaanku dahulu.Kukira, Aku lah yang terbangun lebih awal. Ternyata, sudah ada ibu yang sudah siap-siap dengan barang dagangannya. Ibu, diusianya yang sudah masuk kepala empat, masih saja harus banting tulang untuk menafkahi keluarga ini.Suaminya, yang merupakan ayahku tidak diketahui dimana rimbanya. Dari cerita ibu, aku jadi tahu kalau aku dan kak Nia ternyata tidak se ayah. Ayah kak Nia sudah meninggal sejak ia masih bayi. Setelah itu, ibu menikah lagi dengan ayahku saat ini."Loh, kamu sudah bangun, nak?" Tanya Ibu terkejut begitu mendapati diriku sedang menatap ke arahnya.Aku hanya tersenyum hangat melihat ibu, meski dengan segala kesibukannya, aku dapat merasakan ada cinta dalam tatapannya."Ibu sudah mau berangkat, yah? Sini, Zaha bantu bawa barang belanjaannya ke pasar." Ucapku menawarkan bantuan dan beranjak hendak membawa barang dagangannya."Tidak usah, nak! Hari ini kamu tidak usah masuk sekolah dulu, ya! Lagian, Zaha
Dari sekian banyak tatapan kekaguman, ada juga yang bersikap sinis dengan kemampuanku. Terutama, mereka yang pagi tadi coba menjatuhkanku.Terbukti, ketika jam istirahat tiba.Aku berencana hendak ke toilet. Saat kakiku melangkah kesana, ada beberapa orang siswa yang pagi tadi mencari gara-gara denganku, mereka berjalan perlahan mengikuti langkahku dari jauh.Aku tahu, kalau saat itu Aku sedang diikuti. Namun, sengaja kubiarkan dan melihat sejauh mana keberanian mereka.Menurut perkiraanku, mereka itu dulunya mungkin sering membully Zaha. Dengan fisik sekurus ini dan tampak apa adanya, belum lagi kehidupan Zaha yang sangat memprihatinkan. Wajar saja, para siswa yang memiliki kecenderungan suka membully akan menjadi Zaha sebagai sasaran empuk untuk dijahili.Tapi, mereka salah jika menganggap Zaha yang sekarang masih Zaha yang sama, yang bisa mereka jahili sesukanya.Aku berjalan dengan santai ke dalam toilet. Toilet ini lumayan luas untuk ukuran toilet sekolah, ada sebuah westafel dan
Saat pulang sekolah, aku kembali berjalan seorang diri keluar gedung sekolah tanpa satupun yang menyapaku atau pun merasa perlu kenal denganku.Aku hanya menggerutu kesal dalam hati, 'Apa sebegitu ngenesnya pergaulan Zaha yang dulu yah? Sampai-sampai tidak ada satupun yang bersedia mendekat padaku.'Untungnya waktu di kelas tadi, aku sudah berhasil mengingat semua nama teman-temanku berkat absensi dari guru yang masuk ke kelas. Sehingga, walau tidak ada yang merasa kenal denganku, paling tidak aku bisa tahu siapa saja teman-teman Zaha di kelas.Aku berjalan menelusuri gang tempat aku lewat pagi tadi.Tidak jauh di depanku, ada segerombolan cowok berseragam STM sedang menganggu seorang cewek. Dari seragam yang dikenakan cewek tersebut, aku tahu kalau ia berasal dari sekolah yang sama denganku.Karena jalan yang ku tempuh persis melewati mereka. Sehingga mau tidak mau, aku pun ikut kena getahnya. Jelas terlihat jika cewek tersebut sangat ketakutan, Ia sampai menangis dan tubuhnya tampak
"Hehehe, sekarang tinggal lu dan gue." Ujarku pada cowok pertama sambil mengusap darah yang keluar dari tepian bibirku.'Bajingan, lawan anak sekolahan begini bisa terluka juga Aku dibuatnya. Kalau seandainya kemampuan fisik tubuh ini sedikit lebih baik, mungkin Aku bisa mengalahkan mereka semua dengan mudah.'Cowok terakhir yang tersisa dan mungkin dia adalah pimpinan geng dari anak-anak STM ini, menatapku dengan tatapan penuh kebencian.Aku tertawa ringan melihat tatapannya yang seakan siap untuk menghancurkanku."Gue suka tatapan lu. Nama lu Adam, yah? So, mau lu yang maju? atau gue yang maju duluan?" Tantangku cuek."BANGSAT!" Teriaknya sambil berlari dan langsung menghujamkan pukulan andalannya padaku.Beda dengan teman-temannya yang telah ku hadapi sebelumnya, kali ini Aku lebih memilih untuk adu pukul secara langsung dengannya.Bugh bugh bughKami saling jual beli pukulan. Untuk ukuran anak sekolahan, anak STM yang bernama Adam ini lumayan tangguh. Padahal wajahnya sendiri suda