POV Zaha
Jam 4 pagi, Aku sudah terbangun seperti kebiasaanku dahulu.
Kukira, Aku lah yang terbangun lebih awal. Ternyata, sudah ada ibu yang sudah siap-siap dengan barang dagangannya. Ibu, diusianya yang sudah masuk kepala empat, masih saja harus banting tulang untuk menafkahi keluarga ini.
Suaminya, yang merupakan ayahku tidak diketahui dimana rimbanya. Dari cerita ibu, aku jadi tahu kalau aku dan kak Nia ternyata tidak se ayah. Ayah kak Nia sudah meninggal sejak ia masih bayi. Setelah itu, ibu menikah lagi dengan ayahku saat ini.
"Loh, kamu sudah bangun, nak?" Tanya Ibu terkejut begitu mendapati diriku sedang menatap ke arahnya.
Aku hanya tersenyum hangat melihat ibu, meski dengan segala kesibukannya, aku dapat merasakan ada cinta dalam tatapannya.
"Ibu sudah mau berangkat, yah? Sini, Zaha bantu bawa barang belanjaannya ke pasar." Ucapku menawarkan bantuan dan beranjak hendak membawa barang dagangannya.
"Tidak usah, nak! Hari ini kamu tidak usah masuk sekolah dulu, ya! Lagian, Zaha kan belum pulih betul." Ujar ibu lembut seraya menolak bantuanku.
"Ibu tidak apa-apa bawa dagangan segini banyaknya sendirian?"
"Yah, gak apa-apa. Udah terbiasa, juga! Lagian selama Zaha di rumah sakit, kan Ibu juga sendirian yang bawa dagangannya." Jawab ibu lembut.
Titt tiiittSuara klakson motor terdengar dari depan rumah.
"Nah, itu tukang ojek langganan ibu sudah datang. Ibu berangkat dulu yah! Kamu kalau mau sarapan, sudah ibu siapin di atas meja." Ujar Ibu menambahkan.
Lalu, ia berangkat ke pasar dengan diantar oleh tukang ojek langganannya.
Aku menatap kepergian ibu yang semakin lama semakin menghilang di persimpangan perumahan tempat kami tinggal.
Sekian lama, emosi dan ragaku sebelumnya hanya di isi dengan kekerasan dan dendam. Berada dalam tubuh ini, dalam keluarga ini, membuat hatiku terasa hangat. Sejenak aku kembali terbayang dengan sebuah kenangan lama, sebuah kenangan yang sudah terkubur jauh dalam makam orang tuaku, kenangan masa kecilku yang penuh kehangatan dan cinta dari keluargaku.
Kini, walau baru saja berada di tengah keluarga ini. Aku bisa merasakan kembali kehangatan kasih seorang ibu, walau dalam kondisi yang serba kekurangan. Dalam hati, aku bertekat untuk membuat keluarga ini menjadi lebih baik, dimulai dari kakak perempuanku.
Paling tidak, dengan begitu aku bisa memaknai kehidupan keduaku ini.
...
Aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah, aku membuka kotak lusuh yang terdapat di sebelah tv.
Pakaianku sudah disiapkan oleh ibu didalamnya, sebuah seragam SMA yang sudah lusuh. Aku hanya bisa tersenyum dan memakainya dengan senang. Ya, inilah kehidupan baruku sekarang. Aku akan memulai sebuah awal yang baru, dimulai dari sini, sebagai seorang Zaha Kurniawan.
Kak Nia sendiri, masih belum keluar dari kamarnya. Aku jadi merasa sedikit tidak enak karena apa yang ku lakukan semalam.
"Apa aku terlalu berlebihan dalam bersikap padanya, yah?"
Saat aku mau berangkat. Baru ku lihat kak Nia keluar dari dalam kamarnya. Matanya sedikit bengkak. 'Apa ia kurang tidur akibat semalam yah?'
Namun, kak Nia sama sekali tidak berani menatap mataku seperti semalam. Bahkan saat aku pamit ke sekolah pun, Ia masih diam dan tidak menoleh sama sekali.
"Kak, Aku berangkat yah!" Ujarku coba memancing reaksinya. Meski jawabannya masih sama, ia tetap diam dan seakan menghindari untuk bertatap muka denganku.
Tanpa menunggu jawabannya, aku berangkat dengan berjalan kaki ke sekolah. Sesuai dengan arah yang sempat ditunjukan oleh ibuku, karena tentu saja aku tidak tahu dimana arah sekolahku.
Jarak sekolah dengan rumah lebih kurang 2 kilometer, sehingga dengan berjalan kaki bisa sampai sekolah dalam waktu kurang lebih 30 menit. 'Lumayanlah, bisa sekalian melatih badan,' Pikirku.
Sampai di sekolah, tidak seorangpun dari siswa disana yang menyambutku dan kalaupun ada, mereka melihat dengan pandangan aneh dan terkesan jijik melihatku. Padahal, aku sudah dua minggu tidak masuk sekolah.
Awalnya, aku sempat berpikir akan mendapat sambutan istimewa di sekolah setelah tidak masuk begitu lama, apalagi alasan aku tidak masuknya karena kecelakaan. Namun, begitu melihat reaksi para siswa yang biasa saja, seolah aku bukanlah seorang yang pernah ada dan sekolah disini.
Aku jadi tertawa simpul sendiri, 'Ternyata 'Zaha' yang raganya kupakai sekarang bukanlah siapa-siapa. Keberadaanya tidak berharga, sehingga tidak ada 'aku' pun di sekolah ini, tidak akan ada orang yang merasa kehilangan.
Ternyata di sekolah ini pun, walau bukan berstatus sebagai sekolah elit di kota ini, masih saja memilah orang berdasarkan strata sosial.
Melihat penampilanku, wajar rasanya jika tidak akan ada seorangpun yang akan menganggapku ada ataupun hanya sekedar memandangku.
'Hehehe, menarik nih,' Bathinku.
Sekarang, aku jadi punya misi baru. Pertama, Aku akan membuat semua orang tidak akan bisa mengacuhkan keberadaanku. Meski itu bukan gayaku sebenarnya, tapi wajar kan, jika seorang remaja berharap bisa menjadi populer di antara mereka?
Saat aku masuk ke dalam ruang kelas, tampak beberapa siswa sibuk dengan kelompoknya masing-masing, tanpa menghiraukan kehadiranku sama sekali.
'Ternyata, begini rasanya terasing yah?' Pikirku sekali lagi.
Dulu, Aku biasa menyendiri memang karena misi yang ku kerjakan membuatku harus bergerak sehening mungkin tanpa membuat orang menyadari kehadiranku.
Sekarang malah diasingkan beneran, hehehe.
Tatapanku menyapu seluruh kelas untuk melihat dimana aku bisa duduk, ternyata semua bangku sudah ada penghuninya.
Aku melihat hanya ada satu kursi saja yang kosong, dibagian paling belakang. Sehingga hanya itu satu satu-satunya pilihan. Saat kaki ku melangkah ke arah bangku yang masih kosong dan melewati beberapa siswa yang sedang duduk, ada saja yang usil melintangkan kakinya ke tengah jalan yang akan ku lewati.
Aku tidak mengenal mereka. Namun dari caranya, paling tidak ia sudah biasa melakukan keisengan tersebut pada Zaha sebelumnya.
'Anda salah cari gara-gara bung!' Bathinku.
Aku bukannya menghindari, malah sengaja mengadu tulang keringku dengan kakinya.
Bugh
"Awww.." Teriaknya kesakitan.
Mendengar teriakannya, sontak membuat teman-temannya yang sedang duduk bersamanya jadi terpana melihat ke arahku.
Aku dengan santainya berjalan ke kursi kosong, aku dapat melihat pandangan kebencian dari mereka. Namun saat mereka akan berdiri dan membalasku, guru mata pelajaran sudah terlanjur masuk ke dalam kelas.
"Zaha, kamu sudah masuk. Apa kamu sudah pulih?" Tanya bu Siska yang baru ku ketahui namanya begitu melihat name tagnya.
"Iya, sudah, bu." Jawabku singkat.
Just it! Tidak ada percakapan tambahan lagi setelah itu.
Rupanya sekolah ini benar-benar sudah tidak menganggap Zaha ada sama sekali. Bahkan seorang guru pun bertanya, paling cuma untuk sekedar basa basi.
'Akan berat nih, mengubah image yang terlanjur melekat pada diri Zaha,' Pikirku greget.
Jam kedua, jamnya pelajaran bahasa Inggris. Gurunya pak Firman, namun beliau tidak sendiri. karena saat itu beliau ditemani oleh salah seorang instruktur asing. Namanya Mr. Munich, beliau berasal dari Jerman.
Menurut keterangan Pak Firman, biar kami lebih lancar praktek bahasa asingnya sehingga beliau membawa instruktur dari luar, agar lebih bisa memotivasi para siswa, begitu penjelasan Pak Firman.
Aku yang sebelumnya telah menguasai beberapa bahasa asing ketika menamatkan pendidikan akademi khusus militer dahulu, kupikir inilah kesempatan untuk menampilkan sosok yang beda dari seorang Zaha.
"Excuse me!." Ujarku sambil mengacungkan tangan sebelum Mr. Munich memulai kelasnya.
"Yes?" Kata Mr. Munich sambil melihat ke arahku.
"Kommst du aus deutschland?" Tanyaku basa-basi. (Anda berasal dari Jerman).
"Ja, richtig." Jawabnya kaget. (Ya, benar).
Mungkin mr. Munich juga tidak mengira akan ada seorang siswa yang akan mengajaknya bicara dengan bahasa negaranya.
"Genial! Sprechen Sie Deutsch?" Tanya balik Mr. Munich sumringah. (Luar biasa! Kamu bisa bahasa Jerman?)
"Ja, ein wenig, Sir." Jawabku kalem. (Ya, sedikit-sedikit, pak).
Lalu Mr. Munich menanyakan dari mana aku bisa belajar bahasa Jerman dan beberapa detail lainnya. Sampai pak Firman terpaksa harus mendehem agar Mr. Munich tidak lupa untuk memulai kelas bahasa inggrisnya. Yah, walau hanya sebentar, paling tidak semua siswa jadi punya pandangan yang berbeda pada diriku saat ini.
Ada yang kagum dan tidak sedikit juga yang sinis dengan kemampuan bahasa asingku.
Pak Firman sendiri sampai menyanjungku secara langsung dan mengungkapkan rasa senangnya dengan kemampuanku yang fasih berbahasa asing.
Seluruh siswa yang sebelumnya tidak pernah menganggapku ada, sekarang terpaksa harus meralat penilaiannya terhadapku.
Dari sekian banyak tatapan kekaguman, ada juga yang bersikap sinis dengan kemampuanku. Terutama, mereka yang pagi tadi coba menjatuhkanku.Terbukti, ketika jam istirahat tiba.Aku berencana hendak ke toilet. Saat kakiku melangkah kesana, ada beberapa orang siswa yang pagi tadi mencari gara-gara denganku, mereka berjalan perlahan mengikuti langkahku dari jauh.Aku tahu, kalau saat itu Aku sedang diikuti. Namun, sengaja kubiarkan dan melihat sejauh mana keberanian mereka.Menurut perkiraanku, mereka itu dulunya mungkin sering membully Zaha. Dengan fisik sekurus ini dan tampak apa adanya, belum lagi kehidupan Zaha yang sangat memprihatinkan. Wajar saja, para siswa yang memiliki kecenderungan suka membully akan menjadi Zaha sebagai sasaran empuk untuk dijahili.Tapi, mereka salah jika menganggap Zaha yang sekarang masih Zaha yang sama, yang bisa mereka jahili sesukanya.Aku berjalan dengan santai ke dalam toilet. Toilet ini lumayan luas untuk ukuran toilet sekolah, ada sebuah westafel dan
Saat pulang sekolah, aku kembali berjalan seorang diri keluar gedung sekolah tanpa satupun yang menyapaku atau pun merasa perlu kenal denganku.Aku hanya menggerutu kesal dalam hati, 'Apa sebegitu ngenesnya pergaulan Zaha yang dulu yah? Sampai-sampai tidak ada satupun yang bersedia mendekat padaku.'Untungnya waktu di kelas tadi, aku sudah berhasil mengingat semua nama teman-temanku berkat absensi dari guru yang masuk ke kelas. Sehingga, walau tidak ada yang merasa kenal denganku, paling tidak aku bisa tahu siapa saja teman-teman Zaha di kelas.Aku berjalan menelusuri gang tempat aku lewat pagi tadi.Tidak jauh di depanku, ada segerombolan cowok berseragam STM sedang menganggu seorang cewek. Dari seragam yang dikenakan cewek tersebut, aku tahu kalau ia berasal dari sekolah yang sama denganku.Karena jalan yang ku tempuh persis melewati mereka. Sehingga mau tidak mau, aku pun ikut kena getahnya. Jelas terlihat jika cewek tersebut sangat ketakutan, Ia sampai menangis dan tubuhnya tampak
"Hehehe, sekarang tinggal lu dan gue." Ujarku pada cowok pertama sambil mengusap darah yang keluar dari tepian bibirku.'Bajingan, lawan anak sekolahan begini bisa terluka juga Aku dibuatnya. Kalau seandainya kemampuan fisik tubuh ini sedikit lebih baik, mungkin Aku bisa mengalahkan mereka semua dengan mudah.'Cowok terakhir yang tersisa dan mungkin dia adalah pimpinan geng dari anak-anak STM ini, menatapku dengan tatapan penuh kebencian.Aku tertawa ringan melihat tatapannya yang seakan siap untuk menghancurkanku."Gue suka tatapan lu. Nama lu Adam, yah? So, mau lu yang maju? atau gue yang maju duluan?" Tantangku cuek."BANGSAT!" Teriaknya sambil berlari dan langsung menghujamkan pukulan andalannya padaku.Beda dengan teman-temannya yang telah ku hadapi sebelumnya, kali ini Aku lebih memilih untuk adu pukul secara langsung dengannya.Bugh bugh bughKami saling jual beli pukulan. Untuk ukuran anak sekolahan, anak STM yang bernama Adam ini lumayan tangguh. Padahal wajahnya sendiri suda
POV Zaha."Astaga! Baru seminggu keluar dari rumah sakit, sekarang sudah luka-luka begini?" Ekspresi terkejut dokter Anna yang greget begitu melihat beberapa bekas luka lebam ditubuhku akibat perkelahianku 3 hari yang lalu.Ya, hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutinku pasca kecelakaan sebelumnya. Lebih tepatnya, terapi untuk pemulihan trauma dan ingatanku yang hilang.Tapi, kontrol saja bukan tujuanku yang sebenarnya. Apalagi kalau bukan untuk sekedar bertemu dokter Anna, wanita masa laluku. Walau tidak banyak kenangan yang pernah kami ukir bersama, tapi dari semua pengalamanku, Anna lah satu-satunya wanita yang pernah mempunyai arti khusus dalam hidupku."Kamu berantem? Tawuran?" Cecar dokter Anna.Ia mengomeliku dengan berbagai pertanyaan, namun aku hanya terpaku diam sambil sesekali mencuri pandang melihat wajah cantiknya. Melihatnya dari dekat, aku sadar telah melewatkan begitu banyak hal dengan mengabaikannya dimasa lalu.Sekarang, memiliki kesempatan hidup kedua dalam raga ber
POV Zaha."Hmn, sudah periksanya?" Tanya Anna penasaran begitu aku menghampirinya.Aku hanya menjawab pertanyaan Anna dengan sebuah anggukan. Bertemu dengan Anna dan mendapatkan berita sangat mengejutkan, jika kami memiliki seorang putri kecil yang sangat manis, membuatku sedikit emosional."Zaha, kamu menangis?" Tanya gadis tersebut dengan tatapan menyelidik."Gak kok. Kenapa kamu berpikir begitu?" Tanya bertanya dengan sikap sebiasa mungkin."Itu, kok ada air matanya?" Tunjuk Anna pada wajahku.Aku dengan cepat mengusap wajah sambil coba membersihkan jika ada jejak air mata seperti yang di ucapkan Anna barusan."Oh ini, ada pemeriksaan retina mata saja tadi." Jawabku berlasan sekenanya."Loh, mang kamu sakit mata juga? Bukannya cuma terapi biasa aja yah?" Tanya Anna lagi, tampak sangat meragukan jawaban yang sengaja kubuat barusan."Udah, ah! Yuk, aku antar pulang. Tar orang tua kamu nyariin. Disangka aku nyulik anak gadis orang lagi!" Ujarku coba mengalihkan."Hihihi, diculik juga
POV Zaha.Sepulang dari mengantar Anna, aku jalan ke arah pasar yang jaraknya dua kilometer dari komplek perumahan Anna.Aku mulai terbiasa dengan rutinitas baruku. Sepulang dari sekolah, aku membantu ibu berjualan di pasar hingga jam 6 sore, pulang ke rumah sudah jam 7 malam.Namun, sebisa mungkin aku ijin keluar pada ibu sampai jam 9 malam. Apalagi kalau bukan untuk sekedar latihan fisik di stasiun kereta yang sudah tidak terpakai, tidak jauh dari rumahku.Aku mulai latihan untuk menggenjot staminaku. Namun, untuk gizi makanan, aku masih terkendala. Secara, kondisi ekonomi keluarga ini sangat pas-pasan.'Mungkin akan ada jalannya,' Batinku.Aku berlari keliling stasiun beberapa putaran dan selanjutnya melakukan beberapa gerakan dasar untuk membentuk otot-otot tubuhku.Untuk melatih power, aku membiasakan diri dengan latihan mengangkat bekas ban kendaraan alat berat yang dibiarkan saja bertumpuk di stasiun tersebut. Otot-otot tubuhku seakan menjerit kesakitan, karena pola latihan yan
"Kamu tuh, beda banget sama kamu yang dulu. Kemarin, kakak takut banget dengan kamu loh!" Ucapnya sambil membulatkan matanya."Beda bagaimana? Aku kan masih Zaha yang sama, kak." Ucapku sambil melihat menunjuk badanku dengan ekspresi polos."Hmn, bukan itu maksud, kakak. Kamu.. terlihat sangat beda setelah sadar dari koma kemarin. Kamu yang sekarang... hmn," Kak Nia terlihat mengerutkan keningnya seperti sedang memikirkan keanehan yang ia temukan dari diriku.Deg"Beda saja, pokoknya. Kamu seperti berubah menjadi pribadi yang berbeda dari Zaha yang kakak kenal selama ini." Tambah kak Nia pada akhirnya, mungkin karena tidak bisa menjelaskan dengan detail letak perbedaan yang dimaksudnya."Hehehe, bedanya gimana, kak?" Pikirku sedikit cemas.'Bagaimana kalau dia menyadari kalau aku bukan adiknya? Bisa-bisa aku kena tendangan maut, karena telah berani memeluk dan memarahinya.'"Kamu, dulu gak pernah berani membentak, kakak. Apalagi pakai sok-sokan menasehati kakak seperti sekarang ini."
Saat kami sedang bercanda dan menikmati kedekatan di antara saudara. Sebuah ketukan sangat keras terasa begitu memekakkan telinga, terdengar dari pintu luar.Ketukan tersebut tidak hanya sangat menganggu, tapi juga sangat mengesalkan dan membuat kecerian kami barusan jadi terhenti.Kami saling menatap satu sama lain dan bertanya-tanya, 'Siapa gerangan yang mengetuk pintu dengan cara tidak beradab seperti ini?'"Woi, Fitri. Keluar lu, bayar semua hutang lu!" Teriak suara laki-laki dari luar dengan kasarnya.'Siapa yang berani kurang ajar begini? Mengetuk pintu rumah orang dengan kasarnya dan menangih hutang ditengah malam begini,' Pikirku kesal.Kami segera bergegas keluar. Rupanya, ibu juga terbangun akibat ketukan keras barusan. Ekspresi ibu terlihat tegang dan ketakutan, sehingga aku berinisiatif membukakan pintu dan melihat apa mau orang-orang ini."Nak?" Tahan ibu dengan wajah pucat."Gak apa-apa, bu. Biar Zaha yang menemui mereka."Ucapku coba menenangkan Ibu.Kak Nia yang berdiri