POV Zaha.Sepulang dari mengantar Anna, aku jalan ke arah pasar yang jaraknya dua kilometer dari komplek perumahan Anna.Aku mulai terbiasa dengan rutinitas baruku. Sepulang dari sekolah, aku membantu ibu berjualan di pasar hingga jam 6 sore, pulang ke rumah sudah jam 7 malam.Namun, sebisa mungkin aku ijin keluar pada ibu sampai jam 9 malam. Apalagi kalau bukan untuk sekedar latihan fisik di stasiun kereta yang sudah tidak terpakai, tidak jauh dari rumahku.Aku mulai latihan untuk menggenjot staminaku. Namun, untuk gizi makanan, aku masih terkendala. Secara, kondisi ekonomi keluarga ini sangat pas-pasan.'Mungkin akan ada jalannya,' Batinku.Aku berlari keliling stasiun beberapa putaran dan selanjutnya melakukan beberapa gerakan dasar untuk membentuk otot-otot tubuhku.Untuk melatih power, aku membiasakan diri dengan latihan mengangkat bekas ban kendaraan alat berat yang dibiarkan saja bertumpuk di stasiun tersebut. Otot-otot tubuhku seakan menjerit kesakitan, karena pola latihan yan
"Kamu tuh, beda banget sama kamu yang dulu. Kemarin, kakak takut banget dengan kamu loh!" Ucapnya sambil membulatkan matanya."Beda bagaimana? Aku kan masih Zaha yang sama, kak." Ucapku sambil melihat menunjuk badanku dengan ekspresi polos."Hmn, bukan itu maksud, kakak. Kamu.. terlihat sangat beda setelah sadar dari koma kemarin. Kamu yang sekarang... hmn," Kak Nia terlihat mengerutkan keningnya seperti sedang memikirkan keanehan yang ia temukan dari diriku.Deg"Beda saja, pokoknya. Kamu seperti berubah menjadi pribadi yang berbeda dari Zaha yang kakak kenal selama ini." Tambah kak Nia pada akhirnya, mungkin karena tidak bisa menjelaskan dengan detail letak perbedaan yang dimaksudnya."Hehehe, bedanya gimana, kak?" Pikirku sedikit cemas.'Bagaimana kalau dia menyadari kalau aku bukan adiknya? Bisa-bisa aku kena tendangan maut, karena telah berani memeluk dan memarahinya.'"Kamu, dulu gak pernah berani membentak, kakak. Apalagi pakai sok-sokan menasehati kakak seperti sekarang ini."
Saat kami sedang bercanda dan menikmati kedekatan di antara saudara. Sebuah ketukan sangat keras terasa begitu memekakkan telinga, terdengar dari pintu luar.Ketukan tersebut tidak hanya sangat menganggu, tapi juga sangat mengesalkan dan membuat kecerian kami barusan jadi terhenti.Kami saling menatap satu sama lain dan bertanya-tanya, 'Siapa gerangan yang mengetuk pintu dengan cara tidak beradab seperti ini?'"Woi, Fitri. Keluar lu, bayar semua hutang lu!" Teriak suara laki-laki dari luar dengan kasarnya.'Siapa yang berani kurang ajar begini? Mengetuk pintu rumah orang dengan kasarnya dan menangih hutang ditengah malam begini,' Pikirku kesal.Kami segera bergegas keluar. Rupanya, ibu juga terbangun akibat ketukan keras barusan. Ekspresi ibu terlihat tegang dan ketakutan, sehingga aku berinisiatif membukakan pintu dan melihat apa mau orang-orang ini."Nak?" Tahan ibu dengan wajah pucat."Gak apa-apa, bu. Biar Zaha yang menemui mereka."Ucapku coba menenangkan Ibu.Kak Nia yang berdiri
Pagi ini, setelah Ibu pergi bekerja dan Kak Nia berangkat ka kampusnya. Aku termenung duduk di kursi ruang tamu sambil mengingat kejadian semalam.Dari mulut ibu, terdengar sebuah pengakuan yang membuat emosi naik. Namun, mengingat kejadian semalam cukup membuat ibu dan kak Nia menjadi syok, terpaksa membuatku hanya menyimpan emosi tersebut dalam dada.Semua permasalahan itu berawal dari ayahku, eh bukan, ayahnya Zaha yang terlilit hutang sebesar 10 juta pada juragan Cintung, karena ia kalah bermain judi. Parahnya, ayah Zaha menggunakan sertifikat rumah ibu yang merupakan peninggalan satu-satunya dari orang tua beliau sebagai bahan taruhan, tanpa sepengetahuan ibu tentunya.Yang membuatku geram, hutang yang awalnya cuma 10 juta, sekarang naik hampir 3x lipatnya, yaitu jadi 25 juta. Dihitung bunga dan keterlambatan pembayaran.Rupanya beberapa hari sebelumnya, para preman suruhan sang juragan sudah datang menagih dan mengancam ibu ditempat ia berjualan.Ibu sendiri awalnya berniat untu
Satu-satunya pilihanku saat ini, aku harus nekat dan berjudi dengan nasibku sendiri.Aku berjalan biasa mendekati rumah tersebut, agar kedatanganku tidak dicurigai oleh warga sekitar. Lagian percuma juga kalau sudah sampai seperti ini harus berjalan senyap, apapun yang terjadi nantinya harus nekad ku hadapi.Aku menekan beberapa tombol yang terdapat pada sebuah panel di samping pagar, ini merupakan pagar elektrik yang memerlukan sebuah sandi khusus untuk membukanya.DrengPagar pun secara otomatis bergeser ke samping. Dalam hati aku tertawa, 'ternyata pasword pagar masih sama dengan dulu.'.Selanjutnya, aku berjalan ke dalam rumah dengan sikap sesantai mungkin. Saat sampai dalam rumah pun aku membuka pintu dengan menggunakan kombinasi angka yang masih ku ingat dengan jelas.Klik,Lagi, pintu rumahpun terbuka begitu aku selesai memasukkan pin dan membuka gagang pintu. Sampai disini, masih belum ada gerakan dari sang penguni rumah.Walau aku sadar, gerak-gerikku tidak mungkin bisa lepas
Wanita ini benar-benar sangat mengerikan. Dia sama sekali tidak memberiku kesempata untuk bisa membalas sedikitpun. Beberapa serangannya langsung dilancarkan dan membuatku tersudut.Wutt wuutBam bam bamSaling menghindar, menangkis dan beradu pukulan membuat kami sama-sama tidak ingin mengalah sedikitpun.Napasku terasa mulai berat, aku tidak tahu sudah berapa lama kami bertarung. Tapi, ketahanan fisik paling berpengaruh dalam pertarungan seintens ini. Jelas fisikku yang sekarang bukanlah lawannya. Saat beradu pukulan sekian lama, entah kenapa aku merasa kalau ia sengaja menurunkan kecepatannya dan belum mengeluarkan kemampuan terbaiknya.Matanya menatap aneh padaku, sebuah tatapan tajam menyelidik yang membuatku merinding ngeri dibuatnya."Aku tidak tahu siapa yang mengajarimu gerakan itu, tapi usahamu perlu ku acungi jempol. Sekarang saatnya untuk pertarungan yang sebenarnya."Setelah mengucapkan kalimat tersebut, tatapannya berubah jadi lebih tajam dari sebelumnya. Auranya meningk
"Kamu hanya fokus ke depan, pada dendammu. Tidak pernahkah sekalipun kamu melihatku yang terus berjuang keras untuk bisa mendekatimu? Tidak sadarkah kamu jika aku yang sering kali terjatuh, namun selalu bangkit hanya untuk bisa meraih tanganmu dan bisa berjalan disampingmu?""Kamu boleh saja fokus pada dendammu. Tapi jalanku, hanya untuk bisa bersamamu. Tapi, sekalipun kamu tidak pernah melihatku sedikitpun." Hera menumpahkan semua kegelisahannya yang selama ini disimpannya.Lidahku kelu ketika Hera menumpahkan semua beban yang selama ini disimpannya rapat.'Astaga! Bagaimana aku bisa tidak menyadari semua ini? Gadis kecil yang dulu ku tolong, menjadikan diriku sebagai tujuannya. Ternyata, aku yang dulu benar-benar telah dibutakan oleh dendam. Sampai melupakan orang-orang disekitarku.'"Maaf." Aku hanya dapat mengucapkan satu patah kata ini untuk menjawab kekecewaan Angel terhadapku.Aku tahu sebuah permintaan maaf tidak akan bisa menggantikan semuanya, bahkan ribuan kata maaf sekalip
POV AUTHORZaha tidak langsung pulang menuju rumahnya begitu selesai dari tempatnya Hera aka Angel, walau matahari sudah hampir tenggelam dan kembali ke peraduannya.Hari ini, Ia bertekad untuk langsung menyelesaikan urusannya dengan juragan Cintung dan komplotannya. Prinsipnya, semua urusan keluarganya harus bisa diselesaikan hari itu juga, agar ibu atau kakaknya tidak diganggu lagi di kemudian hari, apapun itu caranya.Rumah juragan Cintung terletak tidak jauh dari stasiun tempat Zaha biasa berlatih. Hanya melewati dua komplek perumahan dan dia akan sampai ke rumah tersebut. Saat Zaha melewati sebuah pos ronda yang terdapat di depan komplek perumahannya, ia dipanggil oleh Zulham, salah sseorang preman dikomplek perumahan tersebut."Oi, Ceking, bentar!"Zaha menghentikan langkahnya, begitu melihat Zulham berjalan menghampirinya."Kemana, lu?" Tanya Zulham penasaran melihat Zaha tampak begitu serius ketika berjalan."Ke rumahnya juragan Cintung, bang. Ada apa, ya?" Tanya Zaha acuh tak