6 bulan kemudian ....
Pernikahan Selen dan Xenon akhirnya tepat 6 bulan, di mana mereka sedikit-sedikit mulai bisa membiasakan pernikahan mereka. Namun, sikap mereka tidak ada yang berubah selama ini. Xenon masih tetap dengan sikapnya, begitu pun dengan Selen.
Beberapa masalah mulai berdatangan dalam pernikahan mereka. Seperti hari ini, Selen tengah menyembunyikan ketakutannya tatkala melihat senyuman Xenon. Entah kenapa, dia merasa senyuman Xenon sama persis seperti orang di masa lalunya. Sial, Selen baru menyadari hal itu, karena Xenon jarang sekali tersenyum.
"Nggak mungkin. Dia pasti orang yang beda," ucap Selen seraya menggeleng. Dia menatap cermin, mengusap wajahnga kasar.
"Lo mau sekolah atau nggak, hah?" Teriakan itu mampu membuat Selen terkejut. Dia segera mengubah ekspresi wajahnya, lalu ke luar dari kamar mandi.
"Sorry," cicit Selen.
Xenon menarik tangan Selen secara kasar, Selen meringis akibat perlakuan suaminya itu. Merek
Gadis dengan tinggi semampai berjalan menuruni anak tangga, dia berpakaian rapi menggunakan seragam SMA lengkap."Non Selen, nggak sarapan dulu?" tanya Thalium—salah satu asisten rumah tangga."Nggak, Kak. Nanti aja, gue beli di sekolahan," jawabnya seraya tersenyum.Thalium tampak geleng-geleng melihat tingkah majikannya yang tidak pernah mau sarapan pagi terlebih dahulu. Mungkin aneh, asisten rumah tangga seperti Thalium dipanggil dengan sebutan 'Kakak'. Sebenarnya, itu dikarenakan Thalium baru berumur 21 tahun, sehingga Selen berinisiatif untuk memanggilnya 'Kakak', lagipula Selen adalah anak tunggal.Selen berlari ke parkiran rumah, tampak mobil mewahnya telah terparkir di sana. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil, dan segera melajukannya."Ngebut, ah. Pengen buru-buru sampe," ucapnya seraya tersenyum. Dia akhirnya menambah kecepatan laju mobilnya.Selenium Rutherfordium, nama yan
"Ya ampun, Ibu. Aku udah panik banget, lho, kirain kecelakaan gimana gitu. Ternyata cuman kegores sama pisau dikit doang, ya Allah." Lawren mengusap dadanya, ia harus sabar menghadapi ibunya yang terlalu dramatis."Lagian kamu, Ren, suka kebiasaan pulang malem terus. Ibu, tuh, khawatir. Anak gadis kok pulangnya nggak diatur. Kamu yang ngelakuin, tetangga tuh yang repot!" Racun—ibu Lawren mengoceh."Tetangga terus, tetangga aja tuh urusin. Apa-apa bahasnya tetangga, anak sendiri gak dibelain!" Lawren membalas ucapan ibunya."Jadi anak kelewat bobrok, ya, kamu. Ngomong sama orang tua kayak gitu, nggak sopan banget!""Lagian ibu, sih, in—""Gue pulang dulu, ya, Ren," ucap Nikel yang dari tadi menyimak perdebatan kedua orang itu. "Saya pamit, Tante," lanjut Nikel melirik ibu Lawren.Ibu dan anak itu saling menyenggol, tentu saja mereka lupa bahwa ada Nikel di sana. Karena, Nikel yang mengantar Lawren pulang. A
"Kita harus cari ke mana?" tanya Thalium pada Lawren dan Nikel yang berada di hadapannya."Bentar, gue telepon Wolfram dulu," ucap Nikel. Lawren dan Thalium mengangguk.Mereka memperhatikan ponsel Nikel yang berdering, beberapa detik kemudian sapaan di seberang sana terdengar dengan sangat jelas."Yo, ada apa, Nik?" tanya Wolfram."Hallo, Fram. Lo tahu gak, Selen ke mana, kemaren pulangnya sama siapa? Soalnya dia nggak pulang ke rumah, nih. Kita-kita khawatir banget sama keadaan dia.""Selen? Nggak pulang? Gue tutup dulu teleponnya, nanti kalo ada info gue kabarin!"Tut ...Panggilan diputuskan secara sepihak, Lawren, Nikel, dan Thalium mengangguk pasrah. Mereka akhirnya duduk di taman, menunggu kabar dari Wolfram. Mereka percaya, Wolfram akan menghubunginya kembali.°°°Di sisi lain, Wolfram tengah panik. Dia takut Xenon berubah menjadi psikopat gila, sehingga melukai Selen. Mengingat sebegitu di
Empat hari telah berlalu, semenjak kejadian antara Xenon dan Selen. Tiga hari kemarin, mereka masih sekolah seperti biasanya. Hanya saja, mereka tidak bertemu satu sama lain.Kenapa demikian? Ya, Selen mati-matian menurunkan egonya untuk tidak mengganggu Xenon. Dikarenakan, terdapat dalam adat pernikahannya bahwa calon pengantian pria dan wanita tidak boleh bertemu beberapa hari. Hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga mereka dan warga di sekitar sana.Xenon pun menjalani hari-harinya dengan latihan bersama anggota band Lantan, karena selain menjadi bagian band di sekolah, band Lantan juga kerap dipanggil ke acara-acara di luar sekolah. Xenon sebagai sang gitaris, sekaligus vokalis tentunya menjadi pemeran utama.Sementara Selen, selepas pulang sekolah dia ditemani Lawren dan Thalium di rumahnya untuk melakukan perawatan tubuh, dan lain-lain.Hari ini, adalah hari pernikahan mereka, tepat pada pukul 8 nanti ijab qobul akan dilaksan
Xenon menurunkan Selen dari gendongannya. Selen tersenyum manis pada suaminya itu, sungguh hal yang paling ia idamkan dari dahulu menjadi kenyataan."Makasi, Mas suami," ucap Selen semanis mungkin."Jijik," sahut Xenon seraya berjalan ke kamar."Ih, nyebelin banget lo!" Selen sebal bukan main.Xenon menutup pintu kamarnya secara perlahan, sedangkan Selen bingung harus bertindak seperti apa. Apakah dia harus mengikuti Xenon ke dalam kamar, atau berdiam diri saja? Sungguh, bayangan semalam bersama Xenon menghantui pikirannya, ia bergidik ngeri."Gue tidur di mana, ya?" tanya Selen bingung."Lo mau terus-terusan berdiri di situ?" Suara itu mengagetkan Selen yang tengah kebingungan.Selen bergidik, lalu menoleh ke arah Xenon yang berada di depan pintu kamar, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Kepalanya bersender pada tembok, seraya tersenyum smirk pada Selen."Terus, gue harus ke mana?" tanya Selen polos.
Kemacetan di jalanan Jakarta bukan semata-mata omong kosong belaka. Seorang pria duduk di kursi kemudi mobilnya, seraya mengacak rambutnya kasar.Hari ini, dia rela bolos sekolah untuk mengunjungi kafe Sianida. Sialnya, macet menghambat perjalanannya menuju kafe tersebut. Ya, dia adalah Wolfram yang sedang menjalankan tugas dari om-nya. Sebenarnya, dia bisa saja mengunjungi kafe di sore atau malam hari, tetapi rasa penasaran yang sudah menjalar membuatnya ingin lebih awal pergi ke sana."Shit, macetnya panjang bener," ucapnya frustasi.Sudah tiga puluh menit Wolfram terjebak kemacetan, ia lupa bahwa hari ini adalah hari Senin, di mana semua orang mulai beraktivitas kembali. Harusnya, Wolfram menunda keberangkatannya sekitar satu jam, agar kepadatan jalanan mulai berkurang. Sayangnya, ia salah memprediksi waktu."Kok, bisa ya, gue lupa kalo hari ini hari Senin." Wolfram mengacak rambutnya.Tin ... Tin ... Tin ....Suara klakson sa
Sesampainya Lawren di kelas, dia begitu heran ketika melihat tas Selen yang telah berada di bangkunya. Sedangkan orang yang mempunyai tas itu tidak ada di kelas. Ke mana Selen pergi? Biasanya, jika Selen datang terlebih dahulu, dia akan menunggu hingga Lawren datang. Namun, saat ini gadis itu tidak ada di tempatnya."Heh, lo lihat Selen nggak?" tanya Lawren pada teman sekelasnya."Nggak tuh," jawab Si Cowok berkacamata."Oke, makasih, ya," ucap Lawren.Dia inisiatif untuk menelepon sahabatnya itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Hanya ada dering ponsel yang terdengar di telinganya."Di mana sih, tuh anak," gerutu Lawren.Lawren duduk di bangkunya, dia terus menelepon Selen berulang kali. Sungguh, perasaannya resah takut sesuatu terjadi pada sahabatnya. Sedetik kemudian, Lawren baru mengingat bahwa Selen telah menikah dengan Xenon.Lawren menepuk jidatnya. "Gue telepon Xenon, deh," gumamnya pelan, takut diketahui orang lain.
Wolfram memasuki pekarangan rumah keluarga Seng, dia perlu menemui pria paruh baya itu untuk memperlihatkan hasil rekaman cctv yang terdapat di kafe Sianida.Pria itu turun dari mobil, tampak Seng berada di halaman rumah, sedang menunggu kedatangannya. Wolfram tersenyum pada Seng, lalu berjalan ke arahnya."Siang, Om," sapa Wolfram ramah."Siang, Wolf. Gimana hasilnya?" tanya Seng tanpa basa-basi.Wolfram segera duduk di bangku tepat di depan Seng, dia memberikan flashdisk pada Seng. Tampak pria paruh baya itu mengerutkan dahinya heran. Tidak mau berbelit-belit, Seng segera memasangkan flashdisk itu pada laptop di hadapannya.Seng mengamati rekaman cctv itu dengan jeli, dahinya berkerut mengenai hal itu. Wolfram sangat jelas melihat bahwa Seng tengah kebingungan."Di jam waktu kalian di sana, kenapa tidak ada?" tanya Seng."Justru itu, Om. Sepertinya memang sudah direncanakan, dan pelakunya tentu sangat pandai.""Om heran, apa
6 bulan kemudian ....Pernikahan Selen dan Xenon akhirnya tepat 6 bulan, di mana mereka sedikit-sedikit mulai bisa membiasakan pernikahan mereka. Namun, sikap mereka tidak ada yang berubah selama ini. Xenon masih tetap dengan sikapnya, begitu pun dengan Selen.Beberapa masalah mulai berdatangan dalam pernikahan mereka. Seperti hari ini, Selen tengah menyembunyikan ketakutannya tatkala melihat senyuman Xenon. Entah kenapa, dia merasa senyuman Xenon sama persis seperti orang di masa lalunya. Sial, Selen baru menyadari hal itu, karena Xenon jarang sekali tersenyum."Nggak mungkin. Dia pasti orang yang beda," ucap Selen seraya menggeleng. Dia menatap cermin, mengusap wajahnga kasar."Lo mau sekolah atau nggak, hah?" Teriakan itu mampu membuat Selen terkejut. Dia segera mengubah ekspresi wajahnya, lalu ke luar dari kamar mandi."Sorry," cicit Selen.Xenon menarik tangan Selen secara kasar, Selen meringis akibat perlakuan suaminya itu. Merek
Tepat satu minggu setelah pernikahan Xenon dan Selen, kini tepat hari di mana mereka akan melakukan syuting video clip bersama anak-anak band Lantan, Lawren, dan Nikel. Mereka telah berkumpul di sebuah taman yang tak jauh dari kawasan perumahan Nico dan Nicolas. Bagi yang belum tahu, Nico dan Nicolas itu kembar, di mana Nico adalah sang kakak dan Nicolas adiknya. Peralatan musik telah disiapkan, terlihat di sebelah kanan mereka terdapat gitar, piano, dan drum. Mereka tengah menunggu cameramen datang, sembari mencoba pakaian yang diberikan oleh costume designer. "Baju gue kegedean nggak, sih?" tanya Selen heboh seraya memutarbalikkan tubuhnya. "Nggak, Sel. Udah pas itu," jawab Lawren. "Cocok nggak?" tanya Selen lagi. "Cocok banget, Nona," sahut mereka yang ada di sana. Saking gregetnya dengan tingkah istri dari Xenon. Xenon secara tak sadar ikut mengucapkannya. Beberapa detik kemudian, dia bergidik ngeri atas tindakannya tersebu
Wolfram memasuki pekarangan rumah keluarga Seng, dia perlu menemui pria paruh baya itu untuk memperlihatkan hasil rekaman cctv yang terdapat di kafe Sianida.Pria itu turun dari mobil, tampak Seng berada di halaman rumah, sedang menunggu kedatangannya. Wolfram tersenyum pada Seng, lalu berjalan ke arahnya."Siang, Om," sapa Wolfram ramah."Siang, Wolf. Gimana hasilnya?" tanya Seng tanpa basa-basi.Wolfram segera duduk di bangku tepat di depan Seng, dia memberikan flashdisk pada Seng. Tampak pria paruh baya itu mengerutkan dahinya heran. Tidak mau berbelit-belit, Seng segera memasangkan flashdisk itu pada laptop di hadapannya.Seng mengamati rekaman cctv itu dengan jeli, dahinya berkerut mengenai hal itu. Wolfram sangat jelas melihat bahwa Seng tengah kebingungan."Di jam waktu kalian di sana, kenapa tidak ada?" tanya Seng."Justru itu, Om. Sepertinya memang sudah direncanakan, dan pelakunya tentu sangat pandai.""Om heran, apa
Sesampainya Lawren di kelas, dia begitu heran ketika melihat tas Selen yang telah berada di bangkunya. Sedangkan orang yang mempunyai tas itu tidak ada di kelas. Ke mana Selen pergi? Biasanya, jika Selen datang terlebih dahulu, dia akan menunggu hingga Lawren datang. Namun, saat ini gadis itu tidak ada di tempatnya."Heh, lo lihat Selen nggak?" tanya Lawren pada teman sekelasnya."Nggak tuh," jawab Si Cowok berkacamata."Oke, makasih, ya," ucap Lawren.Dia inisiatif untuk menelepon sahabatnya itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Hanya ada dering ponsel yang terdengar di telinganya."Di mana sih, tuh anak," gerutu Lawren.Lawren duduk di bangkunya, dia terus menelepon Selen berulang kali. Sungguh, perasaannya resah takut sesuatu terjadi pada sahabatnya. Sedetik kemudian, Lawren baru mengingat bahwa Selen telah menikah dengan Xenon.Lawren menepuk jidatnya. "Gue telepon Xenon, deh," gumamnya pelan, takut diketahui orang lain.
Kemacetan di jalanan Jakarta bukan semata-mata omong kosong belaka. Seorang pria duduk di kursi kemudi mobilnya, seraya mengacak rambutnya kasar.Hari ini, dia rela bolos sekolah untuk mengunjungi kafe Sianida. Sialnya, macet menghambat perjalanannya menuju kafe tersebut. Ya, dia adalah Wolfram yang sedang menjalankan tugas dari om-nya. Sebenarnya, dia bisa saja mengunjungi kafe di sore atau malam hari, tetapi rasa penasaran yang sudah menjalar membuatnya ingin lebih awal pergi ke sana."Shit, macetnya panjang bener," ucapnya frustasi.Sudah tiga puluh menit Wolfram terjebak kemacetan, ia lupa bahwa hari ini adalah hari Senin, di mana semua orang mulai beraktivitas kembali. Harusnya, Wolfram menunda keberangkatannya sekitar satu jam, agar kepadatan jalanan mulai berkurang. Sayangnya, ia salah memprediksi waktu."Kok, bisa ya, gue lupa kalo hari ini hari Senin." Wolfram mengacak rambutnya.Tin ... Tin ... Tin ....Suara klakson sa
Xenon menurunkan Selen dari gendongannya. Selen tersenyum manis pada suaminya itu, sungguh hal yang paling ia idamkan dari dahulu menjadi kenyataan."Makasi, Mas suami," ucap Selen semanis mungkin."Jijik," sahut Xenon seraya berjalan ke kamar."Ih, nyebelin banget lo!" Selen sebal bukan main.Xenon menutup pintu kamarnya secara perlahan, sedangkan Selen bingung harus bertindak seperti apa. Apakah dia harus mengikuti Xenon ke dalam kamar, atau berdiam diri saja? Sungguh, bayangan semalam bersama Xenon menghantui pikirannya, ia bergidik ngeri."Gue tidur di mana, ya?" tanya Selen bingung."Lo mau terus-terusan berdiri di situ?" Suara itu mengagetkan Selen yang tengah kebingungan.Selen bergidik, lalu menoleh ke arah Xenon yang berada di depan pintu kamar, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Kepalanya bersender pada tembok, seraya tersenyum smirk pada Selen."Terus, gue harus ke mana?" tanya Selen polos.
Empat hari telah berlalu, semenjak kejadian antara Xenon dan Selen. Tiga hari kemarin, mereka masih sekolah seperti biasanya. Hanya saja, mereka tidak bertemu satu sama lain.Kenapa demikian? Ya, Selen mati-matian menurunkan egonya untuk tidak mengganggu Xenon. Dikarenakan, terdapat dalam adat pernikahannya bahwa calon pengantian pria dan wanita tidak boleh bertemu beberapa hari. Hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga mereka dan warga di sekitar sana.Xenon pun menjalani hari-harinya dengan latihan bersama anggota band Lantan, karena selain menjadi bagian band di sekolah, band Lantan juga kerap dipanggil ke acara-acara di luar sekolah. Xenon sebagai sang gitaris, sekaligus vokalis tentunya menjadi pemeran utama.Sementara Selen, selepas pulang sekolah dia ditemani Lawren dan Thalium di rumahnya untuk melakukan perawatan tubuh, dan lain-lain.Hari ini, adalah hari pernikahan mereka, tepat pada pukul 8 nanti ijab qobul akan dilaksan
"Kita harus cari ke mana?" tanya Thalium pada Lawren dan Nikel yang berada di hadapannya."Bentar, gue telepon Wolfram dulu," ucap Nikel. Lawren dan Thalium mengangguk.Mereka memperhatikan ponsel Nikel yang berdering, beberapa detik kemudian sapaan di seberang sana terdengar dengan sangat jelas."Yo, ada apa, Nik?" tanya Wolfram."Hallo, Fram. Lo tahu gak, Selen ke mana, kemaren pulangnya sama siapa? Soalnya dia nggak pulang ke rumah, nih. Kita-kita khawatir banget sama keadaan dia.""Selen? Nggak pulang? Gue tutup dulu teleponnya, nanti kalo ada info gue kabarin!"Tut ...Panggilan diputuskan secara sepihak, Lawren, Nikel, dan Thalium mengangguk pasrah. Mereka akhirnya duduk di taman, menunggu kabar dari Wolfram. Mereka percaya, Wolfram akan menghubunginya kembali.°°°Di sisi lain, Wolfram tengah panik. Dia takut Xenon berubah menjadi psikopat gila, sehingga melukai Selen. Mengingat sebegitu di
"Ya ampun, Ibu. Aku udah panik banget, lho, kirain kecelakaan gimana gitu. Ternyata cuman kegores sama pisau dikit doang, ya Allah." Lawren mengusap dadanya, ia harus sabar menghadapi ibunya yang terlalu dramatis."Lagian kamu, Ren, suka kebiasaan pulang malem terus. Ibu, tuh, khawatir. Anak gadis kok pulangnya nggak diatur. Kamu yang ngelakuin, tetangga tuh yang repot!" Racun—ibu Lawren mengoceh."Tetangga terus, tetangga aja tuh urusin. Apa-apa bahasnya tetangga, anak sendiri gak dibelain!" Lawren membalas ucapan ibunya."Jadi anak kelewat bobrok, ya, kamu. Ngomong sama orang tua kayak gitu, nggak sopan banget!""Lagian ibu, sih, in—""Gue pulang dulu, ya, Ren," ucap Nikel yang dari tadi menyimak perdebatan kedua orang itu. "Saya pamit, Tante," lanjut Nikel melirik ibu Lawren.Ibu dan anak itu saling menyenggol, tentu saja mereka lupa bahwa ada Nikel di sana. Karena, Nikel yang mengantar Lawren pulang. A