Gadis dengan tinggi semampai berjalan menuruni anak tangga, dia berpakaian rapi menggunakan seragam SMA lengkap.
"Non Selen, nggak sarapan dulu?" tanya Thalium—salah satu asisten rumah tangga.
"Nggak, Kak. Nanti aja, gue beli di sekolahan," jawabnya seraya tersenyum.
Thalium tampak geleng-geleng melihat tingkah majikannya yang tidak pernah mau sarapan pagi terlebih dahulu. Mungkin aneh, asisten rumah tangga seperti Thalium dipanggil dengan sebutan 'Kakak'. Sebenarnya, itu dikarenakan Thalium baru berumur 21 tahun, sehingga Selen berinisiatif untuk memanggilnya 'Kakak', lagipula Selen adalah anak tunggal.
Selen berlari ke parkiran rumah, tampak mobil mewahnya telah terparkir di sana. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil, dan segera melajukannya.
"Ngebut, ah. Pengen buru-buru sampe," ucapnya seraya tersenyum. Dia akhirnya menambah kecepatan laju mobilnya.
Selenium Rutherfordium, nama yang sangat unik tentunya. Dia berumur 17 tahun, tepatnya satu bulan lalu. Anak dari pemilik PT. Disprosium, perusahaan yang akhir-akhir ini dibicarakan oleh seluruh kalangan, membuat dirinya semakin terkenal.
Lima belas menit kemudian, Selen telah sampai di sekolahnya, ia memberhentikan mobilnya di parkiran. Matanya berbinar tatkala melihat Xenon Mendelevium—pria yang disukainya turun dari motor. Selen segera ke luar dari mobilnya menuju pria tersebut.
"Xenon!" panggilnya, sukses membuat pria tersebut memberhentikan langkahnya, Selen tersenyum senang.
"Baru dateng, ya? Sama, dong!" Selen antusias, sayang sekali Xenon tak menjawabnya.
"Gue seneng banget, deh, pas nyampe ada lo. Uh, serasa gimana gitu," ucap Selen dramatis.
"Ih, nyebelin. Ngomong, kek!" Selen mulai kesal.
"Udah?" tanya Xenon. "Apa?" Selen bertanya balik.
"Gue mau ke kelas, males denger ocehan lo!" Xenon melenggang pergi, Selen berdecak sebal dibuatnya.
"Gue sumpahin, lo bakalan jadi suami gue!"
°°°
Gadis berpakaian seragam SMA dengan balutan jaket denim berwarna biru, membuka helm, lalu turun dari motor kesayangannya. Dia telah sampai di area parkiran SMA Samarium, gadis itu bersenandung menambah kesan kecantikannya terpancar.
Cesium Lawrencium, nama gadis tersebut. Gadis yang kerap disapa Lawren. Dia sangat dikenal lewat suaranya yang merdu, banyak sekali yang ingin mendekatinya. Apalagi, parasnya selalu menampilkan senyuman yang ceria, membuat kaum adam ingin sekali memilikinya.
"Neng Lawren, baru dateng?" tanya seorang pria yang kini berada di sampingnya.
"Iya," jawab Lawren tersenyum manis.
"Bareng sama Aa Wolfram, yuk!" ajak pria itu—Wolfram.
"Nggak usah digituin deh ngomongnya, geli gue!" Lawren menoyor Wolfram, membuat pria di sampingnya terkekeh.
Mereka berjalan beriringan, banyak tatap mata yang mengarah pada mereka. Namun, tak mereka hiraukan.
"Eh, itu Selen, ya?" tanya Lawren. Wolfram menjawab. "Iya."
Lawren langsung berlari mengejar teman sebangkunya, meninggalkan Wolfram yang mengacak rambutnya kasar.
"Belum lama udah ditinggal. Hadeuh, nasib," ucapnya lalu berjalan santai, berbelok ke arah kantin.
Wolfram memang cukup terkenal di sekolahan, seorang drummer dari salah satu band bernama Lantan. Pesonanya yang kharismatik mampu meluluhkan banyak gadis-gadis remaja yang seusia dengannya. Tak sedikit juga wanita dewasa dan anak kecil yang mengaguminya. Kenakalannya memang tak perlu diragukan, bolos adalah jalan ninjanya ketika banyak tugas yang belum dia kerjakan.
"Nium!" teriak Lawren memanggil nama sahabatnya.
Merasa ada yang memanggil, suara yang sangat ia kenali, akhirnya Selen menoleh ke belakang. Benar saja, sahabat yang super duper menyebalkan itu berlari ke arahnya. Selen mengangkat alisnya sebelah, membuat Lawren terkekeh.
"Jangan marah, maafin dah," ucap Lawren, lalu menggandeng tangan Selen tak tahu malu.
"Nium, nium, nium. Nyebelin banget lo, panggil Selen aja udah, ribet banget, sih!"
Selen tak terima dipanggil dengan sebutan 'Nium', sementara Lawren menampilkan cengirannya. Selen memutar bola matanya jengah.
Tak terasa, mereka kini telah sampai di depan pintu kelas XII IPS 3, tampak beberapa orang teman sekelasnya mulai berdatangan. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku bagian belakang.
Selen mengeluarkan ponsel dari tasnya, ia membuka aplikasi i*******m. Selen mengarahkan ponselnya sejajar dengan wajah, hal yang selalu ia lakukan adalah selfie. Beberapa gaya telah ia lakukan, menghasilkan gambar yang bagus.
"Nggak bagus kalo di fotonya nggak ada gue!" teriak Lawren seraya mengambil ponsel sahabatnya.
"Heh, apaan, sih? Gue belum selesai fotonya!" Selen berusaha merebut ponsel dari genggaman Lawren.
"Foto berdua buruan!" teriak Lawren. Akhirnya Selen mengikutinya. Ia yang mempunyai ponsel, seperti menjadi babu saja.
Mereka pun akhirnya menghadap kamera, menampilkan berbagai macam gaya. Beberapa jepretan telah mereka ambil. Teman sekelasnya terkekeh menatap mereka berdua. Tak sedikit yang nyinyir dengan tingkahnya.
"Gue ikutan, dong!" Nikel tiba-tiba menghampiri mereka, dan mengambil pose di tengah.
Nikel—sahabat laki-laki dari Selen dan Lawren, dia salah satu orang terkenal di kalangan para kaum hawa. Wajahnya yang rupawan, sebagai ketua futsal, tak lagi asing di kalangan SMA Samarium.
"Maen nyelonong aja lo!" sarkas Selen.
"Nggak usah galak-galak, ntar lo suka sama gue, tahu rasa!" cibir Nikel.
"Ogah banget harus suka sama lo!" sengit Selen. Nikel menatap garang ke arahnya.
"Udah, woy!" Lawren melerai keduanya. "Gue ada info, nih!" lanjut Lawren. Nikel dan Selen langsung menoleh ke arahnya.
Selen dan Nikel kini menatap Lawren dengan serius, begitu pun Lawren telah bersiap untuk bercerita. "Jadi, nanti malem sekitaran jam 7, kita ketemuan di kafe Sianida." Lawren menatap kedua sahabatnya yang tengah bingung.
"Gue semalem dapet chat dari Wolfram, dia ngajakin kita kumpul-kumpul di Cafe. Ada Xenon juga, kesempatan buat lo, Sel!"
"Serius, lo?" tanya Selen, diangguki oleh Lawren. "Gue ikut kalo gitu, pokoknya harus!" Selen berucap mantap.
"Lo gimana, Nik?" tanya Lawren menatap Nikel, dia mengangguk tanda setuju.
Bel berbunyi menandakan kelas akan dimulai, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, begitu pun dengan siswa lain.
°°°
Siang telah berganti dengan malam, mentari kini tengah berganti menerangi bagian bumi yang lain. Langit kini dihiasi rembulan yang menyinari, diapit oleh jutaan bintang di atas sana.Hal tersebut sangat mendukung bagi Selen, Lawren, dan Nikel yang sedang dalam perjalanan menuju kafe Sianida. Mereka akan menemui Wolfram, Xenon, dan beberapa anggota band Lantan.
Nikel memberhentikan mobilnya di parkiran kafe Sianida. Dia pun turun diikuti dua curut yang sejak tadi menumpang di mobilnya.
"Yuk, buruan!" Lawren mengintruksi agar segera masuk ke dalam kafe tersebut. Mereka mengangguk, lalu berjalan beriringan.
Tampak Wolfram, Xenon, dan dua orang anak band Lantan yaitu Nico dan Nicolas telah menunggu mereka. Kedatangan mereka disambut hangat, kecuali Xenon yang enggan sedikit pun untuk tersenyum. Melihat hal itu, Selen semakin gemas dengan tingkah laki-laki pujaannya.
"Hai, Xenon. Kayaknya kita jodoh, deh, buktinya bisa ketemu di sini," ucap Selen seraya mengambil posisi duduk di samping Xenon.
"Ih, jual mahal banget, deh!" Selen mencubit pipi Xenon tanpa permisi. Melihat hal itu, semua yang ada di sana terkikik karena Selen tak kunjung mendapatkan respon dari Xenon.
"Xenon, ish, lo gitu banget deh sama gue!" Selen tampak kesal, ia mengerucutkan bibirnya.
Wolfram sudah was-was, ia takut sepupunya tak bisa mengontrol emosi akibat tingkah kegatelan Selen. Dia langsung memberi isyarat pada Selen untuk berhenti mengoceh.
"Oke, jadi maksud dan tujuan gue ngundang kalian kumpul bareng-bareng itu, ada hal yang perlu dibicarain, sangat penting tentunya. Kita dari band Lantan, ingin meminta kalian bergabung menjadi bagian model video klip lagu terbaru kita yang akan syuting minggu depan. Gimana, setuju?" Wolfram menjelaskan, dan bertanya tentang persetujuan ketiga orang itu.
"Benefit yang kita dapet, apa aja, nih?" tanya Nikel antusias.
"Tentunya banyak," jawab Wolfram. Selanjutnya, dia menjelaskan apa saja benefit tersebut. Selen, Lawren, dan Nikel tampak berbisik, lalu menyetujui penawaran tersebut.
Tak lama kemudian, pesanan berbagai macam makanan dan minuman pun datang. Jumlahnya sesuai orang yang ada di sana. Selen, Lawren, dan Nikel kebingungan, pasalnya mereka belum memesan makanan.
"Udah kita siapin," ucap Xenon singkat.
"Tenang, ada babang Wolfram sama babang Xenon yang bayarin," sahut Niko. "Yoi," sahut Nicolas dan Wolfram.
"Yuk, dimakan!" Wolfram berucap ramah.
Mereka pun mulai melahap makanannya, tidak ada yang bersuara, fokus dengan santapan mereka. Sesekali mereka juga minum, takutnya makanan yang mereka makan menyangkut di tenggorokan.
"Xenon, itu minuman apa?" tanya Selen, tanpa dijawab oleh Xenon.
"Mau coba, dong!" Selen merebut minuman Xenon, lalu meneguknya.
"Astaga, lo juga punya, Sel!" Lawren menepuk tangan Selen.
"Biar kayak suami-istri kali, segelas berdua," celetuk Nicolas, mereka akhirnya tertawa. Lagi-lagi tidak berlaku untuk Xenon.
Mereka melanjutkan aksi makannya hingga selesai. Sedangkan Selen merasakan tubuhnya mulai memanas, entah karena apa. Selen semakin tidak karuan, dia pun akhirnya pamit untuk izin ke toilet dengan alasan ingin buang air kecil.
Setelah berada di dalam toilet, Selen mengelap keringatnya yang bercucuran. Dia mengatur napasnya secara perlahan. Tak lama kemudian, ponselnya berdering, tertera nama Lawren memanggilnya. Selen pun mengangkatnya, ternyata Lawren dan Nikel meminta izin untuk pulang terlebih dahulu, dikarenakan ibunya Lawren kecelakaan. Selen tak masalah akan hal itu, ia bisa pulang sendirian. Selen segera kembali ke tempat tadi, dilihatnya ada Wolfram dan Xenon di sana.
"Xen, lo mending anterin dia, kasian udah malem!" Wolfram menepuk bahu Xenon, entah kenapa raut wajah Xenon tampak kacau. Sementara Selen hanya menatap mereka, tanpa mengatakan apa pun.
"Pulang sama gue!" Selen tersentak ketika tangannya ditarik tiba-tiba oleh Xenon, ada kegembiraan dan rasa aneh di sana. Dia melambaikan tangan pada Wolfram yang tersenyum ke arahnya.
°°°
"Sshhhh ... panas," ucap Selen meremas roknya. Di sampingnya, Xenon mengemudikan mobil tak fokus, ia juga merasakan panas seperti Selen.
"Sshhh ... aaahhh." Selen menyingkapkan roknya perlahan, membuat Xenon semakin tak fokus. Sesuatu di bawah sana telah menegang. Xenon melepaskan jaketnya, membanting ke belakang, ia pun sangat gerah.
"T-tadi m-minuman a-apa, Xen?" tanya Selen terbata-bata. "L-o n-ngerasain p-panas, g-gak?"
"Gue juga sama," jawab Xenon dengan suara tertahan, menahan gairah.
"Aaahhhh." Desahan kembali lolos dari bibir mungil Selen, tangan mulusnya meremas payudaranya sendiri. Bersamaan dengan hal itu, Xenon memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba.
Sungguh, dalam benak Xenon, ia ingin menerkam Selen saat itu juga. Dia menyuruh Selen pindah ke jok belakang, diikuti oleh dirinya. Xenon menurunkan jok belakang layaknya sebuah kasur, tanpa basa-basi, ia mencium bibir Selen secara brutal.
Awalnya Selen menolak, tetapi rasa panas di dalam tubuhnya menginginkan hal lebih. Selen terbawa suasana, Xenon dengan ganasnya mencium, menggigit, dan melumat bibir Selen. Tak mau kalah, akhirnya Selen membalas ciuman Xenon, keduanya sama-sama terlena.
Tak tinggal diam, tangan Xenon meraba buah dada Selen secara perlahan. Hal itu menimbulkan desahan-desahan kecil lolos dari bibir mungil Selen.
Tiba-tiba, Xenon memberhentikan aksinya. Selen menatap Xenon tak mengerti, pasalnya tubuh Selen menginginkan hal lebih, panas di tubuhnya masih belum hilang.
"Kita lanjut di apartement gue."
"Ya ampun, Ibu. Aku udah panik banget, lho, kirain kecelakaan gimana gitu. Ternyata cuman kegores sama pisau dikit doang, ya Allah." Lawren mengusap dadanya, ia harus sabar menghadapi ibunya yang terlalu dramatis."Lagian kamu, Ren, suka kebiasaan pulang malem terus. Ibu, tuh, khawatir. Anak gadis kok pulangnya nggak diatur. Kamu yang ngelakuin, tetangga tuh yang repot!" Racun—ibu Lawren mengoceh."Tetangga terus, tetangga aja tuh urusin. Apa-apa bahasnya tetangga, anak sendiri gak dibelain!" Lawren membalas ucapan ibunya."Jadi anak kelewat bobrok, ya, kamu. Ngomong sama orang tua kayak gitu, nggak sopan banget!""Lagian ibu, sih, in—""Gue pulang dulu, ya, Ren," ucap Nikel yang dari tadi menyimak perdebatan kedua orang itu. "Saya pamit, Tante," lanjut Nikel melirik ibu Lawren.Ibu dan anak itu saling menyenggol, tentu saja mereka lupa bahwa ada Nikel di sana. Karena, Nikel yang mengantar Lawren pulang. A
"Kita harus cari ke mana?" tanya Thalium pada Lawren dan Nikel yang berada di hadapannya."Bentar, gue telepon Wolfram dulu," ucap Nikel. Lawren dan Thalium mengangguk.Mereka memperhatikan ponsel Nikel yang berdering, beberapa detik kemudian sapaan di seberang sana terdengar dengan sangat jelas."Yo, ada apa, Nik?" tanya Wolfram."Hallo, Fram. Lo tahu gak, Selen ke mana, kemaren pulangnya sama siapa? Soalnya dia nggak pulang ke rumah, nih. Kita-kita khawatir banget sama keadaan dia.""Selen? Nggak pulang? Gue tutup dulu teleponnya, nanti kalo ada info gue kabarin!"Tut ...Panggilan diputuskan secara sepihak, Lawren, Nikel, dan Thalium mengangguk pasrah. Mereka akhirnya duduk di taman, menunggu kabar dari Wolfram. Mereka percaya, Wolfram akan menghubunginya kembali.°°°Di sisi lain, Wolfram tengah panik. Dia takut Xenon berubah menjadi psikopat gila, sehingga melukai Selen. Mengingat sebegitu di
Empat hari telah berlalu, semenjak kejadian antara Xenon dan Selen. Tiga hari kemarin, mereka masih sekolah seperti biasanya. Hanya saja, mereka tidak bertemu satu sama lain.Kenapa demikian? Ya, Selen mati-matian menurunkan egonya untuk tidak mengganggu Xenon. Dikarenakan, terdapat dalam adat pernikahannya bahwa calon pengantian pria dan wanita tidak boleh bertemu beberapa hari. Hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga mereka dan warga di sekitar sana.Xenon pun menjalani hari-harinya dengan latihan bersama anggota band Lantan, karena selain menjadi bagian band di sekolah, band Lantan juga kerap dipanggil ke acara-acara di luar sekolah. Xenon sebagai sang gitaris, sekaligus vokalis tentunya menjadi pemeran utama.Sementara Selen, selepas pulang sekolah dia ditemani Lawren dan Thalium di rumahnya untuk melakukan perawatan tubuh, dan lain-lain.Hari ini, adalah hari pernikahan mereka, tepat pada pukul 8 nanti ijab qobul akan dilaksan
Xenon menurunkan Selen dari gendongannya. Selen tersenyum manis pada suaminya itu, sungguh hal yang paling ia idamkan dari dahulu menjadi kenyataan."Makasi, Mas suami," ucap Selen semanis mungkin."Jijik," sahut Xenon seraya berjalan ke kamar."Ih, nyebelin banget lo!" Selen sebal bukan main.Xenon menutup pintu kamarnya secara perlahan, sedangkan Selen bingung harus bertindak seperti apa. Apakah dia harus mengikuti Xenon ke dalam kamar, atau berdiam diri saja? Sungguh, bayangan semalam bersama Xenon menghantui pikirannya, ia bergidik ngeri."Gue tidur di mana, ya?" tanya Selen bingung."Lo mau terus-terusan berdiri di situ?" Suara itu mengagetkan Selen yang tengah kebingungan.Selen bergidik, lalu menoleh ke arah Xenon yang berada di depan pintu kamar, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Kepalanya bersender pada tembok, seraya tersenyum smirk pada Selen."Terus, gue harus ke mana?" tanya Selen polos.
Kemacetan di jalanan Jakarta bukan semata-mata omong kosong belaka. Seorang pria duduk di kursi kemudi mobilnya, seraya mengacak rambutnya kasar.Hari ini, dia rela bolos sekolah untuk mengunjungi kafe Sianida. Sialnya, macet menghambat perjalanannya menuju kafe tersebut. Ya, dia adalah Wolfram yang sedang menjalankan tugas dari om-nya. Sebenarnya, dia bisa saja mengunjungi kafe di sore atau malam hari, tetapi rasa penasaran yang sudah menjalar membuatnya ingin lebih awal pergi ke sana."Shit, macetnya panjang bener," ucapnya frustasi.Sudah tiga puluh menit Wolfram terjebak kemacetan, ia lupa bahwa hari ini adalah hari Senin, di mana semua orang mulai beraktivitas kembali. Harusnya, Wolfram menunda keberangkatannya sekitar satu jam, agar kepadatan jalanan mulai berkurang. Sayangnya, ia salah memprediksi waktu."Kok, bisa ya, gue lupa kalo hari ini hari Senin." Wolfram mengacak rambutnya.Tin ... Tin ... Tin ....Suara klakson sa
Sesampainya Lawren di kelas, dia begitu heran ketika melihat tas Selen yang telah berada di bangkunya. Sedangkan orang yang mempunyai tas itu tidak ada di kelas. Ke mana Selen pergi? Biasanya, jika Selen datang terlebih dahulu, dia akan menunggu hingga Lawren datang. Namun, saat ini gadis itu tidak ada di tempatnya."Heh, lo lihat Selen nggak?" tanya Lawren pada teman sekelasnya."Nggak tuh," jawab Si Cowok berkacamata."Oke, makasih, ya," ucap Lawren.Dia inisiatif untuk menelepon sahabatnya itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Hanya ada dering ponsel yang terdengar di telinganya."Di mana sih, tuh anak," gerutu Lawren.Lawren duduk di bangkunya, dia terus menelepon Selen berulang kali. Sungguh, perasaannya resah takut sesuatu terjadi pada sahabatnya. Sedetik kemudian, Lawren baru mengingat bahwa Selen telah menikah dengan Xenon.Lawren menepuk jidatnya. "Gue telepon Xenon, deh," gumamnya pelan, takut diketahui orang lain.
Wolfram memasuki pekarangan rumah keluarga Seng, dia perlu menemui pria paruh baya itu untuk memperlihatkan hasil rekaman cctv yang terdapat di kafe Sianida.Pria itu turun dari mobil, tampak Seng berada di halaman rumah, sedang menunggu kedatangannya. Wolfram tersenyum pada Seng, lalu berjalan ke arahnya."Siang, Om," sapa Wolfram ramah."Siang, Wolf. Gimana hasilnya?" tanya Seng tanpa basa-basi.Wolfram segera duduk di bangku tepat di depan Seng, dia memberikan flashdisk pada Seng. Tampak pria paruh baya itu mengerutkan dahinya heran. Tidak mau berbelit-belit, Seng segera memasangkan flashdisk itu pada laptop di hadapannya.Seng mengamati rekaman cctv itu dengan jeli, dahinya berkerut mengenai hal itu. Wolfram sangat jelas melihat bahwa Seng tengah kebingungan."Di jam waktu kalian di sana, kenapa tidak ada?" tanya Seng."Justru itu, Om. Sepertinya memang sudah direncanakan, dan pelakunya tentu sangat pandai.""Om heran, apa
Tepat satu minggu setelah pernikahan Xenon dan Selen, kini tepat hari di mana mereka akan melakukan syuting video clip bersama anak-anak band Lantan, Lawren, dan Nikel. Mereka telah berkumpul di sebuah taman yang tak jauh dari kawasan perumahan Nico dan Nicolas. Bagi yang belum tahu, Nico dan Nicolas itu kembar, di mana Nico adalah sang kakak dan Nicolas adiknya. Peralatan musik telah disiapkan, terlihat di sebelah kanan mereka terdapat gitar, piano, dan drum. Mereka tengah menunggu cameramen datang, sembari mencoba pakaian yang diberikan oleh costume designer. "Baju gue kegedean nggak, sih?" tanya Selen heboh seraya memutarbalikkan tubuhnya. "Nggak, Sel. Udah pas itu," jawab Lawren. "Cocok nggak?" tanya Selen lagi. "Cocok banget, Nona," sahut mereka yang ada di sana. Saking gregetnya dengan tingkah istri dari Xenon. Xenon secara tak sadar ikut mengucapkannya. Beberapa detik kemudian, dia bergidik ngeri atas tindakannya tersebu
6 bulan kemudian ....Pernikahan Selen dan Xenon akhirnya tepat 6 bulan, di mana mereka sedikit-sedikit mulai bisa membiasakan pernikahan mereka. Namun, sikap mereka tidak ada yang berubah selama ini. Xenon masih tetap dengan sikapnya, begitu pun dengan Selen.Beberapa masalah mulai berdatangan dalam pernikahan mereka. Seperti hari ini, Selen tengah menyembunyikan ketakutannya tatkala melihat senyuman Xenon. Entah kenapa, dia merasa senyuman Xenon sama persis seperti orang di masa lalunya. Sial, Selen baru menyadari hal itu, karena Xenon jarang sekali tersenyum."Nggak mungkin. Dia pasti orang yang beda," ucap Selen seraya menggeleng. Dia menatap cermin, mengusap wajahnga kasar."Lo mau sekolah atau nggak, hah?" Teriakan itu mampu membuat Selen terkejut. Dia segera mengubah ekspresi wajahnya, lalu ke luar dari kamar mandi."Sorry," cicit Selen.Xenon menarik tangan Selen secara kasar, Selen meringis akibat perlakuan suaminya itu. Merek
Tepat satu minggu setelah pernikahan Xenon dan Selen, kini tepat hari di mana mereka akan melakukan syuting video clip bersama anak-anak band Lantan, Lawren, dan Nikel. Mereka telah berkumpul di sebuah taman yang tak jauh dari kawasan perumahan Nico dan Nicolas. Bagi yang belum tahu, Nico dan Nicolas itu kembar, di mana Nico adalah sang kakak dan Nicolas adiknya. Peralatan musik telah disiapkan, terlihat di sebelah kanan mereka terdapat gitar, piano, dan drum. Mereka tengah menunggu cameramen datang, sembari mencoba pakaian yang diberikan oleh costume designer. "Baju gue kegedean nggak, sih?" tanya Selen heboh seraya memutarbalikkan tubuhnya. "Nggak, Sel. Udah pas itu," jawab Lawren. "Cocok nggak?" tanya Selen lagi. "Cocok banget, Nona," sahut mereka yang ada di sana. Saking gregetnya dengan tingkah istri dari Xenon. Xenon secara tak sadar ikut mengucapkannya. Beberapa detik kemudian, dia bergidik ngeri atas tindakannya tersebu
Wolfram memasuki pekarangan rumah keluarga Seng, dia perlu menemui pria paruh baya itu untuk memperlihatkan hasil rekaman cctv yang terdapat di kafe Sianida.Pria itu turun dari mobil, tampak Seng berada di halaman rumah, sedang menunggu kedatangannya. Wolfram tersenyum pada Seng, lalu berjalan ke arahnya."Siang, Om," sapa Wolfram ramah."Siang, Wolf. Gimana hasilnya?" tanya Seng tanpa basa-basi.Wolfram segera duduk di bangku tepat di depan Seng, dia memberikan flashdisk pada Seng. Tampak pria paruh baya itu mengerutkan dahinya heran. Tidak mau berbelit-belit, Seng segera memasangkan flashdisk itu pada laptop di hadapannya.Seng mengamati rekaman cctv itu dengan jeli, dahinya berkerut mengenai hal itu. Wolfram sangat jelas melihat bahwa Seng tengah kebingungan."Di jam waktu kalian di sana, kenapa tidak ada?" tanya Seng."Justru itu, Om. Sepertinya memang sudah direncanakan, dan pelakunya tentu sangat pandai.""Om heran, apa
Sesampainya Lawren di kelas, dia begitu heran ketika melihat tas Selen yang telah berada di bangkunya. Sedangkan orang yang mempunyai tas itu tidak ada di kelas. Ke mana Selen pergi? Biasanya, jika Selen datang terlebih dahulu, dia akan menunggu hingga Lawren datang. Namun, saat ini gadis itu tidak ada di tempatnya."Heh, lo lihat Selen nggak?" tanya Lawren pada teman sekelasnya."Nggak tuh," jawab Si Cowok berkacamata."Oke, makasih, ya," ucap Lawren.Dia inisiatif untuk menelepon sahabatnya itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Hanya ada dering ponsel yang terdengar di telinganya."Di mana sih, tuh anak," gerutu Lawren.Lawren duduk di bangkunya, dia terus menelepon Selen berulang kali. Sungguh, perasaannya resah takut sesuatu terjadi pada sahabatnya. Sedetik kemudian, Lawren baru mengingat bahwa Selen telah menikah dengan Xenon.Lawren menepuk jidatnya. "Gue telepon Xenon, deh," gumamnya pelan, takut diketahui orang lain.
Kemacetan di jalanan Jakarta bukan semata-mata omong kosong belaka. Seorang pria duduk di kursi kemudi mobilnya, seraya mengacak rambutnya kasar.Hari ini, dia rela bolos sekolah untuk mengunjungi kafe Sianida. Sialnya, macet menghambat perjalanannya menuju kafe tersebut. Ya, dia adalah Wolfram yang sedang menjalankan tugas dari om-nya. Sebenarnya, dia bisa saja mengunjungi kafe di sore atau malam hari, tetapi rasa penasaran yang sudah menjalar membuatnya ingin lebih awal pergi ke sana."Shit, macetnya panjang bener," ucapnya frustasi.Sudah tiga puluh menit Wolfram terjebak kemacetan, ia lupa bahwa hari ini adalah hari Senin, di mana semua orang mulai beraktivitas kembali. Harusnya, Wolfram menunda keberangkatannya sekitar satu jam, agar kepadatan jalanan mulai berkurang. Sayangnya, ia salah memprediksi waktu."Kok, bisa ya, gue lupa kalo hari ini hari Senin." Wolfram mengacak rambutnya.Tin ... Tin ... Tin ....Suara klakson sa
Xenon menurunkan Selen dari gendongannya. Selen tersenyum manis pada suaminya itu, sungguh hal yang paling ia idamkan dari dahulu menjadi kenyataan."Makasi, Mas suami," ucap Selen semanis mungkin."Jijik," sahut Xenon seraya berjalan ke kamar."Ih, nyebelin banget lo!" Selen sebal bukan main.Xenon menutup pintu kamarnya secara perlahan, sedangkan Selen bingung harus bertindak seperti apa. Apakah dia harus mengikuti Xenon ke dalam kamar, atau berdiam diri saja? Sungguh, bayangan semalam bersama Xenon menghantui pikirannya, ia bergidik ngeri."Gue tidur di mana, ya?" tanya Selen bingung."Lo mau terus-terusan berdiri di situ?" Suara itu mengagetkan Selen yang tengah kebingungan.Selen bergidik, lalu menoleh ke arah Xenon yang berada di depan pintu kamar, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Kepalanya bersender pada tembok, seraya tersenyum smirk pada Selen."Terus, gue harus ke mana?" tanya Selen polos.
Empat hari telah berlalu, semenjak kejadian antara Xenon dan Selen. Tiga hari kemarin, mereka masih sekolah seperti biasanya. Hanya saja, mereka tidak bertemu satu sama lain.Kenapa demikian? Ya, Selen mati-matian menurunkan egonya untuk tidak mengganggu Xenon. Dikarenakan, terdapat dalam adat pernikahannya bahwa calon pengantian pria dan wanita tidak boleh bertemu beberapa hari. Hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga mereka dan warga di sekitar sana.Xenon pun menjalani hari-harinya dengan latihan bersama anggota band Lantan, karena selain menjadi bagian band di sekolah, band Lantan juga kerap dipanggil ke acara-acara di luar sekolah. Xenon sebagai sang gitaris, sekaligus vokalis tentunya menjadi pemeran utama.Sementara Selen, selepas pulang sekolah dia ditemani Lawren dan Thalium di rumahnya untuk melakukan perawatan tubuh, dan lain-lain.Hari ini, adalah hari pernikahan mereka, tepat pada pukul 8 nanti ijab qobul akan dilaksan
"Kita harus cari ke mana?" tanya Thalium pada Lawren dan Nikel yang berada di hadapannya."Bentar, gue telepon Wolfram dulu," ucap Nikel. Lawren dan Thalium mengangguk.Mereka memperhatikan ponsel Nikel yang berdering, beberapa detik kemudian sapaan di seberang sana terdengar dengan sangat jelas."Yo, ada apa, Nik?" tanya Wolfram."Hallo, Fram. Lo tahu gak, Selen ke mana, kemaren pulangnya sama siapa? Soalnya dia nggak pulang ke rumah, nih. Kita-kita khawatir banget sama keadaan dia.""Selen? Nggak pulang? Gue tutup dulu teleponnya, nanti kalo ada info gue kabarin!"Tut ...Panggilan diputuskan secara sepihak, Lawren, Nikel, dan Thalium mengangguk pasrah. Mereka akhirnya duduk di taman, menunggu kabar dari Wolfram. Mereka percaya, Wolfram akan menghubunginya kembali.°°°Di sisi lain, Wolfram tengah panik. Dia takut Xenon berubah menjadi psikopat gila, sehingga melukai Selen. Mengingat sebegitu di
"Ya ampun, Ibu. Aku udah panik banget, lho, kirain kecelakaan gimana gitu. Ternyata cuman kegores sama pisau dikit doang, ya Allah." Lawren mengusap dadanya, ia harus sabar menghadapi ibunya yang terlalu dramatis."Lagian kamu, Ren, suka kebiasaan pulang malem terus. Ibu, tuh, khawatir. Anak gadis kok pulangnya nggak diatur. Kamu yang ngelakuin, tetangga tuh yang repot!" Racun—ibu Lawren mengoceh."Tetangga terus, tetangga aja tuh urusin. Apa-apa bahasnya tetangga, anak sendiri gak dibelain!" Lawren membalas ucapan ibunya."Jadi anak kelewat bobrok, ya, kamu. Ngomong sama orang tua kayak gitu, nggak sopan banget!""Lagian ibu, sih, in—""Gue pulang dulu, ya, Ren," ucap Nikel yang dari tadi menyimak perdebatan kedua orang itu. "Saya pamit, Tante," lanjut Nikel melirik ibu Lawren.Ibu dan anak itu saling menyenggol, tentu saja mereka lupa bahwa ada Nikel di sana. Karena, Nikel yang mengantar Lawren pulang. A