Home / Romansa / Yang Terpilih / Part 2: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Share

Part 2: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

last update Last Updated: 2021-10-21 14:46:57

Aku tidak tahu harus bagaimana, akhirnya masuk kamarku sendiri, mengambil baju kemudian ke kamar mandi.

Tak ada suara apa-apa saat aku keluar dari kamar mandi. Aku kembali masuk ke kamar, menyisir pelan rambut panjangku yang terasa gimbal—lengket satu sama lain—karena ulah angin tadi.

Kutatap wajahku di cermin kecil berbingkai Hello Kitty, hadiah dari teman-temanku. Ulang tahunku lagi, tapi yang kesebelas.

Suara azan magrib terdengar sayup-sayup. Dari cermin aku melihat bayangan Ebo’. Ia menghampiri, bertanya apakah aku mengganti pembalutku dengan yang baru dan membuang yang lama ke tempat sampah setelah aku mencuci bersih dan membungkusnya rapi dengan kertas bekas. Aku mengangguk dan Ebo’ tersenyum puas. Matanya terlihat merah, aneh bagiku, matanya menangis, tapi tersenyum padaku.

“Ayo makan, jangan sholat dulu, kamu sedang halangan.”

            “Halangan?”

            Ebo’ mengangguk. “Setiap perempuan muslim tak boleh sholat pada saat mendapatkan haid.”

            Kini aku mengangguk.

Aku mengekor keluar kamar menuju ruang makan. Ebo’ mengambil piring kosong, mengisinya dengan nasi putih dan sepotong besar ayam goreng. Aku tersenyum lebar padanya yang hanya duduk menemani.

Ebo’ pernah bilang bahwa keluarga kami beruntung bisa makan nasi putih, karena usaha Eppa’ sebagai bandul tembakau sukses. Kata Ebo’, aku harus bersyukur atas segala apa yang bisa kumakan hari ini. Aku juga bersyukur atas baju-baju bagus selalu dibelikan untukku, anak satu-satunya. Tanyakan padaku, mainan apa yang ada di pasar yang tidak pernah kumiliki. Eppa’ selalu membelikanku mainan, termasuk pistol-pistolan dan mainan truk besar. Tidak banyak penduduk daerah sini yang bisa menikmati nasi putih dan lauk daging ayam seperti aku. Nasi jagung  dan singkong rebus menjadi pilihan karena harganya yang jauh lebih murah kata Ebo’.

Sebagian besar penduduk di sini memilih menjadi nelayan sebagai mata pencaharian, hanya Eppa’ yang memiliki nyali besar untuk keluar dari kebiasaan itu. Eppa’ membeli berhektar-hektar tanah dan menanaminya dengan tembakau di kala musimnya dan tanaman palawija di luar masa itu, walaupun palawija tidak terlalu berhasil. Tanah Madura banyak mengandung kapur, itu yang pernah kudengar saat Bapak bercengkerama dengan teman-temannya di rumah.

Benar kata orang, kehidupan seperti roda yang berputar. Sesekali di atas, sesekali berada di titik bawah. Aku merasakan ada perubahan di rumah, dan semakin nyata terasa, saat beberapa bulan setelah aku memergoki Ebo’ menangis, kami pindah rumah. Rumah baru itu satu kilometer dari rumahku yang lama. Rumah baru yang jauh lebih kecil.

Aku sudah hampir enam belas tahun sekarang. Aku rasa aku semakin mengerti dan bisa menerima keadaan rumah yang tidak lagi seperti dulu. Nasi jagung ada di meja dan sepotong ikan tongkol dimasak kesseng Ebo’ letakkan di piringku. Menu yang sama dari kemarin.

“Bo… kapan makan nasi putih lagi? Nasi jagung ini seret di tenggorokan, susah nelennya. Oca harus minum air setiap satu suapan.” Aku berusaha berkata sedatar mungkin agar tidak terdengar seperti orang mengeluh. Tapi telat, roman wajah Ebo’ sudah berubah. Kesedihan tampak di wajahnya.

Aku menyesal dan makin menyesal saat aku tahu Ebo’ berusaha menghibur, tersenyum di bibirnya namun ada genangan air mata di sudut maniknya. Tidak ada cara lain, kubayangkan itu adalah nasi putih pulen, wangi dan masih mengepul asap karena baru matang. Aku tidak mau Ebo’ bersedih.

Kau tahu apa yang terjadi keesokan harinya saat makan siang?

Ada sepiring nasi putih di hadapanku dengan sepotong ayam goreng!

Aku tersenyum girang kemudian Ebo’ bercerita, dia membantu istri Haji Dullah memasak untuk acara syukuran anaknya sunatan. Ebo’ mendapat jatah dua piring nasi putih berikut ayam goreng itu. Sepiring untukku dan sepiring untuk Eppa’.

Untuk Ebo’, sudah kenyang, katanya. Tapi, aku tahu Ebo’ bohong karena sesaat sebelum aku keluar rumah untuk bermain bersama Soca, Ebo’ menyelinap ke dapur, mengisi piringnya dengan nasi jagung tanpa lauk dan secuil petis ikan dengan potongan rawit di atasnya.

Kesempatan kedua selalu ada bagi Eppa’. Namun  alam seolah menunda kesuksesannya. Setiap kali berusaha, berakhir dengan kekecewaan. Setiap kali kegagalan itu kudengar, suara emosi Eppa’ melengking seantero rumah, lalu aku akan mendengar suara isak tangis Ebo’.

Delapan bulan yang lalu, Eppa’ mengaku kehilangan seluruh tanahnya karena satu hal: judi. Ternyata itu yang membuat Ebo’ menangis. Judi yang membuat semua harta Eppa’ lenyap seketika. Eppa’ terbuai dalam rayuan bandar judi di kota. Terbuai dalam ayunan iming-iming sekoper uang hingga mau menjadikan semua harta bendanya sebagai bahan taruhan.

Nasi telah menjadi bubur. Eppa’ menyesal, aku tahu itu dari gurat-gurat di wajahnya, dari bibirnya yang bergetar oleh amarah pada dirinya sendiri.

“Nyebut, Pak. Istiqfar….” Itu salah satu kalimat yang sering terdengar di telingaku. Dan Bapak dengan takzim akan menyebut kebesaran Allah.

Apabila alam yang berkehendak, roda kehidupan itu akan terus berputar, kadang cepat kadang lambat, tetapi roda keluargaku seakan tak berputar. Hanya bergerak tipis seperti daun yang terkena semilir angin.

Nasi jagung dan singkong rebus, menjadi menu setiap hari. Tangis Ebo’, wajah renta Eppa’, menjadi pecut pengingat pada kesusahan ini.

Waktu bergulir, usiaku tujuh belas tahun ketika Desman mengajakku ke Sumenep. Naik motor barunya. Katanya ada tempat makan enak di kota.

“Kamu pasti suka,” tutupnya setelah menguraikan deretan kalimat ajakan padaku. Desman, bukan lagi bocah nakal berusia dua belas tahun yang senang berbuat iseng. Ia

mendadak seperti menelan tiang listrik utuh, tubuhnya jauh tinggi menjulang melebihi diriku.

Kumis tipis di atas bibirnya menandakan usia menuju dewasanya.

Aku tak kuasa melawan rasa ingin tahuku. Pergi ke kota adalah peristiwa langka. Aku menerima ajakan Desman karena izin dari Eppa’ dan Ebo’ sudah kukantongi.

Motor Desman melaju perlahan. Sangat pelan.

“Pelan amat jalannya…” kataku, tak perlu berteriak, tak perlu melawan suara bising angin yang terbelah dengan lemah. Motornya tak menderu kencang.

“Kenapa harus buru-buru?” jawabnya.

Sesekali dia mengerem motor tiba-tiba. Aku terpaksa meremas baju di bagian pinggangnya menahan diriku agar tidak terjungkal jatuh ke aspal keras.

“Ada enthog lewat,” katanya ketika aku mengomel. Dan omelanku semakin menjadi, semua orang tahu, siapa sih yang pelihara angsa di daerah sini? Mana ada!

“Ada kambing nyebrang,” elaknya lagi di rem kedua. Kambing di malam hari? Mereka pasti sudah tertidur pulas. Aku masih mengomel, karena dorongan rasa takut jatuh.

“Ada dhin-dadhin terbang,” katanya lagi sambil tertawa ketika rem mendadak ketiganya sukses membuat tubuhku sekilas menyentuh tubuhnya. Aku tidak tertawa. Siapa yang sanggup tertawa mendengar kata “hantu terbang” di malam gelap gulita seperti ini? Saat ini baru pukul tujuh malam, tapi tak ada lampu penerangan jalan, gelapnya sudah melebihi warna langit yang tak berbintang. Hanya mengandalkan lampu sorot motornya, nyaris tak mendongkrak rasa beraniku.

Tak lama kerlip lampu rumah penduduk menyapa mata. Kami sudah memasuki kota. Desman tak lagi banyak tingkah. Polisi bernama akhlak mengintai di tengah kegelapan. Sebuah kafe kecil di lantai  dasar toko tingkat menjadi tujuan kami.

“Ca … kamu mau jadi pacarku?”

Minuman yang ada di dalam mulutku, hampir saja tersembur ke luar. Mataku melotot menatapnya, mungkin telingaku salah mendengar.

“Kamu mau kan jadi pacarku?”

Aku tidak salah dengar.

***

Related chapters

  • Yang Terpilih   Part 3: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Ucapan Desman terdengar begitu jelas. Tak salah lagi. Perutku memang kenyang, setelah menghabiskan sepiring nasi goreng merah dan segelas fanta hijau, tapi oksigen masih cukup memenuhi otakku untuk mencerna ucapannya. Aku menunduk. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ini semua. Aku memang dekat padanya, tapi—“Ca?”“Aku … Desman….” Lidahku kelu. Pikiranku buntu, oksigennya sudah berebut memenuhi lambung. Aku hanya menganggap Desman sebagai teman. Pernyataan cintanya sungguh di luar dugaan dan harapan. Harapan? Iya, tak pernah aku berharap ada cinta di antara kami. Selama ini cukup sudah dengan status “teman”.Ia berusaha menggenggam tanganku namun kutarik pelan. Tak ada yang namanya “kesetrum”, “meleleh” atau apa pun istilah yang digunakan oleh novel-novel remaja yang sering Soca pinjamkan kepadaku. Yang ada hanya perasaan asing, kosong, bahkan yang katanya cewek akan terbuai oleh

    Last Updated : 2021-10-25
  • Yang Terpilih   Part 4: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.Eppa’ mengangguk.“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA Ambunten kupandang

    Last Updated : 2021-10-26
  • Yang Terpilih   Part 5: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    “Rosa!” Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega. “Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian. “Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar. Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?

    Last Updated : 2021-10-28
  • Yang Terpilih   Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk

    Last Updated : 2021-11-02
  • Yang Terpilih   Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be

    Last Updated : 2021-11-03
  • Yang Terpilih   Part 8: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se

    Last Updated : 2021-11-06
  • Yang Terpilih   Bab 1 Per Fas et Nefas - Melalui yang benar dan yang salah

    Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 10

    Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.

    Last Updated : 2021-11-07

Latest chapter

  • Yang Terpilih   Rosa Putri Azra-Jodoh Tak Kemana

    Tahun 2004 Rosa menatap keluar jendela mobil, matanya bergerak mengamati setiap pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan. Sesekali dia menarik jaketnya, dingin AC mobil membuatnya menarik kedua kakinya, meringkuk seperti anak kecil. Kini kepalanya bersandar pada kaca jendela, tidak nyaman baginya tapi cukup membuatnya memiliki ruang mengamati seisi mobil. Di depannya persis, sopir terlihat begitu khusuk menjaga laju kendaraan dan mungkin juga laju kantuk di matanya. Di samping sopir Mardi tertidur lelap, kepalanya miring ke kiri, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Rosa tersenyum tipis melihat itu. Di kursi sebelah Rosa, ibu Nyak juga tertidur. Rosa mengangkat tubuhnya, merapikan sarung yang dijadikan selimut tubuh Nyak lalu kembali ke posisinya semula. Sedangkan di kursi belakang Mpok Leli, kakak Mardi yang di Rawalumbu tidur telentang sendirian. Matanya kembali k

  • Yang Terpilih   Epilog

    Tiga tahun kemudian Rumah sakit khusus ibu dan anak yang mewah itu ramai oleh pengunjung. Berbeda dengan rumah sakit umum, wajah yang terlihat kebanyakan wajah ceria. Lebih banyak kabar gembira di sini, yaitu kelahiran jiwa baru ke dunia. Seorang wanita berambut sebahu sedang mengawasi seorang bocah berumur empat tahun. Bocah tampan berkulit putih. Sesekali mulut wanita cantik itu berteriak memanggil nama anak kecil yang tampak begitu lincah dan sehat. “Mommy!” seru sang bocah sembari berlari dari kejauhan dengan mainan pesawat di tangannya. Wanita itu tersenyum lebar, membentangkan kedua lengannya, lalu menerima tubuh gempal anaknya ke dalam pelukannya.&n

  • Yang Terpilih   Bab 24

    Giselle masih mematung saat bayangan mobil yang mengantar Rosa menghilang daripandangannya. Di saat itu juga, dia merasakan kelegaan luar biasa, seakan terbebas dari himpitan dua batu besar. Matanya mengerjap berkali-kali, sudah tidak ada airmata yang menetes atau tergenang. , Perlahan tubuhnya mengendur. Saraf otaknya yang sedari tadi tegang, kini terasa ringan. Bola salju besar yang menggelinding karena ulahnya, sekarang sudah diam, berhenti dan meleleh lalu lenyap meresap ke dalam bumi. David juga masih di posisi yang sama, membeku. Namun kewarasannya menegur, dia menoleh kepada istrinya dan mencoba tersenyum. “Sayang ... sudah. Semua sudah berlalu,” bisik David sembari menciumi pelipis istrinya. Giselle menarik napas panjang lalu tercekat be

  • Yang Terpilih   Bab 23

    Rosa berdiri, menunggu penumpang di sebelahnya berlalu lalu dia menyusul di belakang. Berjalan perlahan sepanjang koridor pesawat, membalas senyum sekadarnya pada pramugari yang memberi salam. Udara hangat menerpa wajahnya seketika, saat dia mulai menuruni tangga pesawat. Angin menyibak rambut panjang terurainya, helai hitam itu membelai wajah matangnya yang terlihat tirus. Mata indah yang biasanya bersinar, kini redup kehilangan cahaya. Ada yang menarik paksa seluruh keceriannya, namun mengembalikan makna kehidupannya. Tas baju sudah ada di tangannya, menunggu sopir di depan pintu kedatangan terminal 2E. Salam dari Pak Kosim hanya disambut Rosa dengan anggukan kecil. Berkali-kali gadis muda yang mendadak dewasa ini menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan, seolah hendak mengeluarkan segala sesak di dada. Selama berada di Madura,

  • Yang Terpilih   Bab 22

    Surat Yassin berkumandang. Rosa melafalkan doa itu dengan segenap hati, ada genangan di matanya yang setiap saat bisa meluber. Wajah ibunya terbayang, sejak acara tahlilan tujuh hari meninggalnya ibunya ini dimulai hingga hampir berakhir, dia selalu menarik ujung kerudung berwarna hitamnya agar orang-orang yang duduk di sebelah kanan kirinya tidak melihat sudut matanya yang mulai basah. Atau dia takut orang lain melihat rasa bersalah di wajahnya? Dia menatap ayahnya di seberang ruangan yang tengah menunduk, melafal dengan penuh hikmat. Tubuh kurus ayahnya dan uban yang memenuhi kepalanya itu membuat hatinya kembali seolah diiris sembilu. Pedih. Rasa sesal tak bisa dibendungnya lagi. Setiap hari sejak kematian ibunya, adalah dera penyesalan. Namun hidup bukanlah sebuah buku yang bisa dibuka lembar demi lembarnya sekena hati, yang bisa kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan. Waktu tidak akan pernah

  • Yang Terpilih   Bab 21

    Tuntutan hukum Giselle membuat Rosa bingung, tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu orang mungkin yang bisa menolongnya. Tommy. Rosa menelepon Tommy, dengan suara berbisik di kamarnya. “Mbak Giselle lapor polisi, Mas Tommy, gimana ini??” tanya Rosa bingung. “Maksudnya? Lapor apa?” tanya Tommy bingung. “Mbak Giselle melaporkan saya ke polisi, katanya saya sudah melakukan pemerasan. Saya takut…” jelas Rosa. Tommy terdiam sejenak. Sebagai pengacara, dia sangat mengerti mengapa Giselle melakukan hal itu. Dia berpura-pura tenang da mengatur nada bicaranya. Uang yang ada di depan matanya tidak boleh lepas.&

  • Yang Terpilih   Bab 20

    Sudah sebulan berlalu sejak insiden Rosa ketahuan belangnya. Sekarang Rosa sudah pulih sama sekali dari luka bekas operasi. Mungkin karena Rosa masih sangat muda, kemarahan orangtuanya tidak begitu membekas, seperti anak kecil ketahuan nakal—dia cepat pula melupakannya. Dia yakin orangtuanya pasti akan memaafkannya. Rosa kembali ceria dan menikmati hidupnya yang penuh kemewahan. Apalagi Giselle sudah membayar lunas haknya dan David memanjakannya dengan uang jajan. Walaupun kini dia jarang menggendong Raynar, tapi air susunya masih sangat dibutuhkan. Dia merasa masih memiliki “senjata” untuk bertahan di rumah Giselle. “Bo’… Rosa mau kirim lagi seratus juta…” kata Rosa minggu lalu melalui telepon. “Tak perlu, Ep

  • Yang Terpilih   Bab 19

    Giselle menimbang-nimbang kapan waktu terbaik untuk berbalik mengancam Rosa seperti yang diajarkan Emma. Setiap kali dia mundur, begitu mengingat Rosa adalah pemberi ASI terbaik buat Raynar. Mulutnya terasa terkunci. Kalau Rosa stress gara-gara dirinya, lalu David mengetahui, apa yang akan dikatakan oleh suaminya? Mungkin malah memperburuk situasinya saat ini. Pagi ini Giselle berniat mengajak Raynar berjalan-jalan ke kebun, mandi matahari. Dia menggendong Raynar, mengecup anaknya yang baru bangun tidur berkali-kali hingga membuat Raynar menangis. Lalu Giselle tertawa, menciumi lagi anaknya yang malah tersenyum padanya. Mungkin Raynar merasakan besarnya cinta kasih yang dimiliki oleh Giselle. “Raynar berjemur dulu, yuk, sama Mommy, nanti minum susu. Okay?” kata Giselle.&

  • Yang Terpilih   Bab 18

    Rosa melamun di ruang tamu. Tadi Raynar dibawa Giselle untuk vaksinasi di rumah sakit dan menolak keras Rosa ikut. “Kamu nggak perlu ikut, Ros,” kata Giselle kalem saat menggendong Raynar. “Ayo, Sus,” ajaknya ke penjaga Raynar. “Tapi, Mbak…” Rosa berusaha membantah. “Saya bisa sendiri, dan memang saya harus melakukannya sendiri,” kata Giselle. “O, ya, asal kamu tahu saja, Raynar sudah punya akta lahir dan masuk ke dalam Kartu Keluarga di sini, jadi kamu mengerti maksudnya, kan?” Giselle mengangkat dagunya ke arah fotokopi dokumen yang tadi dia keluarkan dari tas. Rosa menghampiri berkas itu, nama Raynar Wicaksono tercetak di b

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status