Beranda / Romansa / Yang Terpilih / Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Share

Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-02 15:37:28

Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.

Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.

Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.

Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.

Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.

“Ning…” panggilku lirih.

Enning menoleh dan menyuruhku duduk.

“Ada apa, Ros?”

“Oca minta maaf sebelumnya—” Aku menggantung ucapanku.

“Kenapa? Ada masalah? Asep pasti! Nanti saya tegur dia!” kata Enning sewot, bahkan sebelum mendengar penjelasanku.

Aku tersenyum, Asep malah tak pernah ada dalam pikiran selama ini.

“Bukan. Oca ingin nyoba cari kerjaan di luar, Nyan.”

Roman wajah Enning berubah, jika tadi terlihat geram, kini mendadak berubah drastis menatapku dengan pandangan tidak percaya.

“Kenapa? Kamu kekurangan uang?”

“Tidak, Ning. Bukan masalah uangnya, tapi Oca ingin tahu dunia luar.” Aku membual. Aku hanya ingin yang lebih bagus. Uang yang lebih banyak.

“Pikirkan lagi Ros, Enceng itu lagi nyari lapak baru, biar kamu bisa pegang sendiri. Ini kesempatan bagus buat kamu.”

Aku sedikit terhenyak mendengar ucapannya.

Ada rasa tertarik sebenarnya, tapi aku harus melangkah maju untuk mengetahui dunia luar sana. Tidak di sini. Tidak.

“Makasih, Ning, makasih banyak. Oca masih ingin nyoba kerja dulu ke orang lain, Ning….”

Enning tepekur sejenak, namun kemudian senyum tipis terbentuk di wajah bulatnya.

“Saya tahu, saya mengerti, dari awal kamu sudah ngomong tentang ini. Kamu sudah dapat lowongannya?”

Aku menunjukkan sesobek kertas kecil lusuh di tanganku. Enning Marfu’a mengambil dan melihatnya sekejap, lalu mengembalikannya padaku.

“Beberapa hari lalu, waktu pulang dari bank, Oca lihat lowongan pekerjaan di toko. Oca mau coba nelpon.”

Enning tersenyum arif. Ini salah satu yang kusuka darinya, aku jarang melihatnya marah dan tidak pernah memaksakan kehendaknya pada orang lain.

“Sana telepon nomer itu sekarang.”

Aku tersenyum lebar dan kubalikkan badan berlari ke telepon rumah yang ada di ruang tamu.

Aku tekan nomor itu perlahan, disertai doa dalam hati. Semoga.

“Halo?” Suara wanita terdengar.

“Eh, iya, halo,” jawabku gugup, kupegang gagang telepon erat-erat.

“Ada keperluan apa?” Suara wanita itu lagi.

“Anu … saya mau kerja. Ada pengumuman cari karyawan…” sahutku sedikit gugup.

“O ... lowongan kerja…. Maaf ya, baru hari ini terisi.”

Aku memejamkan mata, ada rasa kecewa melanda.

“Apa … apa ada kerjaan lain?” tanyaku nekat sambil menggigit bibir.

“Belum ada sekarang ini sih. Kemarin memang lagi butuh dua orang karyawan.”

Aku diam, berpikir keras.

“Halo?”

Aku tersentak, lidahku terasa kelu, baru aku merasakan penolakan semacam ini, ternyata rasanya tidak enak.

“Maaf … maaf...” kataku akhirnya.

“Gini aja, kamu coba sebutin nomor telepon yang bisa dihubungi, saya akan simpan. Nanti kalau kita butuh karyawan lagi, saya hubungi kamu.”

Aku mengangguk tanpa sadar. Kusebutkan nomor telepon rumah ini, namaku lalu menutup telepon setelah memberi salam. Aku keluar ruangan menemui Enning lagi.

“Bagaimana?”

“Sudah ada yang kerja katanya, Ning…” jawabku lemas.,

“Nanti cari lagi yang lainnya. Memang tak mudah cari kerjaan di sini.”

Aku mengangguk lemas dan mengempaskan pantatku ke kursi di sebelahnya. Aku kecewa tapi ini tak membuatku jeri. Kuhabiskan sepanjang sore itu dengan sepupu terkecilku, Fajar, melupakan sedikit rasa sedih yang melanda.

Hari-hari berikutnya kulalui seperti biasa, namun kini setiap kali melihat kertas ditempel di tiang, tembok, pintu bahkan mobil—aku tahu ini konyol—aku akan berusaha membacanya. Menyipitkan mata dan aku akan menggunakan ingatan tajamku untuk menghafal nomor telepon yang disebutkan di sana.

Seminggu, dua minggu, banyak selebaran yang kubaca, banyak pula doa yang kudaraskan. Tetapi tidak ada pengumuman lowongan kerja yang kulihat. Yang terbanyak adalah kertas bekas kampanye pilkada dan yang kedua; jasa tukang sedot WC. Sama-sama berbau tajam.

Apakah benar sesulit ini mencari pekerjaan? Aku sudah menetapkan dalam hati saat dulu aku mencetuskan rencana merantau ke Jakarta, hanya tiga bulan waktu yang kusiapkan bagi diriku sendiri untuk menumpang hidup pada Enning, aku harus bisa mandiri.

Fajar sedang bercanda di teras bersamaku saat Enning memanggilku di satu sore hari yang mendung.

“Rosa! Ada telepon!”

Aku tersenyum, bangkit berdiri secepat kilat, padahal baru kemarin Bapak meneleponku, sekarang sudah menelepon lagi. Mungkin Ibu kangen padaku.

“Halo!” teriakku kencang, bersemangat seperti biasa.

“Ini dengan Rosa?”

Suara … bukan suara Eppa’ … bukan suara Ebo’….

Aku terkesiap.

“I … iya?”

“Saya dari toko peralatan bayi. Kamu masih berminat kerja di sini?”

Aku merasa tercekik tiba-tiba. Aku terkejut, batin dan pikiranku ternyata belum siap menerima kabar yang justru sedang kutunggu-tunggu.

“Halo?” Suara wanita diujung sana terdengar.

“Saya … iya, saya masih mau kerja,” jawabku.

“Hari ini kamu bisa datang ke toko saya? Interview sebentar.”

In-ter-fiu? Wawancara?

Aku melihat jam dinding, sudah pukul lima sore, sebentar lagi magrib.

“Saya .. maaf, boleh besok sore, jam tiga-an saya ke sana.”

Aku menunggu dengan berdebar, sekilas ada rasa menyesal aku tidak langsung bisa pergi ke tempatnya hari ini.

“Boleh.”

Oh … aku bernapas lega.

“Sudah tahu alamat toko saya?”

“Sudah.”

“Oke, kalau begitu saya tunggu kamu besok.”

Aku meletakkan gagang telepon perlahan setelah mengucapkan terima kasih, lalu....

“Ningggg!” Aku berteriak, berlari langsung ke dapur mencari Enning.

Kuceritakan padanya apa yang barusan kudengar. Ia tersenyum lebar, menepuk lenganku berkali-kali.

“Besok pulang dari pasar saya antar,” katanya.

Aku mengucapkan terima kasih dan berlari ke teras, mengangkat tinggi-tinggi tubuh bocah Fajar namun ia menggeliat kuat tidak suka aku bopong seperti itu. Kulepaskan dia, kembali ke permainannya. Aku duduk di kursi, mereka-reka apa yang akan terjadi besok. Aku rasa sejak berada di Jakarta aku terlalu sering mereka-reka, karena tidak ada yang bisa diperkirakan dengan keyakinan pasti di Jakarta.

Enning Marfu’a menepati janjinya, ia mengantarku ke toko peralatan bayi. Tepat pukul tiga sore, aku sudah duduk di hadapan seorang wanita. Aku meminta Enning tidak menunggu, aku sudah paham jalur angkutan untuk pulang ke rumah.

Wanita berkulit putih itu tersenyum padaku, aku rasa dia pemilik tokonya.

“Nama kamu, Rosa?”

Aku mengangguk. “Iya, Bu.”

“Panggil saya Ci Melan aja seperti yang lainnya di sini.”

“Iya ... Ci....”

Aku pikir in-ter-fiu itu semacam ujian, dimana aku harus mengisi berlembar-lembar pertanyaan. Ternyata bukan, dia hanya mengajakku ngobrol. Tentang diriku. Dalam hati aku terus berdoa agar aku diterima bekerja di sini, aku menyukai caranya berbicara padaku. Menganggapku sesama manusia.

“Baiklah. Saya cocok sama kamu, kalau kamu mau kerja, besok mulai datang pagi, toko buka mulai dari jam delapan, tutup jam lima sore.” Dia mengakhiri percakapan kami.

“Terima kasih, Ci Melan!” jawabku tegas.

“Sebagai gaji awal, saya tidak bisa kasi kamu banyak, delapan ratus setiap bulannya. Kamu keberatan?”

Aku menatapnya dalam, sebagai langkah awal, aku tak mempermasalahkan gaji.

“Tidak keberatan, Ci.”

“Baiklah, mulai besok. Saya tunggu.”

Aku beranjak berdiri, berjalan melalui rak-rak yang berjajar rapid an tersenyum tipis pada salah satu karyawan yang menatapku penuh penasaran.

Cukup bertanya pada pemilik kios kelontong yang ada di depan toko, dia langsung memberitahu jalur angkutan yang harus aku naiki. Hanya setengah jam sudah sampai di depan perumahan Enning, tinggal berjalan masuk beberapa meter.

Enning dan Enceng berada di teras, aku mengucapkan salam dan mencium tangan mereka berdua.

“Oca diterima kerja, Enning, Enceng.”

Enning mengucapkan hamdalah.  Enceng mengangguk-angguk tipis di antara kepulan asap rokoknya.

“Ingat Ros, kalau kamu tak betah, kamu masih punya pekerjaan  di sini,” kata Enning sambil tersenyum. Aku merasa lega, itu terdengar seperti bantal empuk yang siap menadah saat aku terjatuh.

Aku menceritakan pertemuanku dengan Ci Melan dan keinginanku untuk mencari tempat kos di dekat sana. Mereka tidak melarang sedikit pun, aku merasa ada angin segar berembus. Selanjutnya tinggal menunggu telepon dari Eppa’ dan Ebo’, ingin kusampaikan berita gembira ini pada mereka secepatnya.

Aku merasa inilah jalanku.

Hari pertama kerja kujalani dengan penuh semangat, Ci Melan mengajarkan bagaimana melayani pembeli, bagaimana membawa barang belanjaannya ke bagian kasir—yang dipegang oleh Ci Melan sendiri.

Sehabis jam kerja, Ci Melan memanggilku. Dia menunjukkan gang kecil pas di sebelah tokonya. Banyak kos-kosan murah di sana. Tidak mau membuang waktu, aku langsung memasuki gang kecil yang hanya muat dilalui oleh satu motor, dua kalau salah satunya mau mengalah mepet ke teras sempit salah satu rumah.

“Permisi, Bu? Di mana di sini yang ada kos-kosan?” tanyaku pada seorang wanita setengah baya yang tengah mencari kutu di kepala anak gadisnya.

Dia mendongak, “Noh … di sono, Neng, banyak. Di mari kagak ade, terus jalan ke sono. Entar neng liat dari rumah cat ijo, mulai dari sono, coba noh tanyain. Jam segini Si Engkong ada di rumah noh.”

Aku mengucapkan terimakasih dan dia kembali ke aktivisitasnya semula. Pemburu kutu, sama saja dengan di Madura, itu membuatku tersenyum sendiri.

Hanya beberapa meter, sebuah rumah dua lantai terbuat dari triplek bercat hijau tertangkap mata. Aku mengetuk pintu rumah itu, yang keluar seorang kakek, berkaos singlet dan berkain sarung.

“Permisi, Pak … di sini terima kosan?” tanyaku.

“Udeh penuh, Neng. Coba di sebelah noh, nyang tingkat juge. Kapan hari aye lihat ade nyang pindahan. Sono liat.”

Aku berterima kasih padanya dan melewati dua rumah, aku tiba di rumah yang dimaksud. Sama seperti rumah Si Engkong tadi, rumah ini juga bertingkat, tetapi terlihat lebih kokoh. Setelah beberapa kali mengucapkan salam, ada seorang pria muda—mungkin seusiaku— berpakaian seperti montir bengkel keluar.

Dia membalas salamku.

“Di sini terima kosan?” tanyaku.

Pria itu mengangguk, lalu berteriak kencang ke arah dalam rumah. “Nyakkkk! Ada nyang nyari!”

Pria itu tersenyum tipis padaku lalu keluar rumah, duduk di teras yang hanya cukup ditempati oleh bangku kayu panjang.

Seorang wanita tua berkerudung keluar dengan senyum lebar mengarah padaku.

“Ade ape, Neng? Nyari aye?”

“Ada kamar kosong, Bu?”

“Ng … ade sih. Tapi kecil, Neng. Mau liat? Kemari ikut aye!”

Aku mengikutinya, ke bagian belakang, melewati dapur, melewati kamar mandi dan deretan kamar.

Dia membuka pintu sebuah ruangan. Aku melongok ke dalam, benar-benar sempit. Lebih sempit dari kamarku di kampung. Sebuah kasur tergelar di lantai dan sebuah lemari kayu kecil di pojokan.

“Kagak ada ranjang, Neng. Ngampar aja, biar legaan dikit.”

Otakku berputar keras. Mempertimbangkan.

“Berapa sebulannya, Bu?”

Ibu itu memandangku, dari atas ke bawah, lalu berhenti di mataku.

“Buat Neng, nopek ceng aja deh. Aye kesian ama, Neng.”

Aku melongo. Nopek ceng? Berapa itu? Uang apa itu?

“No...pel...ceng?” tanyaku bingung.

Wanita itu tertawa geli sendiri.

“Si Koh Atay bikin penyakit menular sama aye. Dua ratus rebu, Neng. Biasanye ane kasi dua setengah, tapi kagak ape-ape, buat Neng doang. Tapi bayarnye jangan mulur-mulur yak! Kasihan aye.”

Aku tersenyum lebar.

“Iya, Bu. Makasih banyak. Makasih. Besok saya mulai pindah ke sini.”

“Iye, boleh, nanti aye bersihin sekali lagi, yak!?”

Aku mengangguk.

“Saya pulang dulu, Bu. Besok pagi saya langsung ke sini.”

Aku meraih tangannya, kucium dan meninggalkan dia dengan salam terucap. Diluar, aku mengangguk sedikit pada pria yang sedang duduk di teras sebelum melangkah lebar-lebar menuju jalan besar.

Keesokan harinya, Enning melepaskanku dengan berat hati. Enceng Ibrahim menasehati agar bisa menjaga diriku. Enning memaksaku membawa beberapa makanan kering ke kosan.

Aku memeluknya dan berjanji akan mengunjunginya sesekali.

Pagi ini terasa indah, cuaca pun seolah mendukung suasana hatiku. Hari pertama mandiri. Rasa bangga menyeruak di dalam dada, biarpun ada sedikit rasa getir. Namun aku yakin, jika Enning bisa hidup di kota ini, maka aku pun pasti bisa.

Sebelum ke toko, aku meletakkan tas dan barang bawaan ke kosan dulu. Tepat ketika pria muda yang kulihat kemarin sedang bersiap-siap pergi juga.

“Masuk aja. Nyak lagi di dapur. Aku Mardi.” Dia mengulurkan tangannya.

“Rosa,” balasku.

Dia cepat-cepat menutup jaket dan memakai helm lalu dalam hitungan detik, motornya sudah menghilang di antara beberapa warga yang hilir mudik.

Aku langsung ke kamar, dan begitu kulihat ibu kos di dapur, kuucapkan salam padanya.

“Eh, Neng udah kemari. Bentaran aye kasi sarapan anak aye dulu yak, Neng masuk-masuk aja rapihin barang-barang,” ujarnya sambil membawa sepiring ikan goreng ke luar dapur. Aku masuk kamar dan langsung keluar lagi begitu kudengar ibu kos berteriak-teriak.

“Mardiiii! Lu, Tongggg! Aye bilang sebentar sebentarrr! Malah ngibrit lu! Kagak nyarap lu, Tonggg!”

“Ada apa, Bu?” Aku menghampirinya. Bingung melihat Ibu itu mengacung-acungkan sendok ke udara dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih memegang sepiring lauk.

“Anak bontot aye kagak sarapan lagi! Aye udeh bela-belain gorengin nih ikan nila kesukaan die, malah kabur kerja!”

Aku hanya mampu tersenyum, tidak tahu harus bilang apa padanya. Si Ibu masih melongok ke ujung gang, mungkin berharap anaknya akan kembali. Hal ini membuatku tersenyum, sungguh suasana yang sangat asing bagiku. Tidak ada waktu untuk merapikan baju ke dalam lemari plastik kecil, aku segera mengunci pintu kamar dari luar lalu berpamitan pada ibu kos yang masih terdengar ngomel di dapur.

Ci Melan senang aku sudah menemukan tempat kos yang dekat dengan tokonya. Biar gampang dicariin, katanya. Aku mengangguk setuju,juga tidak perlu keluar ongkos.

Aku berusaha menjalani pekerjaanku dengan sungguh-sungguh. Memasuki bulan kedua, Ci Melan memintaku menggantikan dirinya menjadi kasir. Aku mengartikan ini sebagai ‘naik jabatan’, tanpa naik gaji. Tidak masalah.

Hari minggu siang ini aku berada di kosan, Ci Melan menutup tokonya lebih awal. Mau jenguk orang sakit katanya. Kampung halamanku di Madura berhawa panas, tetapi masih ada semilir angin pantai berembus dari sela-sela jendela kaca nako di kamarku. Di sini? Bahkan untuk bernapas pun rasanya sudah.

            Berada di dalam kamar saat siang hari begini—di saat musim kemarau sedang di puncaknya— membuatku seperti dipanggang hidup-hidup. Atau direbus? Karena keringat mengucur dalam hitungan detik. Benar-benar panas. Hilang sudah keinginan sekadar meluruskan punggung siang ini.

Aku keluar kamar dengan keringat yang sudah membasahi leher dan ketiak. Di luar kamar malah jauh lebih segar.

“Bang….” Aku menyapa Bang Mardi yang sedang duduk di ruang tamu, dengan koran di tangan dan cangkir kopi kosong di meja.

Dia menurunkan koran, menatapku. Aku tahu, mungkin aku terlihat seperti habis lari marathon di matanya.

“Habis bajak sawah, Ros?” tebakanku nyaris benar.

Aku tertawa sambil mengenyakkan tubuh ke kursi rotan di sampingnya kemudian mengambil selembar koran dan menjadikannya kipas.

“Kepanasan?”

Aku mengangguk. Bang Mardi meletakkan koran di meja kemudian ke dalam.

Bang Mardi mau apa?

***

Bab terkait

  • Yang Terpilih   Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-03
  • Yang Terpilih   Part 8: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-06
  • Yang Terpilih   Bab 1 Per Fas et Nefas - Melalui yang benar dan yang salah

    Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 10

    Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 2

    Suasana ruang tamu mewah itu terasa lengang, hanya dua orang wanita duduk berhadapan di satu sofa panjang. Melipat kaki masing-masing, saling memperhatikan ucapan satu sama lain. Persahabatan mereka ibarat anggur yang di fermentasi, semakin lama semakin kuat, semakin menyatu dalam rasa.“Lo udah pastiin Monica ke sini?” tanya Emma.“Udah, dia lagi on the way.”“Gis, bukannya apa-apa. Pikirin lagi matang-matang. Gimana lo bisa tahu dia dari keluarga baik-baik? Apa entar lo malah memelihara ‘macan’ di rumah ini?”Giselle tertawa kecil. “Nggak lah, Em. Gua pasti tahu, gua punya insting untuk menilai seseorang.”Emma mendengus sembari menggelung rambutnya yang sebagian terjatuh di sisi kepalanya. “Kedengarannya emang mudah. Suntikin sperma laki lo ke rahim dia, bayi tumbuh dan bim salabim, bayi lahir, urusan beres.”“Udah seharusnya seperti itu, kan?&

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-08
  • Yang Terpilih   Bab 3

    Giselle baru saja menutup sambungan telepon dengan ibunya. Dia menceritakanrencananya. Tak banyak yang dikatakan Sang Mommy padanya, karena wanita itu sangat mengerti posisi putrinya itu. No bargaining power, anaknya berada di posisi sudut, tak ada jalan lain yang bisa dia gunakan sebagai alasan untuk menolak. “Apa pun yang menurut kamu baik, lakukanlah. Gunakan logika dan perasaan kamu secara seimbang. Jangan sradak-sruduk.” “Iya. Mom. Wish me luck.” “Always.” Dia menekan nomor yang lain tak lama setelah sambungan telepon terputus. Monica. “Ha

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-09
  • Yang Terpilih   Bab 4

    Giselle tertegun, dengan ponsel masih di tangan. Semua di luar perkiraannya. Setelah satu bulan berlalu, tiba-tiba saja Dokter Aviv meneleponnya, mengundang dirinya ke rumah dokter itu. “Maaf, maksud undangan ini apa, Dok?” tanyanya ragu, ujung jarinya mengusap kening. “Sekadar brainstorming, tentang inseminasi buatan yang kamu pernah tanyakan kepada saya.” “Maksudnya?” “Kita akan bicarakan nanti di rumah saya. Oke?” “Ba … baik,” Giselle merasakan kegugupan luar biasa. Mendadak jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-10
  • Yang Terpilih   Bab 5

    Hari ini adalah hari yang berbeda bagi Rosa. Setelah pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Giselle, dia mendapat kabar bahwa prosedur awal mulai harus dilaksanakan.Konsekuensi dari keputusannya adalah, dia harus keluar dari tempat kerjanya. Kemarin dia sudah menghadap Melan, menjelaskan keputusannya. “Lo benar-benar udah yakin, Ros?” tanya Melan sambil menaiki tangga. Melan mengajak Rosa ke atas, agar perbincangan mereka tidak didengarkan oleh karyawan yang lain. “Iya, Ci,” jawab Rosa. Melan mempersilakan anak buahnya itu untuk duduk. “Gua hanya ngingetin lo sekali lagi, Ros. Lo sedang menginjak sesuatu yang sangat tipis. Lo ngerti maksud gua?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-11

Bab terbaru

  • Yang Terpilih   Rosa Putri Azra-Jodoh Tak Kemana

    Tahun 2004 Rosa menatap keluar jendela mobil, matanya bergerak mengamati setiap pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan. Sesekali dia menarik jaketnya, dingin AC mobil membuatnya menarik kedua kakinya, meringkuk seperti anak kecil. Kini kepalanya bersandar pada kaca jendela, tidak nyaman baginya tapi cukup membuatnya memiliki ruang mengamati seisi mobil. Di depannya persis, sopir terlihat begitu khusuk menjaga laju kendaraan dan mungkin juga laju kantuk di matanya. Di samping sopir Mardi tertidur lelap, kepalanya miring ke kiri, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Rosa tersenyum tipis melihat itu. Di kursi sebelah Rosa, ibu Nyak juga tertidur. Rosa mengangkat tubuhnya, merapikan sarung yang dijadikan selimut tubuh Nyak lalu kembali ke posisinya semula. Sedangkan di kursi belakang Mpok Leli, kakak Mardi yang di Rawalumbu tidur telentang sendirian. Matanya kembali k

  • Yang Terpilih   Epilog

    Tiga tahun kemudian Rumah sakit khusus ibu dan anak yang mewah itu ramai oleh pengunjung. Berbeda dengan rumah sakit umum, wajah yang terlihat kebanyakan wajah ceria. Lebih banyak kabar gembira di sini, yaitu kelahiran jiwa baru ke dunia. Seorang wanita berambut sebahu sedang mengawasi seorang bocah berumur empat tahun. Bocah tampan berkulit putih. Sesekali mulut wanita cantik itu berteriak memanggil nama anak kecil yang tampak begitu lincah dan sehat. “Mommy!” seru sang bocah sembari berlari dari kejauhan dengan mainan pesawat di tangannya. Wanita itu tersenyum lebar, membentangkan kedua lengannya, lalu menerima tubuh gempal anaknya ke dalam pelukannya.&n

  • Yang Terpilih   Bab 24

    Giselle masih mematung saat bayangan mobil yang mengantar Rosa menghilang daripandangannya. Di saat itu juga, dia merasakan kelegaan luar biasa, seakan terbebas dari himpitan dua batu besar. Matanya mengerjap berkali-kali, sudah tidak ada airmata yang menetes atau tergenang. , Perlahan tubuhnya mengendur. Saraf otaknya yang sedari tadi tegang, kini terasa ringan. Bola salju besar yang menggelinding karena ulahnya, sekarang sudah diam, berhenti dan meleleh lalu lenyap meresap ke dalam bumi. David juga masih di posisi yang sama, membeku. Namun kewarasannya menegur, dia menoleh kepada istrinya dan mencoba tersenyum. “Sayang ... sudah. Semua sudah berlalu,” bisik David sembari menciumi pelipis istrinya. Giselle menarik napas panjang lalu tercekat be

  • Yang Terpilih   Bab 23

    Rosa berdiri, menunggu penumpang di sebelahnya berlalu lalu dia menyusul di belakang. Berjalan perlahan sepanjang koridor pesawat, membalas senyum sekadarnya pada pramugari yang memberi salam. Udara hangat menerpa wajahnya seketika, saat dia mulai menuruni tangga pesawat. Angin menyibak rambut panjang terurainya, helai hitam itu membelai wajah matangnya yang terlihat tirus. Mata indah yang biasanya bersinar, kini redup kehilangan cahaya. Ada yang menarik paksa seluruh keceriannya, namun mengembalikan makna kehidupannya. Tas baju sudah ada di tangannya, menunggu sopir di depan pintu kedatangan terminal 2E. Salam dari Pak Kosim hanya disambut Rosa dengan anggukan kecil. Berkali-kali gadis muda yang mendadak dewasa ini menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan, seolah hendak mengeluarkan segala sesak di dada. Selama berada di Madura,

  • Yang Terpilih   Bab 22

    Surat Yassin berkumandang. Rosa melafalkan doa itu dengan segenap hati, ada genangan di matanya yang setiap saat bisa meluber. Wajah ibunya terbayang, sejak acara tahlilan tujuh hari meninggalnya ibunya ini dimulai hingga hampir berakhir, dia selalu menarik ujung kerudung berwarna hitamnya agar orang-orang yang duduk di sebelah kanan kirinya tidak melihat sudut matanya yang mulai basah. Atau dia takut orang lain melihat rasa bersalah di wajahnya? Dia menatap ayahnya di seberang ruangan yang tengah menunduk, melafal dengan penuh hikmat. Tubuh kurus ayahnya dan uban yang memenuhi kepalanya itu membuat hatinya kembali seolah diiris sembilu. Pedih. Rasa sesal tak bisa dibendungnya lagi. Setiap hari sejak kematian ibunya, adalah dera penyesalan. Namun hidup bukanlah sebuah buku yang bisa dibuka lembar demi lembarnya sekena hati, yang bisa kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan. Waktu tidak akan pernah

  • Yang Terpilih   Bab 21

    Tuntutan hukum Giselle membuat Rosa bingung, tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu orang mungkin yang bisa menolongnya. Tommy. Rosa menelepon Tommy, dengan suara berbisik di kamarnya. “Mbak Giselle lapor polisi, Mas Tommy, gimana ini??” tanya Rosa bingung. “Maksudnya? Lapor apa?” tanya Tommy bingung. “Mbak Giselle melaporkan saya ke polisi, katanya saya sudah melakukan pemerasan. Saya takut…” jelas Rosa. Tommy terdiam sejenak. Sebagai pengacara, dia sangat mengerti mengapa Giselle melakukan hal itu. Dia berpura-pura tenang da mengatur nada bicaranya. Uang yang ada di depan matanya tidak boleh lepas.&

  • Yang Terpilih   Bab 20

    Sudah sebulan berlalu sejak insiden Rosa ketahuan belangnya. Sekarang Rosa sudah pulih sama sekali dari luka bekas operasi. Mungkin karena Rosa masih sangat muda, kemarahan orangtuanya tidak begitu membekas, seperti anak kecil ketahuan nakal—dia cepat pula melupakannya. Dia yakin orangtuanya pasti akan memaafkannya. Rosa kembali ceria dan menikmati hidupnya yang penuh kemewahan. Apalagi Giselle sudah membayar lunas haknya dan David memanjakannya dengan uang jajan. Walaupun kini dia jarang menggendong Raynar, tapi air susunya masih sangat dibutuhkan. Dia merasa masih memiliki “senjata” untuk bertahan di rumah Giselle. “Bo’… Rosa mau kirim lagi seratus juta…” kata Rosa minggu lalu melalui telepon. “Tak perlu, Ep

  • Yang Terpilih   Bab 19

    Giselle menimbang-nimbang kapan waktu terbaik untuk berbalik mengancam Rosa seperti yang diajarkan Emma. Setiap kali dia mundur, begitu mengingat Rosa adalah pemberi ASI terbaik buat Raynar. Mulutnya terasa terkunci. Kalau Rosa stress gara-gara dirinya, lalu David mengetahui, apa yang akan dikatakan oleh suaminya? Mungkin malah memperburuk situasinya saat ini. Pagi ini Giselle berniat mengajak Raynar berjalan-jalan ke kebun, mandi matahari. Dia menggendong Raynar, mengecup anaknya yang baru bangun tidur berkali-kali hingga membuat Raynar menangis. Lalu Giselle tertawa, menciumi lagi anaknya yang malah tersenyum padanya. Mungkin Raynar merasakan besarnya cinta kasih yang dimiliki oleh Giselle. “Raynar berjemur dulu, yuk, sama Mommy, nanti minum susu. Okay?” kata Giselle.&

  • Yang Terpilih   Bab 18

    Rosa melamun di ruang tamu. Tadi Raynar dibawa Giselle untuk vaksinasi di rumah sakit dan menolak keras Rosa ikut. “Kamu nggak perlu ikut, Ros,” kata Giselle kalem saat menggendong Raynar. “Ayo, Sus,” ajaknya ke penjaga Raynar. “Tapi, Mbak…” Rosa berusaha membantah. “Saya bisa sendiri, dan memang saya harus melakukannya sendiri,” kata Giselle. “O, ya, asal kamu tahu saja, Raynar sudah punya akta lahir dan masuk ke dalam Kartu Keluarga di sini, jadi kamu mengerti maksudnya, kan?” Giselle mengangkat dagunya ke arah fotokopi dokumen yang tadi dia keluarkan dari tas. Rosa menghampiri berkas itu, nama Raynar Wicaksono tercetak di b

DMCA.com Protection Status