Beranda / Romansa / Yang Terpilih / Part 5: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Share

Part 5: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-28 11:43:58

“Rosa!”

Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega.

“Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian.

“Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar.

Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?

            Orang-orang berjalan setengah berlari. Aku mencatat banyak hal tentang Jakarta ini dalam hati.    

            Enceng membuka pintu mobil dan aku terbelalak kagum. Mobil Enning bagus, warnanya hitam, besar, logo merek terkenal aku lihat di bagian depannya, aku  pernah lihat di televisi. Enning duduk di depan, di samping Enceng, dan aku duduk di bangku tengah.

Dengan lincah Enceng Ibrahim menyetir mobilnya, berusaha meloloskan diri dari kepungan bis yang bertebaran tidak teratur di terminal ini.

Mataku jelalatan, melihat banyaknya kendaraan di jalan raya. Apakah semua orang Jakarta kaya raya hingga mereka semua memiliki mobil?

Mobil Enning melaju dengan tersendat, antrian kendaraan di depan terlihat panjang. Sesekali Enning ngobrol denganku, bertanya tentang Eppa’ dan Ebo’.

Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba badanku terhempas ke depan!

Aku menabrak bagian belakang kursi yang diduduki Enning.

Cepat-cepat kubetulkan posisi duduk dan kudengar Enning menyerukan istighfar. Enceng membuka kaca pintunya, terlihat dari spion tengah, wajah Enceng berwarna merah, matanya terlihat galak.

“Awas lo kalau nyerempet!” teriaknya.

Rupanya Enceng memaki ke arah angkutan umum berwarna biru yang tiba-tiba berusaha menyela masuk ke jalur mobil Enceng.

Aku mengulurkan kepala, sopir angkutan tak terlihat dan tak kudengar sahutan apa pun darinya. Enceng menutup jendela.

“Jancok!” makinya. Enning hanya melirik suaminya.

Aku diam mendengar kata makian keluar dari Enceng Ibrahim, aku memaklumi rasa kesal karena mobil angkutan tadi sudah membahayakan orang lain. Tapi sopir angkutan itu tidak terlihat merasa bersalah, karena kata maaf pun tak kudengar tadi. Cuek, itu yang kutangkap.

Kata Enning, sebenarnya rumah mereka dekat, tapi kemacetan membuat mereka terpaksa menghabiskan waktu lebih lama di jalan. Setelah satu setengah jam, Enning menunjuk ke sebuah rumah gedung berwarna oranye. Mulutku menganga melihat rumah besar yang bagiku mewah—dibandingkan rumah Bapak di Madura. Ya iyalah....

“Mana anak-anak, Ning?” tanyaku begitu berada di dalam rumah yang terasa lengang.

“Ita, Said sama Fajar di rumah mbahnya. Orangtua Mas Ibrahim. Di Jakarta juga.”

Aku mengangguk. Aku baru sadar, anak SD pun sudah menyelesaikan ujiannya, sekarang saat liburan panjang bagi mereka.

“Mar! Saya ke pasar dulu!” Enceng berteriak dari depan.

“Iya! Nanti saya nyusul, Mas!” Enning berteriak tak kalah kencangnya. Suara motor menderu di luar, Enceng Ibrahim kelihatannya—sekali lagi—terburu-buru.

            Mengapa harus terburu-buru?

Enning menunjukkan kamar tidur yang boleh aku tempati. Kamarnya luas, dengan ranjang bagus dan lemari baju yang cantik.

“Kamu istirahat saja di sini, Ros. Kamar mandi di belakang. Sebelum maghrib saya pulang. Kita ngobrol lagi nanti. Saya ke pasar dulu sekarang.”

Aku mengangguk.

Dan seperti Enceng, Enning menyambar sebuah tas kecil di sofa, lalu keluar dengan gesit.

“Tutup pintu pagarnya, Ros!” Enning memerintah dan seketika deru mesin motornya mengalahkan jawaban iyaku.

Enning berangkat dengan tergesa-gesa pula.

Aku menutup pintu pagar rumah yang besar, besi tempa dengan ukiran bergambar seperti batik. Sebelumnya kulongokkan kepala keluar, menatap sederatan rumah yang berderet rapi.

Aku heran, rumah Eppa’ tidak berpagar, mengapa di sini semua berpagar tinggi? Mungkin semua orang kaya takut hartanya digarong maling. Kalau orang miskin apa yang bisa digarong lagi, selain harga diri yang kadang juga dijadikan bahan penambah dosa? 

Aku ke kamar untuk mengambil baju dan perkakas mandi. Aku tidak terasa capek, aku hanya ingin mandi.

Pikiranku salah, setelah mandi, aku menyantap makanan yang disediakan pembantu rumah tangga dengan pikiran melayang kepada Eppa’ dan Ebo’, lalu kekenyangan. Tidak yakin untuk bersikap lancang di rumah Enceng, aku memilih masuk kamar, alih-alih menyalakan televisi berukuran sangat besar di ruang keluarga. Aku berbaring di ranjang empuk dan tidak sampai semenit, aku sudah terbuai ke alam tidur.

            Beberapa saat sebelum terlelap, aku menerka-nerka, apa yang akan kukerjakan esok hari?

z

Kehidupan baru.

Semalam Enning memberitahu, selama beberapa waktu aku boleh ikut ke pasar, selama belum mendapatkan pekerjaan. Itu pun kalau aku mau. Pokoknya Enning benar-benar akan mendukungku.

Tak ada pertanyaan lagi bagaimana Enning mendapatkan semua perhiasan emas, rumah besar, dan mobil bagus. Enning dan Enceng bekerja seperti kuda. Bekerja keras. Malam menjadi siang, siang menjadi malam.

Enceng akan ke pasar induk untuk kulakan sayur-mayur segar, berangkat setiap jam sepuluh malam. Ada dua orang karyawan yang menemani. Lalu jam tiga subuh mereka baru  menyelesaikan acara kulakan itu. Dengan mobil pick-up besar, tumpukan sayuran segar itu akan langsung dikirim ke kios sayuran mereka di pasar. Enning memiliki dua kios di pasar yang berbeda. Satu dipegang Enceng, satu lagi Enning.

Mereka akan menurunkan sayuran jatah Enning terlebih dahulu, di kios sudah ada orang kepercayaan Enning yang menunggu.

Enceng dan Enning akan menjaga kios sampai jam dua siang, setelah itu mereka akan pulang ke rumah. Enceng beristirahat sampai waktu kulakan tiba lagi, sedangkan Enning akan sibuk dengan ketiga anaknya yang masih kecil, semua masih di sekolah dasar. Atau Enning akan sibuk mondar-mandir ke bank, mengurus keuangan mereka.

Jam setengah lima subuh Enning membangunkanku, menyuruhku bersiap-siap untuk berjualan di pasar. Jakarta sudah terlihat ramai pada jam lima pagi, mendahului matahari yang belum terbangun. Ketika aku bertanya pada Enning, apa yang mereka lakukan hingga perlu berada di jalanan sepagi ini?

Enning tertawa, sama seperti kita, katanya. Mencari uang.

Aku tiba-tiba merasa bersemangat. Uang. Aku juga ke Jakarta untuk mencari uang.

Hanya lima belas menit bersepeda motor, aku dan Enning tiba di kios pasar. Pasar sudah mulai ramai. Sebagian pedagang sedang merapikan barang dagangannya, sebagian lagi sudah duduk tenang menunggu pembeli. Masih subuh, tetapi hilir mudik pengunjung sudah mulai terlihat.

Aku duduk di samping Enning, menunggu pembeli. Asep, orang kepercayaan Enning juga sedang duduk santai di sisi seberang tempatku duduk.

Tiba-tiba seorang wanita seumuran Enning datang.

“Rame! Rame! Ayo, tahunya-tahunya!” teriaknya, dan dari logatnya aku tahu dia berasal dari Madura juga.

“Tumben telat datang, Kak?” tanya Enning pada wanita itu.

“Kesiangan, Le’[2],” jawabnya sambil menata dua kotak besar tahu di mejanya. Tak lama seorang laki-laki datang membawakan setumpuk tempe yang juga langsung ditumpuknya rapi di ujung meja.

“Sapa itu, Le’?” tanya penjual tahu itu pada Nyanya sambil menatapku.

Tang pona’an, ana’na kaka’e Madura[3],” jawab Enning. 

Penjual tahu itu meletakkan tahu yang dipegangnya, lalu bertolak pinggang sambil melihatku. Mulutnya mengeluarkan suara decakan.

“Me’ raddin[4]? Beda sama kamu yang hancurrrr!”

Enning tergelak kencang. Sedangkan aku hanya tersipu. Aku tidak mengatakan diriku cantik, tapi memang perawakanku langsing, badan tinggi, dan warna kulit yang putih terlihat berbeda sama sekali dengan Enning Marfu’a.

“Siapa namanya?” dengan logat Madura-nya yang membuat aku merasa masih berada di kampung halaman.

“Rosa,” jawabku malu-malu. Penjual tahu itu hanya mengangguk-angguk dan pembahasan tentang diriku terputus ketika seorang pembeli datang menyita perhatiannya.

Asep melirikku, aku tahu itu. Sejak aku tiba tadi, matanya sering menatapku. Tatapan khas laki-laki yang tidak begitu kumengerti.

Sepanjang hari itu aku pelajari, bagaimana Asep melayani orang yang berbelanja dan Enning yang dengan gesitnya bergerak lincah dan fasih berkomunikasi dengan pembeli. Sesekali aku membantu membungkus barang belanjaan, atau menerima uang dari mereka dan mengambil uang kembaliannya dari peti kayu milik Enning.

Saat siang hari, kotak kayu itu sudah penuh dengan uang. Aku memandangi Enning yang memilah uang itu dengan cepat, dia memasukkan hampir semuanya ke dalam tas kecil yang tak pernah lepas dari tubuhnya. Hanya ditinggal beberapa lembar uang receh sebagai kembalian.

Aku mulai belajar.

Jam satu siang Enning mengajakku makan. Pasar mulai lengang. Hanya segelintir pengunjung lalu lalang. Kami makan di warung nasi di dalam pasar. Tepat jam dua siang, Enning sudah menyuruh Asep menutup lapak. Semua uang diraupnya hingga ke uang logam. Bunyi gemerincing terdengar begitu ia memasukkannya ke dalam tas.

Asep merapikan sisa-sisa sayuran yang tidak terjual. Lalu menutupnya rapat dengan terpal plastik. Aku mengikuti langkah Enning ketika kudengar Asep memanggilku. Aku menoleh padanya.

Asep hanya tersenyum dan menggaruk-garuk kepalanya. Aku menatapnya bingung lalu mengejar Enning.

Begitu terus runtinitas yang kujalani. Di hari ketiga, sudah kuyakinkan Enning bahwa aku bisa menggantikan tugasnya melayani pembeli. Enning hanya perlu merapikan kotak kayu ajaibnya. Enning terlihat puas pada hasil kerjaku.

Tentang Asep, berkali-kali dia mendekatiku, namun aku merasa enggan. Aku datang ke Jakarta untuk bekerja, bukan untuk hal lainnya. Aku sama sekali tidak menarik, itu tidak menghasilkan uang.

Sesekali Eppa’ dan Ebo’ meneleponku, menanyakan kabar. Tak pernah sekali pun mereka absen untuk memberiku kekuatan melalui untaian indah doa mereka.

Ketika sebulan berlalu, Enning memanggilku. Wajahnya berseri-seri, di sebelahnya, Enceng duduk menemani dengan secangkir teh. Ketiga anaknya sedang bermain di luar rumah.

Aku menyangka wajahnya terlihat riang karena hari ini dagangan ludes habis tak ada sisa.  Aku duduk di seberang mereka berdua.  Tanpa mengatakan apa-apa, Enning meletakkan uang di meja tepat di hadapanku. Aku menatap Enning, Enceng dan uang itu bergantian.

“Kamu sudah membantu kita sebulan ini. Sejak kamu datang, dagangan kita bertambah laris. Ini sedikit uang buat kamu, tak banyak,” jelas Enning.

Aku membelalakkan mataku tak percaya!

“Tapi Oca bantu Enning dan Enceng tak bermaksud minta upah….” Aku menundukkan kepalaku saat mengatakan hal itu.

“Ini bukan upah. Saya sama Enceng kamu ini hanya berbagi rejeki. Ngerti kamu, Ros?”

Aku mengangkat wajahku, aku merasa malu … tapi bahagia.

“Ambil saja, ndak baik menolak rejeki.” Enceng Ibrahim menambahkan, terdengar suara mulutnya menyeruput teh panas.

“Mau kamu apakan uang itu, terserah kamu, Ros,” kata Enning lagi.

Aku tersenyum lebar akhirnya, tak perlu berpikir dua kali, aku tahu akan kuapakan uang ini. Tak berujung rasanya bahagia yang aku rasakan, setelah mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada mereka berdua. Lima ratus ribu! Angka yang sangat banyak bagiku. Tidak pernah aku memegang uang sebanyak ini sebelumnya.

Keesokan harinya, setelah lapak sayur tutup, aku meminta tolong Enning mengantarku ke suatu tempat, di mana aku akan menghabiskan seluruh uangku, aku rasa.

Enning tidak keberatan, beberapa saat kemudian aku sudah berdiri di dalam gedung yang ber- AC dingin, semua petugas berseragam rapi tampak tersenyum ramah.

Enning menunjuk ke pojok ruangan di mana sebuah meja kecil berdiri. Beberapa brosur dipajang di sampingnya.

Dengan petunjuk Enning, ia mengambil sebuah kertas dan aku menuliskan dengan ucapan bismillah:

MARTONI

Rp. 500.000,00

Tunai

Berita : dari Rosa

Martoni, nama Eppa’. Enning menandatangi slip transfer uang antar bank itu, lalu tersenyum dan mengajakku antri di loket teller.

Sengaja kukirimkan semua uang dari Enning, aku masih menyimpan beberapa ratus ribu di dompet, bekal dari Eppa’ dan Haji Dullah belum berkurang sepeser pun.

Aku melangkah keluar dari bank dengan langkah tegap, rasa percaya diriku melambung tinggi. Akan kubuktikan pada kedua orangtuaku, aku sanggup menjadi tulang punggung keluarga.

Panas sore hari masih menyengat tajam, di tengah perjalanan Enning mengajakku minum. Kami berhenti di salah satu kios di pinggir jalan, di depan sebuah toko.

Enning membelikanku minuman, dan satu untuk dirinya. Aku sedang menikmati sejuknya teh dingin melewati tenggorokan saat kulihat selembar kertas menempel di pintu sebuah toko. Aku memiringkan kepalaku, mengintip, toko peralatan bayi.

LOWONGAN KERJA

Aku terpana, haruskah aku pindah kerja?

***

[1] Enceng : panggilan Om dalam bahasa Madura.

[2] Le’ : bahasa Madura, Dik.

[3] Tang pona’an, ana’na kaka’e Madura : bahasa Madura, yang artinya : Keponakanku, anak kakak di Madura.

[4] Me’ raddin : bahasa Madura, yang artinya : Kok cantik?

Yustini Setia Darma

Rosa itu mirip saya pada saat saya memutuskan keluar dari Madura (yap, saya asli Madura :)) Penuh semangat dan selalu mikir bagaimana cara dapat uang banyak wkwkwkkwkwk

| Sukai

Bab terkait

  • Yang Terpilih   Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-02
  • Yang Terpilih   Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-03
  • Yang Terpilih   Part 8: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-06
  • Yang Terpilih   Bab 1 Per Fas et Nefas - Melalui yang benar dan yang salah

    Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 10

    Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 2

    Suasana ruang tamu mewah itu terasa lengang, hanya dua orang wanita duduk berhadapan di satu sofa panjang. Melipat kaki masing-masing, saling memperhatikan ucapan satu sama lain. Persahabatan mereka ibarat anggur yang di fermentasi, semakin lama semakin kuat, semakin menyatu dalam rasa.“Lo udah pastiin Monica ke sini?” tanya Emma.“Udah, dia lagi on the way.”“Gis, bukannya apa-apa. Pikirin lagi matang-matang. Gimana lo bisa tahu dia dari keluarga baik-baik? Apa entar lo malah memelihara ‘macan’ di rumah ini?”Giselle tertawa kecil. “Nggak lah, Em. Gua pasti tahu, gua punya insting untuk menilai seseorang.”Emma mendengus sembari menggelung rambutnya yang sebagian terjatuh di sisi kepalanya. “Kedengarannya emang mudah. Suntikin sperma laki lo ke rahim dia, bayi tumbuh dan bim salabim, bayi lahir, urusan beres.”“Udah seharusnya seperti itu, kan?&

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-08
  • Yang Terpilih   Bab 3

    Giselle baru saja menutup sambungan telepon dengan ibunya. Dia menceritakanrencananya. Tak banyak yang dikatakan Sang Mommy padanya, karena wanita itu sangat mengerti posisi putrinya itu. No bargaining power, anaknya berada di posisi sudut, tak ada jalan lain yang bisa dia gunakan sebagai alasan untuk menolak. “Apa pun yang menurut kamu baik, lakukanlah. Gunakan logika dan perasaan kamu secara seimbang. Jangan sradak-sruduk.” “Iya. Mom. Wish me luck.” “Always.” Dia menekan nomor yang lain tak lama setelah sambungan telepon terputus. Monica. “Ha

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-09
  • Yang Terpilih   Bab 4

    Giselle tertegun, dengan ponsel masih di tangan. Semua di luar perkiraannya. Setelah satu bulan berlalu, tiba-tiba saja Dokter Aviv meneleponnya, mengundang dirinya ke rumah dokter itu. “Maaf, maksud undangan ini apa, Dok?” tanyanya ragu, ujung jarinya mengusap kening. “Sekadar brainstorming, tentang inseminasi buatan yang kamu pernah tanyakan kepada saya.” “Maksudnya?” “Kita akan bicarakan nanti di rumah saya. Oke?” “Ba … baik,” Giselle merasakan kegugupan luar biasa. Mendadak jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-10

Bab terbaru

  • Yang Terpilih   Rosa Putri Azra-Jodoh Tak Kemana

    Tahun 2004 Rosa menatap keluar jendela mobil, matanya bergerak mengamati setiap pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan. Sesekali dia menarik jaketnya, dingin AC mobil membuatnya menarik kedua kakinya, meringkuk seperti anak kecil. Kini kepalanya bersandar pada kaca jendela, tidak nyaman baginya tapi cukup membuatnya memiliki ruang mengamati seisi mobil. Di depannya persis, sopir terlihat begitu khusuk menjaga laju kendaraan dan mungkin juga laju kantuk di matanya. Di samping sopir Mardi tertidur lelap, kepalanya miring ke kiri, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Rosa tersenyum tipis melihat itu. Di kursi sebelah Rosa, ibu Nyak juga tertidur. Rosa mengangkat tubuhnya, merapikan sarung yang dijadikan selimut tubuh Nyak lalu kembali ke posisinya semula. Sedangkan di kursi belakang Mpok Leli, kakak Mardi yang di Rawalumbu tidur telentang sendirian. Matanya kembali k

  • Yang Terpilih   Epilog

    Tiga tahun kemudian Rumah sakit khusus ibu dan anak yang mewah itu ramai oleh pengunjung. Berbeda dengan rumah sakit umum, wajah yang terlihat kebanyakan wajah ceria. Lebih banyak kabar gembira di sini, yaitu kelahiran jiwa baru ke dunia. Seorang wanita berambut sebahu sedang mengawasi seorang bocah berumur empat tahun. Bocah tampan berkulit putih. Sesekali mulut wanita cantik itu berteriak memanggil nama anak kecil yang tampak begitu lincah dan sehat. “Mommy!” seru sang bocah sembari berlari dari kejauhan dengan mainan pesawat di tangannya. Wanita itu tersenyum lebar, membentangkan kedua lengannya, lalu menerima tubuh gempal anaknya ke dalam pelukannya.&n

  • Yang Terpilih   Bab 24

    Giselle masih mematung saat bayangan mobil yang mengantar Rosa menghilang daripandangannya. Di saat itu juga, dia merasakan kelegaan luar biasa, seakan terbebas dari himpitan dua batu besar. Matanya mengerjap berkali-kali, sudah tidak ada airmata yang menetes atau tergenang. , Perlahan tubuhnya mengendur. Saraf otaknya yang sedari tadi tegang, kini terasa ringan. Bola salju besar yang menggelinding karena ulahnya, sekarang sudah diam, berhenti dan meleleh lalu lenyap meresap ke dalam bumi. David juga masih di posisi yang sama, membeku. Namun kewarasannya menegur, dia menoleh kepada istrinya dan mencoba tersenyum. “Sayang ... sudah. Semua sudah berlalu,” bisik David sembari menciumi pelipis istrinya. Giselle menarik napas panjang lalu tercekat be

  • Yang Terpilih   Bab 23

    Rosa berdiri, menunggu penumpang di sebelahnya berlalu lalu dia menyusul di belakang. Berjalan perlahan sepanjang koridor pesawat, membalas senyum sekadarnya pada pramugari yang memberi salam. Udara hangat menerpa wajahnya seketika, saat dia mulai menuruni tangga pesawat. Angin menyibak rambut panjang terurainya, helai hitam itu membelai wajah matangnya yang terlihat tirus. Mata indah yang biasanya bersinar, kini redup kehilangan cahaya. Ada yang menarik paksa seluruh keceriannya, namun mengembalikan makna kehidupannya. Tas baju sudah ada di tangannya, menunggu sopir di depan pintu kedatangan terminal 2E. Salam dari Pak Kosim hanya disambut Rosa dengan anggukan kecil. Berkali-kali gadis muda yang mendadak dewasa ini menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan, seolah hendak mengeluarkan segala sesak di dada. Selama berada di Madura,

  • Yang Terpilih   Bab 22

    Surat Yassin berkumandang. Rosa melafalkan doa itu dengan segenap hati, ada genangan di matanya yang setiap saat bisa meluber. Wajah ibunya terbayang, sejak acara tahlilan tujuh hari meninggalnya ibunya ini dimulai hingga hampir berakhir, dia selalu menarik ujung kerudung berwarna hitamnya agar orang-orang yang duduk di sebelah kanan kirinya tidak melihat sudut matanya yang mulai basah. Atau dia takut orang lain melihat rasa bersalah di wajahnya? Dia menatap ayahnya di seberang ruangan yang tengah menunduk, melafal dengan penuh hikmat. Tubuh kurus ayahnya dan uban yang memenuhi kepalanya itu membuat hatinya kembali seolah diiris sembilu. Pedih. Rasa sesal tak bisa dibendungnya lagi. Setiap hari sejak kematian ibunya, adalah dera penyesalan. Namun hidup bukanlah sebuah buku yang bisa dibuka lembar demi lembarnya sekena hati, yang bisa kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan. Waktu tidak akan pernah

  • Yang Terpilih   Bab 21

    Tuntutan hukum Giselle membuat Rosa bingung, tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu orang mungkin yang bisa menolongnya. Tommy. Rosa menelepon Tommy, dengan suara berbisik di kamarnya. “Mbak Giselle lapor polisi, Mas Tommy, gimana ini??” tanya Rosa bingung. “Maksudnya? Lapor apa?” tanya Tommy bingung. “Mbak Giselle melaporkan saya ke polisi, katanya saya sudah melakukan pemerasan. Saya takut…” jelas Rosa. Tommy terdiam sejenak. Sebagai pengacara, dia sangat mengerti mengapa Giselle melakukan hal itu. Dia berpura-pura tenang da mengatur nada bicaranya. Uang yang ada di depan matanya tidak boleh lepas.&

  • Yang Terpilih   Bab 20

    Sudah sebulan berlalu sejak insiden Rosa ketahuan belangnya. Sekarang Rosa sudah pulih sama sekali dari luka bekas operasi. Mungkin karena Rosa masih sangat muda, kemarahan orangtuanya tidak begitu membekas, seperti anak kecil ketahuan nakal—dia cepat pula melupakannya. Dia yakin orangtuanya pasti akan memaafkannya. Rosa kembali ceria dan menikmati hidupnya yang penuh kemewahan. Apalagi Giselle sudah membayar lunas haknya dan David memanjakannya dengan uang jajan. Walaupun kini dia jarang menggendong Raynar, tapi air susunya masih sangat dibutuhkan. Dia merasa masih memiliki “senjata” untuk bertahan di rumah Giselle. “Bo’… Rosa mau kirim lagi seratus juta…” kata Rosa minggu lalu melalui telepon. “Tak perlu, Ep

  • Yang Terpilih   Bab 19

    Giselle menimbang-nimbang kapan waktu terbaik untuk berbalik mengancam Rosa seperti yang diajarkan Emma. Setiap kali dia mundur, begitu mengingat Rosa adalah pemberi ASI terbaik buat Raynar. Mulutnya terasa terkunci. Kalau Rosa stress gara-gara dirinya, lalu David mengetahui, apa yang akan dikatakan oleh suaminya? Mungkin malah memperburuk situasinya saat ini. Pagi ini Giselle berniat mengajak Raynar berjalan-jalan ke kebun, mandi matahari. Dia menggendong Raynar, mengecup anaknya yang baru bangun tidur berkali-kali hingga membuat Raynar menangis. Lalu Giselle tertawa, menciumi lagi anaknya yang malah tersenyum padanya. Mungkin Raynar merasakan besarnya cinta kasih yang dimiliki oleh Giselle. “Raynar berjemur dulu, yuk, sama Mommy, nanti minum susu. Okay?” kata Giselle.&

  • Yang Terpilih   Bab 18

    Rosa melamun di ruang tamu. Tadi Raynar dibawa Giselle untuk vaksinasi di rumah sakit dan menolak keras Rosa ikut. “Kamu nggak perlu ikut, Ros,” kata Giselle kalem saat menggendong Raynar. “Ayo, Sus,” ajaknya ke penjaga Raynar. “Tapi, Mbak…” Rosa berusaha membantah. “Saya bisa sendiri, dan memang saya harus melakukannya sendiri,” kata Giselle. “O, ya, asal kamu tahu saja, Raynar sudah punya akta lahir dan masuk ke dalam Kartu Keluarga di sini, jadi kamu mengerti maksudnya, kan?” Giselle mengangkat dagunya ke arah fotokopi dokumen yang tadi dia keluarkan dari tas. Rosa menghampiri berkas itu, nama Raynar Wicaksono tercetak di b

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status