Home / Romansa / Yang Terpilih / Part 4: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Share

Part 4: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

last update Last Updated: 2021-10-26 19:56:11

Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.

Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.

“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.

Eppa’ mengangguk.

“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”

Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.

Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.

Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA  Ambunten kupandangi lekat, ini modalku. Kata Enning, aku harus membawa ijazah untuk melamar pekerjaan di sana.

Hari keberangkatan sudah ditentukan. Hari minggu, empat hari dari sekarang. Sudah dua malam ini Ebo’ tidur bersamaku. Ia bagaikan induk burung yang melindungiku di bawah sayapnya.

“Hidup ini tak sekadar apa yang dilihat oleh mata. Hidup ini punya bagian yang harus dilihat dengan hati nurani.”

Aku memeluk Ebo’. Hening, hampir tengah malam. Eppa’ sedang pergi, biasanya menjelang tidur, Bapak akan berdendang kecil, lagu masa kecilnya, Lir Sa’Alir. Lalu sambil bercengkerama dengan Ebo’, Eppa’ akan mengenang masa lalunya saat masih kanak-kanak.

“Jangan silau oleh harta, karena harta itu hanya titipan sementara kita di dunia. Pulang hanya dengan berbekal kain kafan.”

Aku masih diam.

“Cari pekerjaan halal. Kerjakan dengan sungguh-sungguh, apa pun pekerjaan yang kamu sedang jalani. Jangan mengeluh, ulet, tak putus asa, ingat Allah.”

Rasa sesak menghampiri perasaanku, perlahan namun pasti. Iya Bo’, putrimu ini akan selalu ingat nasehatmu.

Beberapa hari kemudian, Warsito, Desman, Soca dan Wati berkumpul di rumah untuk melepaskan keberangkatanku hari ini. Sudah kusiapkan semua barang, satu tas besar pakaian dan dua dus bekas kemasan air mineral berisi oleh-oleh untuk Enning Marfua sudah ibu siapkan.

“Aku hanya ke Jakarta, tak usah nangis,” kataku pada Soca yang mulai terisak.

Yang lain menatap seakan aku akan pergi selamanya.  Kupeluk Soca dan Wati, kutahan dengan kesungguhan hati agar tidak larut dalam kesedihan mereka. Ini bukan sesuatu yang patut ditangisi, seharusnya aku berangkat disertai sorak-sorai.

Kujabat erat tangan Warsito, bersalaman untuk pertama kalinya. Kikuk, tak pernah aku berada dalam situasi resmi semacam ini.

Pada Desman, kutatap matanya yang layu dan memerah.

“Aku akan melamarmu, Ca, jangan pergi…” bisiknya. Dari ekor mataku kulihat ketiga temanku yang lain saling berpandangan mendengar kalimat itu.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Aku tunggu kamu, Ca…” lanjutnya. Pertama kali kulihat di sepanjang umurku, matanya tergenang oleh airmata.

Tak ada jabat tangan antara aku dan Desman, hanya tatapan lekat dengan emosi yang bergumpal, begitu terasa.

Pada Soca aku bisa menahan tangis, namun pada Ebo’, air mataku seperti air susunya yang melimpah ruah saat aku bayi. Kupeluk tubuhnya erat, hingga berguncang, tangisnya menyayat hati. Aku melepaskan pelukan, menciumi wajahnya dan kucium tangannya dan mengeraskan hati untuk tak membalikkan badan, melangkah maju terus tanpa menoleh ke belakang. Eppa’ sudah menungguku di dalam mobil.

Haji Dullah memberi pinjam mobil pick up-nya, Bapak akan mengantarku ke pool bis malam di Sumenep. Tanpa menoleh, kubiarkan hatiku membatu, ini mauku.

Eppa’ hanya diam sepanjang perjalanan dua puluh delapan kilometer dan mataku hanya menatap keluar jendela mobil, mengucapkan selamat tinggal dalam hati, pada laut, pada pohon nyiur, pada panasnya pulau Madura, pada senyum ramah yang menyapa Eppa’ di sepanjang jalan hingga kami masuk daerah Manding. Eppa’ masih belum mengucapkan apa-apa. Pandangannya lurus ke depan, tangannya terlihat kuat mencengkeram setir. Rahang tipisnya bergerak-gerak, begitu juga pelipisnya yang tertutup rambut berwarna perak.

Aku menoleh ke kanan saat mobil kami memasuki daerah Kebunan. Kata Eppa’ di sana ada areal kuburan Cina.

Je’ bilu’ tangkar, malang serat. Jakarta tempat asing, hidup selaras dalam masyarakat. Beradaptasi, agar Oca ndak dianggap merepotkan.”

Itu kalimat pertama Eppa saat kami memasuki Pamolokan, Sumenep. Sebentar lagi kami akan sampai di pool bus.

Dhelem[1], Pa’.”

Kemudian terdiam lagi. Pusat Kabupaten Sumenep sudah dilewati, aku memegang kuat tali tas di atas pangkuanku. Jantungku berdebar kencang melihat kendaraan besar yang siap membawaku. Besok di waktu yang sama, aku sudah akan berada di Jakarta. 

Eppa’ memarkir mobil di belakang bus. Banyak orang berkumpul di sana dengan sebagian bawaan berupa dus mi instan atau dus minuman mineral, sama seperti milikku. Sebelum turun dari mobil, Eppa’ menyodorkan amplop putih yang dia ambil dari dalam kantong celananya yang terlihat begitu lusuh .

“Ini untuk bekal kamu. Hati-hati di Jakarta. Jangan gampang percaya pada orang lain yang kamu belum kenal. Jakarta adalah surga sekaligus neraka.”

Aku tersenyum pada perumpamaan yang diucapkan Eppa’.

Meskipun Eppa’ tidak menyebutkan apa isi amplop itu, tapi aku langsung tahu, itu uang. Aku masukkan ke dalam tas ransel, berkumpul bersama satu amplop putih lainnya, dari Haji Dullah.

Eppa’ menurunkan semua barang bawaanku dengan kedua tangannya, sedangkan aku berdiri di sisi kirinya, bersama menyeberangi jalan raya yang sepi.

Kini aku sudah berbaur bersama mereka. Beberapa orang sudah naik, kemudian sisanya mulai masuk juga karena petugas pool sudah mengumumkan waktunya berangkat.

Kucium tangan Eppa’ dengan takzim, lalu melangkah pasti menaiki undakan bis yang tinggi. Langusng mencari tempat duduk di dekat jendela. Aku melihat ke luar jendela. Tiba-tiba Eppa’ terlihat lebih tua di mataku. Aku mengerjapkan mata yang tiba-tiba terasa panas, Eppa’ mengangguk samar dengan senyum tipis di bibir hitamnya. Bus mulai bergerak, aku menempelkan tangan di kaca jendela dan kupandangi terus sosok panutanku itu hingga mengecil, terus mengecil, lalu menghilang.

“Ke Jakarta juga, Le’6?” Seorang wanita setengah baya duduk disampingku.

“Iya, Kak.”

“Jalan-jalan?”

“Kerja. Kakak?”

“Nengok adik sakit di Jakarta.”

Aku memberinya senyum simpati, lalu diam. Tadi di rumah Eppa’ berpesan agar aku tidak usah bermanis-manis mulut, meladeni obrolan orang yang belum kukenal. Tampaknya orang ini wanita baik-baik, masih pettong popo[2], tapi aku tidak mau bertaruh tentang itu. Bukankah pepatah “srigala berbulu domba” masih dipakai hingga sekarang?

Bus sudah melaju melewati gapura selamat datang Kabupaten Sumenep, mulus terus melaju ke Pamekasan. Wanita sebelahku sudah lama terlelap, aku menjadi tidak terlalu bersalah untuk tidak meladeninya bercakap-cakap.

Empat setengah jam kemudian bis memasuki pelabuhan Kamal, mengantri masuk ke kapal ferry untuk menyeberangi selat menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Beberapa penjaja makanan berseliweran dengan dagangan dalam wadah besar di atas kepala mereka. Cembong besar berwarna putih dengan hiasan bunga mengingatkanku kepada Ebo’. Di rumah juga ada wadah seperti itu. Belum juga keluar dari Madura, aku sudah merindukannya.

Aku menegakkan tubuh dan memanjangkan leher, sebuah kapal ferry merapat, dan mataku langsung mencari nama kapal di sisinya. Jokotole. Aku tersenyum. Andai ada Eppa' aku pasti akan main tebakan. Kali ini aku yang menang.

Lima belas menit kemudian, suara pintu hidrolik bus terdengar, dua orang penjaja makanan buru-buru keluar. Begitu pintu tertutup rapat, kesenyapan terjadi. Suara ricuh penumpang ferry yang juga sedang mengantri di sela kendaraan atau teriakan petugas mengatur antrian atau tangisan anak kecil yang mungkin kesal karena terhimpit, teredam begitu saja. Sebenarnya kesenyapan itu seolah terjadi, karena lama-kelamaan telingaku bisa mendengar suara orang bercakap-cakap di kursi belakang, lamat-lamat lagu dangdut yang diputar sejak dari Pamekasan terdengar lagi. Aku mulai hafal beberapa lagunya.

            Bus bergerak, saat melalui bagian yang menyambungkan kapal ferry dengan dermaga, kendaraan ini oleng ke kiri dan kanan. Kata Eppa’ itu karena bukan sambungan permanen, melainkan ujung kapal yang menjorok ke tepi dermaga, tetapi aku tak perlu kawatir katanya, itu aman. Bagaimana pun penjelasan Eppa’, hal itu sedikit membuatku jeri. Bagaimana kalau sambungan itu patah? Atau bis terlalu lambat masuk ke dalam ferry sedangkan ferry-nya mulai bergerak? Lalu bis jatuh ke dalam laut? Eppa’ hanya tertawa saat itu, mengisap rokok kreteknya di pinggiran ferry, sesekali menunjuk dengan tangannya pada titik yang membesar; pulau Jawa.

            Beberapa orang keluar, sekadar menikmati angin segar di luar. Eppa’ pernah mengajakku ke Surabaya beberapa kali sehingga aku hapal benar keadaan semacam ini.

 Aku berdiri dan mengendurkan otot tubuh. Wanita di sebelahku masih terlelap, ucapan permisiku membuatnya menegakkan badannya agar aku bisa keluar dari kursi. Aku memastikan tasku tertutup rapat ketika keluar dari bus. Udara hangat menerpa wajah, bau laut, dan bau pesing bercampur aduk. Aku bergerak pelan di antara kendaraan yang berdempetan dan orang-orang yang memilih meluruskan kaki mereka.

Aku menaiki tangga, menuju lantai dua ferry. Berdiri di pinggirannya, menikmati angin laut yang terasa lengket di wajah. Setidaknya, bau pesing diusir oleh bau sang laut. Kapal berayun-ayun, aku bertumpu pada pinggiran kapal, menatap pulau Jawa yang mulai terlihat jelas. Cerobong besar yang selalu menjadi penanda sebentar lagi kapal akan memasuki dermaga Perak kini terlihat jelas. 

Cukup sudah menikmati sedikit kebebasan ini, aku kembali ke dalam bis. Wanita teman dudukku masih juga tidur, sekali lagi ucapan permisi dari mulutku membuatnya setengah terjaga. 

Tubuhku terasa kaku dalam posisi duduk terus menerus, ketika bis berhenti untuk makan malam, kugunakan waktu untuk meregangkan otot-ototku yang tegang. Menghabiskan malam di bis merupakan pengalaman baru bagiku, tidurku tidak nyenyak. Walaupun kamarku tidak memiliki kipas angin dan tempat tidurku kasur kapuk tipis, aku masih memilih lebih baik aku tidur di rumah.

Aku mendekap tas erat-erat di dada, menjaganya dengan seluruh daya sekaligus untuk menutupi tubuh depanku dari angin AC dingin yang menderu-deru. Sudah kumatikan AC di atas kepala, namun dinginnya masih menusuk tulang. Aku manusia khatulistiwa, bukan beruang kutub.

Entah jam berapa aku terlelap, aku terbangun ketika kenek bus berteriak menyebutkan nama suatu daerah. Beberapa orang turun, aku melihat ke sekeliling, ternyata banyak kursi yang sudah kosong. Matahari sudah menampakkan diri, malu-malu di ufuk timur.

“Banyak yang turun tadi,” kata wanita di sampingku seakan bisa membaca pikiranku. 

Aku tersenyum tipis padanya, tidak berani membuka mulut lebar-lebar. Aku meraih air minum dan mengambil permen dari tasku, menawarkannya pada wanita itu, namun dia menolak.

Aku memasukkan permen ke dalam mulut lalu mengunyahnya. Cara baru menyikat gigi dengan praktis di saat genting dan menghindari lawan bicara menutup hidung karena bau mulut.

Beberapa jam berikutnya, mungkin karena tenaganya sudah pulih, cukup tidur, wanita itu mulai bercerita panjang lebar. Tentang anak, suami, keluarga, dan adiknya yang kini sedang di rumah sakit karena kecelakaan.

Lumayan untuk membuatku lupa, berapa lama lagi perjalanan harus kutempuh.

Jam sembilan pagi bus sudah memasuki wilayah Jakarta, aku merasakan suasana yang berbeda. Kendaraan besar berdesakan, persis seperti yang kulihat di televisi selama ini.

Gedung-gedung tinggi mulai terlihat, dan aku terperangah melihat semua itu.

Kampung Rambutan, nama yang aneh, namun tak ayal mataku mencari di mana pohon rambutannya berada. Di sini bis berhenti. Wanita yang duduk di sebelahku, yang tak kuketahui namanya hingga sekarang, segera bergegas turun. Ia tak mengucapkan kata pamit, mungkin pikirannya sudah kembali pada masalahnya.

Tinggal aku dan segelintir orang lagi di dalam bus. Aku berdiri perlahan, ransel kusandangkan ke bahu, meniti lorong bus pelan.

Kenek sedang membuka pintu bagasi barang. Enning sudah berpesan, setelah aku turun dari bus, mengambil barang-barangku, aku harus mencari tempat loket penjualan karcis. Aku harus diam menunggu di sana, sampai Enning datang. Tidak peduli sampai kapan pun, aku harus menunggu Enning. Tidak boleh asal ikut dengan orang asing yang mengatas namakan dirinya.

Dengan ransel di punggung, tas pakaian di bahu kananku, dan dus di masing-masing tangan, aku mencari loket penjualan karcis. Mataku menangkap tulisan yang kucari dan  bergegas kesana, berdiri menunggu.

Terminal ini ramai, banyak orang yang baru tiba dan yang baru mau berangkat. Masing-masing terlihat sibuk. Tak mengenal satu sama lain. Tak peduli satu dengan yang lainnya. Teriakan kenek menyebut nama-nama yang terdengar asing di telinga mendominasi, berikutnya bunyi mesin.

Kata Enning Marfu’a, orang Jakarta lebih suka ber-lo-lo, gue-gue, aku-aku, kamu-kamu, urusan masing-masing jadi jangan ikut campur. Hm, mungkinkah perbendaharaan kata “gotong-royong’”, “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”, sudah hilang? Atau mungkin tertutup oleh bon kebutuhan hidup yang menunjukkan angka mencekik leher.

Aku melirik jam tangan, sudah lima belas menit, Enning belum tiba juga. Beberapa orang hilir-mudik di depanku. Beberapa cowok menoleh, entah kenapa keberadaanku menarik perhatian mereka. Aku menutup jaketku rapat-rapat. Rambut panjang yang tergerai kuikat ke belakang sekenanya.

“Dari mana, Neng?”

Aku menoleh ke sumber suara, seorang laki-laki berperut tambun tersenyum melihatku. Dia memegang segepok karcis di tangannya, mungkin petugas disini.

“Madura,” jawabku singkat.

Dia melirikku dari atas ke bawah, lalu tersenyum—menyeringai—kepadaku. Menyeramkan.

“Lagi nunggu?”

Aku mengangguk.

“Abang antar saja, Neng? Mau?”

Aku menggeleng, “Terima kasih. Saya menunggu keluarga.”

“Nggak apa-apa, Neng, daripada situ kecapean berdiri terus,” katanya terdengar memaksa dengan mata jelalatan seperti harimau yang mau menerkam mangsanya.

“Tidak, makasih.” Aku mengetatkan rahang dan genggamanku pada tali ransel. Sekelumit skenario sudah kuatur, akan kutinggalkan semua barangku di sini, kecuali ransel, apabila orang ini berniat jahat.

“Udah kawin, Neng?”

Aku setengah melotot mendengar pertanyaannya, perasaanku semakin tidak enak. Aku memilih diam.

***

[1] Dhelem : bahasa Madura halus, artinya iya.

[2] Pettong popo : bahasa Madura, artinya: sepupu ketujuh, saudara jauh.

Related chapters

  • Yang Terpilih   Part 5: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    “Rosa!” Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega. “Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian. “Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar. Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?

    Last Updated : 2021-10-28
  • Yang Terpilih   Part 6: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk

    Last Updated : 2021-11-02
  • Yang Terpilih   Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be

    Last Updated : 2021-11-03
  • Yang Terpilih   Part 8: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se

    Last Updated : 2021-11-06
  • Yang Terpilih   Bab 1 Per Fas et Nefas - Melalui yang benar dan yang salah

    Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 10

    Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 2

    Suasana ruang tamu mewah itu terasa lengang, hanya dua orang wanita duduk berhadapan di satu sofa panjang. Melipat kaki masing-masing, saling memperhatikan ucapan satu sama lain. Persahabatan mereka ibarat anggur yang di fermentasi, semakin lama semakin kuat, semakin menyatu dalam rasa.“Lo udah pastiin Monica ke sini?” tanya Emma.“Udah, dia lagi on the way.”“Gis, bukannya apa-apa. Pikirin lagi matang-matang. Gimana lo bisa tahu dia dari keluarga baik-baik? Apa entar lo malah memelihara ‘macan’ di rumah ini?”Giselle tertawa kecil. “Nggak lah, Em. Gua pasti tahu, gua punya insting untuk menilai seseorang.”Emma mendengus sembari menggelung rambutnya yang sebagian terjatuh di sisi kepalanya. “Kedengarannya emang mudah. Suntikin sperma laki lo ke rahim dia, bayi tumbuh dan bim salabim, bayi lahir, urusan beres.”“Udah seharusnya seperti itu, kan?&

    Last Updated : 2021-11-08
  • Yang Terpilih   Bab 3

    Giselle baru saja menutup sambungan telepon dengan ibunya. Dia menceritakanrencananya. Tak banyak yang dikatakan Sang Mommy padanya, karena wanita itu sangat mengerti posisi putrinya itu. No bargaining power, anaknya berada di posisi sudut, tak ada jalan lain yang bisa dia gunakan sebagai alasan untuk menolak. “Apa pun yang menurut kamu baik, lakukanlah. Gunakan logika dan perasaan kamu secara seimbang. Jangan sradak-sruduk.” “Iya. Mom. Wish me luck.” “Always.” Dia menekan nomor yang lain tak lama setelah sambungan telepon terputus. Monica. “Ha

    Last Updated : 2021-11-09

Latest chapter

  • Yang Terpilih   Rosa Putri Azra-Jodoh Tak Kemana

    Tahun 2004 Rosa menatap keluar jendela mobil, matanya bergerak mengamati setiap pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan. Sesekali dia menarik jaketnya, dingin AC mobil membuatnya menarik kedua kakinya, meringkuk seperti anak kecil. Kini kepalanya bersandar pada kaca jendela, tidak nyaman baginya tapi cukup membuatnya memiliki ruang mengamati seisi mobil. Di depannya persis, sopir terlihat begitu khusuk menjaga laju kendaraan dan mungkin juga laju kantuk di matanya. Di samping sopir Mardi tertidur lelap, kepalanya miring ke kiri, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Rosa tersenyum tipis melihat itu. Di kursi sebelah Rosa, ibu Nyak juga tertidur. Rosa mengangkat tubuhnya, merapikan sarung yang dijadikan selimut tubuh Nyak lalu kembali ke posisinya semula. Sedangkan di kursi belakang Mpok Leli, kakak Mardi yang di Rawalumbu tidur telentang sendirian. Matanya kembali k

  • Yang Terpilih   Epilog

    Tiga tahun kemudian Rumah sakit khusus ibu dan anak yang mewah itu ramai oleh pengunjung. Berbeda dengan rumah sakit umum, wajah yang terlihat kebanyakan wajah ceria. Lebih banyak kabar gembira di sini, yaitu kelahiran jiwa baru ke dunia. Seorang wanita berambut sebahu sedang mengawasi seorang bocah berumur empat tahun. Bocah tampan berkulit putih. Sesekali mulut wanita cantik itu berteriak memanggil nama anak kecil yang tampak begitu lincah dan sehat. “Mommy!” seru sang bocah sembari berlari dari kejauhan dengan mainan pesawat di tangannya. Wanita itu tersenyum lebar, membentangkan kedua lengannya, lalu menerima tubuh gempal anaknya ke dalam pelukannya.&n

  • Yang Terpilih   Bab 24

    Giselle masih mematung saat bayangan mobil yang mengantar Rosa menghilang daripandangannya. Di saat itu juga, dia merasakan kelegaan luar biasa, seakan terbebas dari himpitan dua batu besar. Matanya mengerjap berkali-kali, sudah tidak ada airmata yang menetes atau tergenang. , Perlahan tubuhnya mengendur. Saraf otaknya yang sedari tadi tegang, kini terasa ringan. Bola salju besar yang menggelinding karena ulahnya, sekarang sudah diam, berhenti dan meleleh lalu lenyap meresap ke dalam bumi. David juga masih di posisi yang sama, membeku. Namun kewarasannya menegur, dia menoleh kepada istrinya dan mencoba tersenyum. “Sayang ... sudah. Semua sudah berlalu,” bisik David sembari menciumi pelipis istrinya. Giselle menarik napas panjang lalu tercekat be

  • Yang Terpilih   Bab 23

    Rosa berdiri, menunggu penumpang di sebelahnya berlalu lalu dia menyusul di belakang. Berjalan perlahan sepanjang koridor pesawat, membalas senyum sekadarnya pada pramugari yang memberi salam. Udara hangat menerpa wajahnya seketika, saat dia mulai menuruni tangga pesawat. Angin menyibak rambut panjang terurainya, helai hitam itu membelai wajah matangnya yang terlihat tirus. Mata indah yang biasanya bersinar, kini redup kehilangan cahaya. Ada yang menarik paksa seluruh keceriannya, namun mengembalikan makna kehidupannya. Tas baju sudah ada di tangannya, menunggu sopir di depan pintu kedatangan terminal 2E. Salam dari Pak Kosim hanya disambut Rosa dengan anggukan kecil. Berkali-kali gadis muda yang mendadak dewasa ini menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan, seolah hendak mengeluarkan segala sesak di dada. Selama berada di Madura,

  • Yang Terpilih   Bab 22

    Surat Yassin berkumandang. Rosa melafalkan doa itu dengan segenap hati, ada genangan di matanya yang setiap saat bisa meluber. Wajah ibunya terbayang, sejak acara tahlilan tujuh hari meninggalnya ibunya ini dimulai hingga hampir berakhir, dia selalu menarik ujung kerudung berwarna hitamnya agar orang-orang yang duduk di sebelah kanan kirinya tidak melihat sudut matanya yang mulai basah. Atau dia takut orang lain melihat rasa bersalah di wajahnya? Dia menatap ayahnya di seberang ruangan yang tengah menunduk, melafal dengan penuh hikmat. Tubuh kurus ayahnya dan uban yang memenuhi kepalanya itu membuat hatinya kembali seolah diiris sembilu. Pedih. Rasa sesal tak bisa dibendungnya lagi. Setiap hari sejak kematian ibunya, adalah dera penyesalan. Namun hidup bukanlah sebuah buku yang bisa dibuka lembar demi lembarnya sekena hati, yang bisa kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan. Waktu tidak akan pernah

  • Yang Terpilih   Bab 21

    Tuntutan hukum Giselle membuat Rosa bingung, tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu orang mungkin yang bisa menolongnya. Tommy. Rosa menelepon Tommy, dengan suara berbisik di kamarnya. “Mbak Giselle lapor polisi, Mas Tommy, gimana ini??” tanya Rosa bingung. “Maksudnya? Lapor apa?” tanya Tommy bingung. “Mbak Giselle melaporkan saya ke polisi, katanya saya sudah melakukan pemerasan. Saya takut…” jelas Rosa. Tommy terdiam sejenak. Sebagai pengacara, dia sangat mengerti mengapa Giselle melakukan hal itu. Dia berpura-pura tenang da mengatur nada bicaranya. Uang yang ada di depan matanya tidak boleh lepas.&

  • Yang Terpilih   Bab 20

    Sudah sebulan berlalu sejak insiden Rosa ketahuan belangnya. Sekarang Rosa sudah pulih sama sekali dari luka bekas operasi. Mungkin karena Rosa masih sangat muda, kemarahan orangtuanya tidak begitu membekas, seperti anak kecil ketahuan nakal—dia cepat pula melupakannya. Dia yakin orangtuanya pasti akan memaafkannya. Rosa kembali ceria dan menikmati hidupnya yang penuh kemewahan. Apalagi Giselle sudah membayar lunas haknya dan David memanjakannya dengan uang jajan. Walaupun kini dia jarang menggendong Raynar, tapi air susunya masih sangat dibutuhkan. Dia merasa masih memiliki “senjata” untuk bertahan di rumah Giselle. “Bo’… Rosa mau kirim lagi seratus juta…” kata Rosa minggu lalu melalui telepon. “Tak perlu, Ep

  • Yang Terpilih   Bab 19

    Giselle menimbang-nimbang kapan waktu terbaik untuk berbalik mengancam Rosa seperti yang diajarkan Emma. Setiap kali dia mundur, begitu mengingat Rosa adalah pemberi ASI terbaik buat Raynar. Mulutnya terasa terkunci. Kalau Rosa stress gara-gara dirinya, lalu David mengetahui, apa yang akan dikatakan oleh suaminya? Mungkin malah memperburuk situasinya saat ini. Pagi ini Giselle berniat mengajak Raynar berjalan-jalan ke kebun, mandi matahari. Dia menggendong Raynar, mengecup anaknya yang baru bangun tidur berkali-kali hingga membuat Raynar menangis. Lalu Giselle tertawa, menciumi lagi anaknya yang malah tersenyum padanya. Mungkin Raynar merasakan besarnya cinta kasih yang dimiliki oleh Giselle. “Raynar berjemur dulu, yuk, sama Mommy, nanti minum susu. Okay?” kata Giselle.&

  • Yang Terpilih   Bab 18

    Rosa melamun di ruang tamu. Tadi Raynar dibawa Giselle untuk vaksinasi di rumah sakit dan menolak keras Rosa ikut. “Kamu nggak perlu ikut, Ros,” kata Giselle kalem saat menggendong Raynar. “Ayo, Sus,” ajaknya ke penjaga Raynar. “Tapi, Mbak…” Rosa berusaha membantah. “Saya bisa sendiri, dan memang saya harus melakukannya sendiri,” kata Giselle. “O, ya, asal kamu tahu saja, Raynar sudah punya akta lahir dan masuk ke dalam Kartu Keluarga di sini, jadi kamu mengerti maksudnya, kan?” Giselle mengangkat dagunya ke arah fotokopi dokumen yang tadi dia keluarkan dari tas. Rosa menghampiri berkas itu, nama Raynar Wicaksono tercetak di b

DMCA.com Protection Status