Home / Romansa / Yang Terpilih / Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Share

Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

last update Last Updated: 2021-11-03 14:41:58

Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok  ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan.

“Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya.

“Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk.

“Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.”

Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak.

“Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak berani,” lanjutku.

            Bang Mardi hanya tersenyum tipis. Dia menyulut rokok lagi.

“Bikinin aku kopi, Ros. Nyak lagi pergi. Kalau kamu nggak keberatan sih.”

Agak terkejut sebenarnya Bang Mardi menyuruhku membuat kopi. Namun Eppa’ juga sering menyuruh hal yang sama, jadi aku anggap ini biasa saja. Jangankan bikin kopi, disuruh beli gorengan di ujung gang aku juga mau deh.

Aku kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi panas, kuletakkan di meja di depannya.

“Kamu betah kerja di toko itu?” tanyanya, lalu melipat rapi Koran  dan meletakkannya di atas meja. Dia mengambil kopi, meniupnya sebentar dan menyeruput kopinya dengan suara keras. “Pas, enak,” gumamnya. Aku tersenyum.

“Betah, Bang. Bosnya baik. Tapi aku ingin dapat kerjaan yang lebih baik lagi, kalau ada,” jawabku. Angin berdesir, aku menutup mata, menikmatinya.

“Nanti kalau ada lowongan kerja di kantorku, aku bantu kamu masukin lamaran, Ros.”

Aku menoleh cepat.

“Sungguh, Bang Mardi??”

“Iya, jarang-jarang memang, tapi beberapa kali mereka mencari bagian administrasi atau bagian promosi.”

“Makasih, Bang…” kataku padanya.

Bang Mardi tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku merebahkan badan lebih santai, kaki selonjor ke bawah meja. Ini membuat rasa kantuk menyergapku kuat. Perpaduan rasa panas dan semilir angin sungguh membuai.

Mataku sudah setengah terpejam ketika sesuatu menyentuh tangan. Aku membuka mataku, Bang Mardi menyodorkan sebuah bantal.

“Pakai bantal biar nggak sakit leher,” katanya.

Aku menerima bantalnya, kuletakkan di bawah kepala. Benar, terasa lebih nyaman. Belum juga bibirku mampu mengucapkan terima kasih, aku sudah terlelap.

z

Awal Tahun 2003

Jakarta terasa pengap hari ini, tak ada udara yang bergerak. Sementara terik penguasa siang begitu menyengat dari langit biru yang tak berawan sedikitpun. Asap knalpot kendaraan yang lalu-lalang di depan toko menambah parah.

Aku setengah berlari keluar dari toko, sesekali melirik jam tangan. Aku bergerak lincah seperti Enning dan baru berhenti setelah benar-benar berada di depan kos.

“Kenapa lari-lari?”

Aku tersenyum, Bang Mardi menyapa. Hari ini hari Minggu, dia tidak bekerja.

“Mau makan, Bang. Tadi pagi Nyak nawarin aku makan di rumah, katanya ada lauk gabus pucung bikinan Nyak hari ini,” jawabku sembari mengusap keringat yang mengalir di pelipis.

“Sana, tadi Nyak nanyain kamu.”

Aku mengangguk, tapi segera kubalikkan badanku lagi ke arahnya.

“Abang udah makan?”

“Udah barusan. Sana kamu makan.”

Aku segera ke dapur. Nyak sedang mencuci piring.

“Sini, Nyak, biar saya yang cuci,” pintaku tegas, mengambil alih piring di tangannya.

“Lo udah pulang, Neng. Aye bikin gabus pucung, noh, makan ye. Bentar aye mau teriskaan.”

“Iya, Nyak.” Dulu aku bingung dengan kosakata yang dipakai Nyak tapi sekarang aku sudah terbiasa. Teriskaan, menyetrika artinya.

Aku menyelesaikan cucian piring cepat-cepat, lalu mengintip panci di atas kompor. Wangi masakan ikan itu menggoda. Tanpa tedeng aling-aling, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan dua  potong ikan serta kuahnya, lalu melahapnya segera. Masakan Nyak benar-benar enak. Aku selalu percaya, makanan apa pun yang dimakan dengan penuh rasa syukur, akan terasa lebih nikmat. Apalagi gratis, tutup perkara.

Rejeki nomplok namanya dapat makanan gratis begini. Biasanya aku ke warteg di ujung gang, makan mi rebus, murah meriah. Gaji delapan ratus ribu, dikurangi biaya kos dua ratus ribu, dan untuk Eppa’ tiga ratus ribu, tersisa tiga ratus ribu untuk hidup sebulan.

Aku menikmati suap demi suap kenikmatan yang sebenarnya hanya memanjakan sejengkal bagian tubuh, dari bibir hingga ujung kerongkongan. Setelah bagian itu, mau rasanya lezat atau berasa tai, tak akan terasa. Selesai makan aku segera bergerak cepat, mencuci piring, merapikan lagi meja makan lalu ke depan.

Bang Mardi masih duduk di tempat yang sama. Ada sebuah majalah otomotif di tangannya.

“Bang, tahu telepon umum di dekat-dekat sini?”

Dia mengangkat kepala, “Buat apa?”

“Aku … kangen ibu di kampung. Udah lama nggak nelpon….” jelasku.

“Jauh dari sini. Ke wartel aja, tiga gang dari sini. Itu yang terdekat.”

Aku mengerutkan bibir.

“Ayo, aku antar pakai motor. Kalau jalan kaki ya lumayan juga.”

Aku tersenyum lebar disertai anggukan.

Aku membonceng Bang Mardi, melalui gang-gang kecil yang belum pernah kulewati sebelumnya. Katanya ini lebih cepat daripada melalui jalan raya.

Sebuah kios kecil bertuliskan “Bayu Wartel” terlihat tatkala Bang Mardi menghentikan motor.

“Sana, aku tunggu di sini,” katanya sembari memarkir motor.

“Iya, Bang.”

Aku melesat masuk ke dalam, celingak-celinguk memilih bilik mana yang akan aku pakai.

“Yang kanan kosong, Neng,” kata penjaga wartel.  Aku duduk di kursi di dalam bilik, lalu menekan deretan nomor telepon yang sudah terekam kuat di kepala. Telepon tetangga sebelah rumahku di Madura. Biasanya Ebo’ ada di sana siang begini, ngobrol sama temannya, Bu Rohiman, setelah semua pekerjaan rumahnya beres.

            Dering sambungnya mulai terdengar. Aku menatap sederetan angka berwarna merah di atas pesawat telepon. Ketika ada teleponku diangkat, angka itu menunjukkan argo telepon. Ucapan salam dengan logat medhok bahasa Madura yang kental terdengar. Aku membalas salamnya dengan hormat.

“Maaf, Bu Rohiman, saya Rosa,  Ebo’ ada di sana?” Aku bertanya tanpa basa-basi lagi, sayang pulsa. Aku tersenyum sendiri dan mengucapkan terima kasih ketika dia menjawab bahwa ibu selalu menunggu telepon dariku sejak terakhir aku meneleponnya dari rumah Enning.

“Halo!”

Aku tersenyum lebih lebar lagi. Ebo’ selalu bicara dengan nada mengentak dan keras.  Logat bahasa Madura yang tak kalah kentalnya dengan Bu Rohiman.  Ebo’ berbicara keras agar aku bisa mendengar jelas suaranya di telepon, katanya, dulu.

“Bo’… apa kabar? Ebo’ sehat? Eppa’?”

“Sehat, kabbi[1] sehat. Eppa’ ghinyeset bako [2]di rumahnya Ji Dullah. Kata Eppa’, jangan lupa makan.”

Sekarang bulan Agustus, puncak bulan panen tembakau di Madura. Ebo’ bilang padaku bulan lalu, bahwa tahun ini panen tembakau bagus, alam bermurah hati tidak mencurahkan banyak air mata dari langit seperti perawan yang kehilangan kekasihnya.

Aku mendengarkan suara Ebo’ dengan kerinduan yang tak bisa kuungkapkan. Andai aku mengikuti rasa yang seakan mencekik ini, aku akan memilih menyerah dan pulang. Memeluknya erat dan tak akan kulepaskan lagi. Tapi aku tidak akan pernah kalah oleh rasa itu. Aku harus menjadi wanita tangguh.

Ada perasaan lega setiap kali aku mendengar suara Ebo’, aku lega mendengar mereka berdua sehat, aku lega mereka masih bisa tertawa di penghujung usia. Aku anak mereka satu-satunya, tumpuan harapan mereka. Walaupun Eppa’ dan Ebo’ selalu berkata agar tidak mengkhawatirkan mereka, aku tetap tidak bisa untuk tidak peduli. Surga ada di telapak kaki mereka berdua.

            Sudah hampir dua tahun aku mengembara di Jakarta. Dulu di mataku—dengan bermodal uang seadanya dari Eppa’—Jakarta adalah kota yang pasti bisa aku taklukkan. Seperti Enning.

            Matahari masih bersinar dengan terik, panas, namun tidak cukup panas untuk melelehkan semangat hidupku. Aku terus mendengarkan cerita Ebo’, tentang anak Ji Dullah yang menikah kemarin Jumat, artis Maudy yang menikah dengan bule hingga kambing Eppa’ yang dibeli dari uang gajiku kawin sama kambing tetangga.

            Andai isi dompetku tebal, mungkin aku tidak akan peduli biaya telepon yang besar. Dengan berat hati aku pamit, mengucapkan sekali lagi rasa kangen dan sayangku dan ucapan perpisahan. Suara krek-krek mesin printer mencetak biaya pulsa. Aku mengeluarkan uang dari dompet yang kuselipkan di kantong belakang celana panjangku.

            Bang Mardi sedang duduk di kursi depan wartel, bersama dengan dua orang pemuda seumurannya. Dia mengucapkan salam pada mereka sembari membuang puntung rokok ke dalam got yang terbuka lebar. Aku mengangguk kikuk pada mereka sembari menaiki motor Mardi.

Jam satu lebih sepuluh menit aku sudah duduk di meja kasir lagi, mencari-cari selembar kertas agar bisa kupakai sebagai kipas. Tadi Bang Mardi mengantarku hingga ke depan toko.

“Lo makan apa tadi Ros? Mi lagi? Keriting usus lo, baru tau rasa lo.”

Aku menengok dan tersenyum ke arah sumber suara, Ci Melan. Bosku, wanita mungil berparas cantik, mata orientalnya mengingatkanku pada bintang film yang pernah kutonton di televisi. Maggy … apa ya? ...  Z? Bukan. Sebuah kata dengan huruf C di depannya. Chan? Chen? Cung? Entahlah aku lupa.

“Nggak, Ci. Tadi makan di kos. Sop gabus pucung.” Aku menjawab dengan menjilati bibirku sekali.

“Nah gitu dong, jangan mi instan melulu. Lo kudu makan yang lainnya, yang bergizi, lihat tubuh lo. Lo itu sebenarnya cantik, tapi terlalu kurus nggak seger, kulit lo putih tapi pucat.”

Aku ber he-he-he saja menanggapi komentarnya, mungkin dia benar.

Dia kembali ke balik singgasananya, di balik rak etalase paling belakang, mengawasi.

Aku masih mengipasi diriku sendiri ketika seorang wanita memasuki toko, seseorang dengan dandanan modis yang “wah”. Terawat dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

“Monica!” panggil Ci Melan tiba-tiba.

Wanita yang dipanggil Monica itu membuka kacamata hitam besarnya, lalu tersenyum lebar pada Ci Melan.

My dear Melan! Lo masih nggak berubah dari dulu!”

Lalu berpelukanlah mereka berdua. Wangi parfum mawar terendus ketika Bu Monica melewati meja kasir. Terasa sangat berbeda, aku hanya terbiasa mengendusi bau keringat atau wangi sabun batangan dari tubuhku selama ini.

Aku menatap diam-diam wanita modis itu, dan mengambil napas panjang. 

Kapan aku bisa seperti dia?

Cita-cita yang terlalu tinggi. Bagai pungguk merindukan bulan, namun aku yakin takkan lari gunung dikejar.

Beberapa orang pelanggan datang memasuki toko, aku berusaha fokus pada pekerjaan, namun telingaku terasa begitu “gatal” mengganggu konsentrasi karena terkadang obrolan mereka tertangkap oleh gendang telinga. Obrolan bosku dengan beberapa temannya yang datang berkunjung menjadi hiburan tersendiri bagiku. Si Anu begini, Si Itu begitu.

Seorang pembeli menghampiri untuk membayar selusin kain popok. Ini membuatku lupa tentang obrolan kalangan tinggi itu. Tetapi begitu ucapan terima kasih keluar dari mulutku, telingaku seperti antena lagi.

“…macem-macemlah Mel. Apa aja gua makelarin. Orang cari anak perawan juga gua jabanin.”

“Eh, gila lo! Lo jadi mucikari juga???”

“Bukanlah. Pokoknya orang cari barang apa aja, yang aneh-aneh, bahkan jadi mak comblang pun gua pernah. Pokoknya jadi duit. Hari ini ada yang nyar—”

Bremmm!

Suara motor menderung di depan toko membuatku kehilangan frekuensi pembicaraan mereka berdua.

Aku memaki dalam hati.

“… orang kaya. Semua client gua orang kaya, berduit. Mereka mau kasi dua ratus juta lho, Mel, cash!”

Tunggu! Tunggu! Apanya yang  dua ratus juta? Dari siapa? Untuk apa??? Apa urusannya denganmu, Rosa?

Brak!

Aku mengangkat wajah mencari sumber suara itu, ternyata ada satu baby walker terjatuh dari gantungan di pintu toko. Mungkin tali rafia tipis penyanggahnya tidak kuat lagi menopang beratnya. Aku sudah menyangkanya, dan menyesal tidak menggantinya kemarin. Aku beranjak dan bergegas ke depan setelah kulihat teman bagian penjualan tidak ada di tempat.

Frekuensi lenyap lagi.

Aku buru-buru menggantungnya lagi dan segera kembali ke tempat dudukku.

“… entahlah. Pokoknya wanita muda yang sehat dan mau. Ckck… gua sih tinggal nyari aja.”

“Udah dapat?”

“Belum. Gua haus, Mel.”

“Ayo ke atas, gua bikinin lo minuman segar.”

Mereka berdua menghilang, naik tangga ke lantai dua toko yang menjadi tempat tinggal Ci Melan.

Siaran selesai.

Mereka menghilang, meninggalkan jejak rasa penasaran di benakku. Untuk empat setengah jam berikutnya aku termangu lagi di meja kasir selain melayani pembeli yang mau membayar dan membungkus belanjaan mereka.

Tepat jam lima, Ci Melan turun ke toko. Bu Monica tidak terlihat, pasti masih di atas. Ci Melan meminta catatan dan uang dari laci kasir, selama 15 menit kami menyelesaikan hitungan penjualan hari ini lalu berpamitan pulang.

Aku meregangkan kaki sejenak di depan toko yang pintunya mulai ditutup sebelum bergerak lincah di antara jemuran, pot tanaman di depan rumah-rumah, dan anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari.

Hanya beberapa langkah sebenarnya dari toko, tiba-tiba seakan aku sudah berada di dunia yang berbeda. Bukan lagi jejeran gedung tinggi dan pertokoan yang megah, kini yang kulihat hanya himpitan rumah-rumah kecil tak beraturan. Persis ikan sarden kalengan, dan aku sudah menjadi ikan sarden selama setahun ini. Mengingat keringat yang tercipta di ketiak, ini membuatku menjadi ikan sarden seutuhnya.

Lima menit berjalan, aku sudah tiba di kosan. Aku mengucapkan salam, dan Mardi tersenyum membalas salamku.

“Udah pulang kamu, Ros?” sapanya.

“Iya, Bang Mardi. Abang tumben pulang awal?”

Dia mengangguk, berdiri menyalakan lampu, baru kulihat dengan jelas seragam mekaniknya.

“Lagi nggak ada lemburan Ros. Udah sana cepet mandi, temenin Abang makan nasi goreng di depan.”

Aku tersenyum lebar, beberapa kali Bang Mardi mengajakku makan bersamanya, apabila dia pulang kerja lebih awal. Perbaikan gizi yang menyenangkan

Bang Mardi, anak bungsu Nyak dari empat bersaudara. Dia satu-satunya yang belum menikah, ketiga kakaknya sudah berumah tangga dan memilih tinggal di luar Jakarta. Dia empat lebih tua dariku, 25 tahun. Bekerja sebagai mekanik di perusahaan otomatif. Perawakannya biasa-biasa saja. Aku tinggi, tapi Bang Mardi lebih tinggi lagi. Kurus, kulitnya sawo matang, bukan hitam keling. Rambutnya dipangkas rapi, selalu rapi, tidak pernah membiarkan rambutnya panjang melebihi ujung atas telinganya. Itu yang kuperhatikan selama setahun ini.

Hanya lima belas menit aku butuhkan untuk mandi dan berdandan, Bang Mardi pun ternyata sudah siap menunggu di ruang tamu saat aku keluar dari kamar.

Jalanan gang lengang, tidak ada orang berlalu-lalang. Hampir terasa senyap kalau saja tidak ada musik terdengar dari rumah sebelah. Lagu Sahabat Sejati, dari Sheila on 7, nyaris setiap hari aku dengar di rumah-rumah sepanjang gang ini. Bang Mardi menyulut sebatang rokok begitu sudah beberapa langkah menjauhi rumah, dan aku patuh berjalan di sisinya. Dia orangnya enak diajak ngobrol, bukan humoris tapi bisa menanggapi leluconku dengan baik.

Tampan?

Lumayan, tapi dia bukan tipeku.

“Kamu jadi beli hape?” tanya Bang Mardi tiba-tiba.

Aku menggeleng. Semua sisa uangku dari gaji bulan lalu sudah aku kirimkan ke Ibu. Entah kapan aku bisa beli barang mewah seperti itu.

“Nggak, Bang. Lain kali.”

“Mau pakai hapeku? Aku baru beli yang baru, ada yang suaranya polyphonic sekarang.”

Aku berhenti melangkah, menatap matanya. Dia bersungguh-sungguh. Tidak ada roman

bercanda di wajahnya. Kapan dia pernah bercanda?

“Mau, mau Bang. Kenapa Abang nggak jual aja?”

“Nggaklah, nggak seberapa, tadi aku pikir kamu butuh hape biar nggak kesulitan untuk dihubungi.”

“Tapi … aku nggak tahu kapan aku bisa bayar, Bang.”

“Kamu pikir aku rentenir? Pakai saja. Gratis. Kamu nggak perlu bayar.”

Aku melompat sambil tertawa girang di sisinya, dia hanya tersenyum tipis, tapi dari sinar di kerlingan matanya sudah cukup memberitahu bahwa dia terlarut ikut ke dalam kegembiraanku.

“Poly ... apa tadi itu, Bang, apaan?”

“Polyphonic. Jenis musik dering hape.”

Aku bingung.

“Emang yang Abang punya sekarang apa?”

Bang Mardi mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya ke samping.

“Nanti aku tunjukin.”

Kami melanjutkan perjalanan dengan topik seputar handphone. Benda ajaib bagiku. Bagaimana mungkin benda itu bisa dipakai untuk menelepon sementara tidak ada kabel sedikit pun terlihat menyambung di tiang telepon?

Warung tenda langganan Bang Mardi tampak sepi. Dia memilih tempat di pojok setelah memesan makanan dan minuman, jauh dari kompor. Katanya bau asap penggorengannya mengganggu.

Dia mengeluarkan handphone-nya, mengutak-atik, lalu menunjukkan kepadaku. Tulisan The Buffoon terlihat di sana.

“Ini nada dering monophonic.” Bang Mardi menekan tombol yang di tengah, lalu terdengarlah nada riang. Aku tersenyum lebar. Aku sering mendengar suara ini kalau ada yang meneleponnya.

“Bukannya namanya The Buffoon, bukan monophonic?”

Bang Mardi tertawa, “Monophonic itu jenisnya, kalau The Buffoon itu judulnya. Banyak pilihan judul nada dering. Nih lihat.”

Aku mengikuti gerakan tulisan di layar handphone-nya. Tercengang dengan kecanggihan alat itu.

“Kalau yang polyphonic suaranya bagaimana?”

“Belum tahu, tunggu nanti sampai aku dapat. Susah cari barangnya, masih terbatas.”

Oh ... hebat.

“Tapi katanya lebih rumit nada-nadanya,” sambungnya.

Oh ... hebat!

“Coba telepon ini ada lagu-lagunya ya, Bang?”

“Bisa jadi, mungkin suatu hari ini. Teknologi berkembangnya pesat. Coba pikirin, dulu kita pikir, mana bisa telepon dibawa ke mana-mana?”

Mulutku masih mengangah lebar saat aku manggut-manggut penuh kekaguman.

Pelayan datang, menginterupsi pembicaraan kami. Sejenak kami terdiam sembari bersiap-siap menyantap makanan.

“Bang, udah ada lowongan di kantor Abang?” tanyaku sambil kumasukkan sesuap besar nasi goreng ke dalam mulut. Pertanyaan rutin yang selalu kuutarakan di setiap saat ada kesempatan.

Dia meneguk minumannya, “Belum ada. Aku pasti ngasi tau kamu kalau kantorku buka lowongan kerja, Ros.”

Aku menganguk. Ada sedikit rasa kecewa mendengar jawabannya, tapi aku tepis jauh, karena aku yakin kesempatan untuk mengubah nasibku pasti terbuka, cepat atau lambat.

“Aku tadi telepon Ibu.” Aku menyesap minumanku sampai kandas.

“Semua sehat?”

“Alhamdulillah. Bapak masih sibuk kerja tembakau, Bang.”

“Udah dua bulanan kan?”

Aku mengangguk.

“Yuk.”

Mardi mengajakku pulang setelah membayar semua makanan kami. Berjalan kaki di bawah langit berbintang, di sisi jalan raya yang masih ramai oleh benda-benda hasil peradaban manusia. Berjalan perlahan, menikmati setiap napas yang terembus dari hidungku, bukti nyata aku masih hidup. Berjalan menunduk, menendangi sampah yang berceceran sepanjang trotoar ber-paving block abu-abu kusam. Mungkin karena lambung kenyang, kami tidak mengobrol banyak seperti saat berangkat tadi.

Aku meliriknya, yang kini lagi-lagi sedang menikmati paru-parunya diisi asap berbahaya. Hanya padanya aku bisa terbuka bercerita tentang keluargaku, tentang Enceng dan Enning, bahkan tentang kegeramanku pada Iyan, pemuda tetangga kos yang hampir setiap Sabtu malam nongkrong di teras kos, bernyanyi lagu cinta untukku dengan suaranya yang fales.

Kalau itu terjadi, maksudku kekesalanku pada Iyan memuncak, Bang Mardi akan mengajakku keluar dengan motornya. Berkeliling Jakarta menghabiskan malam, atau hanya mengajakku ke salah satu kafe tempat gaul anak muda kekinian. Hanya duduk berjam-jam, dan selama itu pula hanya mulutku yang lebih banyak berbicara, dia hanya menimpali sesekali.

Malam telah larut, aku membaringkan tubuh di atas kasur busa. Ragaku terasa letih, namun jiwaku seakan masih penuh gelora. Memasuki malam, suhu udara mendadak bersahabat, masih ada angin semilir dari jendela yang Bang Mardi buatkan untukku. Aku lega, kemungkinan besar aku akan tidur nyenyak mendengkur seperti kucing kekenyangan.  Pernah kamu bayangkan tidur dengan kasur busa saat udara terasa panas? Itu sama rasanya seperti memakai jas hujan saat mentari tengah terik.

Pikiranku mengembara ke Ebo’, Eppa’, serta obrolan Bu Monica dan Ci Melan yang entah mengapa begitu memikat. Aku harus mencari tahu.

Aku semakin lelah kini, jiwaku pun telah merintih. Kupaksakan pikiranku berhenti berkelana, bersahabat kembali dengan rasa kantuk yang sebenarnya mendera sejak tadi. Aku terlelap, dengan mimpi yang mengembara.

***

[1] Kabbi : bahasa Madura, artinya semua.

[2] Ghi’ nyeset bhako : bahasa Madura, artinya : masih mengiris tembakau.

Yustini Setia Darma

Apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Monica dan Melan?

| 1

Related chapters

  • Yang Terpilih   Part 8: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

    Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se

    Last Updated : 2021-11-06
  • Yang Terpilih   Bab 1 Per Fas et Nefas - Melalui yang benar dan yang salah

    Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 10

    Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yang Terpilih   Bab 2

    Suasana ruang tamu mewah itu terasa lengang, hanya dua orang wanita duduk berhadapan di satu sofa panjang. Melipat kaki masing-masing, saling memperhatikan ucapan satu sama lain. Persahabatan mereka ibarat anggur yang di fermentasi, semakin lama semakin kuat, semakin menyatu dalam rasa.“Lo udah pastiin Monica ke sini?” tanya Emma.“Udah, dia lagi on the way.”“Gis, bukannya apa-apa. Pikirin lagi matang-matang. Gimana lo bisa tahu dia dari keluarga baik-baik? Apa entar lo malah memelihara ‘macan’ di rumah ini?”Giselle tertawa kecil. “Nggak lah, Em. Gua pasti tahu, gua punya insting untuk menilai seseorang.”Emma mendengus sembari menggelung rambutnya yang sebagian terjatuh di sisi kepalanya. “Kedengarannya emang mudah. Suntikin sperma laki lo ke rahim dia, bayi tumbuh dan bim salabim, bayi lahir, urusan beres.”“Udah seharusnya seperti itu, kan?&

    Last Updated : 2021-11-08
  • Yang Terpilih   Bab 3

    Giselle baru saja menutup sambungan telepon dengan ibunya. Dia menceritakanrencananya. Tak banyak yang dikatakan Sang Mommy padanya, karena wanita itu sangat mengerti posisi putrinya itu. No bargaining power, anaknya berada di posisi sudut, tak ada jalan lain yang bisa dia gunakan sebagai alasan untuk menolak. “Apa pun yang menurut kamu baik, lakukanlah. Gunakan logika dan perasaan kamu secara seimbang. Jangan sradak-sruduk.” “Iya. Mom. Wish me luck.” “Always.” Dia menekan nomor yang lain tak lama setelah sambungan telepon terputus. Monica. “Ha

    Last Updated : 2021-11-09
  • Yang Terpilih   Bab 4

    Giselle tertegun, dengan ponsel masih di tangan. Semua di luar perkiraannya. Setelah satu bulan berlalu, tiba-tiba saja Dokter Aviv meneleponnya, mengundang dirinya ke rumah dokter itu. “Maaf, maksud undangan ini apa, Dok?” tanyanya ragu, ujung jarinya mengusap kening. “Sekadar brainstorming, tentang inseminasi buatan yang kamu pernah tanyakan kepada saya.” “Maksudnya?” “Kita akan bicarakan nanti di rumah saya. Oke?” “Ba … baik,” Giselle merasakan kegugupan luar biasa. Mendadak jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.

    Last Updated : 2021-11-10
  • Yang Terpilih   Bab 5

    Hari ini adalah hari yang berbeda bagi Rosa. Setelah pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Giselle, dia mendapat kabar bahwa prosedur awal mulai harus dilaksanakan.Konsekuensi dari keputusannya adalah, dia harus keluar dari tempat kerjanya. Kemarin dia sudah menghadap Melan, menjelaskan keputusannya. “Lo benar-benar udah yakin, Ros?” tanya Melan sambil menaiki tangga. Melan mengajak Rosa ke atas, agar perbincangan mereka tidak didengarkan oleh karyawan yang lain. “Iya, Ci,” jawab Rosa. Melan mempersilakan anak buahnya itu untuk duduk. “Gua hanya ngingetin lo sekali lagi, Ros. Lo sedang menginjak sesuatu yang sangat tipis. Lo ngerti maksud gua?”

    Last Updated : 2021-11-11
  • Yang Terpilih   Bab 6

    2 Maret 2003-MingguTak banyak yang bisa direnungkan kembali oleh Rosa sepulang dari rumah sakit kemarin, semua sudah dia pikirkan sepanjang hari dan malam. Apa yang dia lakukan kemarin bersama dua orang wanita yang sebenarnya adalah orang asing, benar-benar membuatnya merasa berada di dunia yang sangat berbeda. Enning dan Enceng terasa semakin jauh dari benak. Sempat dia menimang ponsel berwarna abu-abu pemberian Mardi, namun ada rasa takut menyelinap bahwa dirinya tidak akan mampu menahan diri untuk bercerita semuanya kepada Enning. Dia meyakini, apa pun yang sampai di telinga Enning, akan sampai di telinga ayahnya. Sang surya sudah berada di peraduannya, malas untuk menyinarkan pesonanya lebih lama. Rosa pun sudah merasa remuk seluruh tulangnya. Malam ini dia memanjakan tubuhnya dengan tertidur pulas sampai pagi menjelang. Tanpa mimpi, bahkan senyum yan

    Last Updated : 2021-11-12

Latest chapter

  • Yang Terpilih   Rosa Putri Azra-Jodoh Tak Kemana

    Tahun 2004 Rosa menatap keluar jendela mobil, matanya bergerak mengamati setiap pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan. Sesekali dia menarik jaketnya, dingin AC mobil membuatnya menarik kedua kakinya, meringkuk seperti anak kecil. Kini kepalanya bersandar pada kaca jendela, tidak nyaman baginya tapi cukup membuatnya memiliki ruang mengamati seisi mobil. Di depannya persis, sopir terlihat begitu khusuk menjaga laju kendaraan dan mungkin juga laju kantuk di matanya. Di samping sopir Mardi tertidur lelap, kepalanya miring ke kiri, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Rosa tersenyum tipis melihat itu. Di kursi sebelah Rosa, ibu Nyak juga tertidur. Rosa mengangkat tubuhnya, merapikan sarung yang dijadikan selimut tubuh Nyak lalu kembali ke posisinya semula. Sedangkan di kursi belakang Mpok Leli, kakak Mardi yang di Rawalumbu tidur telentang sendirian. Matanya kembali k

  • Yang Terpilih   Epilog

    Tiga tahun kemudian Rumah sakit khusus ibu dan anak yang mewah itu ramai oleh pengunjung. Berbeda dengan rumah sakit umum, wajah yang terlihat kebanyakan wajah ceria. Lebih banyak kabar gembira di sini, yaitu kelahiran jiwa baru ke dunia. Seorang wanita berambut sebahu sedang mengawasi seorang bocah berumur empat tahun. Bocah tampan berkulit putih. Sesekali mulut wanita cantik itu berteriak memanggil nama anak kecil yang tampak begitu lincah dan sehat. “Mommy!” seru sang bocah sembari berlari dari kejauhan dengan mainan pesawat di tangannya. Wanita itu tersenyum lebar, membentangkan kedua lengannya, lalu menerima tubuh gempal anaknya ke dalam pelukannya.&n

  • Yang Terpilih   Bab 24

    Giselle masih mematung saat bayangan mobil yang mengantar Rosa menghilang daripandangannya. Di saat itu juga, dia merasakan kelegaan luar biasa, seakan terbebas dari himpitan dua batu besar. Matanya mengerjap berkali-kali, sudah tidak ada airmata yang menetes atau tergenang. , Perlahan tubuhnya mengendur. Saraf otaknya yang sedari tadi tegang, kini terasa ringan. Bola salju besar yang menggelinding karena ulahnya, sekarang sudah diam, berhenti dan meleleh lalu lenyap meresap ke dalam bumi. David juga masih di posisi yang sama, membeku. Namun kewarasannya menegur, dia menoleh kepada istrinya dan mencoba tersenyum. “Sayang ... sudah. Semua sudah berlalu,” bisik David sembari menciumi pelipis istrinya. Giselle menarik napas panjang lalu tercekat be

  • Yang Terpilih   Bab 23

    Rosa berdiri, menunggu penumpang di sebelahnya berlalu lalu dia menyusul di belakang. Berjalan perlahan sepanjang koridor pesawat, membalas senyum sekadarnya pada pramugari yang memberi salam. Udara hangat menerpa wajahnya seketika, saat dia mulai menuruni tangga pesawat. Angin menyibak rambut panjang terurainya, helai hitam itu membelai wajah matangnya yang terlihat tirus. Mata indah yang biasanya bersinar, kini redup kehilangan cahaya. Ada yang menarik paksa seluruh keceriannya, namun mengembalikan makna kehidupannya. Tas baju sudah ada di tangannya, menunggu sopir di depan pintu kedatangan terminal 2E. Salam dari Pak Kosim hanya disambut Rosa dengan anggukan kecil. Berkali-kali gadis muda yang mendadak dewasa ini menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan, seolah hendak mengeluarkan segala sesak di dada. Selama berada di Madura,

  • Yang Terpilih   Bab 22

    Surat Yassin berkumandang. Rosa melafalkan doa itu dengan segenap hati, ada genangan di matanya yang setiap saat bisa meluber. Wajah ibunya terbayang, sejak acara tahlilan tujuh hari meninggalnya ibunya ini dimulai hingga hampir berakhir, dia selalu menarik ujung kerudung berwarna hitamnya agar orang-orang yang duduk di sebelah kanan kirinya tidak melihat sudut matanya yang mulai basah. Atau dia takut orang lain melihat rasa bersalah di wajahnya? Dia menatap ayahnya di seberang ruangan yang tengah menunduk, melafal dengan penuh hikmat. Tubuh kurus ayahnya dan uban yang memenuhi kepalanya itu membuat hatinya kembali seolah diiris sembilu. Pedih. Rasa sesal tak bisa dibendungnya lagi. Setiap hari sejak kematian ibunya, adalah dera penyesalan. Namun hidup bukanlah sebuah buku yang bisa dibuka lembar demi lembarnya sekena hati, yang bisa kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan. Waktu tidak akan pernah

  • Yang Terpilih   Bab 21

    Tuntutan hukum Giselle membuat Rosa bingung, tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu orang mungkin yang bisa menolongnya. Tommy. Rosa menelepon Tommy, dengan suara berbisik di kamarnya. “Mbak Giselle lapor polisi, Mas Tommy, gimana ini??” tanya Rosa bingung. “Maksudnya? Lapor apa?” tanya Tommy bingung. “Mbak Giselle melaporkan saya ke polisi, katanya saya sudah melakukan pemerasan. Saya takut…” jelas Rosa. Tommy terdiam sejenak. Sebagai pengacara, dia sangat mengerti mengapa Giselle melakukan hal itu. Dia berpura-pura tenang da mengatur nada bicaranya. Uang yang ada di depan matanya tidak boleh lepas.&

  • Yang Terpilih   Bab 20

    Sudah sebulan berlalu sejak insiden Rosa ketahuan belangnya. Sekarang Rosa sudah pulih sama sekali dari luka bekas operasi. Mungkin karena Rosa masih sangat muda, kemarahan orangtuanya tidak begitu membekas, seperti anak kecil ketahuan nakal—dia cepat pula melupakannya. Dia yakin orangtuanya pasti akan memaafkannya. Rosa kembali ceria dan menikmati hidupnya yang penuh kemewahan. Apalagi Giselle sudah membayar lunas haknya dan David memanjakannya dengan uang jajan. Walaupun kini dia jarang menggendong Raynar, tapi air susunya masih sangat dibutuhkan. Dia merasa masih memiliki “senjata” untuk bertahan di rumah Giselle. “Bo’… Rosa mau kirim lagi seratus juta…” kata Rosa minggu lalu melalui telepon. “Tak perlu, Ep

  • Yang Terpilih   Bab 19

    Giselle menimbang-nimbang kapan waktu terbaik untuk berbalik mengancam Rosa seperti yang diajarkan Emma. Setiap kali dia mundur, begitu mengingat Rosa adalah pemberi ASI terbaik buat Raynar. Mulutnya terasa terkunci. Kalau Rosa stress gara-gara dirinya, lalu David mengetahui, apa yang akan dikatakan oleh suaminya? Mungkin malah memperburuk situasinya saat ini. Pagi ini Giselle berniat mengajak Raynar berjalan-jalan ke kebun, mandi matahari. Dia menggendong Raynar, mengecup anaknya yang baru bangun tidur berkali-kali hingga membuat Raynar menangis. Lalu Giselle tertawa, menciumi lagi anaknya yang malah tersenyum padanya. Mungkin Raynar merasakan besarnya cinta kasih yang dimiliki oleh Giselle. “Raynar berjemur dulu, yuk, sama Mommy, nanti minum susu. Okay?” kata Giselle.&

  • Yang Terpilih   Bab 18

    Rosa melamun di ruang tamu. Tadi Raynar dibawa Giselle untuk vaksinasi di rumah sakit dan menolak keras Rosa ikut. “Kamu nggak perlu ikut, Ros,” kata Giselle kalem saat menggendong Raynar. “Ayo, Sus,” ajaknya ke penjaga Raynar. “Tapi, Mbak…” Rosa berusaha membantah. “Saya bisa sendiri, dan memang saya harus melakukannya sendiri,” kata Giselle. “O, ya, asal kamu tahu saja, Raynar sudah punya akta lahir dan masuk ke dalam Kartu Keluarga di sini, jadi kamu mengerti maksudnya, kan?” Giselle mengangkat dagunya ke arah fotokopi dokumen yang tadi dia keluarkan dari tas. Rosa menghampiri berkas itu, nama Raynar Wicaksono tercetak di b

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status