Share

Yang Kau Bilang Miskin
Yang Kau Bilang Miskin
Penulis: humaidah4455

Perjalanan pulang

Penulis: humaidah4455
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Yang kau bilang miskin

[Kalo nggak punya tentengan mending nggak usah brangkat. Malu lah makan gratis]

Sebuah status Yu Yati terpampang di ponselku. Entahlah Apa yang dia tuliskan, yang jelas kok hati ini merasa tersindir, ya. 3 tahun lalu, saat ia hajatan, memang aku dan Mas Bayu tidak membawa apa-apa saat menghadiri hajatan itu. Alhasil, aku di buly habis-habisan oleh Yu Yati. Padahal, amplop kami bisa dibilang lumayan. Tapi, tetap saja dicibir.

Sudahlah, husnudhon saja, mungkin itu bukan untuk menyindirku. Benar kata Mas Bayu, orang seperti Yu Yati itu, nggak akan bisa melihat apapun yang kami berikan, berbeda dengan suaminya, Mas Paijo, beliau lebih bisa menghargai kami, bahkan usai malam pembukaan amplop, beliau mengucap terimakasih setelah tahu, berapa jumlah uang sumbangan kami.

"Bagaimana aku membalasnya? Sumbangan mu banyak sekali." Begitu katanya.

Namun, aku dan suami, sama sekali tak mengharap mereka mengembalikan uang itu. Kami ikhlas membantu saudara.

"Sudahlah, Mas, nggak usah dipikirin, Aku sama Rini ikhlas. Kami ingin membantu Mas Paijo dan keluarga." Bagitu kata Mas Bayu.

Tapi, berbeda dengan Yu Yati. Wanita culas, judes, yang notabene nya saudara tiriku itu malah menghina kami.

"Halah, palingan uang hasil ngutang. Biasa, biar dikira kaya bisa nyumbang dalam jumlah banyak, dibelain ngutang. Ngaku deh! Mana mungkin orang macam kalian bisa ngisi amplop sebesar itu." Itulah ucapan Yu Yati yang membuat hatiku terhiris saat itu.

Beruntung Mas Bayu bisa meredakan amarahku yang terpancing saat itu, hingga aku tak melakukan hal yang memalukan. Yu Santi juga ikut menenangkan ku.

Diantara ke 4 saudara tiriku, hanya Yu Santi yang peduli dan benar-benar tulus. Yang lain modus, baik bila ada maunya saja.

"Rini, biarkan Yati berkoar semau mulutnya, yang penting niatmu tulus. Yayu bangga sama kamu, kamu sampai segitunya menyumbang ke dia. Uang tiga juta itu bukan jumlah yang sedikit. Tapi, Yayu yakin, itu hasil usahamu. Yayu sudah dengar semua tentangmu. Alhamdulillah akhirnya kamu bisa menata hidup yang layak dikota. Tiap malam Yayu berdo'a agar hidupmu di mudahkan. Agar penderitaanmu tak berkelanjutan. Kamu sudah susah dari kecil. Jadi, Yayu berharap kini kamu hidup bahagia." Yayu menyeka air matanya kala itu, kakak tiriku itu memelukku sambil menangis.

"Dik, kenapa melamun? Ayo lekas bersiap, kita berangkat sekarang, biar tak kemalaman sampai di Sidoarjo," kata suamiku.

Aku sontak berjingkat saat suamiku berucap. Yah, gara-gara status Yu Yati, aku gagal fokus maning.

Ponselku berdering, panggilan dari Yu Santi, segera ku jawab.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikum salam. Ya Allah Rini, apa semua ini? Terimakasih banyak. Yayu nggak bisa berucap, Nduk. Kirimanmu sudah datang." Suara Yu Santi terisak.

"Ah, Yayu, kenapa nangis? Aku yang makasih, Yayu mau menerima semua itu. Jangan marah ya, Yu," pintaku padanya.

"Kamu kapan kesini? Besok hari H. Apa kamu nggak bisa datang? Kenapa hanya belanjaan semobil yang datang? Kenapa bukan kamu dan Bayu yang datang? Rini, apalah artinya semua ini, kalau kamu dan suami mu tak hadir disini? Yayu sudah nyiapin seragam khusus untuk kalian," suara Yayu kini makin menjadi. Ia menangis tersedu.

"Yu, insyaallah kami usahakan, bisa hadir. Tapi, lihat jadwal dulu. Nggak apa 'kan, kalau telat?" Aku sengaja menggoda Yu Santi.

"Ya ampun Rini, sesibuk itukah kamu sekarang? Tolong datanglah, Nduk datang, Yayu mohon!" seru Yayu menangis.

Ah, rasanya tak tega mendengar tangisnya itu. "Insyaallah, Yu. Diusahakan. Maaf, ya, Yu. Ada urusan, telponnya udahan dulu," pamitku padanya. Hati ini tak sanggup bila mendengar Yayu memohon. Bisa gagal surprise ku nanti. Kebetulan, Mas Bayu memanggil, bisa kujadikan alasan yang tepat.

"Ya, sudah. Hati-hati. Itu suamimu sudah manggil. Yang rukun ya Rini, kapanpun kamu datang, akan Yayu tunggu. Assalamualaikum,"

"Wa'alaikum salam."

Hatiku bagai di remas, mendengar ucapan Yayu barusan. Yayu sangat sayang kepadaku, hingga sekarangpun masih kurasa, perhatiannya lewat udara sering ia berikan. Berbeda dengan saudaraku lainnya. Hanya Yu Santi yang tau keadaanku sekarang, yang lain tidak. Yu Santi bisa menjaga rahasia besar ini. Rahasia yang akan membungkam mulut-mulut saudara tiriku yang lain.

"Sayang, cepatlah!" Teriakan suamiku menyadarkan lamunan. Setitik air disudut mata ini ku hapus, aku sudah janji kepada Mas Bayu untuk tidak menangis lagi.

Aku segera keluar kamar, menemui Mbok Yem-asisten rumahtangga ku.

"Mbok, Simbok," Aku mencari sosok yang selama ini menemani kami hingga di puncak kesuksesan.

"Nggih, Mbak Rini," wanita berkain jarik itu muncul dari arah dapur.

"Mbok, hati-hatilah dirumah, kalau ada apa-apa, segera kabari saya. Nanti kalo linunya kambuh, segera kedokter, minta anter Dito," pesanku kepadanya.

Meskipun Simbok asisten rumah tangga kami, tapi aku sangat sayang padanya.

"Nggih, Mbak Rini," jawab Mbok Yem tersenyum.

Aku segera berjalan menuju teras rumah, dimana mobil sudah menunggu.

"Lho, Mas, kok pake mobil ini? Kenapa nggak yang sederhana saja?" protesku pada Mas Bayu.

"Sayang, jalan masuk ke Sidoarjo itu bergelombang dan rusak, jadi aku pilih mobil ini," terangnya mengulas senyum.

"Ayo, lekas berangkat," ajaknya kepadaku.

"Kami berangkat, ya Mbok," pamitku pada Mbok Yem.

"Hati-hati, Mbak, Mas," katanya. Lambaian tangan mengiringi keberangkatan kami.

Perjalanan kali ini, aku dan Mas Bayu ditemani oleh Pak Ilyas dan salah satu pengawal pribadi Mas Bayu.

Bayangan sumringah Yu Santi, Bude Siti, Pakde Umar, Mas Yuda, Mas Ari, Mbak Eis, terpampang nyata dibenakku. Ya, merekalah yang sayang kepadaku.

Setelah ibu meninggal, dan ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak empat, hidupku berubah drastis. Ibu tiriku tak sepenuhnya sayang kepadaku, persis lagu ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja. Saudara tiriku pun demikian. Hanya Yu Santi saja yang sayang kepadaku. Setiap jadwal makan, ibu selalu memberiku makan berlauk tempe saja. Tapi, secara sembunyi, Yu Santi memberiku aneka lauk dan buah, bahkan ia menemaniku makan, tidur juga ditemani olehnya, aku seperti memiliki seorang kakak.

"Sayang, mau beli oleh-oleh apa?"

Pertanyaan Mas Bayu menyentakku lagi.

"Ada apa? Kenapa sedih? Kamu tak suka perjalanan ini? Kalau kamu tak suka, marilah kita pulang saja. Yas, putar balik!" Seketika Mas Bayu memerintah sopir untuk berputar balik.

"Jangan, Mas. Jangan!" cegahku.

Mobilpun berhenti, "Gimana, Pak? Lanjut apa pulang?" Pak Ilyas menoleh kami.

"Lanjut, Pak. Lanjut!" Ku seka air mata ini.

Mas Bayu memggenggam tanganku, " Jangan membuatku gagal menjaga air matamu itu. Jangan bersedih lagi, kau sudah janji Rini," Mas Bayu memelukku.

Tubuh ini tenggelam dalam dada bidang nan atletis itu. Maaf, Mas ... ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata bahagia.

"Aku bahagia, Mas. Aku bahagia. Rasanya tak sabar ingin segera bertemu Bude dan semuanya." Ku urai rasa ini kepada Suamiku.

"Kalau bahagia, kenapa menangis?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
windy
ya ampun sedih banget sih....
goodnovel comment avatar
Satrio Nugroho
seru lanjut
goodnovel comment avatar
suci safitri
... ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Yang Kau Bilang Miskin    Pemulung itu

    Perjalanan dilanjutkan, aku terlena dalam dekapan hangat Mas Bayu. Dekapan yang mampu membalut semua luka-luka masalalu. Mas Bayu laki-laki terbaik yang dikirim Allah untukku. Mungkin ini semua sebagai hadiah kesabaran dimasalalu. Seperti yang Bude bilang. Aku terlelap dalam perjalanan ini, hingga ku bangun saat Mas Bayu memanggilku. "Ayo, turun dulu, kita rehat sebentar sambil makan siang," ajaknya ramah. "Kita sudah sampai?" tanyaku saat membuka mata. "Belum, sayang. Sebentar lagi, kita makan siang dulu. Aku nggak mau kejadian lalu terulang, saat kita sampai di Sidoarjo, kamu kelaparan hingga maagmu kambuh. Ayo, makan dulu." Mas Bayu mengusap lembut pucuk kepalaku yang terbalut hijab. Ia berdiri di luar mobil. Lalu membantuku turun. "Mas, jam berapa ini? Aku belum shalat Dzuhur," Ku usap wajah ini. Suamiku berkacamata hitam melempar senyum. "Jam setengah dua siang, lekaslah jika tak ingin waktu Dzuhur habis." Aku dan suami singgah di sebuah pondok santap yang sangat apik. S

  • Yang Kau Bilang Miskin    Bayang masa lalu

    Bayangan masalalu kekejaman sosok laki-laki yang kini menjadi pemulung terus saja menghantuiku. "Dasar anak s*t*n! Siapa yang menyuruhmu masuk kamar ini?" "Maaf, Mas. Rini cuma mau membersihkan kamar ini." "Pergi kamu! Pergi!" Dia mendorongku keras hingga kepalaku membentur tembok. Darah seegar keluar dari pelipisku. Tak henti dia saat melihatku terluka, sapu yang ku bawa direbutnya paksa, lalu dengan bringas ia memukuli tubuh kecil ini. Bahkan ia tak hirau jerit tangisku. "Hentikan, Johan! Hentikan!" Teriakan Yu Santi saat itu. "Jika dia terluka, Bapak akan marah!" Teriak Yu Santi lagi. Sementara Yu Yati dan Diki malah menertawakan ku. "Biar saja anak ini mati. Dia selalu mengganggu privasi ku. Aku lagi tidur diganggu juga!" Hardik Mas Johan. Aku segera dibawa oleh Yu Santi. Ia mengobati luka dikepalaku, lantas membuatkan obat oles untuk mengobati luka memar di tubuhku akibat pukulan Mas Johan. "Apa yang kau lakukan hingga Johan marah padamu?" Yu Santi dengan telaten mengoba

  • Yang Kau Bilang Miskin    Membasuh Rindu

    "Drama apalagi, sih, Mas. Aku pengen lekas turun. Aku rindu Yu Santi, Bude, dan yang lain!" rengeku pada Mas Bayu. "Sabarlah sebentar lagi, sayang. Percayalah, indah pada waktunya. Sini!" Mas Bayu malah memelukku. Kini ia kenakan kacamata, persis pejabat terhormat. "Dim, lakukan tugasmu!" Mas Bayu memberi komando kepada pengawalnya. Dimas lekas turun dari mobil. Kulihat dari dalam mobil, Dimas seperti sedang bertanya kepada salah seorang warga, lalu warga itu masuk kedalam area tenda kemudian keluar bersama si empunya hajat Yu Santi dan Mas Hadi. Hatiku rasanya tak sabar ingin segera memeluk Yu Santi, terlebih saat bude Siti ikut keluar juga. Ku pandangi suamiku. "Mari kita turun, sayang. Basuhlah kering rindu dihatimu itu." Mas Bayu menatapku lalu mengecup keningku. Mas Bayu membuka pintu ia turun, lalu mengajakku turun pula, kami turun lewat pintu sebelah kanan. Rumah Yu Santi di sisi kiri mobil kami. "Kita jalan bersama, sayang." Mas Bayu menggandeng tanganku. Persis seperti

  • Yang Kau Bilang Miskin    Sebuah tamparan

    "Yati!" teriak Mas Hadi. Urat lehernya timbul. Pakde Umar berdiri di hadapanku, ia menghadang Yu Yati. "Kenapa, Mas? Nggak perlu membentak ku begitu. Aku cuma mau ngasih tau orang miskin nggak tau diri ini," celoteh Yu Yati. Kulihat, Mas Bayu suamiku meremas gelas plastik bekas air mineral. Tapi sepertinya ia masih bisa menahan emosi. "Kau pikir dengan memakai mobil Pajero seport begitu, serta membawa sopir sewaan ini bisa menipu ku? Sekali miskin tetap miskin aja. Nggak usah belagu!" hardik Yu Yati lagi. Dimas sontak berdiri. "Jaga sikap Anda!" Bentak Dimas. "Dim, biarlah. Tenang, duduklah," ucap suamiku. Dimas mengikuti arahan suamiku. Kulihat, banyak pasang mata menyaksikan kearoganan dan keangkuhan Yu Yati. Mereka ada yang berbisik juga. "Heh Bayu, jangan sok sokan jadi orang kaya disini. Lagaknya seperti pejabat, mobil rentalan saja bangga." Yu Yati masih berapi-api. "Dan kamu laki-laki sok jago, mau-maunya diperalat oleh pembohong seperti dia!" Telunjuk Yu Yati mengarah

  • Yang Kau Bilang Miskin    Masih seperti dulu

    "Nggak usah sedih begitu, nanti kita belikan sesuatu untuk Bude usai acara Yu Santi beres. Tenanglah. Mana kuncinya? Mas kebelet, nih," Suamiku menadah minta kunci rumah. Aku tertawa geli. Bisa aja dia berulah pake bilang kebelet segala. Aku segera membuka kunci rumah Pakde Umar. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam. Kamar mandi dimana, Yang?" Suamiku nyelonong masuk. "Lurus, masuk, belok kiri, kamar mandi di pojokan." Masih seperti dulu, rumah ini selalu rapi. Ruang tamu, tuang tengah, masih yang dulu. Bayangan masalalu saat ku masuk ruang tengah tergambar. Bayangan dimana aku dan ketiga anak Pakde menggambar bersama, mas Yuda membuatkan gambar pesawat untukku. Mas Ari mewarnai gambar motor kesukaannya. Aku bermain boneka bersama Mbak Eis disini, hingga kami tertidur di siang hari diruangan ini. Indah, indah sekali waktu itu. "Pak, Ilyas, Dimas, masuklah. Istirahat dulu," Ku persilahkan dua orang suruhan Mas Bayu masuk. Dimas membawa koper milikku dan Mas Bayu. "Mau ditaruh ma

  • Yang Kau Bilang Miskin    Terlampau sedih

    Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu."Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti. "Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti. "Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi. Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore. "Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekara

  • Yang Kau Bilang Miskin    Tarzan Wati

    Mas Bayu sigap menopang tubuhku yang tiba-tiba melemah. "Inilah yang Bayu takutkan Pakde, jika Rini terlalu sedih, dia pasti lemas," ucap Mas Bayu. "Ya sudah, kita doakan ibumu dulu, lekas pulang, hari sudah hampir Magrib." Pakde segera memimpin doa lalu menuang air bunga yang tinggal separuh. Aku hanya bisa bersandar di tubuh suamiku. Mas Bayu berulang kali mengusap tangan ini, berulang pula mengecup keningku. "Ayo, pulang. Sudah semakin sore," ajak Pakde. Dalam kondisi begini, tentu saja aku tak kuasa berdiri bahkan berjalan. Mas Bayu dengan sigap menggendong tubuhku ke mobil. Aku tak kuasa menatap suamiku. "Tolong pintunya, Pakde," Mas Bayu membawaku kemobil, menurunkan tubuhku perlahan wajahnya nampak khawatir. Pintu mobil tertutup, ku pejamkan mata. Mobil berjalan lagi. Sepanjang perjalanan pulang, air mata ini luruh tiada henti. Bayangan ayah memelukku dulu terputar. Aku rindu ayah. "Rin, sudahlah, Nduk, jangan sedih lagi." Pakde mengajakku bicara. "Kenapa ayah harus me

  • Yang Kau Bilang Miskin    Imitasi

    Aku dan Mas Bayu berpandangan serius. Alis Mas Bayu naik separuh. "Kenapa diam? Mana oleh-oleh nya?" Lagi Eis menadah tangan meminta oleh-oleh. "Eis, jangan gitu ah. Rini sama Bayu sudah ada disini, Ibu sudah bahagia. Tak perlu lah oleh-oleh seperti yang kau pinta itu," Bude Siti menegur Eis. "Iya, Bu. Iya! Maaf, Rin, canda," sahut Eis mencubit hidungku. "Mandi dulu Is, nanti ke tempat Santi lagi. Malam ini, mau bungkusin lemper lagi." Eis berlalu kedepan, mungkin ke kamarnya. Aku bingung tentang ucapan Eis tadi. Aku duduk di kursi meja makan, Mas Bayu memijit pundakku lembut, "Ada yang kamu butuhkan, sayang? Mas ambilkan," tawar suamiku berbisik ditelinga. "Duduklah, Mas. Sini, duduklah," lirihku. Mas Bayu duduk di sebelahku. Ku lihat Bude Siti sibuk menyiapkan berbagai menu makanan. Usapan lembut di tangan dari Mas Bayu hangat terasa. "Rin, kalau kamu masih lemes, istirahat saja dirumah ... nggak usah ikut ke tempat Yu Santi. Kesehatanmu lebih penting." Aku tersenyum melih

Bab terbaru

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kekasih ku

    POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,

  • Yang Kau Bilang Miskin    Aku ingin disini

    POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku

  • Yang Kau Bilang Miskin    Jangan tinggalkan aku

    POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk

  • Yang Kau Bilang Miskin    Aku pulang, Yah

    Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kenapa harus putih?

    Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan

  • Yang Kau Bilang Miskin    Ada apa dengan Rini?

    "Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad

  • Yang Kau Bilang Miskin    nyaris sempurna

    Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya

  • Yang Kau Bilang Miskin    kecelakaan

    Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga

  • Yang Kau Bilang Miskin    Kemunculan Diki

    Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"

DMCA.com Protection Status