Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu.
"Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti."Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti."Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi.Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore."Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekarang!" pintaku kepada Pakde.Ku lihat ekspresi wajah Pakde tersenyum. Bude juga sama."Kamu ingin kemakam? Mandilah dulu! Nanti pakde antar, Nduk." Pakdeku dengan lembut memberiku saran.Tanpa pikir panjang, aku segera pamit urung membantu Bude Siti memasak. Aku melesat kekamar mengambil peralatan mandi. Mas Bayu berjingkat saat aku masuk. Rupanya ia selesai sholat."Mas, siap-siap, 10 menit lagi antarkan aku kemakam aku mau ziarah kemakam ayah dan ibu." Aku segera melesat lagi kekamar mandi, tanpa menunggu persetujuan suamiku.Dalam benakku hanya ingin segera mengunjungi makam ayah dan ibu. Aku masuk kamar mandi. Mandi ala anak sekolah bangun kesiangan.Biarlah, yang penting mandi. Setelah berwudhu aku keluar kamar mandi."Hei, mandi bebek!" Bude menegurku. Aku nyengir kuda, lalu gegas ganti baju di kamar.Ku pakai baju dres panjang yang nyaman. Sederhana saja. Ku poles wajah ini tipis-tipis. Ku kenakan hijab senada dengan motif bunga pada dres panjang ku. Cantik. Wajahku tetap cantik meskipun berbalut baju sederhana. Segera keluar kamar, lalu ku cari suamiku."Mas, Mas Bayu!""Iya, sayang! Mas di belakang!" Suara suamiku seperti dari arah dapur. Segera ku langkahkan kaki kesana."Mas, ayo, antarkan kemakam. Aku mau ziarah kesana. Sekarang." Pintaku pada Mas Bayu, laki-laki ini berkain sarung, dan berkemeja motif garis belang hitam biru.Mas Bayu tersenyum menatapku. "Bude, lihatlah! Rini manja banget kalau punya keinginan. Bikin Bayu gemes," celetuk Mas Bayu hendak mencubit hidungku."Eits! Aku nggak mau batal wudhu!" seruku pada Mas Bayu lantas berlindung dibalik badan bude Siti.Mas Bayu malah mengejar ku. Akupun berusaha menghindar kami berputar mengelilingi Bude Siti sambil tertawa."Ehem! Jadi kemakam enggak? Kalo jadi, ayo, Pakde antar," tawar Pakde Umar."Jadi!" Sahut aku dan Mas Bayu berbarengan.Bude menatap lucu kami berdua bergantian."Berangkatlah, ziarahi makam ayah dan ibu mu pasti mereka senang." Bude mengusap wajahku."Bawa toples plastik, isi air dan bunga seadanya," Pakde memberi titah.Segera saja ku lakukan titah pakde, ku ambil toples plastik di rak piring, lalu kuisi dengan air tinggal memberi bunga.Pakde membubuhi minyak di air toples. Segera ku bawa keluar hendak ku beri bunga."Mas, ayo, kita cari bunga," ajakku pada Mas Bayu."Bunga nggak harus banyak, Rin, sedikit saja, cuma buat syarat. Nggak ada pun nggak papa." Pakde berucap lagi.Ya sudahlah, ikut saja apa kata Pakde. Ku melangkah gontai menuju halaman rumah melalui pintu L sebelah kanan, memetik bunga lalu ku masukkan ke toples. Mas Bayu keluar lewat pintu depan. Alarm mobil berbunyi, sepertinya sore ini Mas Bayu yang akan mengemudikan mobil ini."Pak, bapak mau kemana?" Ku dengar Dimas bertanya kepada suamiku. Dia masih membawa handuk, rambutnya masih basah juga.Ku hampiri suamiku dan Dimas. "Dim, kamu dirumah aja, biar saya dan suami serta pakde pergi ke makam. Kami akan ziarah dulu."Dimas mengangguk. Pakde juga sudah bersiap, pakde mengenakan baju batik panjang, juga kain sarung khas gajah putih, pecinya hitam. Suamiku mengenakan peci juga. Oh, rupanya Mas Bayu memakai peci pemberian ku saat ku beri kejutan tespack dua tahun lalu. Ah, tak kusangka ternyata peci itu selalu dibawanya, kirain dibuang, habisnya aku nggak pernah lihat Mas Bayu memakainya. Kali ini serasa kena prank deh."Sayang, ayo masuk," titah Mas Bayu. Suamiku ini membuka pintu mobil untukku.Kulihat Mas Bayu mempersilahkan pakde naik di bagian depan. Mas Bayu masuk mobil duduk di belakang kemudi."Bismillah." Kudengar suamiku menyebut asma Allah saat menyalakan mesin mobil.Mobil berlalu meninggalkan halaman rumah Pakde Umar. Berjalan terus menuju tempat peristirahatan ayah dan ibuku.Suamiku mengambil rute sesuai arahan Pakde."Rin, tengoklah ke kiri. Itu rumah Yati sekarang.""Nengok kiri, ada apa?" tanyaku yang sibuk mengamati perkembangan desa ini."Itu, rumah papan itu, disanalah Yati tinggal sekarang." Kulihat Pakde menunjuk sebuah rumah papan yang terlihat kurang terawat.Aku sungguh tak percaya melihat kenyataan ini. Benar, Yu Yati kelihatan keluar dari dalam rumah itu. Bahkan dia memandangi mobil kami."Klakson Mas," ceplosku saat melihat Yu Yati keluar.Mas Bayu menurut lalu suara klakson mobil berbunyi. Tapi, ekspresi Yu Yati malah berbeda diluar dugaan. Ia melepas sendal lalu melempar kearah mobil kami."Astaghfirullah halazim!" Seruku usai melihat kelakuan Yu Yati."Coba tadi nggak usah di klakson, Rin. Orang seperti Yati itu dibaikin ngelunjak," seloroh Pakde."Iya, Yang, nyesel nglakson orang seperti dia," imbuh Mas Bayu.Bukan kalian saja yang nyesel. Di lubuk hatiku yang terdalam, rasanya lebih sakit. Begitu bencinya Yu Yati kepadaku. Apa salahku padanya? Mengapa dia sangat memusuhiku?"Yang, Yang, kenapa diam? Jangan bilang kamu sedih atas perlakuan orang itu," suara Mas Bayu terdengar khawatir."Aku, nggak apa, Mas. Cuma nggak habis pikir aja, apa sih salahku sama dia? Kenapa dia begitu benci sama aku?" Sebutir air menetes kuseka perlahan."Kamu, nangis? Ayolah, Mas tau hatimu lembut, tapi jangan mudah kau jatuhkan air mata hanya untuk orang model dia," Mas Bayu menasihatiku.Aku mengerti Mas Bayu pasti kesal bila ada orang yang membuatku menangis. Maaf, Mas. Tapi hati ini nyeri nya kebangetan. Sakitnya tuh disini, Mas."Ayolah, sayang, kamu sudah janji sama Mas ... nggak akan bersedih lagi. Hapus air mata itu," imbuh Mas Bayu."Iya, Nduk. Jangan kau gubris kelakuan Yati. Dia memang begitu, semua warga sini hafal tabiatnya. Sayang air matamu, Nduk." Pakde menoleh ku."Ini, tisu! Hapus itu ingusnya," Mas Bayu memberiku tisu yang ada di bagian depan mobil.Ku ambil tisu pemberian Mas Bayu, ku pakai untuk membuang ingus yang mulai keluar."Rin, kamu itu harus lebih kuat, jangan mudah meneteskan air mata. Kamu bukan Rini yang dulu, sayang," Mas Bayu kembali menasihatiku.Tanpa terasa mobil kami sudah memasuki area makam."Kita sampai, Nduk." Pakde menoleh ku lagi."Parkir mobil saja disini saja," Pakde kembali berucap.Melihat pemakaman hatiku tambah terhiris. Aku segera turun, tanpa menutup pintu mobil ku berlari menuju sebuah pusara. Lutut ini rasanya lemas seketika. Nisan bertuliskan Mohamad Ali Bin Rosyid membuatku kian meneteskan air mata. Kupeluk batu nisan pusara ayah."Ayah, aku datang, Yah, bersama laki-laki yang kini menjadi imamku. Ayah, aku rindu ayah." Tangisku pecah di atas pusara Ayah.Mas Bayu mengusap lembut bahuku. Ia tak berucap."Assalamualaikum, Ayah." Suara Mas Bayu terdengar lirih."Sebaiknya kita kirim Al-fatihah untuk ayahmu, Nduk. Jangan menangis lagi, do'a anak Sholeh dan Sholeha diijabah Gusti Allah," Pakde ikut mengusap kepalaku.Aku masih memeluk nisan ayah sambil terisak-isak, rasanya ingin melepas rindu ini kepadanya."Sudah, sudah. Berdo'a saja. Kita doakan ayah." Mas Bayu merengkuh tubuh ini kemudian dipeluknya.Kami berdoa di atas pusara ayah dipimpin Pakde. Air mata tak henti berguguran ke pusara ayah. Air bunga dituang separuh oleh Pakde di atas pusara ayah.Selesai mendoakan ayah, kami pindah ke makam ibu. Tangisku kembali pecah diatas nisan ibu. Siti Fatimah binti Rahadi itulah tulisan nisan ini.Aku tak mampu berucap, badanku lunglai seketika. Semenjak keguguran dua tahun lalu, jika terlampau sedih aku sering begini, kehilangan tenaga bahkan berdiri tak mampu."Rin, kamu kenapa?" Pakde kulihat khawatir.Mas Bayu sigap menopang tubuhku yang tiba-tiba melemah. "Inilah yang Bayu takutkan Pakde, jika Rini terlalu sedih, dia pasti lemas," ucap Mas Bayu. "Ya sudah, kita doakan ibumu dulu, lekas pulang, hari sudah hampir Magrib." Pakde segera memimpin doa lalu menuang air bunga yang tinggal separuh. Aku hanya bisa bersandar di tubuh suamiku. Mas Bayu berulang kali mengusap tangan ini, berulang pula mengecup keningku. "Ayo, pulang. Sudah semakin sore," ajak Pakde. Dalam kondisi begini, tentu saja aku tak kuasa berdiri bahkan berjalan. Mas Bayu dengan sigap menggendong tubuhku ke mobil. Aku tak kuasa menatap suamiku. "Tolong pintunya, Pakde," Mas Bayu membawaku kemobil, menurunkan tubuhku perlahan wajahnya nampak khawatir. Pintu mobil tertutup, ku pejamkan mata. Mobil berjalan lagi. Sepanjang perjalanan pulang, air mata ini luruh tiada henti. Bayangan ayah memelukku dulu terputar. Aku rindu ayah. "Rin, sudahlah, Nduk, jangan sedih lagi." Pakde mengajakku bicara. "Kenapa ayah harus me
Aku dan Mas Bayu berpandangan serius. Alis Mas Bayu naik separuh. "Kenapa diam? Mana oleh-oleh nya?" Lagi Eis menadah tangan meminta oleh-oleh. "Eis, jangan gitu ah. Rini sama Bayu sudah ada disini, Ibu sudah bahagia. Tak perlu lah oleh-oleh seperti yang kau pinta itu," Bude Siti menegur Eis. "Iya, Bu. Iya! Maaf, Rin, canda," sahut Eis mencubit hidungku. "Mandi dulu Is, nanti ke tempat Santi lagi. Malam ini, mau bungkusin lemper lagi." Eis berlalu kedepan, mungkin ke kamarnya. Aku bingung tentang ucapan Eis tadi. Aku duduk di kursi meja makan, Mas Bayu memijit pundakku lembut, "Ada yang kamu butuhkan, sayang? Mas ambilkan," tawar suamiku berbisik ditelinga. "Duduklah, Mas. Sini, duduklah," lirihku. Mas Bayu duduk di sebelahku. Ku lihat Bude Siti sibuk menyiapkan berbagai menu makanan. Usapan lembut di tangan dari Mas Bayu hangat terasa. "Rin, kalau kamu masih lemes, istirahat saja dirumah ... nggak usah ikut ke tempat Yu Santi. Kesehatanmu lebih penting." Aku tersenyum melih
"Rin, ayo kedalam, kamu di cari Santi," ajak Bude kepadaku. Aku bangkit lalu berucap, "Bu-ibu, saya tinggal dulu, ya," pamitku sopan. "Silakan, Rin." Aku segera masuk rumah Yu Santi bersama Bude Siti. Aku juga belum bertemu Nilam, ah seperti apa dia sekarang. Bruk "Au. Kalo jalan pake mata, tau!" ucap seorang gadis yang usianya ku taksir masih belasan tahun. Aku juga meringis sakit usai ditabrak olehnya. "Yanti! Sopan sedikit sama orang tua, dia itu tantemu, Rini," tegur Bude Siti tegas. Gadis bernama Yanti dengan dandanan menor dan cetar ini malah mencebik bibir saat menatapku. Apa salahku? Ah mungkin dia kesal saat tak sengaja ku tabrak. "Maaf, Yanti. Tante nggak sengaja. Kamu nggak papa? Ada yang sakit?" tanyaku padanya. Aku mencoba menyentuh Yanti memastikan tak ada luka di tubuhnya. "Jangan sentuh aku. Aku nggak Sudi dipegang orang miskin kaya kamu!" ucap Yanti lantang. "Yanti! Jaga mulutmu! Anak sama emak sama aja. Pergi sana!" usir Bude geram. Astaghfirullah halazim
"Yanti, sudah nggak usah ngarang cerita. Kembalikan bajuku sekarang juga," tegas ku kepadanya. Yanti malah meludah ketanah dan malah menghinaku lebih parah. "Hei, dasar maling! Pembohong besar, yang datang kesini cuma numpang makan di hajatan budeku. Nggak punya malu kamu, hah? Pake ngaku baju ini milikmu segala. Kamu bukan keluarga kami, nggak mungkin bude Santi memberimu baju ini. Dasar pembohong!" Yanti berucap lantang. Dadaku bergemuruh mendengar ucapan hinaan Yanti. Sungguh lidahnya tajam melebihi silet. Tergores hatiku dibuatnya. "Jaga mulutmu anak muda! Kau tak berhak menghakimi saya. Saya tegaskan sekali lagi, saya bukan maling. Baju itu pemberian Yu Santi dan Nilam. Kalau nggak percaya tanyakan saja kepada orangnya sendiri." Kali ini ku pasang wajah menantang kepada bocah ini. Di sabarin malah ngelunjak. "Kamu pikir aku percaya sama cerita karangan basi mu itu?" Hardik Yanti berkacak pinggang. Ya Allah, sampai mana lagi ujian kesabaran ini? Haruskah ku pertegas kepada a
Mas Bayu tak bergeming mendengar ucapan Eis. Eis menumpahkan kekesalannya dimobil. "Sabar, Eis sabar. Kalau dipikir, seharusnya aku yang punya niatan membunuh mereka semua, terutama Johan, Diki, Yati dan ibu tiriku." "Ibu nya udah koit, Rin." Sahut Eis. "Eh sori, maksudnya mereka yang jahat dan merampas semua kebahagiaanku sejak kecil." 'Kan, masalalu terulang lagi. Sebenarnya malas sekali membahas ini. "Meraka itu emang nggak tau malu. Apa udah putus urat malunya?" Eis nampak galau. Mobil berhenti kami sampai rumah. Kami masuk rumah. Eis duduk di sofa ruang tamu, aku, Mas Bayu, Dimas dan Pak Ilyas ikut duduk juga. "Rin, traktir bakso s*t*n dong, biar keselku sembuh." Eis merengek manja. Ada-ada saja ulah Eis, masa bakso bisa menghilangkan kesal. Ya sudah ku turuti maunya dia. "Beli dimana? Sana kalau mau beli lah, minta antar Dimas," aku memberi saran. "Deliperi aja lah, paling nambah ongkos lima ribu. Kalo pesen lebih dari tiga bungkus gratis ongkir." Eis menatapku serius
Sambil menunggu pesanan makanan kami, aku dan Mas Bayu duduk diteras seperti anak muda pacaran. Disini, aku punya lebih banyak waktu bersama Mas Bayu. "Yang, Minggu depan kamu ulang tahun, mau minta apa?" Mas Bayu menatapku romantis. Oh iya, Minggu depan aku ulang tahun. Nggak terasa, aku makin tua. Hem, apa lagi yang belum kudapat? Cinta, kasih sayang, kekayaan, sudah ku miliki. Ada satu yang belum, keturunan. Ya, aku ingin segera di percaya menjadi ibu. "Cintai aku sepenuhnya, Mas. Sayangi aku sepenuhnya, itu sudah cukup bagiku. Apalah arti sebuah hadiah, bila tanpa cinta dan kasih disana." Aku menatap lekat Mas Bayu yang kini tersenyum manis sekali. "Itu saja? Nggak ada yang lain?" Mas Bayu kembali menodong pertanyaan. Ku hela nafas dalam-dalam, ku hembus perlahan. Kini pandanganku lurus kudepan melihat lampu kelap-kelip di tepi jalan. "Rin, apa ada permintaan lain?" Mas Bayu mengusap lembut tangan ini. Ko toleh suamiku, "Mas, apa yang kubutuhkan sudah kumiliki. Aku sekarang
Apa maksud perkataan Eis? Kenapa Pakde dalam bahaya? "Is, apa maksudmu pakde dalam bahaya?" Aku ingin tau kejadian sebenarnya selama aku tidak disini. Eis kulihat menarik napas panjang. Lalu Eis bercerita. "Sebelum Johan dipenjara, dia mengganggu istri Mas Yuda waktu pulang dari pasar sama ibu. Istri Mas Yuda memang cantik dan baik, Johan kepincut sama Mbak Dewi padahal Johan udah punya istri. Saat bapak tau Johan mengganggu Mbak Dewi, bapak marah dan sempat menampar Johan. Johan terpancing emosi dia sempat hendak membunuh bapak, tapi di cegah warga. Setelah itu, Mas Yuda membawa Mbak Dewi bersamanya kerja di Papua. Seminggu setelah kepergian Mas Yuda, kami dapat kabar kalau Johan membunuh dua orang sekaligus, istrinya dan selingkuhannya. Johan di tangkap polisi. Atas permintaan Yu Santi, tanah warisan bagian Johan dari ayahmu, di jual bapak untuk membiayai kasus Johan. Makanya aku takut kalau Johan nggak terima dan mencelakai bapak." Eis cerita panjang lebar. Astaghfirullah halaz
"Hei! Dasar orang tak berguna! Kau apakan Isma?!" Aku menoleh ke sumber suara, seorang ibu berdaster dan rambut acak-acakan seperti baru saja bangun tidur turun dari motor menghampiri aku dan Isma. Siapa sih pagi-pagi begini bikin rusuh? Ibu itu mendekat. Aku membantu Isma bangun dari duduknya. Ia menyeka air mata. "Yu Yati!" Ku dengar Isma bersuara. Ternyata mata Isma tak salah. Ini benar-benar Yu Yati. Manusia terculas dan judes yang pernah ku kenal. "Kau apakan Isma hah?! Kau apakan?!" teriak Yu Yati sambil mendorongku. Aku yang tak siap didorong jatuh. Tanganku sakit saat menahan beban tubuhku. "Yati! Ngapain pagi-pagi bikin ribut disini!" Eis keluar menghadapi Yu Yati. Aku ditolong Bude Siti dan Pakde Umar. "Aku nggak ada urusan dengan kalian! Isma cepet kerumah! Yanti nangis pengen makan buburmu itu!" Yu Yati berucap galak. "Maaf, Yu, Isma bungkus saja, ya!" pinta Isma. "Bungkusin tiga, cepetan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Aku meringis kesakitan menahan tangan
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"