"Yanti, sudah nggak usah ngarang cerita. Kembalikan bajuku sekarang juga," tegas ku kepadanya. Yanti malah meludah ketanah dan malah menghinaku lebih parah. "Hei, dasar maling! Pembohong besar, yang datang kesini cuma numpang makan di hajatan budeku. Nggak punya malu kamu, hah? Pake ngaku baju ini milikmu segala. Kamu bukan keluarga kami, nggak mungkin bude Santi memberimu baju ini. Dasar pembohong!" Yanti berucap lantang. Dadaku bergemuruh mendengar ucapan hinaan Yanti. Sungguh lidahnya tajam melebihi silet. Tergores hatiku dibuatnya. "Jaga mulutmu anak muda! Kau tak berhak menghakimi saya. Saya tegaskan sekali lagi, saya bukan maling. Baju itu pemberian Yu Santi dan Nilam. Kalau nggak percaya tanyakan saja kepada orangnya sendiri." Kali ini ku pasang wajah menantang kepada bocah ini. Di sabarin malah ngelunjak. "Kamu pikir aku percaya sama cerita karangan basi mu itu?" Hardik Yanti berkacak pinggang. Ya Allah, sampai mana lagi ujian kesabaran ini? Haruskah ku pertegas kepada a
Mas Bayu tak bergeming mendengar ucapan Eis. Eis menumpahkan kekesalannya dimobil. "Sabar, Eis sabar. Kalau dipikir, seharusnya aku yang punya niatan membunuh mereka semua, terutama Johan, Diki, Yati dan ibu tiriku." "Ibu nya udah koit, Rin." Sahut Eis. "Eh sori, maksudnya mereka yang jahat dan merampas semua kebahagiaanku sejak kecil." 'Kan, masalalu terulang lagi. Sebenarnya malas sekali membahas ini. "Meraka itu emang nggak tau malu. Apa udah putus urat malunya?" Eis nampak galau. Mobil berhenti kami sampai rumah. Kami masuk rumah. Eis duduk di sofa ruang tamu, aku, Mas Bayu, Dimas dan Pak Ilyas ikut duduk juga. "Rin, traktir bakso s*t*n dong, biar keselku sembuh." Eis merengek manja. Ada-ada saja ulah Eis, masa bakso bisa menghilangkan kesal. Ya sudah ku turuti maunya dia. "Beli dimana? Sana kalau mau beli lah, minta antar Dimas," aku memberi saran. "Deliperi aja lah, paling nambah ongkos lima ribu. Kalo pesen lebih dari tiga bungkus gratis ongkir." Eis menatapku serius
Sambil menunggu pesanan makanan kami, aku dan Mas Bayu duduk diteras seperti anak muda pacaran. Disini, aku punya lebih banyak waktu bersama Mas Bayu. "Yang, Minggu depan kamu ulang tahun, mau minta apa?" Mas Bayu menatapku romantis. Oh iya, Minggu depan aku ulang tahun. Nggak terasa, aku makin tua. Hem, apa lagi yang belum kudapat? Cinta, kasih sayang, kekayaan, sudah ku miliki. Ada satu yang belum, keturunan. Ya, aku ingin segera di percaya menjadi ibu. "Cintai aku sepenuhnya, Mas. Sayangi aku sepenuhnya, itu sudah cukup bagiku. Apalah arti sebuah hadiah, bila tanpa cinta dan kasih disana." Aku menatap lekat Mas Bayu yang kini tersenyum manis sekali. "Itu saja? Nggak ada yang lain?" Mas Bayu kembali menodong pertanyaan. Ku hela nafas dalam-dalam, ku hembus perlahan. Kini pandanganku lurus kudepan melihat lampu kelap-kelip di tepi jalan. "Rin, apa ada permintaan lain?" Mas Bayu mengusap lembut tangan ini. Ko toleh suamiku, "Mas, apa yang kubutuhkan sudah kumiliki. Aku sekarang
Apa maksud perkataan Eis? Kenapa Pakde dalam bahaya? "Is, apa maksudmu pakde dalam bahaya?" Aku ingin tau kejadian sebenarnya selama aku tidak disini. Eis kulihat menarik napas panjang. Lalu Eis bercerita. "Sebelum Johan dipenjara, dia mengganggu istri Mas Yuda waktu pulang dari pasar sama ibu. Istri Mas Yuda memang cantik dan baik, Johan kepincut sama Mbak Dewi padahal Johan udah punya istri. Saat bapak tau Johan mengganggu Mbak Dewi, bapak marah dan sempat menampar Johan. Johan terpancing emosi dia sempat hendak membunuh bapak, tapi di cegah warga. Setelah itu, Mas Yuda membawa Mbak Dewi bersamanya kerja di Papua. Seminggu setelah kepergian Mas Yuda, kami dapat kabar kalau Johan membunuh dua orang sekaligus, istrinya dan selingkuhannya. Johan di tangkap polisi. Atas permintaan Yu Santi, tanah warisan bagian Johan dari ayahmu, di jual bapak untuk membiayai kasus Johan. Makanya aku takut kalau Johan nggak terima dan mencelakai bapak." Eis cerita panjang lebar. Astaghfirullah halaz
"Hei! Dasar orang tak berguna! Kau apakan Isma?!" Aku menoleh ke sumber suara, seorang ibu berdaster dan rambut acak-acakan seperti baru saja bangun tidur turun dari motor menghampiri aku dan Isma. Siapa sih pagi-pagi begini bikin rusuh? Ibu itu mendekat. Aku membantu Isma bangun dari duduknya. Ia menyeka air mata. "Yu Yati!" Ku dengar Isma bersuara. Ternyata mata Isma tak salah. Ini benar-benar Yu Yati. Manusia terculas dan judes yang pernah ku kenal. "Kau apakan Isma hah?! Kau apakan?!" teriak Yu Yati sambil mendorongku. Aku yang tak siap didorong jatuh. Tanganku sakit saat menahan beban tubuhku. "Yati! Ngapain pagi-pagi bikin ribut disini!" Eis keluar menghadapi Yu Yati. Aku ditolong Bude Siti dan Pakde Umar. "Aku nggak ada urusan dengan kalian! Isma cepet kerumah! Yanti nangis pengen makan buburmu itu!" Yu Yati berucap galak. "Maaf, Yu, Isma bungkus saja, ya!" pinta Isma. "Bungkusin tiga, cepetan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Aku meringis kesakitan menahan tangan
Segera ku buang jauh pikiran negatif terhadap Yanti. Aku takut bila terus berprasangka buruk, akan mengotori hati. Kembali fokus ke meja kasir. "Mas, belanjaan gadis tadi, struknya tolong dipisah," pintaku pada kasir. "Buat apa?" bisik Eis menatapku heran. Ku beri isyarat telunjuk di bibir kepada Eis. Rasanya penasaran apa sih yang dibeli Yanti tadi. "Semuanya empat ratus tuju puluh Lima ribu, Bu." Kasir menyebutkan nilai belanja kami. Kubayar semua belanjaan ini. Dua buah struk ku terima. Struk belanjaan Bude kurobek. Struk belanjaan Yanti ku simpan. Kami segera pulang, mengingat akan ada acara di tempat Yu Santi. Saat perjalanan pulang, ku cek struk belanjaan Yanti. Aku binggung, kenapa yang dibeli anak itu obat pelancar haid sebanyak ini? Mataku memicing sat melihat jumlah obat pelancar haid yang tertera. Beruntung Eis duduk di depan asyik dengan cemilan dan berjoget ria diiringi musik koplo hingga membuatnya tak tau hal ini. Kami sampai dirumah. Aku segera turun membawa dua
Ku tatap tajam Yu Yati yang masih berdiri di ambang pintu. Bapak yang tak ku kenal pergi dari kamar ini."Hei, pembohong! Jangan kau kira ulahmu bisa menipu kami disini. Kedatanganmu disini kalau cuma membuat onar, pergi saja! Kami tak butuh kamu disini!" lantangnya sambil berkacak pinggang berlagak seperti penguasa, padahal bukan. Yu Santi berdiri mendekati Yu Yati. "Jaga mulutmu itu! Mulutmu itu busuknya melebihi bangkai! Beraninya kau usir adikku Rini, pergi kamu dari sini!" Tangan Yu Santi menunjuk keluar pintu sambil berucap tegas mengusir Yu Yati. "Apa? Yayu menyuruhku pergi dari sini? Harusnya tuh dia, orang miskin dan pembohong itu yang Yayu usir. Dia itu siapa? Yang adik kandung Yu Santi itu aku!" teriak Yu Yati lantang. "Sampai kapan pun Rini tetap adikku! Kalau kau mau ku anggap adik, perbaiki kelakuanmu itu!" sentak Yu Santi. "Yayu sudah dibutakan oleh pembohong besar itu. Biar ku beri dia pelajaran!" Yu Yati menerobos masuk hendak meraihku. Namun, dengan sigap Pakde
"Yang, diajak foto bareng sama keluarga Pakde. Ayo kita kesana!" Mas Bayu menghampiri ku yang merasa bingung mendengar bahwa Yanti pingsan. Mas Bayu mengulurkan tangan hendak membantuku berdiri. "Mas, ini Denis, anaknya Isma." Ku kenalkan Denis kepada Isma. "Isma, ini Mas Bayu, suamiku." Mas Bayu menyalami Isma lalu menggoda Denis. "Ini, buat Denis, ya!" Kulihat Mas Bayu menggoda Denis lalu memberinya selembaran uang berwarna biru. Aku tersenyum. Pasti Mas Bayu juga mendambakan momongan. Isma berucap terimakasih kepada Mas Bayu. "Ayo kita kesana, Yang. Pakde dan yang lain sudah menunggu mau poto bersama, Isma ikut, yuk!" ajak Mas Bayu. "Iya, ikut yuk! Mumpung masih kapelan bajunya!" bujukku pada Isma. Isma menolak, ia bilang tadi sudah foto bersama bareng Yu Yati. "Yang, ayo kesana!" Mas Bayu menggiringku buru-buru menuju tenda pelaminan. Tanganku di genggam. "Mas!" Aku berhenti berjalan. "Kamu nggak denger, itu Yanti pingsan disana!" Ku tatap wajah Mas Bayu serius. "Biari
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"