"Yang, diajak foto bareng sama keluarga Pakde. Ayo kita kesana!" Mas Bayu menghampiri ku yang merasa bingung mendengar bahwa Yanti pingsan. Mas Bayu mengulurkan tangan hendak membantuku berdiri. "Mas, ini Denis, anaknya Isma." Ku kenalkan Denis kepada Isma. "Isma, ini Mas Bayu, suamiku." Mas Bayu menyalami Isma lalu menggoda Denis. "Ini, buat Denis, ya!" Kulihat Mas Bayu menggoda Denis lalu memberinya selembaran uang berwarna biru. Aku tersenyum. Pasti Mas Bayu juga mendambakan momongan. Isma berucap terimakasih kepada Mas Bayu. "Ayo kita kesana, Yang. Pakde dan yang lain sudah menunggu mau poto bersama, Isma ikut, yuk!" ajak Mas Bayu. "Iya, ikut yuk! Mumpung masih kapelan bajunya!" bujukku pada Isma. Isma menolak, ia bilang tadi sudah foto bersama bareng Yu Yati. "Yang, ayo kesana!" Mas Bayu menggiringku buru-buru menuju tenda pelaminan. Tanganku di genggam. "Mas!" Aku berhenti berjalan. "Kamu nggak denger, itu Yanti pingsan disana!" Ku tatap wajah Mas Bayu serius. "Biari
"Dasar manusia tak tau trimakasih! Sudah ditolong malah nyolot!" Mas Bayu menjawab kalimat Yu Yati. "Apa? Terimakasih? Kamu nolong aku? Nggak salah denger? Heh, jangan sok jadi pahlawan! Aku tau pasti kalian yang mencelakai anakku! Kalian masih dendam 'kan, ngaku aja! Cara kalian itu kampungan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Mas Bayu berdiri di sampingku. Gemeletuk giginya terdengar di telinga. Kulihat Dimata Yu Yati ada kebencian dan kobaran api amarah yang membara. "Yati! Tutup mulutmu! Minta maaf pada Bayu dan Rini!" Bentak Pakde Umar. Pakde menatap tajam Yu Yati. "Apa, minta maaf sama orang miskin pembawa s*a* kaya mereka? Nggak sudi!" lantang Yu Yati. "Mereka yang harusnya minta maaf dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama anakku!" Yu Yati masih berapi-api dadanya naik turun dan masih berkacak pinggang. Kata-kata Yu Yati tajamnya melebihi benda tajam di bumi ini, mencabik-cabik hatiku yang berusaha kuredam sakitnya. Tak habis pikir dengan sikap Yu Yati terhadapk
Yu Yati kian berapi-api tenaganya cukup kuat hingga membuatku kewalahan. Tunggu, aku bukan Rini yang dulu, Rini yang selalu pasrah bila di hina, di tindas, dan direndahkan oleh seorang Yati. Aku Rini Wibawa wanita yang bisa tegas bila ditindas. Ku hempas kasar tangan Yu Yati. "Aku nggak main-main dengan ucapanku. Tutup ocehan kotormu tentangku, jika tidak kupastikan kau menginap dalam jeruji besi." Tegasku kepada Yu Yati. Sorot mata Yu Yati masih menyimpan api kebencian. Sebenarnya malas sekali mengancam, bahkan menggertak kepadanya, tapi ... tingkahnya harus diberi peringatan, agar dia jera. "Orang miskin seperti mu nggak akan bisa membuatku masuk penjara. Kau pikir dengan semua sandiwara dan kebohongan mu yang pura-pura kaya ini, bisa menipuku? Kau salah! Justru ini membuktikan betapa hinanya kamu!" Yu Yati masih saja punya taring melawan ucapanku. Masih saja dia berpikir bahwa semua ini hanya sandiwara saja. Dikira aku hanya sok kaya, padahal semua ini memang milikku dan Mas B
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, serta semua yang hadir disini, saya minta dengan hormat, kalian bersedia menjadi saksi kalau ucapan Yu Yati kepada saya nanti tak terbukti. Bagaimana, kalian bersedia?" Mas Bayu mencoba berdialog dengan semua orang yang ada disini. "Cukup Bayu, nggak usah libatkan mereka," Yu Yati mendekati Mas Bayu wajahnya masih pucat pasi. Mas Bayu tersenyum tapi kelihatan mengejek. "Kenapa? Kok mukanya pucat gitu? Yayu sakit?" Mas Bayu malah sedikit sok perhatian sama Yu Yati. "Ku bilang jangan libatkan mereka. Mereka nggak tau apa-apa. Jangan kau hasut mereka untuk menjadi saksi dan apalah itu," Yu Yati kulihat berkeringat. Kenapa dengan Yu Yati? Dia takut? Kemana suaranya yang lantang itu? Kok sekarang melempem seperti kerupuk tersiram kuah soto. "Saya nggak menghasut mereka, Yu. Saya bicara apa adanya," ucap Mas Bayu ramah banget. Gelagat Yu Yati kulihat gelisah, menunduk, tangannya yang memegang plastik entah apa isinya, kulihat gemetar. "Sudahlah, Yu. Jangan t
"Mas, kamu nggak serius 'kan sama omongan di dapur tadi?" tanyaku pada Mas Bayu. "Maksudnya, ancaman masukin Yati kepenjara?" Mas Bayu balik bertanya, kini Mas Bayu menatapku dalam-dalam. Duh, kayaknya dari ekspresi Mas Bayu ini, beneran deh. "Tenang aja, Mas pastikan Yati mendekam di penjara. Mas pengen dia jera biar nggak asal ngomong. Untung kita yang dihina, kalau orang lain gimana?" Mas Bayu bangkit. "Mau pada pesen apa? Kita nongkrong disini aja dulu," ucap Mas Bayu. "Mie ayam, Bay!" Eis menyahut. "Saya Kopi aja, Pak," Dimas pesan juga. "Kamu, Yang?" Mas Bayu bertanya kepadaku. "Apa ajalah, Mas. Terserah deh." Hatiku gundah gulana. Kenapa sih aku nggak bisa bodo amat sama Yu Yati? Padahal jelas-jelas kelakuannya itu bikin darah tinggi terus. "Yang, pesen apa? Terserah itu bukan nama makanan." Mas Bayu memaksaku memesan makanan. "Es kopi kapucino aja, kalo ada," jawabku malas. "Kalo nggak ada?" Lagi-lagi Mas Bayu bertanya. Lama-lama ngeselin ah, nggak tau aku lagi mume
Berada dipelukan Mas Bayu membuatku nyaman. Allah telah mengirimkan sosok malaikat tanpa sayap dalam rupa Mas Bayu. Perut ku kompres menggunakan botol air panas. Sedikit demi sedikit, sakitnya mereda. "Rin, mandilah dulu biar seger, ada air hangat itu, direbusin pakdemu. Nanti gek sarapan dan minum jamu." Bude berucap di ambang pintu. "Iya, Bude. Makasih, ya," lirihku. Bude menghilang, mungkin beliau ke dapur lagi, atau entah kemana. "Mau mandi sekarang?" Mas Bayu yang masih setia menemaniku bertanya. Aku mengangguk. Lalu bersiap ke kamar mandi. Mas Bayu membawa baju kotor yang ada di keranjang. "Baju kotornya biar Mas aja yang nyuci, kamu nanti istirahat aja." Hem, benar-benar suami idaman. Mas Bayu membantuku berjalan menuju kamar mandi. Aku duduk di kursi meja makan, perutku sudah agak mendingan. Air mandiku di siapkan oleh Mas Bayu. "Bude, Eis mana?" tanyaku pada Bude yang kulihat sedang memeras sesuatu. "Eis lagi beli gula merah, sama asem Jawa, di warung sebelah," jawa
[Kasihan anakku, jadi korban wadal pesugihan orang tak tau diri] Status yang satunya tak kalah menguras emosi. [Gara-gara ulah si miskin Rini itu, anakku menderita] Benar-benar memuakkan si Yu Yati ini. Lihat saja akan ku screenshot status ini, biar jadi bukti rekam jejak media sosial yang akan menyeret dia ke penjara. Aku diantar Eis ke rumah Yu Santi, suasana ramai juga, aku segera menuju tenda dapur, biasanya ibu-ibu sibuk disana. Benar saja banyak ibu-ibu berkumpul sambil mengelap perabotan pecah belah. "Assalamualaikum," sapaku kepada mereka. "Wa'alaikum salam." Mereka menjawab serentak. "Eh, hati-hati jangan dekat-dekat dia, Rini itu lagi nyari tumbal pesugihan," seorang ibu berwajah menor tetiba bercuit menyebalkan. "Heh! Hati-hati kalo ngomong. Bisa dimasukin penjara sama suaminya. Jangan asal tuduh," bela seorang ibu berhijab ungu. Aku duduk di dekat Isma, ternyata dia disini. "Sabar ya, Mbak Rini. Aku yakin Mbak Rini nggak begitu. Kalau memang Mbak Rini ini nyari tu
"Mbak Rini, aku siap kok, kalo dijadikan saksi atas pitenah si Yati semalam," Ibu muda yang tau siapa aku sebenarnya ini bersikap manis terhadapku. Hem, beginilah watak manusia. Gonjang-ganjing, bisa berubah sewaktu-waktu. "Hem, itu urusan suami saya, Mbak," lembutku padanya. "Gimana Mas Bayu nanti, apa dia mau jeblosin Yu Yati beneran apa enggak. Tapi, suami saya itu nggak pernah main-main sama ucapannya." Semua mata menatapku. Entahlah sepertinya mereka semua memikirkan sesuatu yang aku tak tau. Ponselku bergetar. Ku lihat, ternyata Ayu mengirim pesan. [Rin, ibunya Yanti ngamuk di klinik. Nggak ada keluarga lain disini. Kamu kenapa nggak datang kesini?] Ternyata benar, Yu Yati ngamuk di klinik. Tapi kok suami Yu Yati nggak disana, kemana dia? Segera ku balas pesan Ayu. [Maaf, Yu. Perutku sakit aku datang bulan. Jadi nggak bisa kesana] terkirim. [Oh, ya dah nggak apa. Masih mau foto yang kau minta semalam?] Balasan Ayu. [Oh, tentu. Aku nungguin loh. Itu penting buatku] [Bai
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"