[Kasihan anakku, jadi korban wadal pesugihan orang tak tau diri] Status yang satunya tak kalah menguras emosi. [Gara-gara ulah si miskin Rini itu, anakku menderita] Benar-benar memuakkan si Yu Yati ini. Lihat saja akan ku screenshot status ini, biar jadi bukti rekam jejak media sosial yang akan menyeret dia ke penjara. Aku diantar Eis ke rumah Yu Santi, suasana ramai juga, aku segera menuju tenda dapur, biasanya ibu-ibu sibuk disana. Benar saja banyak ibu-ibu berkumpul sambil mengelap perabotan pecah belah. "Assalamualaikum," sapaku kepada mereka. "Wa'alaikum salam." Mereka menjawab serentak. "Eh, hati-hati jangan dekat-dekat dia, Rini itu lagi nyari tumbal pesugihan," seorang ibu berwajah menor tetiba bercuit menyebalkan. "Heh! Hati-hati kalo ngomong. Bisa dimasukin penjara sama suaminya. Jangan asal tuduh," bela seorang ibu berhijab ungu. Aku duduk di dekat Isma, ternyata dia disini. "Sabar ya, Mbak Rini. Aku yakin Mbak Rini nggak begitu. Kalau memang Mbak Rini ini nyari tu
"Mbak Rini, aku siap kok, kalo dijadikan saksi atas pitenah si Yati semalam," Ibu muda yang tau siapa aku sebenarnya ini bersikap manis terhadapku. Hem, beginilah watak manusia. Gonjang-ganjing, bisa berubah sewaktu-waktu. "Hem, itu urusan suami saya, Mbak," lembutku padanya. "Gimana Mas Bayu nanti, apa dia mau jeblosin Yu Yati beneran apa enggak. Tapi, suami saya itu nggak pernah main-main sama ucapannya." Semua mata menatapku. Entahlah sepertinya mereka semua memikirkan sesuatu yang aku tak tau. Ponselku bergetar. Ku lihat, ternyata Ayu mengirim pesan. [Rin, ibunya Yanti ngamuk di klinik. Nggak ada keluarga lain disini. Kamu kenapa nggak datang kesini?] Ternyata benar, Yu Yati ngamuk di klinik. Tapi kok suami Yu Yati nggak disana, kemana dia? Segera ku balas pesan Ayu. [Maaf, Yu. Perutku sakit aku datang bulan. Jadi nggak bisa kesana] terkirim. [Oh, ya dah nggak apa. Masih mau foto yang kau minta semalam?] Balasan Ayu. [Oh, tentu. Aku nungguin loh. Itu penting buatku] [Bai
"Tante, kenapa semua ini harus terjadi?" Nilam menangis di pelukanku. "San, yang harus kamu lakukan, tanya ke Yanti siapa yang menghamili dia. Kalau sudah tau, nikahkan mereka segera," tegas Bude Siti. Nilam semakin tersedu, dalam pelukanku. Yah, aib akibat ulah Yanti tentu saja mencoreng keluarga ini, termasuk aku, dan keluarga Bude Siti juga harus ikut menanggung malu. ________________ 2 HARI KEMUDIAN .... Hari ini ijab qobul Yanti, dilakukan di rumahnya, setelah sebelumnya ada aksi kejar-kejaran pada calon pengantin pria, yang notabene nya adalah suami orang. Dan parahnya lagi, si pria calon suami Yanti itu istrinya kerja keluar negeri demi kesejahteraan keluarga, eh, malah disini suaminya berkhianat. Miris sebenarnya, tapi inilah kenyataan. Aku, Pakde Umar dan Bude Siti, hadir di acara ini. Mas Bayu katanya ada urusan, katanya pengen melihat tanah disini yang akan dibeli untuk investasi. Ijab qobul terucap sudah, Yanti yang berbaju gamis biasa kelihatan pucat, sementara Her
"Dengarkan penjelasan Pakde Rin, jangan emosi dulu. Bukan Bayu yang merencanakan ini. Tapi Pakde, Pakde yang merencanakan. Maaf, kalau harus melibatkan Bayu." Pakde Umar meminta maaf kepadaku. "Pakde, susah payah aku membangun agar hubunganku dengan Yu Yati harmonis. Kenapa sekarang malah begini. Yu Yati tambah membenciku Pakde." Ku berkata sambil menagis. Di dunia ini, kurasa nggak ada yang mau bermusuhan dengan saudara. "Yang, dengerin Mas. Untuk apa berkorban meraih cinta satu orang, bila ada sepuluh orang lebih yang mencintaimu tanpa menuntut apapun darimu. Kami disini sayang kamu, Rini." Mas Bayu memelukku. "Sudahlah, jangan bersedih. Biarkan hal ini mengajarkan Yu Yati sesuatu yang berharga, yaitu menjaga mulut dan ucapannya, agar tak asal bicara." Mas Bayu terus berusaha menenangkan ku. Sementara aku masih menangis, aku benci diriku! Kenapa nggak bisa berlaku tega sama orang yang jelas sudah merampas kebahagiaan ku. Aku malah terjebak dalam perasaan bersalah atas masuknya
Bungkusan apa, ya? Aku penasaran. Apa yang hendak Yu Santi bicarakan lagi? Bukanya masalah Yu Yati sudah gamblang? Aku menanti penjelasan Yu Yati. "Rin, tolong terimalah uang ini," Yu Santi kelihatan serius. Wajah teduh yang selalu ku rindukan saat dulu aku di sakiti oleh saudara tiri yang lain. Yu Santi penolongku. "Uang apa ini, Yu?" Jujur aku tak mengerti. "Uang ini, sebagai mahar, atau tebusan atas semua tanah yang seharusnya bukan jatah Yayu. Tanah hasil rampasan saudaraku terhadapmu, yang kini menjadi bagian Yayu." Suara Yu Santi terdengar bergetar. "Jumlahnya tentu saja lebih sedikit dari tanah yang di berikan oleh emak kepada Yayu. Namun, Yayu berusaha untuk menebus semua tanah ini dengan uang yang tak seberapa jumlahnya. Andaipun kamu nggak terima uang ini, dan meminta hakmu kembali ... Yayu ikhlas memberikan tanah yang tersisa itu kepadamu." Yu Santi nampak sedih sekali. Aku terkejut dengan ucapan Yu Santi barusan. Apa ini? Mengapa sikap Yu Santi begini? Kedatangan ku ke
Mau kuapakan uang ini? Untuk berdonasi di panti asuhan, dan anak yatim, aku dan Mas Bayu sudah menyiapkannya, bahkan di beberapa yayasan panti asuhan aku dan Mas Bayu menjadi donatur tetap disana. Sudahlah, nanti saja ku diskusikan kembali sama Mas Bayu. Yang penting sekarang uang tebusan ini sudah ku trima, semoga tak ada lagi musibah ataupun karma yang menimpa keluarga Yu Santi. "Rini, Bayu, kapan kalian pulang ke kota?" Pakde Umar angkat bicara mengalihkan topik kami. Aku dan Yu Santi bangkit, kembali duduk di bangku masing-masing. "Em, kami masih pengen liburan disini, Pakde. Jika Pakde Umar dan keluarga tidak keberatan, kami ingin lebih lama disini. Kasihan Rini, pasti dia masih Rindu. Takutnya nanti pas pulang ke kota, Rini sedih lagi. Biar istri ku ini puas dulu melepas rindunya," terang Mas Bayu dengan ekspresi wajah yang meyakinkan. Ku lihat binar bahagia di mata Bude Siti, dan yang lainnya. "Tentu kami senang kalian berlama-lama disini. Bude masih rindu sama Rini. Mala
"Iya, Pakde, kenapa?" tanyaku lembut. "Rini, pakde ingin mengembalikan amanah yang dulu ayahmu berikan pada pakde. Sawah seperempat hektar yang ayahmu berikan sebelum ia menutup mata. Dulu, setelah kau kami bawa kerumah ini, saat kakimu patah, ayahmu mengamanahkan sawah itu untuk pakde garap yang hasilnya untuk biaya sekolahmu. Kini kamu sudah menikah. Jadi pakde kembalikan sawah itu." Pakde Umar berbicara santai penuh wibawa. Ku tatap lekat wajah Pakde Umar yang tak lagi muda, "Kenapa harus dikembalikan, Pakde?" lirihku. "Pakde garap saja, ya!" pintaku selembut mungkin. Aku tak ingin melukai Pakde, laki-laki pengganti ayahku. Ku sadar, berjuta-juta uang yang ku punya, tak akan mampu membayar semua kasih sayang Pakde dan Bude terhadapku usai kepergian ayah. "Amanah itu telah selesai, Nduk. Kini saatnya pakde kembalikan kepada yang lebih berhak." Senyuman khas pakde yang meneduhkan itu terlukis indah di wajah tuanya. "Tidak, Pakde. Amanah itu belum selesai, Rini masih ingin menjad
Pagi ini, aku terbangun setelah sayup-sayup suara sholawat dari pengeras masjid di kampung ini. Karena masih berhadas aku libur sholat. Semalam usai menyantap buah tangan Eis, ditambah rasa lelah yang bergelayut di badan, aku akhirnya memilih istirahat. Di bawah tempat tidurku, sesosok laki-laki sedang khusyuk bertahiyatul akhir. Dia lelakiku, sosok yang lembut, perhatian, penyayang yang membuatku selalu nyaman. Mataku tertuju selalu kepada lalakiku ini. "Hei, sudah bangun," sapa Mas Bayu menoleh kepadaku. Mas Bayu bangkit. Pertanyaan semalam muncul lagi dikepala ini. "Mas, aku mau tanya, jawab jujur, ya," ungkapku manja. Mas Bayu duduk diatas ranjang bersamaku. "Ada apa? Pagi-pagi kok udah ngajak wawancara," godanya padaku. Iya lah, aku mau introgasi kamu. Secara foto semalam aneh banget. "Mas, lagi bisnis apaan sih sama Bejo? Serius mau bisnis sama preman?" Mataku menatap penuh tanya pada Mas Bayu. Mas Bayu malah senyum. Ih, bukan senyuman yang ku butuhkan. Tapi jawaban. Seb
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"