Pagi ini, aku terbangun setelah sayup-sayup suara sholawat dari pengeras masjid di kampung ini. Karena masih berhadas aku libur sholat. Semalam usai menyantap buah tangan Eis, ditambah rasa lelah yang bergelayut di badan, aku akhirnya memilih istirahat. Di bawah tempat tidurku, sesosok laki-laki sedang khusyuk bertahiyatul akhir. Dia lelakiku, sosok yang lembut, perhatian, penyayang yang membuatku selalu nyaman. Mataku tertuju selalu kepada lalakiku ini. "Hei, sudah bangun," sapa Mas Bayu menoleh kepadaku. Mas Bayu bangkit. Pertanyaan semalam muncul lagi dikepala ini. "Mas, aku mau tanya, jawab jujur, ya," ungkapku manja. Mas Bayu duduk diatas ranjang bersamaku. "Ada apa? Pagi-pagi kok udah ngajak wawancara," godanya padaku. Iya lah, aku mau introgasi kamu. Secara foto semalam aneh banget. "Mas, lagi bisnis apaan sih sama Bejo? Serius mau bisnis sama preman?" Mataku menatap penuh tanya pada Mas Bayu. Mas Bayu malah senyum. Ih, bukan senyuman yang ku butuhkan. Tapi jawaban. Seb
Sepertinya Johan jadi topik pagi ini. Duh, aku kok ngerasa takut, ya. Secara orang itu jahat, kejam, dan super tega. Dulu, banyak luka di badan ini akibat ulah Johan. Dia yang seharusnya bisa menjadi pelindung ku karena dia kakak laki-laki tiriku, malah dengan bengis menyiksaku hingga puncaknya kaki kiri ini patah. Hal itu terjadi setelah pernikahan Yu Santi. Saat itu ayah berangkat mengirim beras ke luar kota Johan menyiksaku gara-gara aku mecahin gelas, beruntung Yu Santi datang berkunjung akhirnya aku dibawa paksa oleh Yu Santi kerumahnya. Setelah itu, baru Pakde dan Bude membawaku kerumah mereka. Seminggu dirumah Pakde, ayah datang membawakan oleh-oleh kue keju kesukaanku. Aku dipangku ayah. Itulah saat-saat terakhir aku bersama ayah. Kalau ingat semuanya, hatiku sedih bukan main. Kala itu usiaku 7 tahun. Memory itu selalu ku ingat. "Bude, jadi kepasar 'kan?" Aku muncul dari ruang tengah seolah tak mendengar apa yang mereka bicarakan. "Jadi, dong. Mau ikut?" Bude menatapku. Ak
"Teriak lah sesukamu, tak akan ada yang menolong kalian!" Diki menyeringai. Segera ku tendang keras bagian sensitif milik Diki, dia jatuh tersungkur kebelakang meringis kesakitan. Aku puas bisa menendang Diki. "Si*l*n!" umpatnya geram. Sebilah pisau dikeluarkan dari balik bajunya. "Ku bunuh kau!" Teriak Diki. "Rini, ayo lari!" Bude berteriak. Posisi kami berada di kompleks pasar yang agak sepi, jadi tak begitu banyak orang disini. Aku berlari menghindari Diki. Namu, Diki berhasil meraih tasku. "Serahkan tas ini kalau kau mau hidup!" Diki mengancam ku. Bude sudah lebih dulu berlari. Aku mempertahankan tas ini, karena didalamnya ada kalung untuk Bude. Aku nggak mau menyerahkan tas ini begitu saja. Kulawan Diki sebisaku. Aku tak gentar dengan pisau ditangannya itu. "Serahkan tas ini!" Bentak Diki lagi. Dengan sigap ku sikut Diki tepat mengenai ulu hatinya yang hendak menyekapku. Rasain kamu! Tanpa ku duga, dia menghujamkan pisau kearahku, segera aku berkelit secepat kilat. Beru
"Mas, ayo pulang," lirihku. Lama-lama di klinik membuatku agak mual, bau menyengat obat-obatan di ruangan ini sangat menggangu penciumanku. Mas Bayu malah duduk di kursi yang tersedia. Mukanya itu loh cemberut, ih. "Panggilin Bude, dong! Aku mau kasih kalung ini, habis itu kita pulang, ya" pintaku manja. "Kamu itu belum di bolehin pulang sama dokter, masih observasi. Kamu pikir luka di lengan itu sepele? Enggak, Sayang! Lukamu itu cukup serius, pendarahan nya juga lumayan, udah disini dulu tunggu dokter kasih ijin." Mas Bayu membuang muka sambil bersedekap dada. Ngambek beneran nih kayaknya My swety. Oke aku memang salah udah ngeyel. "Mas, bilang aja sama dokternya aku nggak papa. Lagian aku udah sadar 'kan." "Pokoknya nanti. Titik!" Ih, Mas Bayu mulai deh. Aduh, sakitnya lumayan nih tangan. Mana darahnya nembus perban lagi. Kulihat tangan yang diperban ini sambil meringis merinding melihat darah. "Tuh liat, rembesan darahnya masih ada 'kan? Bentar Mas panggil suster dulu." Ma
Deg Telinga yang dengar suara Mas Bayu, tapi kok sakitnya tuh disini, didalam dada ini, badanku lemas seketika. Mas Bayu nggak pernah menyentak ku. Ku tatap sendu Mas Bayu. Air mataku jatuh tanpa aba-aba. Sentakan Mas Bayu menggores hati, lebih sakit daripada luka di lengan ini. "Rini, maaf, Sayang. Mas nggak bermaksud membentakmu." Mas Bayu langsung mendekatiku saat melihat air mata ini. "Maaf, Sayang." Mas Bayu memelukku, tapi ku tolak secara halus. Air mata ini luruh. Ku buang muka ini. "Aku tau, aku salah Mas,"lirihku. "Permisi, saya cek pasien dulu, ya!" Seorang dokter laki-laki masih muda menghampiri ku. "Lho, kenapa nangis Mbak?" Dokter itu bertanya saat melihatku nangis. "Sakit, Dok," jawabku singkat. Sakit, hati ini sakit Dokter, dibentak suamiku sendiri. Air mata ini luruh. Mas Bayu menyeka air mataku. Ih, sok perhatian 'kan. Tadi marah, sekarang perhatian. "Ya, namanya luka baru, Mbak, apalagi ini cukup serius, perbannya saya buka dulu, mau saya cek lukanya." Dokte
"Saya masih bisa jalan sendiri kok, Sus. Nggak usah pake kursi roda nggak papa 'kan?" Ku ulas senyuman kepada suster, walau badan ini rasanya mulai lemes. Tapi, tetep aja nolak pakai kursi roda. Aku turun dari brankar UGD, di bantu Eis dan Bude, waduh kok agak kliyengan ya? "Bentar, kok kliyengan begini!" ucapku sambil terpejam. "Makanya, saya bawain kursi roda, Mbak. Biar Mbak nya nggak perlu jalan." Tangan Eis sepertinya memegangi tubuhku. Kenapa rasanya kaya muter-muter begini. Tubuh ini seperti limbung. "Permisi biar Bayu aja, yang bantuin Rini." Ku dengar Mas Bayu bersuara. Seketika ku rasakan ada yang memegangi tubuh ini lebih sigap. Kepalaku pusing banget. Mendadak lemes pula. "Lemes, Mas," lirihku. "Sus, kata istri saya, dia lemes." Mas Bayu laporan. "Mbak Rini lemes, duduk dulu, biar saya cek tensi darah nya." Mataku masih terpejam menahan rasa pusing, lemas, bercampur sakit. Duh, nggak enak, swer deh. "Duduk dulu, Yang." Mas Bayu perlahan mengarahkan aku duduk. "
Sore ini, aku diperbolehkan pulang dari klinik, setelah rawat inap dari kemarin siang. Aku seperti anak kecil yang apa-apa harus dibantu. Jujur, rasanya kurang nyaman. Tapi, gimana lagi, tangan kananku sakit. Seperti sekarang, usai mandi aku di bantu Mas Bayu memakai baju. "Mas, aku nggak enak loh sama Bude dan Pakde, ngerepotin begini. Maafin aku juga udah nggak nurut kemarin," lirihku usai Mas Bayu memakaikan aku baju kemeja. "Itu bukti bahwa kami semua sayang sama kamu. Mas udah maafin kamu. Udah jangan dipikirin. Sekarang ayo keluar makan dulu, pakde Umar tadi manggang ikan gabus buat kamu," ucap Mas Bayu sambil memakaikan hijab padaku. "Mulai sekarang, kita harus lebih hati-hati, menurut Bejo, Diki melarikan diri usai mencelakai kamu. Dan tadi siang, anak buah Bejo bilang, Johan mulai terlihat di sekitar pasar." Mas Bayu wajahnya serius.Mas Bayu berjongkok dihadapan ku yang duduk diranjang. "Sayang, berjanjilah jangan membuat kami semua khawatir lagi. Lihatlah semua yang ada
"Mas, Eis, Mas!" Aku hampir menangis. "Johan itu kejam, Mas. Aku takut Eis kenapa-kenapa," lirihku. "Sssst!" Tenanglah, Mas janji, Eis pasti pulang. Sekarang kamu makan dulu dibelakang sama Bude, ya. Jangan bilang masalah ini sama Bude dan Pakde, nanti mereka khawatir. Mas akan bereskan masalah ini." Mas Bayu memelukku. Ia menghapus air mata ini. Eis, aku kepikiran Eis, semoga dia baik-baik saja. Aku keluar kamar menuju dapur. "Bude, titip Rini, ya, Bayu ada urusan sebentar," ucap Mas Bayu menyembunyikan semuanya. "Oh, iya, biar Rini Bude suapin," ucap Bude terseyum. Mas Bayu lalu mencari Dimas kemudian pergi. Aku hanya bisa berdo'a Eis baik-baik saja. Bude menyuapi ku dengan penuh perhatian. Tapi, aku nggak selera. Pikiranku terus tertuju pada Eis. _________ Hari sudah malam, sampai ba'da Isya' suamiku belum pulang juga. Hatiku khawatir. "Rin, kemana sebenarnya Bayu? Kok belum pulang? Eis juga belum pulang," ucap Bude mendekatiku yang sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu.
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"