"Drama apalagi, sih, Mas. Aku pengen lekas turun. Aku rindu Yu Santi, Bude, dan yang lain!" rengeku pada Mas Bayu.
"Sabarlah sebentar lagi, sayang. Percayalah, indah pada waktunya. Sini!" Mas Bayu malah memelukku. Kini ia kenakan kacamata, persis pejabat terhormat. "Dim, lakukan tugasmu!" Mas Bayu memberi komando kepada pengawalnya.Dimas lekas turun dari mobil. Kulihat dari dalam mobil, Dimas seperti sedang bertanya kepada salah seorang warga, lalu warga itu masuk kedalam area tenda kemudian keluar bersama si empunya hajat Yu Santi dan Mas Hadi.Hatiku rasanya tak sabar ingin segera memeluk Yu Santi, terlebih saat bude Siti ikut keluar juga. Ku pandangi suamiku."Mari kita turun, sayang. Basuhlah kering rindu dihatimu itu." Mas Bayu menatapku lalu mengecup keningku.Mas Bayu membuka pintu ia turun, lalu mengajakku turun pula, kami turun lewat pintu sebelah kanan. Rumah Yu Santi di sisi kiri mobil kami."Kita jalan bersama, sayang." Mas Bayu menggandeng tanganku. Persis seperti artis terkenal menggandeng kekasihnya.Kami berjalan perlahan, ku benahi tasku di pundak. Hatiku berdebar saat kaki ini mulai melangkah. Ada rasa takut, tapi harus kutepis. Aku bukan Rini yang dulu."Rini!" Teriak Bude Siti saat melihatku berjalan menghampiri mereka."Rini! Rini! Itu, Rini, San! Itu Rini!" Wanita gemuk berdaster itu segera berlari kearahku. Ku toleh Mas Bayu, ia mengangguk. Aku setengah berlari menyambut Bude Siti. Kupeluk wanita yang dulu merawatku.Aku berhambur dipelukan bude, Yu Santi pun ikut memelukku. Tangis bude pecah bersahutan dengan tangis Yu Santi."Riniku pulang, Riniku pulang. Alhamdulillah!" Begitu racau Bude. Aku dicuimi di peluk."Tak kusangka, kamu sampai sini, Nduk. Yayu sudah sedih mupus harapan usai menelponmu tadi pagi." Yu Santi menyeka bulir beningnya."Ajak, masuk. Siapkan minuman dan makanan!" Bude menggandengku."Bude, sebentar, suamiku ... masa ditinggal," ucapku mengingatkan bude."Ya ampun, saking senangnya, bude sampai lupa. Bayu, ayo masuk. Terimakasih Le, kamu mau kesini lagi." Bude memeluk suamiku. "Ajak masuk semuanya!" titah Bude.Aku menyalami semua yang ada diarea tenda. Ada beberapa pasang mata nampak terheran saat melihatku dan Mas Bayu. Entahlah, aku tak bisa membaca ekspresi wajah Meraka satu-persatu. Bude dan Yu Santi menggandengku masuk bak seorang tamu agung. Mas Bayu masuk bersama Mas Hadi."Duduk dulu disini. Tak ambilin makanan dan minuman dulu." Bude sangat antusias. "Bude juga mau manggil pakdemu, pasti dia seneng banget kamu ada disini," lanjut Bude.Kami bercakap-cakap usai bude pamit kebelakang."Alhamdulillah banget, akhirnya kamu datang Nduk. Mas dan Yayu mu ini bahagia tak terkira," ucap Mas Hadi. Binar matanya tak menampakkan kebohongan."Semua berkat Mas Bayu. Kalau bukan karena dia, mana mungkin Rini bisa kesini." Ku lirik suamiku yang sedari tadi tersenyum. Kering Mas gigimu meringis dari tadi.Dua ibu-ibu menyodorkan minuman dan kue khas disini."Aku penasaran, katanya Rini kesini. Oo, bener, rupanya kamu beneran datang," ucap salah satu dari mereka lalu menyalami kami. Mereka lantas permisi kebelakang."Monngo di sambi, wedang dan kuenya," tawar Mas Hadi.Kami mengangguk. Pak Ilyas selonjoran mungkin kakinya pegal. Dimas duduk tegap. Ruang tamu Yu Santi lumayan luas, ada televisi LED terpasang di tembok. Lantai di gelari tikar, cat putih menghias rumah ini."Mana calon manten nya?" tanyaku pada Yu Santi."Anu, lagi pasang hena dikamar," jawab Yu Santi."Mereka sudah ijab 3 hari yang lalu. Bapaknya calon laki-laki meninggal, mereka di nikahkan di depan mayit. Jadi, besok tinggal resepsi saja," terang Mas Hadi.Ada suara heboh dari balik gorden ruang tengah. Sepertinya aku kenal suara ini."Ayo, itu Rini di depan," suara riuh itu menyebut namaku."Mana Rini?" Pakde Umar muncul membawa sate sepanjang 50 centimeter ditangannya."Anakku!" Seru Pakde.Aku bangkit lantas berhambur memeluk Pakde Umar, laki-laki pengganti ayahku ini."Ini kamu, Nduk? Ya Allah, Alhamdulillah akhirnya kamu kesini juga, mana suamimu?" Pakde menyeka air matanya."Itu, Pakde, itu Mas Bayu." Ku tunjuk suamiku.Pakde menghampiri suamiku, lantas memeluknya. Lalu menyalami semuanya."Ini untukmu, Nduk. Tiap ada yang nyembeleh kambing, pakde ingat kamu. Dulu, kamu paling suka sate ati kambing. Ini, makanlah. Bu, ambilkan piring dan sambel kecap!" titah pakde macam bariton tentara saja.Pakde tak henti berucap syukur. Semua orang yang sayang kepadaku berkumpul disini."Mana piring dan sambel nya? Bawa sini lekas, Rini biar makan sate," ucap pakde lagi.Kami semua tertawa melihat ekspresi kegembiraan pakde, laki-laki yang kini usianya sudah 50 tahun itu berucap sambil menangis. Lucu, haru, campur jadi satu. Mas Bayu menggeleng melihat pakdeku."Pakde malah nangis," kata Yu Santi."Atiku tahun baruan, San. Rasane lebaran campur Agustus, campur tahun baru. Seneng rakaruan. Anak wedokku teko." Pakde menyeka air matanya.(Hatiku tahun baruan, San. Rasanya lebaran, campur Agustus, campur tahun baru. Senang tak terhingga, putriku datang)Ku genggam tangan pakde yang kian menua, "Bukan saatnya sedih, senyumlah, aku disini Pakde," ucapku lembut."Iya, iya. Ini sate kesukaan mu. Ayo makan! Makanlah, Nduk," sahut Pakde Umar beliau menyuapiku sepotong sate hati kambing, tentusaja hal ini membuat hatiku ternyuh, luruh lah air mata bahagia ini."Heh, pada nangis. Sudah, jangan nangis lagi. Ayo semuanya makan sama-sama. Lauk seadanya, Ya." Bude datang membawa sambal pesanan Pakde beserta nasi dan segala macam lauk yang dimasak disini."Iya, ayo makan, pasti lapar 'kan?" Bude mengulas senyum."Bayu, dan Mas, Mas, semuanya. Hadi, Santi, makan." Bude ramah mengajak semuanya.Aku melirik Mas Bayu, ada anggukan darinya. Aku mengerti, maksudnya. Kami pun makan bersama, sesekali bercengkrama melepas rindu. Sesekali gelak tawa membahana saat Pakde Umar bercerita kegiatannya.Saat kami makan, tiba-tiba suara gaduh dan heboh muncul dari depan rumah."Yu Santi! Yu Santi! Itu ada mobil anggota dewan di depan. Duh, Yu, mimpi apa, sampe kedatangan tamu pejabat segala!" teriak seorang wanita histeris.Kami semua menoleh ke sumber suara."Kamu?!" seru wanita itu yang ternyata Yu Yati saudara tiriku."Yu, Yati," lirihku."Kamu," lirihnya pula.Lalu Yu Yati berkacak pinggang di ambang pintu."Ngapain kamu orang miskin datang kesini? Mau makan gratis, hah? Oh, atau mau pamer lagi, kesini pake mobil ala-ala pejabat biar dikira hebat!" hardik Yu Yati. Tatapan matanya setajam silet.Aku langsung menoleh suamiku. Ia masih diam menyelesaikan makan. Sementara Dimas dan yang lain di ruangan ini nampak terkejut."Kenapa diam? Malu? Nggak punya muka hah? Kedok busukmu sudah kebongkar 'kan!" teriaknya lagi.Ku letakkan piring lantas meneguk minuman yang tersedia. Aku pun bangkit hendak menyalami kakak tiriku itu. Bude menahanku. Aku berbisik padanya tak apa."Maaf, Yu, kalau kedatangan kami mengganggu. Apa kabar?" Ku ulurkan tangan ini.Sementara itu, Yu Yati terus menatap benci kearahku. Tanpa kusangka tanganku ditepis kasar olehnya. Sakit, tentu saja sakit."Yati!" pekik Pakde Umar.Pakde bangkit lalu menolongku. "Kamu nggak papa?"Aku mengangguk. Seketika Mas Bayu menghentikan makannya. Lalu menatapku dan menatap Yu Yati."Yati, apa yang kamu lakukan. Jaga adabmu!" Yu Santi ikut bicara.Yu Yati masih berkacak pinggang, masuk lalu mengamati kami semua."Pembohong besar seperti mereka ini, tak perlu dihormati. Orang miskin yang banyak gaya begini, apa bagusnya?""Yati!" teriak Mas Hadi. Urat lehernya timbul. Pakde Umar berdiri di hadapanku, ia menghadang Yu Yati. "Kenapa, Mas? Nggak perlu membentak ku begitu. Aku cuma mau ngasih tau orang miskin nggak tau diri ini," celoteh Yu Yati. Kulihat, Mas Bayu suamiku meremas gelas plastik bekas air mineral. Tapi sepertinya ia masih bisa menahan emosi. "Kau pikir dengan memakai mobil Pajero seport begitu, serta membawa sopir sewaan ini bisa menipu ku? Sekali miskin tetap miskin aja. Nggak usah belagu!" hardik Yu Yati lagi. Dimas sontak berdiri. "Jaga sikap Anda!" Bentak Dimas. "Dim, biarlah. Tenang, duduklah," ucap suamiku. Dimas mengikuti arahan suamiku. Kulihat, banyak pasang mata menyaksikan kearoganan dan keangkuhan Yu Yati. Mereka ada yang berbisik juga. "Heh Bayu, jangan sok sokan jadi orang kaya disini. Lagaknya seperti pejabat, mobil rentalan saja bangga." Yu Yati masih berapi-api. "Dan kamu laki-laki sok jago, mau-maunya diperalat oleh pembohong seperti dia!" Telunjuk Yu Yati mengarah
"Nggak usah sedih begitu, nanti kita belikan sesuatu untuk Bude usai acara Yu Santi beres. Tenanglah. Mana kuncinya? Mas kebelet, nih," Suamiku menadah minta kunci rumah. Aku tertawa geli. Bisa aja dia berulah pake bilang kebelet segala. Aku segera membuka kunci rumah Pakde Umar. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam. Kamar mandi dimana, Yang?" Suamiku nyelonong masuk. "Lurus, masuk, belok kiri, kamar mandi di pojokan." Masih seperti dulu, rumah ini selalu rapi. Ruang tamu, tuang tengah, masih yang dulu. Bayangan masalalu saat ku masuk ruang tengah tergambar. Bayangan dimana aku dan ketiga anak Pakde menggambar bersama, mas Yuda membuatkan gambar pesawat untukku. Mas Ari mewarnai gambar motor kesukaannya. Aku bermain boneka bersama Mbak Eis disini, hingga kami tertidur di siang hari diruangan ini. Indah, indah sekali waktu itu. "Pak, Ilyas, Dimas, masuklah. Istirahat dulu," Ku persilahkan dua orang suruhan Mas Bayu masuk. Dimas membawa koper milikku dan Mas Bayu. "Mau ditaruh ma
Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu."Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti. "Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti. "Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi. Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore. "Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekara
Mas Bayu sigap menopang tubuhku yang tiba-tiba melemah. "Inilah yang Bayu takutkan Pakde, jika Rini terlalu sedih, dia pasti lemas," ucap Mas Bayu. "Ya sudah, kita doakan ibumu dulu, lekas pulang, hari sudah hampir Magrib." Pakde segera memimpin doa lalu menuang air bunga yang tinggal separuh. Aku hanya bisa bersandar di tubuh suamiku. Mas Bayu berulang kali mengusap tangan ini, berulang pula mengecup keningku. "Ayo, pulang. Sudah semakin sore," ajak Pakde. Dalam kondisi begini, tentu saja aku tak kuasa berdiri bahkan berjalan. Mas Bayu dengan sigap menggendong tubuhku ke mobil. Aku tak kuasa menatap suamiku. "Tolong pintunya, Pakde," Mas Bayu membawaku kemobil, menurunkan tubuhku perlahan wajahnya nampak khawatir. Pintu mobil tertutup, ku pejamkan mata. Mobil berjalan lagi. Sepanjang perjalanan pulang, air mata ini luruh tiada henti. Bayangan ayah memelukku dulu terputar. Aku rindu ayah. "Rin, sudahlah, Nduk, jangan sedih lagi." Pakde mengajakku bicara. "Kenapa ayah harus me
Aku dan Mas Bayu berpandangan serius. Alis Mas Bayu naik separuh. "Kenapa diam? Mana oleh-oleh nya?" Lagi Eis menadah tangan meminta oleh-oleh. "Eis, jangan gitu ah. Rini sama Bayu sudah ada disini, Ibu sudah bahagia. Tak perlu lah oleh-oleh seperti yang kau pinta itu," Bude Siti menegur Eis. "Iya, Bu. Iya! Maaf, Rin, canda," sahut Eis mencubit hidungku. "Mandi dulu Is, nanti ke tempat Santi lagi. Malam ini, mau bungkusin lemper lagi." Eis berlalu kedepan, mungkin ke kamarnya. Aku bingung tentang ucapan Eis tadi. Aku duduk di kursi meja makan, Mas Bayu memijit pundakku lembut, "Ada yang kamu butuhkan, sayang? Mas ambilkan," tawar suamiku berbisik ditelinga. "Duduklah, Mas. Sini, duduklah," lirihku. Mas Bayu duduk di sebelahku. Ku lihat Bude Siti sibuk menyiapkan berbagai menu makanan. Usapan lembut di tangan dari Mas Bayu hangat terasa. "Rin, kalau kamu masih lemes, istirahat saja dirumah ... nggak usah ikut ke tempat Yu Santi. Kesehatanmu lebih penting." Aku tersenyum melih
"Rin, ayo kedalam, kamu di cari Santi," ajak Bude kepadaku. Aku bangkit lalu berucap, "Bu-ibu, saya tinggal dulu, ya," pamitku sopan. "Silakan, Rin." Aku segera masuk rumah Yu Santi bersama Bude Siti. Aku juga belum bertemu Nilam, ah seperti apa dia sekarang. Bruk "Au. Kalo jalan pake mata, tau!" ucap seorang gadis yang usianya ku taksir masih belasan tahun. Aku juga meringis sakit usai ditabrak olehnya. "Yanti! Sopan sedikit sama orang tua, dia itu tantemu, Rini," tegur Bude Siti tegas. Gadis bernama Yanti dengan dandanan menor dan cetar ini malah mencebik bibir saat menatapku. Apa salahku? Ah mungkin dia kesal saat tak sengaja ku tabrak. "Maaf, Yanti. Tante nggak sengaja. Kamu nggak papa? Ada yang sakit?" tanyaku padanya. Aku mencoba menyentuh Yanti memastikan tak ada luka di tubuhnya. "Jangan sentuh aku. Aku nggak Sudi dipegang orang miskin kaya kamu!" ucap Yanti lantang. "Yanti! Jaga mulutmu! Anak sama emak sama aja. Pergi sana!" usir Bude geram. Astaghfirullah halazim
"Yanti, sudah nggak usah ngarang cerita. Kembalikan bajuku sekarang juga," tegas ku kepadanya. Yanti malah meludah ketanah dan malah menghinaku lebih parah. "Hei, dasar maling! Pembohong besar, yang datang kesini cuma numpang makan di hajatan budeku. Nggak punya malu kamu, hah? Pake ngaku baju ini milikmu segala. Kamu bukan keluarga kami, nggak mungkin bude Santi memberimu baju ini. Dasar pembohong!" Yanti berucap lantang. Dadaku bergemuruh mendengar ucapan hinaan Yanti. Sungguh lidahnya tajam melebihi silet. Tergores hatiku dibuatnya. "Jaga mulutmu anak muda! Kau tak berhak menghakimi saya. Saya tegaskan sekali lagi, saya bukan maling. Baju itu pemberian Yu Santi dan Nilam. Kalau nggak percaya tanyakan saja kepada orangnya sendiri." Kali ini ku pasang wajah menantang kepada bocah ini. Di sabarin malah ngelunjak. "Kamu pikir aku percaya sama cerita karangan basi mu itu?" Hardik Yanti berkacak pinggang. Ya Allah, sampai mana lagi ujian kesabaran ini? Haruskah ku pertegas kepada a
Mas Bayu tak bergeming mendengar ucapan Eis. Eis menumpahkan kekesalannya dimobil. "Sabar, Eis sabar. Kalau dipikir, seharusnya aku yang punya niatan membunuh mereka semua, terutama Johan, Diki, Yati dan ibu tiriku." "Ibu nya udah koit, Rin." Sahut Eis. "Eh sori, maksudnya mereka yang jahat dan merampas semua kebahagiaanku sejak kecil." 'Kan, masalalu terulang lagi. Sebenarnya malas sekali membahas ini. "Meraka itu emang nggak tau malu. Apa udah putus urat malunya?" Eis nampak galau. Mobil berhenti kami sampai rumah. Kami masuk rumah. Eis duduk di sofa ruang tamu, aku, Mas Bayu, Dimas dan Pak Ilyas ikut duduk juga. "Rin, traktir bakso s*t*n dong, biar keselku sembuh." Eis merengek manja. Ada-ada saja ulah Eis, masa bakso bisa menghilangkan kesal. Ya sudah ku turuti maunya dia. "Beli dimana? Sana kalau mau beli lah, minta antar Dimas," aku memberi saran. "Deliperi aja lah, paling nambah ongkos lima ribu. Kalo pesen lebih dari tiga bungkus gratis ongkir." Eis menatapku serius
POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"