Share

Masalah

Author: RiniFL
last update Last Updated: 2021-05-23 08:45:24

Minggu sore, aku harus merelakan waktu me time dengan senja yang ala-ala begitu, karena harus datang ke rumah Mas Irza untuk meluruskan kesalahpahaman tentang kejadian tadi pagi di tempat lontong sayur. Sejujurnya aku malas untuk berdiri di sini, selain jarak waktu tempuh perjalanan yang jauh, sifat Mas Irza yang benar-benar cuek ketika marah juga menjadi alasan mendasar.

Tapi, aku harus bagaimana lagi kecuali mengambil langkah seperti ini? Dijelaskan lewat telepon, pasti Mas Irza tak akan percaya. Jangankan percaya, dia mengangkat teleponku saja berlagak orang penting yang sok sibuk.

"Permisi!" kataku lantang lalu disusul dengan ketukan pintu tiga kali. Tak ada respon dari dalam, aku kembali mengulang dan setelahnya disusul balasan dari dalam.

"Kakak!" Usai membuka pintu, Kika langsung memelukku erat-erat hingga membuatku kaget karena mendapat serangan tiba-tiba. "Aku kangen banget tahu, sama Kakak. Tapi kenapa Kakak baru ke sini sekarang?" ujarnya membuat seulas senyuman terbit di bibirku.

Kika ini, adiknya Mas Irza. Ia perempuan dan baru menginjak kelas 12 SMA. Kami memang akrab, sehingga ia begitu lunak dan tanpa canggung untuk memelukku. Pernah main bareng, pernah mengajarinya menyelesaikan PR, pernah menjadi temannya untuk bertukar cerita.

Ia pernah bilang, kalau aku adalah kakak yang paling cocok untuknya. Saat aku tanya alasannya, ia bilang ia ingin punya kakak perempuan yang bisa jadikan teman. Tentu saja aku maklum, karena saudara Kila hanyalah Mas Irza saja, dan Mas Irza adalah pria.

"Kakak ada acara terus, maaf ya, Dek!" Aku membalas ucapannya.

"Pasti cari Mas Irza ya?" tebaknya seraya melepas pelukan kami. Aku hanya tersenyum tipis menjawab ucapannya. "Mas Irza ada di dalam. Andai aja aku nggak ada acara sama teman, pasti aku udah ajak Kakak jalan."

Sebenarnya, jika Kika jadi mengajakku jalan barang kali menemaninya beli pakaikan saja, itu adalah kesempatan besar yang aku miliki. Karena pastinya, Kika akan mengajak Mas Irza untuk dijadikan supir, dan karena itu pula Mas Irza tidak akan mendiamkanku di depan adiknya sendiri.

"Bisa kapan-kapan lagi kan?" Kika mengangguk.

"Ya udah, Kakak masuk aja. Mas Irza ada di dalam."

"Hati-hati di jalan ya, Dek. Jangan lama-lama," pesanku padanya.

Setelah kepergian Kika bersama ojek online tak lagi terlihat, aku memasuki rumah Mas Irza. Sebelumnya, aku tak langsung mencari keberadaannya yang mungkin ada di dalam kamarnya, melainkan ke dapur untuk menaruh buah-buahan pemberianku. Selesai menaruh barang bawaan di atas meja makan, aku naik ke lantai atas menuju kamar Mas Irza.

Ketika sudah di depan pintu kamarnya, aku menarik napas dalam-dalam agar bisa tenang, agar kalimat yang aku rangkai di otak saat di jalan tadi masih teringat, berdoa juga biar urusan ini tidak semakin panjang. Gawat kalau Mas Irza bisa ngambek sampai berhari-hari, karena aku yang bakalan kerepotan untuk membuat hati Mas Irza yakin akan diriku.

Saat pintu sudah berhasil aku dorong, tidak ada Mas Irza di ranjang, tidak ada ia sedang duduk di kursi, atau sedang membaca buku di balkon kamarnya. Tiba-tiba, aku mendengar suara kran air menyala di kamar mandinya Mas Irza, dan aku langsung menyimpulkan bahwa ia sedang mandi di dalam.

Sambil menunggu ia selesai, aku membaringkan badan di atas ranjangnya dengan kaki yang masih menggantung, membiarkan pintu kamar masih terbuka lebar. Memejamkan mata sebentar selama beberapa detik, sebelum Mas Irza menampakkan diri di depanku.

Ketika suara pintu kamar mandi di buka, reflek aku menoleh ke asal suara. Namun, Astaga! Mas Irza masih telanjang dada, hanya handuk yang dililitkan di pinggangnya. Tebakku, ia tak tahu aku ada di sini sehingga telanjang dada begitu.

"Genna!" katanya dengan suara sedikit terkejut.

"Hai, Mass!" sapaku kikuk sambil menyengir tak berdosa, lalu kembali menatap ke langit kamar selagi Mas Irza mencari baju.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan nada tak biasa, seperti orang yang tak suka dengan kehadiran seseorang.

Aku menatapnya yang sedang duduk di pinggiran ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. "Mau ketemu Mas," jawabku jujur. Aku melipat kedua tangan di atas dada, dengan wajah yang masih menatap ke punggung Mas Irza. "Ngadep sini dong, aku ke sini nggak untuk ngelihatin bajunya Mas," keluhku lirih.

Bukannya menuruti kemauan pacar, Mas Irza malah bangkit dari ranjang sambil menghempaskan handuk begitu saja, setelahnya mengambil buku di atas meja dan duduk menyender di kepala ranjang dengan kaki selonjoran.

Aku menatapnya dengan gemash, ingin marah karena ia tidak mengakui keberadaanku. Tapi kalau aku marah, itu nggak banget, karena ia sedang marah-marah padaku. Nggak lucu aja kalau-kalau kami sama-sama marah dan sama-sama ngutamain ego. Sikapku yang mengalah saat ini, didasari oleh hatiku yang masih menginginkan sebuah hubungan ini, sehingga aku mengorbankan ego. Susah memang, butuh kesabaran banget, tapi harus bagaimana lagi kalau nggak begini?

"Mas! Aku ke sini mau ngomong sama Mas, soal tadi siang. Soal makan bareng sama cowok yang bukan partner kerja atau kepentingan lainnya. Dia namanya Abi, tepatnya Abimanyu. Teman SMP ku waktu dulu. Karena kita udah ngga bertemu bertahun-tahun, dia ngajakin keluar bareng," jelasku masih berbaring sambil menatap jari kakinya Mas Irza yang gerak-gerak.

"Awalnya aku nolak, nolak banget. Tapi dia maksa Mas. Maksanya nggak di chat atau DM, tapi di rumah. Dan di rumah, nggak ada orang lain selain kita berdua. Ya udahlah Mas, mending kita keluar kan?"

Penjelesanku panjang lebar tadi, tak mempengaruhi sedikitpun dari Mas Irza, maksudnya ia tak merespon apa-apa, walaupun hanya sekedar bertanya balik, atau meminta maaf karena sudah marah-marah terlebih dahulu. Saat aku meliriknya, ia malah asik membalikkan buku dan fokus kembali.

"Mas! Mas kenapa masih diam?" Setelah beberapa detik, Mas Irza tak ada respon apapun. Aku sudah gemash, ingin meninjunya agar ia tak sok cuek begini. Padahal aslinya dia cuek, dan selalu cuek. Tapi kalau cueknya sombong begini, siapa yang nggak mau marah?

Setelah menarik napas perlahan, aku berbaring miring lalu menggoyangkan kakinya, agar aktifitas membacanya tak lagi fokus, syukur-syukur Mas Irza bisa mengalihkan perhatiannya padaku sepenuhnya. "Jauh-jauh aku ke sini biar Mas nggak lagi marah, tapi kenapa malah Mas gini banget sih?"

"Bicara sama orang harus natap wajahnya!" Mas Irza mengingatkan dengan nada sebal, saat aku berbicara namun menatap ke arah lain.

Dengan berat hati sambil menarik napas, aku bangkit dan duduk di depannya, menatap wajahnya yang nggak ada ramah-ramahnya sama sekali, lalu kembali menjelaskan kedua kalinya.

Demi apapun, Mas Irza memang sengaja membuatku kesal dan uring-uringan. Selesai menjelaskan yang kedua kalinya sambil menatap wajahnya, ia tak merespon apapun. Masih fokus dengan buku bacaannya. "Mas! Aku udah turutin kata Mas lho, kok Mas masih sama?" jujurku sambil meraih bukunya secara paksa.

"Mass!" rengekku meminta perhatian darinya.

Ia menutup buku miliknya, lalu dibiarkan begitu sama di atas pahanya. "Apa?" tanyanya santai sambil melihatku. Ingin rasanya, aku menampar pipinya, menekan hidungnya agar bernafas dari mulut, atau menjambak rambutnya. Tapi, balik lagi bahwa aku harus sabar.

"Aku udah ngomong, tapi kenapa Mas nggak kasih respon?"

"Sibuk, baca buku!" Mataku sedikit melotot padanya, tak paham lagi dengan sikapnya yang ngambekan seperti ini. Dengan segenap amarah, aku menjambak rambutnya sedikit, hanya tiga helai namun hingga rontok. "Sakit, Genna!" katanya sambil menatapku tajam.

"Oke! Aku tungguin Mas selesai baca buku," ucapku setengah nggak ikhlas, karena sambil uring-uringan. Bosan tak tau lagi harus apa selama menunggunya selesai membaca buku, aku berbaring dengan kepala telat di atas pahanya.

Namun, belum selesai berbaring, aku mendapati pintu kamar yang tertutup rapat. Tak mau dianggap sedang berkelakuan tidak-tidak, aku membuka kembali pintu secara lebar-lebar. "Siapa yang tutup pintunya, Mas?"

"Terserah Mas," balasnya sewot, yang aku simpulkan bahwa ia yang menutup pintu.

"Mas nggak ganteng, kalau sikapnya begitu," ketusku setelah berbaring di atas ranjangnya seperti semula. Di tengah-tengah area ranjang dan kaki masih menjuntai ke bawah. Kedua tangan dilipat di atas dada, lalu memikirkan apa saja yang terlintas di pikiran.

Aktifitas sore kali ini di kamar Mas Irza benar-benar membuatku bosan, tidak ada hal yang bisa menghilangkan kebosananku kecuali Mas Irza mau mengajakku ngobrol. Tapi ia masih fokus membaca bukunya tentang buku kesehatan. Dari tadi, aku juga sadar bahwa aku hampir terlelap tidur hingga beberapa kali, namun aku tidak membiarkan mataku terpejam, lebih tepatnya menahan kantuk. Dan kalau bisa, aku harus menahan kantuk hingga Mas Irza selesai membaca buku.

Related chapters

  • Yang Hilang Kan Berganti   Abi Lagi

    Usahaku datang ke rumah Mas Irza tidak membuahkan hasil, yang ada malah aku rugi sendiri karena sudah datang jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk buang waktu dan energi. Alasan tidak membuahkan hasil, Mas Irza masih marah denganku, masih mendiamkanku, bahkan kita seperti orang asing. Sekarang, aku bisa apa kalau sudah begini?Bahkan, saat kemarin sore, Mas Irza membiarkanku ketiduran hingga pukul enam sore nyaris setengah tujuh, lebih tepatnya selesai adzan magrib. Ketika aku bangun, aku lihat Mas Irza tengah memainkan ponsel. Yang ingin membuatku marah, ia selesai beribadah tapi tak membangunkanku. Tapi ya, aku mau marah gimana?Akhirnya, selesai numpang beribadah di rumahnya, aku memilih pulang tanpa melanjutkan obrolan kembali, karena Mas Irza malah sibuk kembali dengan laptopnya.Dan hari ini? Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Mulai Minggu, Senin, lalu Selasa. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi belum ada respon sama sekali. Ya sudahlah, aku tak mau

    Last Updated : 2021-05-24
  • Yang Hilang Kan Berganti   Pemaksa

    Minggu pagi, sosok Mas Irza sudah mengetuk pintu kamarku tanpa konfirmasi via WhatsApp terlebih dahulu. Awalnya aku kaget, tapi akhirnya tersenyum karena orang yang dikangenin bisa muncul di depan mata."Kebiasaan, makan siang baru bangun," katanya sambil menyibak tirai, lalu membuka jendela kamar. Aku yang dibully begitu, hanya menyengir tanpa tahu malu, padahal penampilan sangatlah alakadarnya. Celana training, kaos oblong, rambut masih urak-urakan, dan wajah nggak ada cantik-cantiknya sama sekali."Enggak tiap hari," balasku santai, seraya merapikan rambut.Lagipula, perkataan Mas Irza itu hoax belaka. ketika weekend, aku nggak selalu tidur sampai siang, jikapun tidur sampai siang nggak akan molor sampai waktu makan siang. Paling mentok hanya sampai pukul delapan. Kalau sedang rajin ya, pukul lima sudah bangun seperti hari biasanya."Tapi tiap weekend," bantahnya tak mau kalah denganku. Mas Irza geleng-geleng kepala sambil melihatku yang tak kunjung be

    Last Updated : 2021-05-24
  • Yang Hilang Kan Berganti   Kabar (bukan) Bahagia

    Ternyata, doa yang selama ini aku panjatkan tiap kali melakukan kewajiban kepada Tuhan, tidak terkabulkan oleh-Nya. Tapi, aku tak boleh terlalu sedih, karena aku harus mengingat perkataan orang yang pernah bilang padaku, "Kamu boleh berdoa, kamu boleh berusaha, tapi ada Tuhan yang menentukan takdir kamu, dan takdir untuk kamu pasti baik, walaupun di mata kamu nggak baik."Jadi, mungkin ini memang takdir Tuhan untukku yang tersimpan seribu kebaikan, walaupun aku sedih melihat dan menjalani takdir ini. Dan kesedihan yang aku alami adalah, Papa memberiku undangan pernikahannya Minggu depan, ia datang bersama calon istrinya. Secara tidak langsung, Papa juga mengenalkan ibu baru untukku. Ya sekalipun, aku masih ikut sama Mama sampai kapan pun."Papa minta, kamu datang di hari bahagianya Papa ya, Gen. Nggak mungkin kan, Papa bahagia tapi kamu nggak datang? Biar Papa dan kamu bahagia bersama juga."Aku tersenyum kecil, tapi dalam hati misuh-misuh. Papa bila

    Last Updated : 2021-06-16
  • Yang Hilang Kan Berganti   Yang Nggak Baik-baik Saja

    Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi.Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak.Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi."Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi

    Last Updated : 2021-06-16
  • Yang Hilang Kan Berganti   Tentang Sikap Paksaan

    Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan? Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya. Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa. "Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu. "Pagi, Gen. Aku udah di per

    Last Updated : 2021-06-17
  • Yang Hilang Kan Berganti   Janji yang Bukan Janji

    Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir

    Last Updated : 2021-06-22
  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Bisa Nolak

    Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg

    Last Updated : 2021-06-23
  • Yang Hilang Kan Berganti   Serba Ngerepotin

    Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser

    Last Updated : 2021-06-25

Latest chapter

  • Yang Hilang Kan Berganti   Hilang? Rasa?

    Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s

  • Yang Hilang Kan Berganti   Teman Bahagia?

    Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa

  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Sama Lagi

    Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya

  • Yang Hilang Kan Berganti   Cemburu Hilang, tapi masih Suka Kan?

    Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah

  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Rela

    "Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen

  • Yang Hilang Kan Berganti   Cemburu

    Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga

  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Biasa

    Sebut saja penyiksa orang lain, itu adalah deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Abi pagi kali ini yang kenyataannya nggak bisa disebut lazim. Ia, dengan teganya menyeretku pulang dari rumah kakakknya ketika pukul setengah lima pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang yang artinya masih dingin-dinginnya.Ya kalau di rumah masih bisa nahan dingin, tapi kalau di jalan pasti terasa sangat dingin dan aku nggak terbiasa begini, sedangkan Abi membawa motor bukan mobil. Maka dari itu aku hanya diam sepanjang perjalanan, mencoba biasa-biasa saja.Jika tidak mau menyiksa, Abi bisa membawaku pulang ketika matahari sudah kelihatan sedikit, mungkin pukul setengah enam.“Ngapain diam? Masih marah karena pelukan tadi malam, Gen?”Tanpa sadar aku berdecak, lalu merapatkan kedua tangan yang terlipat di area dada. Abi masih saja mengingat kejadian tadi malam yang membuatku merasa malu, karena kakaknya Abi selalu menggoda kami den

  • Yang Hilang Kan Berganti   Ada Maunya

    Jangan lupa, wa Mas kalau sudah dibuka ya!!!Mas akan sangat suka juga, kalau hadiahnya dipakai.Itu adalah secarik kertas kecil yang ada di dalam kardus pemberian darinya. Aku yang usai membacanya hanya mengembuskan napas, lalu mengambil sebuah jam tangan yang ada di dalam kotak.Ketika membaca merk-nya, aku mengernyitkan kening dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Merk jam tangan ini agak asing bagiku sendiri, mungkin karena selera aku dan Samasta sangat berbeda. Saat teringat, aku membulatkan bibir. Ini adalah merk jam tangan yang iklannya pernah aku lihat di Ig. Bisa dibilang jam outdoor, karena setahuku merk-nya lebih condong untuk produksi kebutuhan outdoor, semacam alat pendakian.Ah, ini pasti mahal. Tapi apa pedulinya aku bahwa ini mahal atau tidak. Namun wajar juga kalau Samasta memberiku barang mahal, karena papa adalah orang kaya. Setahuku juga Samasta sudah bekerja, tapi aku tak tahu ia bekerja apa.

  • Yang Hilang Kan Berganti   Aku, Samasta dan sebuah Kecupan

    Genna : Apa sih inti pembicaraan lo tentang hubungan gue?Genna : Yang bahkan nggak cukup satu hari lo bahas, Bi.Abi menjadi orang yang membuatku tidak bisa tidur kembali malam ini hanya karena ucapannya tadi malam saat mengantarkanku pulang dari rumah papa. Bodoh amat bisa digunakan jalan untuk menyikapi ucapannya, tapi untuk malam ini aku benar-benar nggak bisa bodoh amat, ketika tak sengaja terbangun pukul tiga pagi lalu mendadak kepikiran ucapannya tersebut.Aku yang benar-benar bodoh karena mau-mau saja memikirkan, atau ucapannya memang membuat siapapun itu kepikiran hingga membuat berpikir sewaktu-waktu. Jadi kapok ngobrol serius dengan Abi.Sekarang aku memilih ke dapur untuk memasak mie instan, membuat segelas kopi lalu menikmatinya pada dini hari begini. Mungkin ini adalah faktor makan malam yang sedikit di rumah papa, serta terbangun mendadak tapi tak bisa tidur kembali. Apalagi aku sedang kepikiran sesuatu tentang papa dan

DMCA.com Protection Status