Share

Pemaksa

Author: RiniFL
last update Last Updated: 2021-05-24 23:48:02

Minggu pagi, sosok Mas Irza sudah mengetuk pintu kamarku tanpa konfirmasi via W******p terlebih dahulu. Awalnya aku kaget, tapi akhirnya tersenyum karena orang yang dikangenin bisa muncul di depan mata.

"Kebiasaan, makan siang baru bangun," katanya sambil menyibak tirai, lalu membuka jendela kamar. Aku yang dibully begitu, hanya menyengir tanpa tahu malu, padahal penampilan sangatlah alakadarnya. Celana training, kaos oblong, rambut masih urak-urakan, dan wajah nggak ada cantik-cantiknya sama sekali.

"Enggak tiap hari," balasku santai, seraya merapikan rambut.

Lagipula, perkataan Mas Irza itu hoax belaka. ketika weekend, aku nggak selalu tidur sampai siang, jikapun tidur sampai siang nggak akan molor sampai waktu makan siang. Paling mentok hanya sampai pukul delapan. Kalau sedang rajin ya, pukul lima sudah bangun seperti hari biasanya.

"Tapi tiap weekend," bantahnya tak mau kalah denganku. Mas Irza geleng-geleng kepala sambil melihatku yang tak kunjung beranjak dari kasur, lalu duduk di kursi dengan santai, seperti outfitnya hari ini yang terlihat santai sekali.

"Enggak lah. Nggak ada jadwal pagi hari aja. Lagian ke rumah Mas juga masih nanti. Tapi kalau udah ada Mas di sini ya, aku makin sellow," jelasku.

Setelah kemarin Mas Irza mendiamkanku tanpa kejelasan, kini ia kembali seperti manusia normal lainnya. Tetap berkomunikasi, kadang chatting, kadang telepon untuk curhat satu sama lain, dan kadang Vidio call jika kami sama-sama tidak sibuk.

Namun sebelum ia beralih menjadi manusia pada umumnya, aku harus menjelaskan kembali mengenai tragedi hari Minggu kemarin bersama Abi. Setelah dijelaskan dan berceloteh dengan berbagai bentuk kalimat, Mas Irza akhirnya percaya, lalu bernasihat agar tidak terjadi kesalahpahaman kembali.

"Hari ini mau ngapain?" tanyanya.

"Seperti kata Mas, mau tidur sampai makan siang," balasku dengan niatan ingin menyindir. Yang disindir, ternyata sadar juga, ia tersenyum tipis masih dengan menatapku. "Tapi kalau udah ada Mas, aku nggak tahu mau ngapain."

"Mandi sana! Nggak malu sama Mas, yang udah rapi tapi kamu belum mandi?"

"Ngapain? Sekarang atau entaran, Mas bakalan cium bau aku yang baru bangun tidur. Jadi, anggap aja simulasi kehidupan pernikahan, Mas! Ya nggak?" Tanpa tahu malu, aku berkata seperti itu yang membuat Mas Irza tersenyum tipis dan geleng-geleng kepala, terlihat seperti orang yang ingin mengakui kebenaran perkataanku, namun gengsi sehingga hanya diam saja.

Sikap Mas Irza yang begitu, selalu saja membuatku gemash, tapi juga kesal karena cuek, nggak ada humorisnya sama sekali. Tapi ya sudahlah, karena itu memang sifatnya dari dulu, dan aku tak bisa merubahnya.

Dulu aku sempat protes, kenapa dia nggak humoris seperti lelaki pada umumnya yang dekat denganku. Kenapa dia tidak bisa membuatku tertawa dengan candaannya seperti pria lain.  Dan ia hanya bilang, "Mas beda, nggak bisa disamakan." Aku hanya bisa memaklumi, dan kemakluman tersebut harus dilakukan hingga sampai kapanpun itu, walaupun kadang aku sebal sendiri.

"Mandi! Mas tunggu di luar," katanya lalu beranjak dari kursi. Aku kira, dia akan keluar kamar lalu menutup pintu, namun yang ada ia malah mendekat. Reflek, aku menaikkan alis tanda tanya. "Kenapa diam?" Aku semakin menatapnya dengan tanda tanya besar, sambil mengerutkan kening.

"Mas ngapain gitu?"

"Simulasinya jangan nanggung. Ternyata kamu sedikit wangi juga kalau bangun tidur," ucapnya membuatku tak paham apa maksudnya setelah ia menghirup rambutku sebentar. Mendadak, tangannya yang menggantung ke bawah dudah ada di atas dahiku, lalu turun kembali. Aneh. Aku melihat orang aneh sepagi ini.

Saat ia berjalan, dengan cepat aku mencekal tangannya hingga langkahnya terhenti. "Apa?"

"Mau usap dahi? Boleh kali. Jangan grogi amat lah!" ledekku, lalu mengambil tangannya dan menaruhnya di atas kepalaku.

"Nggak. Kamu sok tahu."

"Ya udah, sana! Sana!" usirku seraya melepaskan cekakan tangannya.

"Kamu marah?" tanyanya ketika aku mulai melangkah menuju kamar mandi.

"Nggak. Mas sok tahu," balasku tanpa menatap mukanya, dengan kalimat sama persis ucapannya beberapa detik yang lalu.

***

Pukul dua belas siang, Mas Irza mengajakku pergi keluar rumah, tentunya dengan seijin Mama. Saat aku tanya pergi ke mana, bilangnya anterin beli ponsel baru. Ya sudah, aku hanya memakai pakaian santai, nggak terlalu formal tapi nggak terlalu santai amat.

Tapi, setelah ia mendapatkan ponsel sesuai incarannya, ia memintaku untuk singgah di rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, ia memintaku kembali untuk memasakkan makan malam. Aku menurut saja, bahkan mau memasak makanan sesuai request darinya, yakni soto ayam.

Namun, ketika kami sudah menikmati makanan di meja makan, ia meminta satu hal lagi padaku, dan itu ingin membuatku marah padanya. Jika saja permintaannya sudah dikatakan sebelum kami pergi dari rumahku, dengan mudahnya aku bilang iya. Namun, ia bilang baru sekarang ini, sedangkan permintaannya harus dituruti beberapa jam nanti. Bukan hal yang sulit untuk aku turuti, tapi persiapan yang ribet membuatku mudah untuk menolak.

Hal yang ia minta adalah, menemaninya pergi ke kondangan malam nanti.

"Mas kenapa nggak bilang sebelum pergi dari rumahku tadi sih?" tanyaku frustasi lalu meneguk air putih.

"Maaf, Gen. Mas baru ingat tadi," jawabnya santai, tanpa memikirkan raut wajahku yang ingin menjambak rambutnya seperti Minggu lalu hingga rontok.

Andai, dia bukan pacar yang umurnya lebih tau dariku, atau ia hanya teman biasa seperti Abi dan yang lainnya, maka aku akan meninjunya atau menjambak rambutnya untuk melampiaskan kekesalanku.

"Biasanya kamu langsung siap tanpa marah-marah kalau Mas minta anterin kondangan." Aku menatapnya malas, lalu menghabiskan sisa-sisa makanan di piring.

Aku rasa, Mas Irza yang sudah berpacaran denganku lebih dari satu tahun, tak paham mengenai kebiasaanku saat akan pergi kondangan. Nyatanya, ia hanya bilang begitu. Padahal, ketika aku akan pergi ke kondangan ataupun menemaninya, butuh baju dan butuh lainnya untuk memperbaiki penampilan agar tidak jomplang dengan penampilannya, agar tidak insecure ketika bersanding dengan ketampanannya, agar tidak malu-maluin si dia.

"Aku mana ada baju untuk pergi? Mas kasih taunya telat," jujurku sambil menatapnya tanpa berkedip, dengan kedua telapak tangan menangkup pipi.

"Solusinya? Biasanya kamu selalu punya solusi," bantahnya lagi, yang aku simpulkan bahwa aku harus ikut ke undangan pernikahan temannya.

Aku sebenarnya punya solusi. Beli baju untuk kondangan, tapi aku tak bawa uang banyak, hanya yang cash yang nggak sampai 200 ribu, sementara ATM ketinggalan di rumah. Ada solusi lain, minta dibelikan baju olehnya, tapi sungkan untuk meminta dibelikan baju, walaupun Mas Irza itu dompetnya tebal, tetap saja sungkan dan malu untuk meminta. Dikode-kode agar ia inisiatif membelikan baju, harus nunggu satu tahun agar ia memahami kode.

Tapi, ada satu cara lain, dimana cari ini sangat menguntungkan bagiku, memberikan kenyamanan untukku sendiri. "Aku ngikut temenin Mas, tapi di mobil doang. Itu solusinya, Mas."

Ia malah mengernyitkan dahi, lalu geleng-geleng kepala. "Enggak-enggak. Kamu mau, Mas dikira nggak punya pasangan, terus pasangan kamu ini digodain perempuan lain?"

Membayangkan ucapan Mas Irza, aku seperti orang yang melihat pasangannya mesra dengan wanita lain, lalu aku merasa cemburu. Kalau Mas Irza bukan pria yang aku sukai, sudah sejak dulu aku membiarkan ia diseret oleh wanita lain. Sayangnya, aku suka dia, aku suka wajahnya, aku suka caranya dalam hal apapun yang beda dengan teman pria.

Pasalnya, cari pasangan yang modelannya seperti Mas Irza itu susah, khusus untuk diriku yang bobrok gini. Ganteng, tajir, mapan, sopan, orang tua juga suka sama dia. Kalau bisa, jangan sampai dilepas selamanya. Jadi, aku nggak siap kalah kehilangan Mas Irza.

"Tinggal sikap Mas kan? Aku percaya sama Mas. Mas kan orangnya sombong, pasti cewek-cewek pada mundur kalau mau godain Mas."

"Mas maunya ada gandengan," kilahnya lagi.

Aku menghembuskan napas kasar, masih dengan menatapnya. Namun sekarang, kedua tangan tidak lagi kugunakan untuk menangkup pipi, melainkan sebagai tumpuan dagu di atas meja. "Aku pakai ginian doang kalau begitu," balasku enjoy.

Mas Irza menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. Padahal kalau ia menampakkan senyuman lebar atau bahkan tertawa hingga matanya menyipit dan hidungnya berkerut, kadar ketampanannya akan bertambah, dan hal tersebut membuatku makin tergila-gila padanya. Tapi sayang, ia jarang tertawa hingga menyipitkan mata walau di depan pacarnya sendiri.

"Mas antar beli baju. Tapi kamu temenin Mas kondangan," katanya memberi solusi.

"Aku nggak bawa ua...."

"Mas beliin, Genna!" Ia memotong ucapanku dengan suara sedikit sebal. Aku yang mendengarnya begitu, tertawa namun terdiam ketika Mas Irza menyipitkan matanya.

"Nggak ah, Mas. Mas pergi sendiri aja, soalnya aku harus pulang."

"Sama siapa?"

"Taxi online masih ada, kang ojol juga, minta jemput teman pasti pada..."

"Siapa? Si Abimanyu gabetan kamu kemarin itu?" Entah kenapa, tiap kali aku tak sengaja mengucap teman cowok, Mas Irza selalu marah dengan cara memotong ucapanku. Padahal biasanya, ia santai saja ketika aku makan siang bersama teman cowok. Tapi jika teman cowok itu Abi, reaksi Mas Irza beda.

"Mas kenapa, kalau sama Abi langsung bahaya? Padahal kalau teman cowokku yang lain, santai aja. ... Seperti saat Mas tahu, aku makan bareng cowok waktu dulu."

"Beda Genna. Kamu makan ada teman perempuan, yang kemarin kamu sengaja dan satu pria saja." Ia memberikan alasannya masih dengan menatapku, padahal nasi di piringnya masih tersisa. "Jangan bicara yang lain! Pokoknya malam ini anterin Mas. Habis itu, Mas antar kamu pulang kalau nggak kemalaman."

Seketika, aku merasa resah gelisah mendengar ucapannya yang terakhir. "Kalau kemalaman?"

"Tidur di kamar Mas. Mas di kamar tamu."

"Besuk aku ngajar kali, Mas."

"Pagi banget, Mas anterin."

"Mas selalu gitu, nggak pernah nggak gitu," rengekku menyimpulkan sikapnya. Dari awal aku mengenalnya, dia memang manusia yang tipe-tipe pemaksa, sekalipun aku mempunyai seribu satu alasan, pasti dia punya beragam kalimat untuk mematahkan alasanku. Kecuali, kalau alasannku benar-benar tidak bisa dipatahkan olehnya, dan hatinya sedang baik.

Entahlah, dari dulu aku tahu sikapnya begitu, tapi aku sendiri malah suka padanya walaupun sikapnya yang sedikit pemaksa membuatku uring-uringan.

"Kalau nggak gitu, bukan Mas kan?" Aku hanya diam, tak merespon apapun. Hingga beberapa saat kemudian, ia menatapku dengan raut muka tanda tanya. "Marah sama Mas?" Kemudian, ia tersenyum lebar.

Aku yang sedari tadi berhasil menatapnya datar, kini tak bisa menahan senyuman hanya karena ia tersenyum padaku. Tanpa tahu malu, aku ikut tersenyum sambil memegang beberapa jarinya yang bisa kuraih. "Aku mana bisa bisa marah, sama Mas," jujurku to the point.

"Mas tahu."

"Tahu apa?" Yang ditanya malah menaikkan alis. "Gak jelas!"

***

"Anterin pulang ya, Mas!"

"Mas suka saat kamu pakai kebaya, anggun dan cantik." Aku melihatnya dengan pandangan tak paham, merasa aneh dengan sikapnya malam ini. Juga obrolan kami yang nggak nyambung sama sekali. Benar-benar aneh.

"Mas nggak nyambung diajak ngobrol!" keluhku.

"Mas bilang jujur." Pasti, Mas Irza sedang tidak baik-baik saja, karena jarang sekali ia memujiku tentang penampilan. Jika pacar orang lain sering memuji pasangannya cantik, ayu, anggun, menggoda iman, mantu idaman, namun Mas Irza beda.

Bahkan ketika aku berkali-kali menemaninya pergi ke acara pernikahan, atau sekedar jalan berdua dan di mana penampilanku itu sedang cetar membahana dari sudut pandangku, Mas Irza tidak memuji cantik. Maka dari itu, aku sangat heran dengan pujiannya kali ini.

"Perasaan, aku pernah pakai ginian berkali-kali sama Mas. Tapi kenapa Mas baru bilang aku cantik saat ini doang?"

Tak ada jawaban, Mas Irza hanya memberikan senyuman tipis padaku. "Kamu kalau Mas puji terus, bisa besar kepala."

Pada akhirnya, Mas Irza tidak benar-benar memuji. Maksudnya, setelah aku diterbangkan ke tempat langit yang paling tinggi, ia langsung menerjunkan perasaanku secara bebas tanpa aba-aba terlebih dahulu. Tahu gitu begini akhirannya, aku lebih memilih tidak mendengar pujiannya.

"Terserah Mas lah!" Aku melepas safety belt, berniat turun dari dalam mobil. Tapi, tangan Mas Irza sudah melepaskan safety belt sebelum aku melepasnya. "Ngapain?"

"Marah sama Mas?"

"Itu terus ngomongnya. Emang kalau aku gini, artinya marah ya, Mas? Ya enggak lah. Kalau aku marah, aku pasti ngediemin Mas," jelasku agar ia tidak selalu bertanya seperti tadi.

"Kamu selalu cantik, dengan cara kamu sendiri," katanya santai, lalu tersenyum, dengan jarak wajah kami dekat, bahkan bisa dibilang sangat dekat. Dari jarak kami, aku bisa melihat' wajah Mas Irza secara detail untuk pertama kalinya secara real life, karena biasanya aku hanya melihat wajahnya melalui ponsel.

"Please, Mas, aku nggak paham sama yang lagi diomongin sekarang ini. Aku mau nge-charge ponsel ajalah." Aku mendorong dada Mas Irza agar jarak kami bisa dibilang normal.

"Ya udah, berarti nginap sini kan?" Yang awalnya kakiku sudah bersiap turun dari mobil, gagal begitu saja mendengar ucapannya. Tapi, setelahnya aku kembali keluar dari mobil tanpa mengindahkan ucapannya.

Sebenarnya aku ingin menjawab 'enggak', tapi tidak jadi karena aku tahu Mas Irza akan menyanggah lagi, dan itu hanya akan memperpanjang waktu kami di dalam mobil.

Sampai di ruang tengah, aku mencari keberadaan charger Mas Irza disekitar televisi, karena biasanya Mas Irza sering menaruhnya di sini. Namun, sudah berkali-kali mencari aku tidak menemukannya. Hingga akhirnya, Mas Irza sendiri yang menyodorkan charger miliknya padaku, "Cari ini kan?" Aku mengangguk, lalu menerimanya.

Sebelum benar-benar sekarat, aku segera mencolokkan adaptor dan menyambungkan kabel dengan ponsel. Lalu duduk tenang di sofa, lebih tepatnya di samping Mas Irza.

"Aku nggak mungkin nginap di sini. Selain karena kita masih belum apa-apa, Mama juga nggak kasih ijin," tuturku halus agar Mas Irza mendengar opiniku kali ini, berharap ia bersedia mengantarku pulang.

"Tante sudah kasih ijin."

Aku sedikit kaget, tapi detik berikutnya mencoba biasa-biasa saja karena memang begitu adanya. Mama sudah tak asing lagi dengan Mas Irza, malah lebih menganggap bahwa Mas Irza sudah menjadi anaknya. Tak heran, apabila ia dengan mudah mendapatkan ijin dari Mama.

"Aku yang nggak mau."

"Mas lelah banget, seminggu ini Mas sibuk. Kamu lihat kan, kantung mata Mas yang hitam ini?"

Aku menyadari itu, dan aku tahu fakta bahwa ia sibuk akhir-akhir ini, makanya ia sedikit abai denganku beberapa hari yang lalu. Dan hari Minggu ini, kami full time berdua.

"Aku bisa bilang iya. Tapi di rumah ini hanya kita berdua Mas, Mas tahu kan ini nggak baik? Kecuali ada orang lain."

Rumah ini rumah pribadinya Mas Irza. Tentang Kika yang pernah bertemu denganku tempo hari yang lalu di rumah ini, mungkin ia sedang menginap di rumah kakaknya selama beberapa hari, lalu setelahnya pulang ke rumah orang tuanya.

"Kika tidur di kamarnya. Kita bertiga."

Sampai sini, aku tahu dan paham bila Mas Irza tidak mau dibantah. Semua penuturanku beberapa menit yang lalu sia-sia, dan aku tidak bisa berbuat lebih selain menurut padanya. Lagipula jika aku nekat pulang sendiri, mungkin akan membahayakan diriku karena tidak bawa kendaraan sendiri.

Related chapters

  • Yang Hilang Kan Berganti   Kabar (bukan) Bahagia

    Ternyata, doa yang selama ini aku panjatkan tiap kali melakukan kewajiban kepada Tuhan, tidak terkabulkan oleh-Nya. Tapi, aku tak boleh terlalu sedih, karena aku harus mengingat perkataan orang yang pernah bilang padaku, "Kamu boleh berdoa, kamu boleh berusaha, tapi ada Tuhan yang menentukan takdir kamu, dan takdir untuk kamu pasti baik, walaupun di mata kamu nggak baik."Jadi, mungkin ini memang takdir Tuhan untukku yang tersimpan seribu kebaikan, walaupun aku sedih melihat dan menjalani takdir ini. Dan kesedihan yang aku alami adalah, Papa memberiku undangan pernikahannya Minggu depan, ia datang bersama calon istrinya. Secara tidak langsung, Papa juga mengenalkan ibu baru untukku. Ya sekalipun, aku masih ikut sama Mama sampai kapan pun."Papa minta, kamu datang di hari bahagianya Papa ya, Gen. Nggak mungkin kan, Papa bahagia tapi kamu nggak datang? Biar Papa dan kamu bahagia bersama juga."Aku tersenyum kecil, tapi dalam hati misuh-misuh. Papa bila

    Last Updated : 2021-06-16
  • Yang Hilang Kan Berganti   Yang Nggak Baik-baik Saja

    Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi.Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak.Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi."Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi

    Last Updated : 2021-06-16
  • Yang Hilang Kan Berganti   Tentang Sikap Paksaan

    Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan? Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya. Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa. "Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu. "Pagi, Gen. Aku udah di per

    Last Updated : 2021-06-17
  • Yang Hilang Kan Berganti   Janji yang Bukan Janji

    Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir

    Last Updated : 2021-06-22
  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Bisa Nolak

    Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg

    Last Updated : 2021-06-23
  • Yang Hilang Kan Berganti   Serba Ngerepotin

    Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser

    Last Updated : 2021-06-25
  • Yang Hilang Kan Berganti   Pacar Macam Apa Tuh?

    "Ini kebetulan. Saya main di rumah, Genna mau pergi ke kamar mandi, Tante.""Main doang kan? Jangan lebih dari main lho!""Tante bisa percaya dengan saya!"Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan dengan suara yang familiar di telinga. Segera saja aku membuka mata perlahan-lahan yang rasanya masih sedikit berat, karena masih setengah tertidur. Dugaanku ternyata benar, Abi adalah pelakunya. Ia tengah berbincang dengan ponselku yang menempel di telinganya.Tunggu! .... Ponselku. Berarti, Abi menelpon siapa?Pelan-pelan, aku bangun lalu beralih menjadi duduk dan menyenderkan punggung pada senderan sofa. Ketika Abi menoleh, aku menaikkan alis sebelah sebagai kode tanda tanya 'siapa?'"Tante bisa percaya saya, teman baik Genna yang sampai sekarang masih berteman baik."Kutebak, Abi sedang berbicara dengan mama, kentara ia yang menyebut kata tante. Malas menyerobot ponsel untuk berbicara dengan mama s

    Last Updated : 2021-06-26
  • Yang Hilang Kan Berganti   Perhatian Nyata Dari Siapa?

    Mungkin Abi salah pergaulan selama tidak dekat denganku bertahun-tahun, sehingga membuatnya bersikap tidak sopan seperti orang tanpa pendidikan. Begini ceritanya, sia-sia lah ia keluar banyak uang dan tenaga guna menempuh pendidikan magisternya.Ya, aku tahu dan boleh memahami bahwa ia tengah bercanda. Tapi yang namanya bercanda juga mikir situasi dan kondisi juga kan? Dan menurutku, candaan Abi barusan adalah sebuah kesalahan karena timing yang tidak pas.Seperti barusan, wajahnya yang dadakan muncul di layar vidio call, mengundang kemarahan tersendiri untuk Mas Irza. Setelah Abi pergi ke depan, Mas Irza hanya bilang 'itu pria kemarin kan?' mendoakan cepat sembuh, dan besuk sore baru bisa menjengukku karena malam ini ia harus menghadiri sebuah acara perkumpulan teman lama. Begitu saja, sudah. Tanpa bertanya-tanya kronologi kejadian, atau meminta maaf karena tidak bisa menjenguk sekarang.Jelas, Mas Irza marah, kentara dari ucapannya yang amat sangat

    Last Updated : 2021-06-27

Latest chapter

  • Yang Hilang Kan Berganti   Hilang? Rasa?

    Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s

  • Yang Hilang Kan Berganti   Teman Bahagia?

    Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa

  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Sama Lagi

    Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya

  • Yang Hilang Kan Berganti   Cemburu Hilang, tapi masih Suka Kan?

    Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah

  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Rela

    "Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen

  • Yang Hilang Kan Berganti   Cemburu

    Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga

  • Yang Hilang Kan Berganti   Nggak Biasa

    Sebut saja penyiksa orang lain, itu adalah deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Abi pagi kali ini yang kenyataannya nggak bisa disebut lazim. Ia, dengan teganya menyeretku pulang dari rumah kakakknya ketika pukul setengah lima pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang yang artinya masih dingin-dinginnya.Ya kalau di rumah masih bisa nahan dingin, tapi kalau di jalan pasti terasa sangat dingin dan aku nggak terbiasa begini, sedangkan Abi membawa motor bukan mobil. Maka dari itu aku hanya diam sepanjang perjalanan, mencoba biasa-biasa saja.Jika tidak mau menyiksa, Abi bisa membawaku pulang ketika matahari sudah kelihatan sedikit, mungkin pukul setengah enam.“Ngapain diam? Masih marah karena pelukan tadi malam, Gen?”Tanpa sadar aku berdecak, lalu merapatkan kedua tangan yang terlipat di area dada. Abi masih saja mengingat kejadian tadi malam yang membuatku merasa malu, karena kakaknya Abi selalu menggoda kami den

  • Yang Hilang Kan Berganti   Ada Maunya

    Jangan lupa, wa Mas kalau sudah dibuka ya!!!Mas akan sangat suka juga, kalau hadiahnya dipakai.Itu adalah secarik kertas kecil yang ada di dalam kardus pemberian darinya. Aku yang usai membacanya hanya mengembuskan napas, lalu mengambil sebuah jam tangan yang ada di dalam kotak.Ketika membaca merk-nya, aku mengernyitkan kening dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Merk jam tangan ini agak asing bagiku sendiri, mungkin karena selera aku dan Samasta sangat berbeda. Saat teringat, aku membulatkan bibir. Ini adalah merk jam tangan yang iklannya pernah aku lihat di Ig. Bisa dibilang jam outdoor, karena setahuku merk-nya lebih condong untuk produksi kebutuhan outdoor, semacam alat pendakian.Ah, ini pasti mahal. Tapi apa pedulinya aku bahwa ini mahal atau tidak. Namun wajar juga kalau Samasta memberiku barang mahal, karena papa adalah orang kaya. Setahuku juga Samasta sudah bekerja, tapi aku tak tahu ia bekerja apa.

  • Yang Hilang Kan Berganti   Aku, Samasta dan sebuah Kecupan

    Genna : Apa sih inti pembicaraan lo tentang hubungan gue?Genna : Yang bahkan nggak cukup satu hari lo bahas, Bi.Abi menjadi orang yang membuatku tidak bisa tidur kembali malam ini hanya karena ucapannya tadi malam saat mengantarkanku pulang dari rumah papa. Bodoh amat bisa digunakan jalan untuk menyikapi ucapannya, tapi untuk malam ini aku benar-benar nggak bisa bodoh amat, ketika tak sengaja terbangun pukul tiga pagi lalu mendadak kepikiran ucapannya tersebut.Aku yang benar-benar bodoh karena mau-mau saja memikirkan, atau ucapannya memang membuat siapapun itu kepikiran hingga membuat berpikir sewaktu-waktu. Jadi kapok ngobrol serius dengan Abi.Sekarang aku memilih ke dapur untuk memasak mie instan, membuat segelas kopi lalu menikmatinya pada dini hari begini. Mungkin ini adalah faktor makan malam yang sedikit di rumah papa, serta terbangun mendadak tapi tak bisa tidur kembali. Apalagi aku sedang kepikiran sesuatu tentang papa dan

DMCA.com Protection Status