Usahaku datang ke rumah Mas Irza tidak membuahkan hasil, yang ada malah aku rugi sendiri karena sudah datang jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk buang waktu dan energi. Alasan tidak membuahkan hasil, Mas Irza masih marah denganku, masih mendiamkanku, bahkan kita seperti orang asing. Sekarang, aku bisa apa kalau sudah begini?
Bahkan, saat kemarin sore, Mas Irza membiarkanku ketiduran hingga pukul enam sore nyaris setengah tujuh, lebih tepatnya selesai adzan magrib. Ketika aku bangun, aku lihat Mas Irza tengah memainkan ponsel. Yang ingin membuatku marah, ia selesai beribadah tapi tak membangunkanku. Tapi ya, aku mau marah gimana?
Akhirnya, selesai numpang beribadah di rumahnya, aku memilih pulang tanpa melanjutkan obrolan kembali, karena Mas Irza malah sibuk kembali dengan laptopnya.
Dan hari ini? Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Mulai Minggu, Senin, lalu Selasa. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi belum ada respon sama sekali. Ya sudahlah, aku tak mau menggubrisnya lagi, kecuali ia menghubungiku terlebih dahulu. Lagipula, dia tidak menghubungiku bisa jadi karena sedang sibuk.
"Lo kenapa sih?" sentak Sabiya membuatku sedikit kaget, hingga aku hampir dari dari kursi. "Putus sama cogan lo?"
"Enggak lah!" jawabku sedikit kesal karena hampir terjatuh. "Ngapain sih lo? Jangan ganggu lah!"
"Dari tadi lo ngelamun. Gue takut, lo kelamaan ngelamun jadi nggak waras."
Sabiya memang aneh. Jelas-jelas aku sedang membaca novel yang ia bawakan ke rumah, tapi dia mengira aku melamun. Aku rasa, Biya harus dipertanyakan tentang kondisi matanya yang mungkin sedang nggak sehat. "Gue baca buku kok," balasku tak terima.
"Dari sejak gue serahin buku itu ke lo, gue udah tau kalau lo sedang baca buku. Tapi ya, Gen, masak lo baca buku nggak pindah-pindah halaman? Padahal itu fiksi doang, bukan buku non fiksi yang butuh waktu lama untuk memahami."
"Nggak kok, udah pindah nih."
"Astaga," kata Biya terdengar frustasi seraya mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. "Sumpah, lo aneh banget. Dari tadi lo belum selesai baca bab 1, padahal kalau lo baca novel kayak marathon lari. Lo ada masalah kan?"
Reflek, aku melihat halaman novel yang tengah aku baca. Dan benar saja, masih di halaman 4 yang tandanya belum pindah ke bab berikutnya. Sekarang, aku sadar jika kefokusan membacaku kali ini menurun. Nyatanya, berulang kali aku membaca paragraf agar paham maknanya, namun otakku tidak benar-benar memahami kalimat novel, melainkan memikirkan sosok lain, yakni Mas Irza.
Benar-benar, Mas Irza membuatku kepikiran akhir-akhir ini. Semua pikiran dari mulai positif thinking hingga nethink bergiliran datang, dan itu semua menganggu aktivitas karena mengurangi daya fokus.
"Sok tahu. Gue lagi malas aja baca, jadi ini biar gue simpan ya. Kalau selesai, gue bakal balikin." Biya menatapku dengan bibir sedikit terbuka, lalu mengedipkan mata berkali-kali, seolah-olah tak paham dengan kelakuanku kali ini. "Gue ke kamar dulu."
"Gila lo! Woy, tunggu!" Biya berteriak seakan-akan kami di rumah berdua saja, padahal ada Mama. Mungkin dia tidak merasa canggung ketika berteriak di rumah sepupunya sendiri.
"Gue istirahat. Lo tidur di kamar tamu aja ya!" kataku berbalik ke ruang tengah dan berdiri di depannya untuk memberi informasi padanya. Aku tak mau jika sudah terlelap tidur nanti, ia menggedor pintu dan merusak tidurku. Juga malam ini, aku ingin sendiri tanpa diganggu siapapun, termasuk Biya yang sok tahu dan sok memberi nasihat walaupun dia sepupuku sendiri.
"Lo parah banget, Gen. Gue kasih tau Tante, tahu rasa lo!" katanya mengancam, tapi aku tak perduli dengan hal itu.
"Sorry lah!"
"Gitu banget sama sepupu sendiri," ucapnya lagi tapi tak aku hiraukan.
Baru saja aku akan memutar knop pintu lalu mendorongnya, panggilan W******p menggagalkan aksiku. Langsung saja, aku menerima panggilan setelah membaca nama yang tertera di layar ponsel.
"Iya? Ada apa?" balasku setelah Abimanyu mengucap kata "Permisi". Sambil menunggu ia mengutarakan maksudnya menelpon diriku, aku berjalan ke depan rumah untuk mencari suasana baru, juga mencari ketenangan. Setelah teleponku dengan Abi berakhir, aku akan bergalau-galau di dalam kamar.
"Aku ke rumah kamu boleh?" Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Selama Abi berteman baik denganku sejak SMP hingga lulus SMA, ia tak pernah bertanya seperti ini ketika akan berkunjung ke rumah. Tapi, ia hanya akan bilang akan main ke rumah melalui percakapan langsung maupun di aplikasi W******p. Ya intinya dia konfirmasi dahulu. Tapi kenapa untuk sekarang ini harus ijin?
"Gue nggak punya rumah," kataku yang pasti akan terdengar ketus di telinga Abi. "Maksudnya belum," koreksiku lagi karena salah ucapan.
Aku mendengar ketawanya Abi yang sejak dulu tak pernah berubah dari seberang sana. Mungkin ini terdengar lucu baginya, padahal aku sedang tidak bercanda, yang ada malah sedang memikirkan sosok Mas Irza dengan galau.
"Ya udah, aku ke rumah Mama kamu, boleh kan, Genna?" tanyanya masih dengan tertawa tipis.
"Terserah lah!" balasku tak santai.
"Eh, kamu kenapa, Gen?"
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan-lahan, setelahnya duduk di kursi yang tersedia di kuris teras. "Nggak. Gue cuman---"
Ucapanku belum berakhir, tapi sengaja aku potong dengan cara mematikan panggilan secara sepihak. Biarlah Abi menganggapku tidak sopan, aku tak masalah. Yang pasti, aku ada alasan mendasar mengenai sambungan telepon yang terputus secara sepihak. Alasannya, aku malas untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, aku juga malas mencari kalimat kilahan untuk saat ini. Jadi pada intinya, aku malas berbicara.
Abimanyu : Kamu nggak kenapa-kenapa kan?
Muncul satu pesan singkat via aplikasi W******p dari Abimanyu, tapi aku biarkan saja, tanpa perlu repot-repot membaca apalagi membalas. Sekarang, aku lebih memilih melihat melamun sebentar seraya melihat tanaman yang dirawat Mama.
Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku menatap tanaman berbeda-beda di satu tempat yang sama. Dan selama sepuluh menit itu, aku bertanya-tanya mengenai semuanya. Dari mulai hidup, resiko hidup dari bayi hingga tua, resiko menjadi manusia berumur dewasa. Namun pada akhirnya, pertanyaanku itu tidak mendapatkan pertanyaan.
Tak mau berlama-lama di luar dan takut kesurupan, aku memilih masuk rumah untuk tidur. Tapi mendadak, Abimanyu menggagalkan rencanaku kedua kalinya pada malam ini.
"Hai Genna!" sapanya lalu duduk di seberang ku yang terhalang oleh meja.
"Ngapain lo ke sini?" tanyaku lalu terpaksa duduk kembali karenanya.
"Aku bawain ini, untuk kamu. Dan aku mau tanya soal kemarin," paparnya, dan aku hanya mengangguk sambil menatapnya, menunggu penjelasan berikutnya. "Masih suka sama martabak telur kan?" Aku mengangguk lagi.
"Kamu bikin aku gugup di jalan tadi. Aku kira, kamu kenapa-kenapa, karena langsung tutup panggilan, W******p ku juga nggak dibaca. Ternyata, kamu baik-baik saja. Gugupku langsung hilang ngelihat kamu baik-baik saja," katanya membuatku jengah dan ingin mengusirnya pergi.
Yang aku harapkan, ia membicarakan soal kemarin yang pastinya hari Minggu lalu. Tapi ia malah membicarakan tentang panggilan beberapa menit yang lalu. Tapi sabar, karena aku nggak mungkin mengusir Abi yang tidak salah.
"Soal kemarin," kataku menggantung seraya membuka kardus berisi martabak pemberiannya. "Apa yang mau lo bicarain?"
"Masalah kemarin, waktu pacar kamu marah sama kamu, karena kita makan bareng. Jadi gimana? Masih marahan? Mungkin aku bisa bantu klarifikasi ke pacar kamu biar dia nggak salah paham lagi."
Aku tertawa-tawa di dalam hati, tapi mulutku tak merespon apapun karena sibuk makan. Niat Abi memang baik, bahkan ia rela datang dan bilang malam-malam begini hanya untuk masalah itu. Padahal di telepon juga bisa. Aku juga menilai, bahwa ia merasa bersalah dengan caranya sendiri. Tapi, mana mungkin aku koar-koar tentang masalah ini yang bisa aku atasi sendiri?
"Nggak ada masalah, lo nggak perlu segitunya." Sekarang, aku berbohong, dan menambah jumlah dosa yang sudah aku perbuat sebelumnya. "Makasih ya, Bi. Lo repot-repot gini sama gue yang nggak pernah repot sama lo," kataku seraya mengangkat satu potong martabak lalu menggigitnya.
"Kamu jangan bohong!"
Satu kalimat langsung aku ucapkan di dalam hati. "Sok tahu!" "Emang lo punya alat ukur kebohongan?" tantangku untuk mengakhiri percakapan tentang masalah ini.
Abi tersenyum lagi, lalu berkata, "Ya udah. Aku lega denger kamu udah baikan sama pacar. Kamu masih sama kayak dulu ya, Gen. Nggak mau terkalahkan."
"Mungkin."
"Sama kayak dulu juga--"
"Kita nggak lagi ber-nostalgia, Bi," potongku cepat tak ingin ia berbicara mengenai masa lalu.
Sebenarnya asik dan menyenangkan, saat kita bernostalgia tentang sifat dan kejadian masa lalu. Tapi sayangnya, waktunya sedang tidak tepat, juga suasana hatiku yang tidak minat untuk melakukannya sekarang. Tidak hanya itu saja, ini sudah malah, oil sepuluh. Tak baik kalau Abi bertamu malam-malam begini di rumah perempuan dengan waktu yang lama. Jadi, lebih baik aku menghentikan daripada kebablasan.
"Sorry, Gen. Aku cuma reflek aja ngelihat sikap kamu yang nggak banyak berubah."
"Masih ada banyak waktu untuk ngebicarain ini." Lagi-lagi Abi tersenyum, tapi aku biarkan saja hingga kami hening selama beberapa saat. Karena aku mengira Abi akan berbicara, maka aku menatap wajahnya yang ternyata juga sedang menatapku. Satu detik berikutnya, Abi langsung mengalihkan pandangan ke samping. "Kenapa lo?" tanyaku to the point.
"Kabar Tante gimana?"
"Baik, sedang istirahat, lagi nggak bisa lo ganggu!"
"Kamu gimana?" Aku menatapnya tak paham. Siapapun orang waras yang melihatku, pasti akan tahu jika aku baik-baik saja dari segi fisik. Lalu kenapa ia harus bertanya begitu?
"Lo pulang aja deh. Pertanyaan lo nggak ada kualitas banget. Ini juga udah malem," usirku membuat Abi menaikkan alisnya. "Gue mau tidur, daripada ngejawab pertanyaan lo yang jelas-jelas lo udah tahu jawabannya."
Aku memasuki rumah dan membiarkan Abi sendirian di luar. Pikirku, ia akan pulang jika aku benar-benar masuk rumah. Dan benar saja, ketika aku hendak mengunci pintu, Abi melambaikan tangannya lalu berjalan menuju motornya. "Aku balik. Good night, Genna!"
"Ya!"
Sebelum masuk kamar tidur, terlebih dahulu aku mengecek Sabiya di kamar tamu. Ia sudah terlelap tidur tanpa memakai selimut, dengan ponsel yang masih memutar lagu kesayangannya. Setelahnya, berjalan menuju kamar Mama. Beliau juga sudah tidur nyenyak, bernapas teratur, dengan posisi sempurna. Merasa semuanya aman, aku kembali ke kemar.
Sekarang, aku berbaring miring memeluk guling sambil memainkan ponsel setelah mengunci pintu kamar. Masih seperti tadi, aku seperti orang galau. Jika tadi membuka buku tanpa kejelasan, sekarang aku membuka ponsel tanpa tujuan. Hanya scrolling status WhatsAppnya teman-teman yang merupakan anak sultan, dengan mata yang nyaris terpejam.
Tapi, tapi. Tiba-tiba notifikasi W******p mampu membuatku menggigit bibir lalu terduduk sambil kegirangan, saat nama Mas Irza muncil di bar notifikasi. Segera saja, aku menggeser beranda status W******p, ke beranda chat.
Mas Irza : Weekend nanti ke rumah Mas. Kita obrolin lagi.
Pesannya singkat memang, tapi mampu membuatku tersenyum tanpa sadar. Yang bikin aku senyum, Mas Irza sedikit mengurangi rasa marahnya padaku, lalu dia mengorbankan gengsinya untuk menghubungiku lebih dulu.
Genna : Kelamaan nunggu hari Sabtu atau Minggu. Ketemuan ajalah...
Sudah lima menit yang lalu aku membalas pesannya, dan sekarang belum mendapatkan respon. Padahal, aku fast respon padanya. Memang sesibuk itu, atau mungkin sok sibuk, padahal kami jarang chatting. Jika situasi seperti ini, aku sudah terbiasa dan selalu menebak ia sedang fokus kepada laptop, atau sedang mengerjakan aktifitas lain.
Mas Irza : Mas sibuk. Kamu mau ke kampus Mas?
Genna : Enggak lah. Makin jauh dari rumah Mas, aku juga kerja. Oke-oke, aku ke sana hari Minggu.
Mas Irza : Jangan begadang, hanya untuk nonton film atau baca novel.
Genna : Iya-iya. Masih pukul 11 kok, santai.
Genna : Mas masih marah sama aku karena apa sih?Aku tahu, obrolanku di room chat bersama Mas Irza sangatlah melenceng. Tapi kalau ada kesempatan yang jarang muncul, aku harus memanfaatkan hal tersebut.
Mas Irza : Tidur, jangan begadang terus.
Genna : Mas selalu gitu.
Minggu pagi, sosok Mas Irza sudah mengetuk pintu kamarku tanpa konfirmasi via WhatsApp terlebih dahulu. Awalnya aku kaget, tapi akhirnya tersenyum karena orang yang dikangenin bisa muncul di depan mata."Kebiasaan, makan siang baru bangun," katanya sambil menyibak tirai, lalu membuka jendela kamar. Aku yang dibully begitu, hanya menyengir tanpa tahu malu, padahal penampilan sangatlah alakadarnya. Celana training, kaos oblong, rambut masih urak-urakan, dan wajah nggak ada cantik-cantiknya sama sekali."Enggak tiap hari," balasku santai, seraya merapikan rambut.Lagipula, perkataan Mas Irza itu hoax belaka. ketika weekend, aku nggak selalu tidur sampai siang, jikapun tidur sampai siang nggak akan molor sampai waktu makan siang. Paling mentok hanya sampai pukul delapan. Kalau sedang rajin ya, pukul lima sudah bangun seperti hari biasanya."Tapi tiap weekend," bantahnya tak mau kalah denganku. Mas Irza geleng-geleng kepala sambil melihatku yang tak kunjung be
Ternyata, doa yang selama ini aku panjatkan tiap kali melakukan kewajiban kepada Tuhan, tidak terkabulkan oleh-Nya. Tapi, aku tak boleh terlalu sedih, karena aku harus mengingat perkataan orang yang pernah bilang padaku, "Kamu boleh berdoa, kamu boleh berusaha, tapi ada Tuhan yang menentukan takdir kamu, dan takdir untuk kamu pasti baik, walaupun di mata kamu nggak baik."Jadi, mungkin ini memang takdir Tuhan untukku yang tersimpan seribu kebaikan, walaupun aku sedih melihat dan menjalani takdir ini. Dan kesedihan yang aku alami adalah, Papa memberiku undangan pernikahannya Minggu depan, ia datang bersama calon istrinya. Secara tidak langsung, Papa juga mengenalkan ibu baru untukku. Ya sekalipun, aku masih ikut sama Mama sampai kapan pun."Papa minta, kamu datang di hari bahagianya Papa ya, Gen. Nggak mungkin kan, Papa bahagia tapi kamu nggak datang? Biar Papa dan kamu bahagia bersama juga."Aku tersenyum kecil, tapi dalam hati misuh-misuh. Papa bila
Aku menarik napas pelan dan dalam-dalam, lalu menghembuskannya samar-samar, berharap air mata yang luruh tak semakin banyak. Tiba-tiba, Abi menyodorkan sebuah mug padaku. "Biar kamu agak tenang," kata Abi.Aku menggelengkan kepala, Abi hanya mengangguk dan menaruhnya di atas meja. Mendadak, Abi duduk tepat di depanku, menatapku lekat-lekat dengan pandangan matanya yang teduh. "Maaf, gue malah nangis gini," ucapku pelan dan terdengar serak.Abimanyu mengangguk pelan, seolah-olah ia memberiku ruang banyak untuk tetap menangis di sini. "Kok lo biasa aja sih, lihat gue nangis gini." Aku mencoba terkekeh menertawakan diriku sendiri yang tak tahu malu begini. Karena gemash bercampur kesal, aku mengambil tangan Abi, mengangkatnya dan menarik kemejanya yang di gulung sampai siku. "Nggak ada tissue," ujarku seraya mengelap sudut mata dengan lengan kemajanya tadi."Nggak papa." Abi membiarkanku melakukan aktifitas sesuka hati. Tentu saja, aku melanjutkan aksi
Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan? Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya. Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa. "Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu. "Pagi, Gen. Aku udah di per
Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir
Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg
Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser
"Ini kebetulan. Saya main di rumah, Genna mau pergi ke kamar mandi, Tante.""Main doang kan? Jangan lebih dari main lho!""Tante bisa percaya dengan saya!"Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan dengan suara yang familiar di telinga. Segera saja aku membuka mata perlahan-lahan yang rasanya masih sedikit berat, karena masih setengah tertidur. Dugaanku ternyata benar, Abi adalah pelakunya. Ia tengah berbincang dengan ponselku yang menempel di telinganya.Tunggu! .... Ponselku. Berarti, Abi menelpon siapa?Pelan-pelan, aku bangun lalu beralih menjadi duduk dan menyenderkan punggung pada senderan sofa. Ketika Abi menoleh, aku menaikkan alis sebelah sebagai kode tanda tanya 'siapa?'"Tante bisa percaya saya, teman baik Genna yang sampai sekarang masih berteman baik."Kutebak, Abi sedang berbicara dengan mama, kentara ia yang menyebut kata tante. Malas menyerobot ponsel untuk berbicara dengan mama s
Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s
Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa
Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya
Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah
"Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen
Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga
Sebut saja penyiksa orang lain, itu adalah deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Abi pagi kali ini yang kenyataannya nggak bisa disebut lazim. Ia, dengan teganya menyeretku pulang dari rumah kakakknya ketika pukul setengah lima pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang yang artinya masih dingin-dinginnya.Ya kalau di rumah masih bisa nahan dingin, tapi kalau di jalan pasti terasa sangat dingin dan aku nggak terbiasa begini, sedangkan Abi membawa motor bukan mobil. Maka dari itu aku hanya diam sepanjang perjalanan, mencoba biasa-biasa saja.Jika tidak mau menyiksa, Abi bisa membawaku pulang ketika matahari sudah kelihatan sedikit, mungkin pukul setengah enam.“Ngapain diam? Masih marah karena pelukan tadi malam, Gen?”Tanpa sadar aku berdecak, lalu merapatkan kedua tangan yang terlipat di area dada. Abi masih saja mengingat kejadian tadi malam yang membuatku merasa malu, karena kakaknya Abi selalu menggoda kami den
Jangan lupa, wa Mas kalau sudah dibuka ya!!!Mas akan sangat suka juga, kalau hadiahnya dipakai.Itu adalah secarik kertas kecil yang ada di dalam kardus pemberian darinya. Aku yang usai membacanya hanya mengembuskan napas, lalu mengambil sebuah jam tangan yang ada di dalam kotak.Ketika membaca merk-nya, aku mengernyitkan kening dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Merk jam tangan ini agak asing bagiku sendiri, mungkin karena selera aku dan Samasta sangat berbeda. Saat teringat, aku membulatkan bibir. Ini adalah merk jam tangan yang iklannya pernah aku lihat di Ig. Bisa dibilang jam outdoor, karena setahuku merk-nya lebih condong untuk produksi kebutuhan outdoor, semacam alat pendakian.Ah, ini pasti mahal. Tapi apa pedulinya aku bahwa ini mahal atau tidak. Namun wajar juga kalau Samasta memberiku barang mahal, karena papa adalah orang kaya. Setahuku juga Samasta sudah bekerja, tapi aku tak tahu ia bekerja apa.
Genna : Apa sih inti pembicaraan lo tentang hubungan gue?Genna : Yang bahkan nggak cukup satu hari lo bahas, Bi.Abi menjadi orang yang membuatku tidak bisa tidur kembali malam ini hanya karena ucapannya tadi malam saat mengantarkanku pulang dari rumah papa. Bodoh amat bisa digunakan jalan untuk menyikapi ucapannya, tapi untuk malam ini aku benar-benar nggak bisa bodoh amat, ketika tak sengaja terbangun pukul tiga pagi lalu mendadak kepikiran ucapannya tersebut.Aku yang benar-benar bodoh karena mau-mau saja memikirkan, atau ucapannya memang membuat siapapun itu kepikiran hingga membuat berpikir sewaktu-waktu. Jadi kapok ngobrol serius dengan Abi.Sekarang aku memilih ke dapur untuk memasak mie instan, membuat segelas kopi lalu menikmatinya pada dini hari begini. Mungkin ini adalah faktor makan malam yang sedikit di rumah papa, serta terbangun mendadak tapi tak bisa tidur kembali. Apalagi aku sedang kepikiran sesuatu tentang papa dan