Mas Irza : Bagaimana pertemuan kamu dengan papa? Cerita ke Mas lewat telepon, atau ketemuan?
Membacanya saja, aku sudah tersenyum lebar, apalagi saat mendengarnya langsung, mungkin aku bereaksi lebih dari sekedar tersenyum. Segera saja, aku mengetikkan balasan. Tapi, melihat jam di sudut atas ponsel membuatku urung melakukannya.
Dengan tergesa, aku mengambil tas ransel yang sudah kumasuki laptop, buku dan berkas lain-lainnya. Lalu, asal mengambil kaos kaki yang ada di laci almari, memakainya lalu menarik sepatu yang ada di rak. Untungnya, motor sudah lebih dulu ku keluarkan dari bagasi rumah, tinggal menggunakannya. Tapi, usai menggunakan helm dengan baik dan benar, getaran ponsel di dalam saku membuatku berdecak karena telah menganggu aktivitasku pagi ini yang amat sangat tergesa.
"Pagi. Hallo?" kataku sopan setelah menerima panggilan ponsel tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel terlebih dahulu.
"Pagi, Gen. Aku udah di perjalanan, mau berangkat kerja. Kita berangkat bareng gimana?"
Abimanyu. Suara Abimanyu membuatku langsung mengucap sumpah serapah di dalam hati, ingin juga memarahinya mengapa harus menelpon tanpa kepentingan yang mendesak, tapi urung lantaran dia orang baik. Maka, aku hanya bisa menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dalam satu detik. "Makasih Abi, tapi nggak sekarang. Udah terlambat, pergi."
"Oke. Kapan-kapan kalau begitu, kita pergi bareng, dan kamu jangan ingkar janji."
"Gak jelas!" Telepon kututup secara sepihak, dan aku tebak pasti Abi menghela napas karena kelakuanku ini. Tapi, apa peduliku padanya?
***
Harapan pulang tepat waktu hanyalah harapan sia-sia, apalagi angan-angan bisa memakan makanan buatan mama sore kali ini, semuanya benar-benar nggak ada artinya saat anak OSIS meminta bantuan padaku, agar mau mendampingi sekaligus memberi masukan rapat untuk event sekolah saat hari olahraga nasional nanti.
Seharusnya mereka tak perlu meminta bantuan kepada guru, karena ketua OSIS bisa rapat dengan anggotanya tentang konsep dan juga kegiatan apa yang akan diketik dalam proposal untuk diusulkan kepada kepala sekolah. Pasalnya mereka sudah besar, pengalaman berorganisasi tentu ada saat SMP, dan kontrol emosi pasti lebih oke. Tapi, aku tak bisa bilang begitu hanya karena melihat wajah ketua OSIS yang meminta padaku baik-baik untuk menemani rapat, dengan alasan butuh bimbingan guru dan sumbangan ide.
Pengelakan sudah aku coba, dengan alasan kenapa nggak meminta bantuan kepada Waka kesiswaan yang sering dimintai bantuan oleh anak organisasi, namun waka kesiswaan malah bilang agar anak OSIS meminta bantuan padaku. Ya sudah, aku nggak ada kuasa untuk menolak apapun. Sebab masih sadar diri karena aku masih guru junior di sini, masih kalah jauh dengan para guru junior.
"Boleh, teman-teman kamu sudah kumpul kan?" Anggara-ketua OSIS--mengangguk.
"Rapat sudah di pimpin oleh ketua panitia, Ibu boleh masuk sekarang." Bahkan, aku nggak ada waktu untuk sekedar mencari minum di kantin, atau sekedar cek ponsel yang sedari tadi pagi masih tergeletak di dalam totebag.
"Bubar kelas langsung rapat?" tanyaku sedikit kaget seraya berjalan.
"Enggak kok, Bu. Kami ada jeda waktu 20 menit untuk sholat ashar dan istirahat."
Oh, ternyata aku melupakan fakta bahwa bubar kelas tadi ada seorang siswa yang meminta konsultasi padaku mengenai materi mata pelajaran matematika, lalu usai siswa tadi pamit pergi, ketua OSIS giliran menemuiku dan langsung di ajak pergi. Hari ini, bisa dibilang hari paling hectic dan sedikit waktu untuk periode bulan ini. Nyatanya, benar-benar menyita waktuku yang sayangnya nggak sedikit.
"Di mana rapatnya?"
"Ruang OSIS."
Sampai di ruangan, aku ingin terduduk lesu selonjoran di atas lantai saja, dengan punggung menyender pada tembok. Tubuhku sudah butuh istirahat, pikiranku juga sudah terkuras seharian untuk mengajar. Namun, apa aku boleh seperti itu di depan siswa padahal tubuh masih strong(yang terpaksa strong)?
"Anggara! Kalau bisa, konsep kamu harus di perbagus daripada angkatan kemarin," nasihatku pada ketua OSIS setengah berbisik. "biar ada perbedaan. Saya yakin, pasti ada ide banyak, tapi pada nggak mau bersuara aja."
Benar kan? Dulu aku pernah ada di posisi mereka, yang malu dan takut untuk mengusulkan sesuatu, hanya karena malas melihat nyinyiran kakak kelas karena dianggap terlalu cari muka, dan nggak mau terlihat menonjol karena itu berdampak pada nyinyiran teman seangkatan.
***
Demi apapun, usai sholat magrib aku baru bisa mengecek ponsel. Pesan dari Mas Irza semalam juga baru bisa ku bisa balas sekarang. Tapi, belum sempat terbalas, ia sudah mengirimkan pesan lagi. Dan pesannya, membuatku tersenyum merasa diterbangkan hanya karena ia yang khawatir.
Mas Irza : Udah sore, kenapa belum di balas? Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Gen? Nggak biasanya kamu seperti ini.
Mas Irza : Kalau udah ada waktu, balas dulu pesan Mas.
Tak hanya itu saja, panggilan telepon seluler tak terjawab dari Mas Irza juga ter-notifikasi di bar status. Ternyata, Mas Irza juga bisa menunjukkan sisi khawatirnya saat aku tak ada waktu untuk pegang ponsel.
Mas Irza : Kalau nggak ada waktu, bilang aja sibuk, Gen. Kamu nggak seharusnya bikin khawatir orang yang sibuk kayak, Mas.
Mas Irza : Mas harus telepon mama, buat nanya keadaan kamu.
Baru akan mengetik, pintu kamar yang terbuka membuat kepalaku menoleh secara reflek. Yang aku lihat, adalah wajah Mama menyembul di antara pintu dan dinding, setelahnya mendekat ke arahku. "Kamu lagi marahan sama Irza?"
"Bentar, Ma." Aku segera mengetikkan pesan singkat untuk membalas chat Mas Irza, bilang bahwa aku baik-baik saja lalu nggak ada waktu untuk kali ini. Setelahnya, perhatianku tertuju pada Mama. "Mas Irza beneran nanyain ternyata," gumamku dan tersenyum tipis.
"Mama kaget, dia nanya kamu. Ternyata cuman nanya kabar. Masalah apalagi, Gen? Kamu nggak lagi anak SMA, yang kalau jalin hubungan mesti marahan terus."
Tertawa, mendengar dugaan mama yang gitu amat, jauh dari kenyataan. Tapi okelah, namanya juga orang tua, ingin memantau anaknya untuk nggak melakukan hal yang aneh-aneh dan ingin bersikap dewasa.
"Enggak. Itu cuman pesan Mas Irza dari tadi malam baru aku balas sekarang, padahal udah aku baca tadi pagi."
"Kirain kamu ngambek." Lagi, Mama mengeluarkan dugaannya.
"Ngambeknya besok," candaku.
"Kamu udah dewasa, nggak cocok sama muka kalau ngambek, apalagi sedih."
Sejujurnya, ucapan mama kali ini terdengar membosankan di telinga, karena ucapan itu diulang-ulang selalu sejak aku masih SMA, tepatnya usai perceraian mama dan papa. Bilangnya, aku nggak boleh nangis, nggak boleh sedih, nggak boleh nelangsa karena udah dewasa. Padahal saat dulu, umurku masih remaja, belum dewasa.
Ya, alasan Mama biar aku kuat dan nggak cengeng menghadapi kehidupanku yang kebanyakan beda dengan circle pertemananku, agar aku selalu termotivasi untuk bersikap tegar dan menganggap kehidupan ini selalu baik-baik saja. Padahal, nggak ada salahnya untuk bersikap sedih, cengeng, dan sesekali ngambek karena perlakuan seseorang.
Mungkin karena itu, aku jarang membagi kesedihan dengan Mama. Bisa dibilang, lebih banyak berbagi cerita menyenangkan, seperti tentang hari ini aku bertemu dengan orang baru, menolong orang dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apa aku berhak marah dan ngambek karena hal ini? Apa aku boleh mendiamkan Mas Irza hanya karena sikapnya kali ini? Jika di sudut pandang mama aku nggak berhak marah apalagi ngambek, tapi dalam sudut pandangku berbeda, marah bukan hal tabu untuk menyikapi sikap Mas Irza yang benar-benar menyebalkan malam ini.Tapi, kemarahanku nggak ada artinya karena nggak akan mengembalikan keadaan membaik, apalagi sesuai dengan harapanku. Namun, tetap saja aku kesal dan menggerutu karena sikap Mas Irza yang begini. Tak bisakah ia menepati janjinya sebagai seorang pria dewasa?Mas Irza : Nggak papa kan berangkat sendiri? Mas ada acara mendadak, mama maksa banget.Pesannya semakin membuatku jengkel. Dengan mudahnya ia bilang begitu, padahal aku butuh dia untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan papa malam ini, alasannya agar aku nggak merasa menjadi orang asing di pesta nanti. Tapi nyatanya? Zonk.Ini memang bukan sepenuhnya salah Mas Ir
Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?""Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?""Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?""Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget.""Kecelakaan kenapa?"Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg
Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser
"Ini kebetulan. Saya main di rumah, Genna mau pergi ke kamar mandi, Tante.""Main doang kan? Jangan lebih dari main lho!""Tante bisa percaya dengan saya!"Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan dengan suara yang familiar di telinga. Segera saja aku membuka mata perlahan-lahan yang rasanya masih sedikit berat, karena masih setengah tertidur. Dugaanku ternyata benar, Abi adalah pelakunya. Ia tengah berbincang dengan ponselku yang menempel di telinganya.Tunggu! .... Ponselku. Berarti, Abi menelpon siapa?Pelan-pelan, aku bangun lalu beralih menjadi duduk dan menyenderkan punggung pada senderan sofa. Ketika Abi menoleh, aku menaikkan alis sebelah sebagai kode tanda tanya 'siapa?'"Tante bisa percaya saya, teman baik Genna yang sampai sekarang masih berteman baik."Kutebak, Abi sedang berbicara dengan mama, kentara ia yang menyebut kata tante. Malas menyerobot ponsel untuk berbicara dengan mama s
Mungkin Abi salah pergaulan selama tidak dekat denganku bertahun-tahun, sehingga membuatnya bersikap tidak sopan seperti orang tanpa pendidikan. Begini ceritanya, sia-sia lah ia keluar banyak uang dan tenaga guna menempuh pendidikan magisternya.Ya, aku tahu dan boleh memahami bahwa ia tengah bercanda. Tapi yang namanya bercanda juga mikir situasi dan kondisi juga kan? Dan menurutku, candaan Abi barusan adalah sebuah kesalahan karena timing yang tidak pas.Seperti barusan, wajahnya yang dadakan muncul di layar vidio call, mengundang kemarahan tersendiri untuk Mas Irza. Setelah Abi pergi ke depan, Mas Irza hanya bilang 'itu pria kemarin kan?' mendoakan cepat sembuh, dan besuk sore baru bisa menjengukku karena malam ini ia harus menghadiri sebuah acara perkumpulan teman lama. Begitu saja, sudah. Tanpa bertanya-tanya kronologi kejadian, atau meminta maaf karena tidak bisa menjenguk sekarang.Jelas, Mas Irza marah, kentara dari ucapannya yang amat sangat
Love Is Sweet, menjadi pilihan drama yang kami tonton kali ini di ruang tengah. Sebelum mengetikkan keyword di kolom pencarian, aku ngotot milih serial drama yang tokoh utamanya adalah dokter. Tapi Abi, dengan segala kesadisannya menekan salah satu drama yang ada di beranda asal-asalan, dengan dalih, 'Yang penting ada manis-manisnya.'Aku melengos. Namanya juga drama genre romansa, mustahil amat kalau nggak ada adegan manis-manisnya."Tonton aja. Kalau udah end, kamu tinggal pilih sesuka hati," katanya seraya menenteng totebag khas supermarket dari dalam kamarku.Aku meliriknya malas. Nunggu serial drama ini end pasti keburu magrib. Ya, sama aja bohong. "Sini-sini, udah mulai," kataku malas seraya menepuk-nepuk karpet empuk di sampingku.Dari pagi, Abi sudah di sini hingga siang tadi pukul dua belas, pulang ke rumahnya setelah usai makan siang. Tapi pukul dua siang, ia mengganggu tidurku, datang membawa totebag dari supermarket yang aku
"Kenapa?""Karena nggak ada mama di rumah, Mas. Mas nggak boleh nginap. Entar dikira orang kita ngelakuin hal yang enggak-enggak."Kedatangan mas pacar ternyata menjadi bencana tersendiri bagiku, ya walaupun sebelumnya aku teramat sangat senang akan kehadirannya. Hal menjadi bencana adalah banyak.Pertama, mengapa Mas Irza harus datang ketika Abi sedang di rumah, parahnya lagi tengah mengikat rambutku. Tentu ini menjadi point buruk di mata Mas Irza, sekalipun ia nggak bilang bahwa ia marah, tapi perlakuannya yang benar-benar cuek adalah tanda kemarahannya.Kedua, kami bertiga harus berbicara sungkan-sungkan, formal banget. Kalau di antara mereka berdua tidak ada di sini, aku bisa berbicara dengan lancar. Sungkannya, lebih dari sekedar rapat para guru ketika membahas sesuatu. Seperti saat tadi sore, kami bertiga menyantap nugget dan sosis goreng di meja makan dengan obrolan kaku.Ketiga, Mas Irza jadi sosok yang menyeba
Bangun tidur, cuci muka dan gosok gigi, cek ponsel, nonton televisi, makan, tidur, melamun, berdoa, baca buku, tidur lagi, main ponsel, mendengarkan musik, tidur lagi, mandi lalu makan adalah kegiatan keseharian selama sakit. Semuanya diulang-ulang hingga 24 jam habis. Benar-benar membosankan sekaligus membuang umur secara sia-sia, semakin membosankan lagi ketika waktu berjalan lambat.Jika kemarin-kemarin mendapati hari yang sangat hectic tapi aku mengeluh, maka sekarang aku juga mengeluh karena tidak bisa melakukan apa-apa, mengeluh karena ingin bergerak bebas tapi tidak bisa lantaran ada batasan bergerak. Kasarannya, sekarang aku sedang berpuasa jumpalitan dan lari-lari.Jadi sesal sendiri, dikasih Tuhan kesehatan prima, tenaga oke, dan bisa melakukan apa yang ada di depan mata tapi malah mengeluh. Mungkin saat ini aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk istirahat sejenak dan memahami betapa pentingnya bersyukur karena diberi kesempatan untuk bergerak beb
Entah angin apa yang membuatku tergiur untuk mencari gara-gara dengan Mas Irza. Pukul dua belas malam, ia masih online di aplikasi chatting. Tiba-tiba aku mengirimkan fotoku dan Abi, berdiri di depan pagar dengan latar belakang Bukit Bintang. Kini aku hanya perlu menunggu balasan darinya.Mas Irza : Bahagia banget kamu. Mas Irza : Sama seperti kemarin, selamat liburan.Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak percaya dengan balasan yang ia kirimkan, seakan-akan ingin mengelak bahwa itu bukan balasan darinya."Kenapa?" tanya Abi yang mungkin melihat perubahan wajahku."Nggak kenapa-kenapa," balasku santai."Santai kali, Gen. Bukannya kamu malah bebas menggunakan ruang untuk liburan kali ini ya, Gen?" sahut Abu setelah beberapa saat.Eh? Ternyata Abi melihat room chat Mas Irza membuatnya ia paham akan kegelisahanku barusan."Cemburunya hilang, gue ngerasa ada hilang juga. Sebenarnya gue benci sama pikiran gue yang begini, tapi di s
Abi benar, penyesalan akan datang jika tidak berkunjung ke sini. Pemandangan kota yang digemerlapi lampu-lampu terpampang jelas memanjakan mata, suasana bukit juga benar-benar terasa, dan .... pokoknya benar-benar bahagia bila berkunjung ke sini.Bisa jadi melihat pemandangan lampu gemerlap seperti ini dari gedung tinggi, tapi ya tetap saja beda dari suasana dan rasa, yang pastinya akan mengurangi nilai. Well, nggak menyesal menempuh perjalanan lebih dari 20 menit dari Candi Ratu Boko, mampir minum di pinggir jalan, ibadah di musholla, mandi dan istirahat di SPBU. Semuanya terbayar lunas bahkan lebih."Bagus kan?" Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Abi yang duduk di depanku. "Gen," panggilnya.Seraya tersenyum, aku menaikkan alis sebelah. Bukan karena wajah Abi yang menjadi sumber kebahagiaan, tapi suasana dan pemandangan."Bulan ini aku bertambah umur," katanya membuatku spontan untuk mengingat-ingat bukan kelahirannya, tapi sa
Setelah merasa pegal dan sedikit lelah, kami berdua memutuskan balik ke hotel. Masih sama seperti pergi tadi, kami berjalan kaki. Sedikit dingin memang, tapi ya yang seperti ini nggak selalu dilakukan tiap malam hari. Apalagi dengan tempat yang sama, satu tahun belum tentu bisa ke sini lagi."Night, Bi," pamitku padanya untuk berpindah kamar ke kamarnya Jeana.Malam ini aku dan Abi tidak jadi menginap dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan ketika di jalan tadi aku meminta pisah, selain berjanji untuk jaga jarak dengan Abi ketika bersama Mas Irza kemarin, sedikit nggak sopan untuk kami yang cuman teman tanpa terdesak atau terpaksa. Abi iya-iya saja ketika aku meminta hal tersebut, tapi yang jelas aku bisa melihat wajahnya tak sesegar seperti semula.Dipikir-pikir dari awal, kayaknya aku juga sedikit nggak waras, mau-mau tatkala satu kamar dengannya padahal hanya teman. Tapi gimana lagi kalau penerimaan penawaran Abi kemarin menguntungkan diriku ya
Kukira destinasi liburan gratis oleh papa ke luar pulau, ke pojokan Indonesia, ke pulau-pulau Indonesia yang liburannya bakalan anti mainstream, atau bahkan hidup di kapal dan diving berkali-kali. Itu adalah dugaan yang tidak muluk-muluk, tapi ternyata salah. Jangankan ke luar negeri, ke luar daerah saja tidak. Ternyata di Jogja, saja, untuk ukuran papa yang kaya raya tapi perhitungan dengan anaknya."Nikmati aja, Gen. Masih gratis kan? Nanti juga bakalan seru," kata Abi yang sudah terdengar seperti ejekan.Abi tahu tentang remehanku pada liburan kali ini, karena sejak tiba di hotel aku langsung berkomentar yang tidak-tidak dan blak-blakan, tentu saja hanya dengannya. Aku masih punya sopan walaupun tidak setinggi langit tingkat kesopananku."Apaan? Nyesel gue," kataku serta merta tak bersyukur sama sekali."Mandi sana! Aku udah punya planning selama kita di sini, besuk kita jelajahi bareng-bareng.""Gue tebak, mama kalau tah
"Mas udah dong," pintaku dengan rengekan nggak jelas, tapi uang jelas tidak terdengar manja menurutku sendiri."Five minutes!""Sok! Nggak usah bahasa Inggris!" ketusku yang hanya dibalas kekehan oleh Mas Irza. Lama-lama aku ingin mematikan sambungan telepon kami dan aku lanjut tidur, itu lebih baik daripada aku harus memandangi wajahnya yang sayangnya sibuk memandangi MacBook miliknya. Buang-buang umur."Iya, sedikit lagi," katanya tenang tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.Pukul sembilan ia menghubungiku lewat video call, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Aku kira ia akan menjawab pertanyaanku tadi sore, ternyata hanya untuk menemaninya menghadap laptop dan sesekali kami berbicara. Pukul sepuluh aku mulai bosan membuat lontaran kapan ia selesai selalu keluar dari mulutku."Mas ngapain sih?""Kerja, Gen.""Kerja apa? Sibuk banget ya?""Banget. Kalau kamu sudah jadi istri jangan bosen
Senyumku benar-benar tak bisa kutahan tatkala melihat wajah tampan Mas Irza yang tengah sibuk menatap ponsel, moodku seketika naik setelah hancur karena perjalanan yang terasa panjang ditambah tubuh yang terasa sangat lelah. Akhirnya juga, setelah sekian berminggu-minggu kami tidak bertemu, wajahnya bisa kuraba sekarang jika mau."Hai, Mas!" sapaku lalu duduk di depannya. Ia tersenyum tipis, meletakkan ponselnya di atas meja dan mengalihkan atensinya padaku sepenuhnya. Well, aku suka, sangat suka dengan sikapnya yang satu ini."Hai! Gimana?""Heh? Apanya yang gimana?""Oh, enggak." Aku lihat Mas Irza mendadak salah tingkah, ia tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya yang aku yakini sedang tidak gatal.Aneh. Tapi ya sudahlah, mungkin Mas Irza memang benar-benar salah tingkah karena ucapannya yang salah, oh, tunggu .... atau Mas Irza takut ketahuan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu? Tapi apa? Kurasa itu hanya duga
Sebut saja penyiksa orang lain, itu adalah deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Abi pagi kali ini yang kenyataannya nggak bisa disebut lazim. Ia, dengan teganya menyeretku pulang dari rumah kakakknya ketika pukul setengah lima pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang yang artinya masih dingin-dinginnya.Ya kalau di rumah masih bisa nahan dingin, tapi kalau di jalan pasti terasa sangat dingin dan aku nggak terbiasa begini, sedangkan Abi membawa motor bukan mobil. Maka dari itu aku hanya diam sepanjang perjalanan, mencoba biasa-biasa saja.Jika tidak mau menyiksa, Abi bisa membawaku pulang ketika matahari sudah kelihatan sedikit, mungkin pukul setengah enam.“Ngapain diam? Masih marah karena pelukan tadi malam, Gen?”Tanpa sadar aku berdecak, lalu merapatkan kedua tangan yang terlipat di area dada. Abi masih saja mengingat kejadian tadi malam yang membuatku merasa malu, karena kakaknya Abi selalu menggoda kami den
Jangan lupa, wa Mas kalau sudah dibuka ya!!!Mas akan sangat suka juga, kalau hadiahnya dipakai.Itu adalah secarik kertas kecil yang ada di dalam kardus pemberian darinya. Aku yang usai membacanya hanya mengembuskan napas, lalu mengambil sebuah jam tangan yang ada di dalam kotak.Ketika membaca merk-nya, aku mengernyitkan kening dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Merk jam tangan ini agak asing bagiku sendiri, mungkin karena selera aku dan Samasta sangat berbeda. Saat teringat, aku membulatkan bibir. Ini adalah merk jam tangan yang iklannya pernah aku lihat di Ig. Bisa dibilang jam outdoor, karena setahuku merk-nya lebih condong untuk produksi kebutuhan outdoor, semacam alat pendakian.Ah, ini pasti mahal. Tapi apa pedulinya aku bahwa ini mahal atau tidak. Namun wajar juga kalau Samasta memberiku barang mahal, karena papa adalah orang kaya. Setahuku juga Samasta sudah bekerja, tapi aku tak tahu ia bekerja apa.
Genna : Apa sih inti pembicaraan lo tentang hubungan gue?Genna : Yang bahkan nggak cukup satu hari lo bahas, Bi.Abi menjadi orang yang membuatku tidak bisa tidur kembali malam ini hanya karena ucapannya tadi malam saat mengantarkanku pulang dari rumah papa. Bodoh amat bisa digunakan jalan untuk menyikapi ucapannya, tapi untuk malam ini aku benar-benar nggak bisa bodoh amat, ketika tak sengaja terbangun pukul tiga pagi lalu mendadak kepikiran ucapannya tersebut.Aku yang benar-benar bodoh karena mau-mau saja memikirkan, atau ucapannya memang membuat siapapun itu kepikiran hingga membuat berpikir sewaktu-waktu. Jadi kapok ngobrol serius dengan Abi.Sekarang aku memilih ke dapur untuk memasak mie instan, membuat segelas kopi lalu menikmatinya pada dini hari begini. Mungkin ini adalah faktor makan malam yang sedikit di rumah papa, serta terbangun mendadak tapi tak bisa tidur kembali. Apalagi aku sedang kepikiran sesuatu tentang papa dan