Ada yang menggelitik hati Rea saat sedang menuangkan air panas ke dalam cangkir kopi yang dia buat untuk suaminya sore itu. Ponsel yang ditinggalkan suaminya di meja makan bergetar terus-terusan membuatnya penasaran ingin melihat siapa yang menelpon.
Digesernya tubuh mendekati meja makan usai menutup kotak tempat gula. Dicondongkannya tubuh dan dipicingkannya matanya melirik layar ponsel yang sedang menyala.
Sandra??? Nama itu terpampang jelas di layar ponsel. Apa itu Sandra Mariska sahabatnya? Mendadak rasa penasaran yang menggelayuti Rea tadi berubah menjadi perasaan sedikit curiga. Dia mengelap tangan kanannya ke bagian depan apron bermaksud mengangkat panggilan itu. Tapi belum sempat dia pencet tombol answer, panggilan telepon itu sudah diputus.
Masih ada nama Sandra tertera di layar ponsel. Rea membuka kunci layar dengan hati-hati. Dilihatnya deretan angka yang ada di kontak itu. Itu memang benar nomer telepon Sandra, sahabatnya. Dia bisa sangat jelas mengingatnya karena Sandra memiliki nomer sesuai tanggal lahirnya. Discrollnya layar ke atas dan alangkah terkejutnya dia ketika menemukan banyak sekali nama Sandra di log panggilan ponsel suaminya. Panggilan masuk dan panggilan keluar dengan durasi yang rata-rata lumayan lama.
Dahinya mengernyit mencoba mencari jawaban atas hal yang mengagetkannya itu. Untuk apa panggilan-panggilan itu ada di ponsel suaminya sebanyak itu?
Tidak! Dia tidak boleh berpikiran buruk. Tidak mungkin terjadi sesuatu antara suami dan sahabatnya itu. Sandra adalah sahabat baiknya dari SMA. Meskipun Rea tahu wanita itu sangat centil dan sedikit genit dengan laki-laki, tapi tidak mungkin dia senekat itu menggoda suami sahabatnya sendiri. Lagipula, Sandra juga sedang memiliki hubungan dengan Devon, kekasihnya. Ditambah lagi, persahabatan mereka, bagi Rea sudah seperti saudara. Rea bahkan sudah menganggap Sandra seperti kakaknya sendiri.
"Kenapa, Sayang?" Rea kaget saat tiba-tiba Anggit, suaminya, menyerobot ponsel yang sedang dipegangnya. Laki-laki itu berdiri di samping Rea masih dengan handuk yang melilit di pinggang dan rambut basahnya. Anggit memang baru datang dari kantor beberapa menit yang lalu dan langsung berkata ingin ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Eh .. enggak. Ini ... tadi ada telpon dari Sandra," jelas Rea sedikit terbata.
"Oooh ... itu. Iya Sandra ... dia ... lagi ada urusan di kantorku." Ada nada gugup dari kalimat suaminya. Rea merasakan itu tapi tak mau berprasangka. Mungkin memang benar ada urusan bisnis diantara mereka berdua.
"Ooooh ... ini kopinya." Rea mengulurkan secangkir kopi pada Anggit.
"Taruh aja di meja, Sayang. Aku pakai baju dulu." Anggit masuk ke kamar dengan membawa ponselnya. Rea merasa sedikit heran dengan suaminya. Kenapa ponselnya harus dibawa ke kamar?
☆☆☆
"Sayang," panggil Rea.
"Ya?" Anggit menoleh ke arah istrinya yang baru disadarinya telah duduk di sofa tempatnya berkutat dengan laptop.
"Sandra ... ada urusan apa memangnya di kantormu?" tanya Rea hati-hati. Sungguh sesorean tadi dia merasa sangat penasaran. Dia sering bertemu dan berkomunikasi lewat telepon dengan Sandra akhir-akhir ini, tapi sahabatnya itu tidak pernah bercerita padanya tentang urusan bisnisnya dengan suaminya, begitu juga suaminya. Kenapa?
"Masih bahas masalah Sandra?" Anggit mencoba bersikap senormal mungkin. Bibirnya mengembang menyembunyikan sedikit kecemasan di dalamnya. Dia mulai merasa jika istrinya sedang mencurigainya.
"Maaf yaa, Sayang, bukannya apa-apa, soalnya nggak ada yang cerita ke aku sih. Sandra enggak, kamu juga enggak," protes Rea.
"Bossnya Sandra mau pasang ulang instalasi server di kantornya. Mereka pesen ke kantorku. Udah gitu aja sih." Anggit melirik istrinya sekilas berharap tidak akan ada lagi pertanyaan dari Rea, tapi karena melihat wanita itu malah mengerutkan dahi akhirnya Anggit merasa harus buka suara lagi. "Karena kebetulan Sandra kenal sama aku, ya udah dia langsung menghubungiku, biar lebih gampang komunikasinya."
"Mmm gitu?" Rea nampak mengangguk paham, meskipun dia sebenarnya tak mengerti apa sebenarnya instalasi server yang sedang suaminya bicarakan itu, tapi mungkin lebih baik dia tidak lagi melanjutkan kecurigaannya. Barangkali benar, memang hanya sebatas hubungan bisnis saja. Rea meyakinkan dirinya sendiri.
"Masih ada yang mau ditanyakan?" goda Anggit sambil mencubit mesra pipi istrinya. Rea menggeleng sambil tersenyum malu-malu. Sebenarnya dia gengsi ketahuan kalau dia cemburu pada suaminya itu.
"Eh ya, Sayang, aku lupa ngasih tau. Besok bisa temenin aku kan? Aku udah daftar konsultasi ke dokter Firanda. Bisa pulang agak cepet kan?" Rea mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Dokter kandungan yang di Rumah Sakit Sehati itu?" tanya Anggit.
"Iya, tapi prakteknya sore hari di Apotek Fit Medica," jelas Rea.
"Jam berapa?"
"Setengah 7 malam." Anggit tampak menimbang.
"Iya aku usahain pulang cepet besok kalau gitu." Anggit meraih tangan istrinya lalu mengecupnya lembut. "Kamu tidur duluan aja, Sayang, udah malem. Jaga kesehatan bayi kita," kata Anggit.
Sebenarnya bukan itu maksud lelaki itu. Dia hanya ingin istrinya cepat terlelap. Ada hal yang harus segera dia sampaikan pada seseorang tentang perubahan rencana mereka besok malam.
"Iya deh." Rea bangkit dari duduknya. "Kamu mau lembur lagi?" Dia melirik ke arah laptop suaminya.
"Iya lah biasa. Ini harus udah selesai besok pagi," jawab Anggit dengan nada sedikit kesal.
"Ya udah kalau gitu aku tidur dulu, Sayang." Rea menunduk mencium pipi suaminya. Anggit membalas mencium kening istrinya dengan cepat.
☆☆☆
[Anggit: Baby, kayaknya besok acara kita batal. Ditunda next day aja ya? Nggak papa kan?]
[Sandra: Kenapa emangnya?]
[Anggit: Rea ngajakin periksa kandungan. Sorry ya?]
[Sandra: iiiih nyebelin. Kenapa mendadak sih?]
[Anggit: Nggak tau tuh. Baru bilang juga barusan.]
[Sandra: Okelah, tapi next day jangan sampe enggak ya, ato aku bakal ngambek.]
[Anggit: Iyaaah, My beautiful baby.]
[Sandra: Alaaaa Gombal.]
[Anggit: Serius. Aku udah kangen aja nih.]
[Sandra: Niat amat. Baru juga tadi ketemuan.]
[Anggit: Habis kamu selalu bikin kangen sih.]
[Sandra: Kamu nakal.]
[Anggit: iya ... kamu yang bikin aku nakal. Ok, Baby. See you tomorrow di tempat biasa ya.]
[Sandra: Okay.]
[Anggit: Eh ya .... Lupa mo bilang. Jangan nelpon kalau aku lagi di rumah. Hampir aja tadi Rea tahu.]
[Sandra: Maaf ... aku kira tadi kamu belum sampai rumah, Honey.]
[Anggit: Kalau Rea tanya, bilang aja kita ada urusan kantor.]
[Sandra: Okay.]
[Anggit: See you, Baby. Love you.]
[Sandra: Love you, too. See you.]
Anggit menghapus history chatnya dengan Sandra, lalu mengunci layar ponselnya.
Lelaki itu tersenyum simpul saat mendekatkan ponsel ke bibirnya. Dia benar-benar tidak menyangka bisa se tergila-gila ini pada wanita itu. Sandra benar-benar membuatnya mabuk kepayang. Dia sangat berbeda dengan Rea yang sedikit pemalu. Sandra lebih agresif dan membuatnya selalu bergairah.
Anggit ingat sebulan yang lalu wanita itu tiba-tiba mengiriminya chat saat dirinya sedang berada di kantor. Waktu itu dia pikir Sandra sedang salah berkirim pesan. Tapi belakangan dia sadar bahwa wanita itu memang sengaja menggodanya. Anggit benar-benar lupa diri dan terlena dalam pelukan sahabat istrinya sendiri.
Seminggu berlalu sejak Rea menemukan banyak log panggilan Sandra di ponsel suaminya. Dan ternyata kecurigaannya itu tidak berlangsung lama. Dia segera lupa dengan kejadian itu karena dia merasa hubungannya dan suami serta sahabatnya masih baik-baik saja. Tidak ada lagi hal aneh yang terjadi setelah itu."Halo .... Kenapa,Beb?" Rea menjepit ponsel diantara kepala dan bahunya sambil membenarkan ikatan tali jubah mandi.Sialan nih anak, mengganggu ritual mandi sore orang aja,batinnya. Dia pikir tadi Anggit, suaminya yang menelpon, hingga dia belain pasang kaki seribu melompat dari bak mandi."Nggak papa .... kangen aja sama kamu, Rea Sayang." Suara cekikikan Sandra langsung membuat Rea darah tinggi."Hmm Dasar Kutu!! Nelpon aku jam segini cuma buat kangen-kangenan doang? Aku lagi mandi tau nggak sih?" umpat wanita bertubuh mungil itu pura-pura kesal.
"Aku heran deh sama kamu, Git." Sandra membuka percakapan saat mobil Anggit mulai melaju meninggalkan cafe."Heran kenapa, Sayang?" sahut lelaki bertubuh atletis itu dengan genit."Kok bisa ya kamu sampe nikah sama si Rea?" Sandra melirik Anggit dengan senyum genitnya."Kenapa emangnya?" Anggit tersenyum nakal, dia merasa senang karena berpikir wanita disampingnya itu sudah mulai menaruh cemburu pada istrinya."Ya nggak papa sih, cuma aneh aja. Soalnya kalau aku lihat kamu bukan tipe orang yang mudah berkomitmen.""That's right." Anggit menyahut cepat sedangkan Sandra justru mengernyitkan dahi.
Devon memarkir mobilnya pelan di pelataran parkir mall. Dia baru turun dari mobilnya saat taksi online yang menurunkan wanita bertubuh mungil itu melaju meninggalkan jalan di area parkir. Lelaki bertinggi lebih dari 180 cm itu berjalan mengikuti langkah santai si wanita dari jarak yang agak jauh. Rea sebenarnya cuma berniat membeli beberapa pakaian dalam siang itu. Dia merasa beberapa bagian tubuhnya sudah mulai agak melar hingga beberapa pakaian dalamnya tak lagi nyaman dipakai.Dia melangkah pasti menujustan underwearsaat mendadak matanya tertumbuk pada etalase pakaian bayi dengan model yang mencuri perhatiannya. Sejenak dia mengelus perutnya yang masih belum kelihatan buncit, hanya terasa sedikit berisi. Bibirnya tersenyum kala kakinya memutuskan untuk melangkah menuju jajaran baju-baju bayi yang menurutnya sangat lucu itu. Dia berharap anak pertamanya dengan Anggit nanti berjenis kelamin la
[Devon: Aku sudah di depan. Bisakah kita sambil makan siang?]Rea membaca pesan itu lalu melongok sebentar lewat jendela kamar tamunya. Sebuah mobilMercedes Benz C Classwarna hitam terparkir disana. Rea tidak bisa melihat orang yang ada di dalamnya, tapi itu sudah pasti Devon.[Rea: Iya baiklah. Tunggu sebentar aku telpon suamiku untuk pamit dulu ya?]Devon mengumpat membaca balasan pesan dari Rea. Jadi wanita model kayak gini yang tega dicurangi lelaki tak punya otak itu?Devon membukakan pintu mobil saat Rea keluar dari rumah dan menghampiri tempat dia parkir.
Sandra duduk dengan gelisah di pojok ruangan. Beberapa saat yang lalu Anggit menelpon dari kantornya dan bilang ingin mengatakan hal penting. Wanita itu penasaran tentang apa, tapi dia yakin pasti ada hubungannya dengan mereka berdua.Anggit datang tergesa lima menit kemudian, seperti biasa mereka selalu berciuman sebentar. Sangat menjijikkan jika saja ada orang yang tahu bahwa keduanya bukan pasangan suami istri."Ada apa?" tanya Sandra saat Anggit sudah terlihat duduk dengan tenang disofa cafetempat favorit mereka bertemu."Pacar kamu ... ngajak Rea keluar makan siang tadi.""Apa?? Devon? Kamu serius?""Rea menelponku bilang pamit mau keluar sama pacarmu.""Tapi itu nggak mungkin, Git. Mereka berdua nggak deket. Setau
Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka
Lelaki itu nampak sangat tampan dengan setelan jas warna putihnya. Meskipun suasana di ruangan itu penuh suka cita, namun wajah lelaki itu nampak tidak begitu bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia selalu menebarkan senyum ke setiap tamu yang datang ke pesta kecil pertunangan mereka.Ketakutan akan kehilangan sang ibunda menyebabkan Devon akhirnya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Cecilia.Atas permintaan Devon, pesta pertunangan kecil itu dilaksanakan di rumah orang tua Devon, hanya mengundang beberapa klien penting saja. Bu Arina yang akhirnya mendapatkan keinginannya agar putra semata wayangnya brrsanding dengan putri sang sahabat nampak mengembangkan senyum bahagianya di atas kursinya.Dokter menyatakan bahwa wanita baya itu sudah cukup sehat untuk dibawa pulang. Jadi dia memutuskan segera melangsungkan pesta pertunangan Devon dengan Cecilia.
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang