Seminggu berlalu sejak Rea menemukan banyak log panggilan Sandra di ponsel suaminya. Dan ternyata kecurigaannya itu tidak berlangsung lama. Dia segera lupa dengan kejadian itu karena dia merasa hubungannya dan suami serta sahabatnya masih baik-baik saja. Tidak ada lagi hal aneh yang terjadi setelah itu.
"Halo .... Kenapa, Beb?" Rea menjepit ponsel diantara kepala dan bahunya sambil membenarkan ikatan tali jubah mandi.
Sialan nih anak, mengganggu ritual mandi sore orang aja, batinnya. Dia pikir tadi Anggit, suaminya yang menelpon, hingga dia belain pasang kaki seribu melompat dari bak mandi.
"Nggak papa .... kangen aja sama kamu, Rea Sayang." Suara cekikikan Sandra langsung membuat Rea darah tinggi.
"Hmm Dasar Kutu!! Nelpon aku jam segini cuma buat kangen-kangenan doang? Aku lagi mandi tau nggak sih?" umpat wanita bertubuh mungil itu pura-pura kesal.
"Jam segini baru mandi? Dasar cewek pemalas! Emang suami kamu belom pulang, Re?"
"Yaelaaa Sandraaa .... ini baru jam berapa, Beeeeb? Ya jelas belom lah." Rea makin sebel mendengar tawa sahabatnya yang makin keras.
"Yaaah ... Kamu sendirian dong sekarang? Kasian banget sih, Beb." Sandra mengikik lagi.
"Iyalah, mo sama siapa lagi? Temenin sini kek," rajuk Rea.
"Ogahhh!! .... Ogah seogah-ogahnya, Ibu Manager Yang Terhormat," ledek Sandra. Dia memang paling suka meledek Rea dengan sebutan itu gara-gara jabatan suaminya yang beberapa bulan lalu dipromosikan menjadi seorang manager. "Mendingan molor daripada harus kesitu nemenin kamu." Sandra ngakak lagi dengan sangat menyebalkan. Sahabat Rea yang satu ini memang benar-benar kurang ajar.
"Ehh... Sssstt, diam! .... apaan sih?" Tiba-tiba suara Sandra terdengar berbisik seperti sedang menyuruh seseorang untuk diam. Rea juga sempat mendengar sayup seperti suara tawa tertahan seorang laki-laki di seberang sana. Rea mengira itu pasti Devon, pacar Sandra.
"Hmm ... Kamu tuh yaa ... bilang mau molor tapi ternyata lagi indehoy. Kamu lagi sama Devon kan? Hayo ngaku!" umpat Rea berlagak kesal.
"Yeee ... biarin aja. Emangnya kamu, jam segini masih jomblo," ledek Sandra lagi.
"Idiih ... ngeledek ni anak. Awas aja ya ntar suamiku pulang, kubikin kamu mupeng semupeng-mupengnya," balas Rea sembari tertawa jahat. Sandra juga memperdengarkan tawa cekikikannya lagi yang khas.
"Eh, by the way, Beb. Ada acara apa habis ini?"
"Acara apaan?" tanya Rea balik.
"Apaan kek ... udah punya suami juga masih nganggur aja. Kemana gitu jalan-jalan sama suami. Nongkrong di rumah aja nggak sehat tauk?"
"Yee ... emang gitu kali, Beb. Kalau udah punya suami mah ya di rumah aja. Ngapain keluyuran? Kurang kerjaan amat." Untung aja sahabatnya itu nggak sedang ada di dekatnya. Kalau iya pasti sudah dijitaknya kepalanya.
"Serius nggak kemana-mana?" tanya Sandra lagi.
"Limariusssss. Emang kenapa sih? Bawel banget tumben. Mo ngajakin jalan?"
"Pengennya sih gitu. Tapi ... males ah, lagi bokek juga ni," keluhnya. Rea tahu pasti itu cuma guyonan si Sandra saja. Devon, pacar dia yang tajir melintir itu adalah pengusaha muda sukses dengan perusahaan start-up nya yang lagi booming. Rea juga tau lelaki itu sangat royal pada sahabatnya. Nggak mungkin banget anak itu bokek, apalagi Sandra dari dulu yang Rea kenal adalah tipe cewek yang suka morotin anak orang.
"Ciee ... Ibu Direktur ngakunya lagi bokek. Bokek beneran tau rasa ntar," goda Rea. "Emang belom dapat jatah apa dari Devon?"
"Boro-boro ... Udah ah malah jadi ngelantur. Lanjutin sono mandinya, baunya nyampe sini tauk? Aku mau molor dulu." Terdengar tawa Sandra meledak lagi.
"Ih najis, enak aja. Kamu tuh yang bau, molor aja kerjaannya. Molor apa molor, Buu? Molornya sama si Devon mana mungkin bisa molor. Yang ada juga meler kali," goda Rea lagi.
"Bodo' .... Udah ah. Love you, Beb. See you," pamitnya.
"Oke ... Bye."
Rea meletakkan ponsel di atas meja rias sambil menahan geli. Ada-ada aja ulah sahabatnya itu, gangguin orang mandi cuma buat ngeledek. Rea mengumpat dalam hati.
BEEP!!!
Suara getar dari ponsel Rea. Diangkatnya lagi ponsel dan dinyalakannya kunci layar. Suaminya mengirim pesan.[Anggit: Baby, aku pulang agak telat yaa nanti, ada meeting mendadak sama Boss. Nggak usah ditungguin, aku udah bawa kunci rumah kok. Okay? Luv U ...]
Yaaaahhh ... dia pulang telat lagi, gerutu Rea. Segera dipencetnya keyboard untuk membalas pesan suaminya.
[Rea: Ok, hubby Sayang ... Hati-hati ya nanti pulangnya. Jangan lupa makan malam. Love you, too.]
Dihelanya nafas sebentar dan diletakkan kembali ponsel ke tempat semula. Baru saja ingin melangkahkan kaki ke kamar mandi, tiba-tiba ponsel itu berdering lagi.
Arrrrggggghh Sial!!! Siapa lagi siiiih??
Rea melirik layar ponsel dengan sebal, nomer tak dikenal.Rea biasanya tidak pernah mau mengangkat nomer yang tidak tersimpan di kontak ponselnya, tapi demi melihat nomer panggilan masuk yang unik dan sangat cantik itu dia berpikir sepertinya itu bukan orang iseng. Siapa ya? Rasa penasaran membuat Rea akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Halo ...," sapa Rea ragu-ragu.
"Rea?" tanya suara berat seorang laki-laki di seberang sana.
"Iya ... Siapa ini?"
"Aku, Devon."
Devon? Pacarnya Sandra nelpon Rea? Ada apa? Wanita itu memang tidak dekat dengan pacar sahabatnya yang satu itu, makanya tidak tersimpan nomer kontak lelaki itu di ponselnya. Selain karena menurutnya Devon orangnya pendiam, bagi Rea, Devon juga jenis makhluk yang agak unik. Aneh, lebih tepatnya. Bagi Rea, Devon bukan termasuk orang yang ramah, dia jarang senyum dan tidak suka basa-basi, sangat berbeda dengan Anggit, suaminya.
"Ya, Von. Ada apa?" tanya Rea kemudian.
"Sandra ada sama kamu?"
"Sandra? Emm ... enggak tuh ... Kenapa emangnya? Eh wait, tapi barusan dia nelpon aku."
Untung saja Rea nggak keceplosan bilang 'Bukannya tadi Sandra sama kamu?'. Rea menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan.
Kalau Devon nyari Sandra, berarti laki-laki bersama Sandra yang dia dengar suaranya di telepon tadi siapa? Wah, sepertinya Sandra sedang bermain api, pikir Rea.
"Nelpon kamu? Jam berapa?" tanya lelaki di seberang dengan nada sedikit kaget.
"Emm ... barusan. Iya, belum lama sih, baru ditutup kok sebelum kamu nelpon ini," kata Rea sedikit gugup, takut kalau-kalau dia salah bicara.
"Dia bilang lagi dimana?"
"Di rumah katanya."
"Brengsek!" Terdengar suara umpatan. Devon mengumpat? Rea agak kaget. Devon ternyata pengumpat? Pantesan Sandra sering mengeluh dengan tabiat lelakinya ini.
"Maaf?" Rea berpura-pura tidak mendengar umpatan Devon.
"Ooh ... enggak ... Maksud aku, ini aku lagi di rumahnya dan dia nggak ada," kata lelaki itu dengan nada kesal.
"Masa' sih?" tanya Rea bingung. Mau tidak mau wanita itu juga jadi ikut berpikir keras. Ada apa sebenarnya dengan Sandra? Tadi dia bilang di rumah mau tidur, tapi kok kata Devon dia tidak ada di rumah. Refleks Rea menggaruk kepalanya.
"Ya udah deh. Makasih, Rea. Sorry ganggu." kata Devon akhirnya.
"Ooh iya, nggak papa, Devon. Sama-sama."
Semangat mandi Rea tiba-tiba buyar usai Devon menutup telepon. Pikirannya mendadak terusik lagi dengan kejadian seminggu yang lalu saat ditemukannya panggilan bertubi-tubi Sandra ke ponsel suaminya. Mungkinkah lelaki yang sedang bersama Sandra itu tadi adalah Anggit, suaminya? Rea mencoba menghubung-hubungkan setiap kejadian yang diingatnya, namun dia tetap tak bisa memastikannya. Dia pikir mungkin dia hanya paranoid saja.
Dan karena tak kunjung menemukan jawaban, akhirnya diputuskannya segera mandi daripada pikirannya ngelantur kemana-mana.
☆☆☆
"Gimana, Sayang?" Udah?" tanya Sandra sambil menggelendot manja di bahu si lelaki. Mereka sedang duduk berdempetan di sebuah sofa cafe di ruangan privat.
"Sippp, Aman." Lelaki itu memberikan kode oke menggunakan jari-jarinya ke arah Sandra.
"Apa katanya?" Sandra merebut ponsel milik si lelaki. Membuka chat nya dan mulai membaca sebuah pesan dari wanita bernama Rea dengan gayanya yang sangat centil.
[Rea: Ok, hubby Sayang ... hati-hati ya nanti pulangnya. Jangan lupa makan malam. Love you, too.]
Lalu keduanya pun tertawa lepas bersamaan seperti sedang mentertawakan isi pesan itu.
"Udah ah yuuk, Cabut!" ajak si lelaki, lalu segera melangkah meninggalkan ruangan. Sandra memasukkan ponsel ke dalam tas sebelum akhirnya menyusulnya.
"Anggit, Tunggu aku!!" Dia berlari kecil mengekor di belakang lelaki itu.
"Aku heran deh sama kamu, Git." Sandra membuka percakapan saat mobil Anggit mulai melaju meninggalkan cafe."Heran kenapa, Sayang?" sahut lelaki bertubuh atletis itu dengan genit."Kok bisa ya kamu sampe nikah sama si Rea?" Sandra melirik Anggit dengan senyum genitnya."Kenapa emangnya?" Anggit tersenyum nakal, dia merasa senang karena berpikir wanita disampingnya itu sudah mulai menaruh cemburu pada istrinya."Ya nggak papa sih, cuma aneh aja. Soalnya kalau aku lihat kamu bukan tipe orang yang mudah berkomitmen.""That's right." Anggit menyahut cepat sedangkan Sandra justru mengernyitkan dahi.
Devon memarkir mobilnya pelan di pelataran parkir mall. Dia baru turun dari mobilnya saat taksi online yang menurunkan wanita bertubuh mungil itu melaju meninggalkan jalan di area parkir. Lelaki bertinggi lebih dari 180 cm itu berjalan mengikuti langkah santai si wanita dari jarak yang agak jauh. Rea sebenarnya cuma berniat membeli beberapa pakaian dalam siang itu. Dia merasa beberapa bagian tubuhnya sudah mulai agak melar hingga beberapa pakaian dalamnya tak lagi nyaman dipakai.Dia melangkah pasti menujustan underwearsaat mendadak matanya tertumbuk pada etalase pakaian bayi dengan model yang mencuri perhatiannya. Sejenak dia mengelus perutnya yang masih belum kelihatan buncit, hanya terasa sedikit berisi. Bibirnya tersenyum kala kakinya memutuskan untuk melangkah menuju jajaran baju-baju bayi yang menurutnya sangat lucu itu. Dia berharap anak pertamanya dengan Anggit nanti berjenis kelamin la
[Devon: Aku sudah di depan. Bisakah kita sambil makan siang?]Rea membaca pesan itu lalu melongok sebentar lewat jendela kamar tamunya. Sebuah mobilMercedes Benz C Classwarna hitam terparkir disana. Rea tidak bisa melihat orang yang ada di dalamnya, tapi itu sudah pasti Devon.[Rea: Iya baiklah. Tunggu sebentar aku telpon suamiku untuk pamit dulu ya?]Devon mengumpat membaca balasan pesan dari Rea. Jadi wanita model kayak gini yang tega dicurangi lelaki tak punya otak itu?Devon membukakan pintu mobil saat Rea keluar dari rumah dan menghampiri tempat dia parkir.
Sandra duduk dengan gelisah di pojok ruangan. Beberapa saat yang lalu Anggit menelpon dari kantornya dan bilang ingin mengatakan hal penting. Wanita itu penasaran tentang apa, tapi dia yakin pasti ada hubungannya dengan mereka berdua.Anggit datang tergesa lima menit kemudian, seperti biasa mereka selalu berciuman sebentar. Sangat menjijikkan jika saja ada orang yang tahu bahwa keduanya bukan pasangan suami istri."Ada apa?" tanya Sandra saat Anggit sudah terlihat duduk dengan tenang disofa cafetempat favorit mereka bertemu."Pacar kamu ... ngajak Rea keluar makan siang tadi.""Apa?? Devon? Kamu serius?""Rea menelponku bilang pamit mau keluar sama pacarmu.""Tapi itu nggak mungkin, Git. Mereka berdua nggak deket. Setau
Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
"Yakin nggak mau aku antar masuk?" tanya Devon pelan di depan pagar rumah. Rea menggeleng."Biar kuselesaikan masalah ini sendiri saja," kata Rea. Devon mengangguk tidak yakin."Baik, masuklah! Aku tunggu disini.""Pulanglah, Von. Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Rea merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil yang harus ditunggui ayahnya karena takut. Namun belum sempat dia protes, dilihatnya Anggit keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Tak ingin terjadi pertikaian karena Rea tahu betapa Devon pasti juga sangat ingin sekali menghajar suaminya itu, Rea segera berlalu meninggalkan Devon masuk ke pagar rumah."Dari mana kamu, Rea?" tanya Anggit menata
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka
Lelaki itu nampak sangat tampan dengan setelan jas warna putihnya. Meskipun suasana di ruangan itu penuh suka cita, namun wajah lelaki itu nampak tidak begitu bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia selalu menebarkan senyum ke setiap tamu yang datang ke pesta kecil pertunangan mereka.Ketakutan akan kehilangan sang ibunda menyebabkan Devon akhirnya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Cecilia.Atas permintaan Devon, pesta pertunangan kecil itu dilaksanakan di rumah orang tua Devon, hanya mengundang beberapa klien penting saja. Bu Arina yang akhirnya mendapatkan keinginannya agar putra semata wayangnya brrsanding dengan putri sang sahabat nampak mengembangkan senyum bahagianya di atas kursinya.Dokter menyatakan bahwa wanita baya itu sudah cukup sehat untuk dibawa pulang. Jadi dia memutuskan segera melangsungkan pesta pertunangan Devon dengan Cecilia.
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang