"Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"
Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari.
"Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang. Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab.
"Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan."
"Tapi ini weekend, Git. Apa nggak bisa besok senin aja perginya?"
"Perintah Boss, Re. Mana bisa aku protes."
Rea merengut, terduduk kembali di tepi tempat tidur, kecewa karena tidak jadi bisa menghabiskan waktu berdua dengan suaminya.
"Kok mendadak gitu sih?"
"Sabar, Sayang. Namanya juga bawahan ya gini. Harus nurut kalau nggak mau dipecat," jalas Anggit. Dia mendekati Rea dan menepuk-nepuk bahunya.
"Kapan pulangnya?" Rea mendongak seolah mengiba menyuruh Anggit jangan lama-lama.
"Belum tahu sih. Kalau udah selesai aku pasti langsung balik kok. Paling lambat minggu sore aku usahakan udah balik, Re," katanya.
"Hahh? Minggu sore? Itu sama aja nggak libur dong, Sayang. Apa nggak bisa orang lain saja yang pergi? Kamu kan manager, suruh anak buah saja kek." Raut muka Rea tertekuk. Anggit hanya mengedikkan bahu, lalu menggelang.
"Nggak bisa, Sayang. Jistru karena aku manager makanya harus turun langsung. Lagian Boss hanya percaya padaku. Udah ah jangan kayak anak kecil, cuma dua hari ini," katanya sambil mengelus pipi istrinya.
Mendadak Rea lemas, tak bersemangat melakukan apapun. Padahal dia sudah menyusun rencana menghabiskan weekend bersama suaminya dan malah seperti ini kenyataannya.
*****
Anggit berangkat 1 jam kemudian selesai sarapan, meninggalkan Rea dengan kesepiannya. Sekarang apa yang akan dia lakukan di rumah sendirian? Rea mendengus kesal.
Selesai membersihkan diri, Rea baru teringat sesuatu. Mungkin lebih baik dia pergi menemui Sandra. Sudah beberapa minggu mereka belum menghabiskan waktu bersama lagi. Dia bisa bersenang-senang dengan sahabatnya itu sementara Anggit nggak ada. Mungkin sekalian ngobrol tentang pertemuannya tempo hari dengan Devon. Ya, sepertinya itu ide yang bagus, pikir Rea.
Rea segera mengganti bajunya. Dress warna plum pemberian Anggit saat mereka masih pacaran dulu jadi baju favoritnya saat ini. Rea mematut diri sebentar di depan cermin, memoleskan make up tipis ke wajahnya. Dress sepanjang lutut itu dirasakannya sedikit sempit dari biasanya. Bagian perutnya juga nampak lebih ketat. Rea tersenyum Tipis mengelus perutnya.
☆☆☆
Taksi berhenti tepat di depan rumah Sandra. Rea turun usai mengalungkan slingbag mungil ke lehernya. Dari luar nampak rumah Sandra sepi, tapi tetap diketuknya pintu depan beberapa kali. Mobil Sandra masih terparkir di garasi, mungkin sahabatnya itu masih tidur, Rea tahu Sandra termasuk gadis termalas yang pernah dia kenal, apalagi kalau weekend seperti ini.
Beberapa menit mengetuk tetap tak ada sahutan dari dalam rumah. Apa Sandra pergi? Rea mengambil ponsel dari dalam tasnya. Dipanggilnya nomer kontak Sandra beberapa kali, tapi tidak diangkat. Wanita itu mulai menggaruk kepalanya. Sepertinya Sandra memang sedang tidak ada di rumah. Jadi harus ngapain sekarang dia?
☆☆☆
Lelah memutari mall selama 3 jam, Rea kembali lagi ke rumah. Benar-benar hari yang sangat membosankan baginya. Tanpa mengganti bajunya, dia merebahkan tubuhnya di sofa depan TV. Dan saat itulah ponselnya berdering.
"Hai, Beb. Ada apa? Kamu tadi nelpon?" Suara seksi Sandra dari seberang.
"Huuuh, iya, kemana aja sih? Aku tadi ke rumahmu, Sayang, dan zonk, kamu nggak ada," omel Rea.
"Maaf, aku lagi pergi."
"Pergi kemana? Udah di rumah belum sekarang? Main sini gih. Aku pengen ngobrol. Anggit pergi ke Bandung, aku sendirian," Rea memelas.
"Duuuh kasian. Sori Beb, tapi aku lagi ada acara keluarga ini." Sandra terkekeh.
"Acara apaan? Dimana?" Rea penasaran.
"Sepupuku nikahan."
"Sepupu yang mana sih?"
Seingat Rea Sandra tidak memiliki siapa siapa di kota ini. Ah, mungkin saudara jauh, pikirnya.
"Ya udah deh kalau gitu. Have fun ya, Beb. Jangan lupa oleh-oleh." Keduanya terkikik saat sambungan telpon terputus.
☆☆☆
Rea meregangkan tubuhnya sejenak, lalu berjalan keluar. Harusnya dia mencari kerja saja biar nggak terlalu sepi di rumah. Rasanya bosan sekali setiap hari hanya menunggui Anggit pulang kerja tanpa kegiatan. Tapi bagaimana dengan kehamilannya? Adakah perusahaan yang mau mempekerjakan wanita hamil sepertinya?
Rea berjalan mengitari halaman kecil rumahnya yang dipenuhi rumput hijau dengan kaki telanjang. Tak terasa matahari sudah mulai condong ke barat. Beberapa tanaman bunga layu di dalam pot-pot kecil menyita perhatiannya. Rea berjongkok memilah-milah, memisahkan tanaman yang sudah hampir mati. Sepertinya menghabiskan waktu dengan mengurus bunga-bunga ini lebih baik, batinnya.
Rea bangkit berniat mengambil peralatan berkebunnya. Mendadak penglihatannya tertumbuk pada satu pemandangan tak biasa di pekarangan rumahnya saat dia membalikkan badan.
"Devon?"
Devon sudah berdiri di halaman rumah mungilnya itu tak jauh dari tempatnya tadi berjongkok. Lelaki itu terlihat sangat keren dalam balutan t-shirt warna soft blue dan jeans hitamnya.
"Hai," sapanya santai.
"Sejak kapan kamu berdiri disitu?"
"Sejak kamu disitu." Devon menunjuk tempat tadi Rea berjongkok memunguti pot-pot bunga. Rea terkekeh malu.
Wanita itu mengedarkan pandangannya sebentar ke sekeliling rumahnya, merasa heran bagaimana lelaki itu tiba-tiba bisa muncul tanpa suara. Seingatnya tadi dia tidak mendengar ada suara mobil berhenti. Aah bodoh, Rea menepuk dahinya. Ya tentu saja tidak ada suara, mobil mahal Devon memang nyaris tak bersuara. Lagipula dia sibuk dengan bunga-bunganya tadi.
"Kalau gitu ayo masuk," ajaknya. "Maaf tanganku kotor." Rea mengurungkan niatnya menyalami Devon karena melihat tangannya yang belepotan tanah. Devon dengan santai mengikuti Rea Masuk.
"Duduk dulu, Devon, aku mau cuci tangan." Rea nyengir lucu ke arah lelaki itu.
"Sepi?" tanya Devon saat Rea kembali membawa 2 botol minuman dingin.
"Iya nih, Anggit ke Bandung ada kerjaan," katanya. Devon hanya mengulum senyum. Dia sudah tahu lelaki brengsek itu pergi. Dia menyuruh Teddy mengawasi setiap gerak-geriknya. Bahkan Devon juga tahu kemana dan dengan siapa suami Rea saat ini.
Rea agak canggung ketika mendudukkan tubuhnya ke sofa ruang tamunya. Ini pertama kali baginya menerima tamu laki-laki tanpa ada Anggit. Dia memilih tempat duduk yang agak jauh dari tamunya.
"Kok tiba-tiba kesini? Apa ada masalah dengan Sandra?" tanya Rea hati hati.
"Enggak ... eh, iya, maksudku ... Sandra nggak ada di rumah. Kamu tau dia kemana?" Devon hanya bermaksud menguji Rea, seberapa peka dia dengan kondisinya sendiri.
"Oooh itu. Tadi aku juga kesana sih tapi rumahnya sepi. Dia bilang sedang ada acara di tempat sepupunya." Benar-benar kurang ajar Sandra. Masih juga wanita ini dibohonginya. Lagi-lagi Devon mengumpat dalam hati.
Devon menyesap pelan minuman botol yang tadi disodorkan Rea, pikirannya berusaha menata kalimat demi kalimat yang akan dikatakannya pada Rea. Semalam dia sudah memutuskan untuk berubah pikiran. Awalnya dia ingin Rea tahu sendiri kebenaran tentang suaminya, tapi melihat kepolosan Rea, mustahil dia bisa menyadari hal itu dengan cepat. Maka Devon memutuskan untuk memberitahunya.
"Rea..."
"Yaa?"
"Apa kamu percaya Sandra?"
"Tentu saja ... dia sahabatku, Von." Senyum Rea mengembang.
"Kamu pernah berpikir nggak kalau Sandra bohongin kamu?" Rea tertawa kecil mendengar kalimat Devon. Dia tidak tahu arah pembicaraan lelaki di depannya itu.
"Maksud kamu?" Tawa Rea perlahan menghilang saat dilihatnya wajah Devon menatapnya dengan serius. Sepertinya Devon ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi apa?
"Suamimu dan Sandra ... mereka ada hubungan." Entah bagaimana akhirnya lelaki itu mengatakannya juga. Tanpa menunggu reaksi Rea, Devon menyodorkan ponselnya pada wanita itu.
Entah Rea sudah sadar dengan apa yang baru saja diucapkan Devon atau belum, tapi wanita itu menerima ponsel dengan tangan sedikit gemetar. Devon memandangi Rea was-was, dia sudah siap dengan apapun yang akan terjadi pada wanita itu.
Perlahan ditundukkannya wajah ke layar ponsel dan Rea shock melihat gambar-gambar yang ada disana. Dengan tangan semakin gemetar dia menggeser layar, menggeser dan menggeser lagi. Rea berharap matanya salah, tapi tidak. Matanya tidak sedang sakit. Dia bisa melihat dengan jelas kedua insan di dalam foto itu. Rea sangat mengenal mereka.
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
"Yakin nggak mau aku antar masuk?" tanya Devon pelan di depan pagar rumah. Rea menggeleng."Biar kuselesaikan masalah ini sendiri saja," kata Rea. Devon mengangguk tidak yakin."Baik, masuklah! Aku tunggu disini.""Pulanglah, Von. Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Rea merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil yang harus ditunggui ayahnya karena takut. Namun belum sempat dia protes, dilihatnya Anggit keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Tak ingin terjadi pertikaian karena Rea tahu betapa Devon pasti juga sangat ingin sekali menghajar suaminya itu, Rea segera berlalu meninggalkan Devon masuk ke pagar rumah."Dari mana kamu, Rea?" tanya Anggit menata
Teddy membuka layar ponselnya saat tiba di parkiran kantor. Dibukanya satu pesan dari Devon.[Cari tau kabar Rea, dia tidak merespon chat dan panggilanku dari semalam. Aku agak khawatir. Secepatnya ya?]Lelaki bertubuh jangkung itu mengunci layar ponselnya dengan cepat dan segera bergegas menuju mobil sport warna silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Hanya satu tujuannya, yaitu rumah Rea, wanita yang sepertinya beberapa hari belakangan telah membuat sahabatnya susah konsentrasi.☆☆☆Rea duduk di sofa ruang tengah diapit kedua orang tuanya. Tangis sesenggukannya sejak dia sampai di rumah itu belum juga mereda. Bu Renata, ibu Rea, memeluk bahu anaknya dengan perasaan teriris. Dia benar-benar tidak menyangka putri kesayangannya itu mengalami nasib buruk dalam pernikahannya yang baru seumur jagung.Sementara Pak Hanggono, ayah Rea, terdiam
Orang kaya itu memang terkadang tingkahnya aneh dan susah dipahami, begitu pun dengan Devon. Sepulang dari rumah orang tua Rea, dia langsung menghubungi Teddy, meminta sahabatnya itu mengambil alih semua pekerjaannya di perusahaan start-up yang menjadi kebanggaannya itu.Lalu dia mengabarkan berita gembira pada pamannya bahwa dia berubah pikiran. Minggu ini dia akan mulai memimpin perusahaan peninggalan mendiang papanya. Entah apa yang ada di dalam otak lelaki blasteran berusia 27 tahun itu.Pertemuannya dengan Rea hari ini tak disangka menjadi mood booster untuk Devon. Semangatnya seolah menjadi sepuluh kali lipat dari hari-hari biasanya. Dia ingin sekali membawa wanita itu kembali ke Jakarta secepatnya dan menemani setiap hari-harinya.Melangkah memasuki lift menuju apartemennya di lantai 30, Devon berjalan bagai tak berpijak, ringan sekali seolah tak ada beban apapun yang mengganggu pik
Ternyata Devon serius dengan omongannya, hari berikutnya Rea mendapat pesan dari lelaki itu tentang lowongan kerja di perusahaan temannya. Devon bilang seorang temannya sedang membutuhkan seorang sekretaris."Tapi aku sedang hamil? Apa tidak masalah?" kata Rea di telepon."Temanku bilang dia bahkan tidak masalah jika harus mempekerjakan seorang nenek-nenek," ujar Devon sambil menahan tawa atas ucapannya sendiri."Baik sekali ya teman kamu itu. Kapan aku bisa masukkan surat lamarannya?" tanya Rea."Secepatnya katanya. Kapan kamu ada waktu? Besok bisa?""Baiklah, aku siapkan dulu berkas lamarannya."
Hari masih lumayan pagi saat Rea meninggalkan rumah orang tuanya. Sebenarnya ayahnya menawarkan diri untuk mengantarkannya ke perusahaan tempat dia akan melamar pekerjaan. Tapi Rea lebih nyaman berangkat sendiri dengan taksi online.Ayah Rea bilang perusahaan yang akan dia lamar itu merupakan perusahaan property yang sangat terkenal. Bahkan lelaki tua itu sempat ragu anak perempuannya akan bisa bekerja di tempat itu."Apa temanmu itu nggak salah merekomendasikanmu ke perusahaan itu, Re?" tanyanya keheranan. Satu satunya pengalaman kerja putrinya itu hanya di sebuah kantor penerbitan yang tidak begitu besar. Dia pikir perusahaan seperti itu pasti memiliki karyawan-karyawan yang berkompeten, dan ayah Rea yakin Rea tidak cukup berpengalaman di bidang itu. Apalagi sekarang kondisinya sedang hamil. Tapi
"Uuugh!." Apa ini? Kenapa pintunya berat sekali dan tidak mau terbuka? Rea penasaran, didorongnya pintu itu sekali lagi, tapi tetap tak bergeming. Ada apa dengan pintu sialan ini?"Ada apa dengan pint ...?" Rea membalikkan badannya bermaksud menanyakam soal pintu itu kepada pemiliknya. Namun dia terkejut karena sipemilik justru telah ada dekat sekali di belakangnya memegang sebuah benda kecil pipih di tangannya. Rea mengira itu sebuah remote control karena memiliki beberapa tombol di atasnya."Kamu mengunci pintu ini?" tanyanya kesal.Devon tidak menjawab, dia justru berjalan lebih mendekati Rea. Refleks Rea mundur hingga tubuhnya menempel di pintu."Mau apa kamu?" tanyanya panik. Devon tetap membisu dan terus saja melangkah maju. Hingga akhirnya saat jarak mereka hanya beberapa senti saja, lelaki itu mengurung Rea dengan kedua tangannya."Su
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka
Lelaki itu nampak sangat tampan dengan setelan jas warna putihnya. Meskipun suasana di ruangan itu penuh suka cita, namun wajah lelaki itu nampak tidak begitu bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia selalu menebarkan senyum ke setiap tamu yang datang ke pesta kecil pertunangan mereka.Ketakutan akan kehilangan sang ibunda menyebabkan Devon akhirnya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Cecilia.Atas permintaan Devon, pesta pertunangan kecil itu dilaksanakan di rumah orang tua Devon, hanya mengundang beberapa klien penting saja. Bu Arina yang akhirnya mendapatkan keinginannya agar putra semata wayangnya brrsanding dengan putri sang sahabat nampak mengembangkan senyum bahagianya di atas kursinya.Dokter menyatakan bahwa wanita baya itu sudah cukup sehat untuk dibawa pulang. Jadi dia memutuskan segera melangsungkan pesta pertunangan Devon dengan Cecilia.
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang