"Uuugh!." Apa ini? Kenapa pintunya berat sekali dan tidak mau terbuka? Rea penasaran, didorongnya pintu itu sekali lagi, tapi tetap tak bergeming. Ada apa dengan pintu sialan ini?
"Ada apa dengan pint ...?" Rea membalikkan badannya bermaksud menanyakam soal pintu itu kepada pemiliknya. Namun dia terkejut karena si pemilik justru telah ada dekat sekali di belakangnya memegang sebuah benda kecil pipih di tangannya. Rea mengira itu sebuah remote control karena memiliki beberapa tombol di atasnya.
"Kamu mengunci pintu ini?" tanyanya kesal.
Devon tidak menjawab, dia justru berjalan lebih mendekati Rea. Refleks Rea mundur hingga tubuhnya menempel di pintu.
"Mau apa kamu?" tanyanya panik. Devon tetap membisu dan terus saja melangkah maju. Hingga akhirnya saat jarak mereka hanya beberapa senti saja, lelaki itu mengurung Rea dengan kedua tangannya.
"Su
"Kita mau kemana, Bu ...?" tanya Rea sedikit kikuk. Dia bingung harus memanggil wanita yang sedang duduk di belakang kemudi di sebelahnya itu dengan panggilan apa. Yang dipanggil hanya melirik sekilas ke arah Rea sambil tersenyum tipis."Panggil Via saja," ujarnya singkat dengan nada datar.Rea mengernyit. Via saja? Ah nggak mungkin, itu aneh, wanita itu lebih tua dari Rea. Masa' nggak pakai embel embel Bu, atau Kak gitu."Jadi kita mau kemana, Bu Via?" tanyanya lagi."Sesuai perintah Pak Junior Widjaya," jawabnya singkat diiringi senyum tipis yang hampir tak terlihat oleh Rea.Rea menghembuskan nafas, kenapa wanita di sebelahny
Guyuran air hangat dari shower di kamar mandi apartemen itu sedikit membantu Rea menghilangkan penat seharian yang menyiksanya.Meskipun banyak hal yang membuatnya jengkel dengan lelaki bernama Devon itu, setidaknya dia bersyukur tidak harus balik lagi ke tempat orang tuanya mengambil pakaian. Ini sedikit banyak bisa menghemat tenaganya untuk bekerja esok hari mengingat jarak yang lumayan jauh antara kantor dengan rumah orang tuanya.Rea belum tau milik siapa apartemen tempatnya berada saat ini, tapi tadi sekretaris senior itu mengatakan Rea akan tinggal disini. Mungkin saja ini salah satu fasilitas yang diberikan sang direktur otoriter itu padanya.Meski dia belum yakin akan hal itu, tapi sebelum mandi tadi dia sudah menyusuri setiap sudut apartemen dan mendapati banyak makanan di kulkas. Jadi sehabis mandi dia berencana ingin langsung mengisi perutnya yang benar-benar sudah keroncongan dari tadi.
"Rea!!" Rea menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Dia baru saja turun dari mobil Devon di pelataran parkir sebuah restoran.Anggit? Pria itu setengah berlari menuju ke arahnya. Bagaimana dia bisa sangat kebetulan ada disini? Apa dia mengikuti Rea?Anggit bermaksud mendekati Rea, tapi tubuh Devon menghalanginya."Minggir!" seru Anggit berusaha menyingkirkan Devon dari hadapannya, tapi Devon menepis tangannya dengan kasar hampir membuat Anggit terjungkal."Rea! Jadi ini yang kamu lakukan? Kamu bersama dia sekarang?" kata Anggit berteriak hingga membuat beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar tempat itu menoleh ke arah mereka.Rea yang menyadari orang-orang sedang memperhatikan mereka, menyentuh tangan Devon, bermaksud memohon untuk membiarkannya bicara dengan suaminya itu."Biarkan aku bicara dengannya," bisiknya pada lelaki di depannya.&n
"Lepasiiiinnn!" Rea meronta dalam bopongan Devon berusaha turun dengan menjejakkan kaki dan memukuli dada lelaki itu dengan kedua tangannya.Tapi zonk, tubuh lelaki itu jauh lebih besar dan lebih kuat darinya. Merasa tak bisa melawan dengan cara halus, akhirnya dia menggigit lengan lelaki itu yang seketika mengaduh dan menurunkan tubuh mungilnya."Apa-apaan sih?" Devon meringis memegangi lengannya yang memerah bekas gigitan. "Bar bar banget!" Matanya memelototi Rea."Lagian kamu ngapain angkat angkat aku?" Rea melengos puas sekaligus merasa bersalah telah menyebabkan lelaki itu kesakitan."Aku cuma mau pindahin kamu ke dalam," tunjuk Devon ke dalam kamar. "Kamu bisa sakit kalau tidur di sofa," lanjutnya."Lagian kamu ngapain tidur disana tadi kalau nggak mau aku tidur di sofa?" protes Rea. Dia tadi memang berniat tidur di kamar, tapi karena melihat lelaki itu telah terlelap di tempat tidurnya,
"Rea, ikut aku," belum juga Rea selesai mengerjakan tugas menyusun jadwal selama seminggu ke depan, Devon sudah berdiri dari meja kerjanya dan menyuruh wanita itu mengikutinya.Tergesa-gesa Rea menyeret kaki untuk mengikuti langkah Devon yang panjang.'Jangan cepet-cepet dong jalannya,' ingin rasanya Rea berkata begitu, tapi untungnya dia sadar ini masih di kantor. Seandainya tidak, Rea pasti sudah memukulnya untuk menyuruhnya lebih pelan.Devon terus berjalan menyusuri ruangan demi ruangan kantor hingga kemudian memasuki sebuah ruangan yang sepertinya ukurannya cukup luas. Itu bisa dilihat dari dindingnya yang transparan.Lelaki itu menoleh sejenak ke arah Rea, menunggunya untuk lebih dekat ke arahnya, baru kemudian dia membuka pintu ruangan. Rea dengan ragu, ikut melangkah masuk. Dan alangkah terkejutnya dia ketika di dalamnya sudah ada belasan pasang mata yang memperhatikan kedatangan mereka.&nb
"Bolehkah aku sendirian saja malam ini?"Mereka berdua baru sampai di apartemen sore itu saat Rea mencegah Devon untuk turun dari mobil. Lama lelaki itu terdiam menatap lurus ke depan kaca mobilnya. Dia paling benci penolakan, tapi untuk membuat wanita di sampingnya ini tidak nyaman juga bukan salah satu keinginannya."Kenapa? Kamu terganggu dengan kehadiranku?" Dia menetap lekat Rea yang juga tengah menatapnya menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan."Aku butuh waktu sendiri untuk memikirkan masalah rumah tanggaku, Von," jelas Rea lirih.Kembali lelaki tampan itu terdiam. Jika dia tidak ingin jauh dari wanita ini, itu bukan semata-mata dia menginginkan kesenangan untuk dirinya sendiri. Tapi semua itu dia lakukan karena ingin melindunginya, memastikan bahwa Rea baik baik saja."Berapa lama?" Kali ini dia menatap tepat ke dalam bola mata Rea dengan intens. Rea gugup seolah lelaki ini bisa membaca semu
Rea sudah bersiap dengan baju kerjanya, saat dia baru menyadari bahwa lelaki itu tidak menghubunginya dari semalam. Padahal dia bilang katanya Rea harus menjawab teleponnya saat dia menghubungi. Ternyata Devon masih saja merupakan makhluk aneh bagi Rea.Sekarang Rea pastinya harus berangkat ke kantor sendirian. Dia berencana memesan taksi online saat sudah berada di lobby apartemen. Usai melirik jam di pergelangan tangannya sebentar, Rea bergegas keluar dan menuju lift untuk turun."Rea?" Seorang lelaki memanggilnya saat sampai di luar lobby. Rea menoleh."Yaa?" Rea tidak mengenalnya. Dia seorang lelaki dengan perawakan yang setinggi Devon tapi dengan warna kulit sedikit lebih gelap, potongan rambutnya agak gondrong dan sedikit berombak. Bentuk tubuhnya sama atletisnya dengan sang boss otoriter itu, hanya lelaki ini sedikit lebih berotot."Aku akan mengantarmu ke kantor," kata lelaki itu."Anda, sia
"Ohh Shit!!" Teddy berteriak keras, mengumpat jengkel saat matanya tak sengaja berbenturan pada dua sosok yang sedang bergumul di atas tempat tidur dengan kondisi nyaris telanjang.Dua makhluk berbeda jenis itu segera menoleh mendengar teriakan seseorang dari arah pintu. Devon mengumpat pelan, sementara si wanita segera menutupi tubuh berantakannya dengan bed cover.Dengan kepala sedikit berdenyut Devon mengambil celana jins nya yang tergeletak di lantai lalu memakainya dan menghampiri sahabatnya."Sorry, Bro. Nggak tau. Soalnya nggak ada jejak sama sekali dari luar," kata Teddy sambil menutupi wajahnya dan menahan senyum."Sial!" umpat Devon sambil menonjok bahu sahabatnya dengan keras. Teddy meringis, lalu keduanya berjalan santai keluar kamar menuju dapur."Ada yang penting?" tanya Devon usai menyesap minuman kaleng yang baru saja diambilnya dari lemari pendingin.
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka
Lelaki itu nampak sangat tampan dengan setelan jas warna putihnya. Meskipun suasana di ruangan itu penuh suka cita, namun wajah lelaki itu nampak tidak begitu bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia selalu menebarkan senyum ke setiap tamu yang datang ke pesta kecil pertunangan mereka.Ketakutan akan kehilangan sang ibunda menyebabkan Devon akhirnya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Cecilia.Atas permintaan Devon, pesta pertunangan kecil itu dilaksanakan di rumah orang tua Devon, hanya mengundang beberapa klien penting saja. Bu Arina yang akhirnya mendapatkan keinginannya agar putra semata wayangnya brrsanding dengan putri sang sahabat nampak mengembangkan senyum bahagianya di atas kursinya.Dokter menyatakan bahwa wanita baya itu sudah cukup sehat untuk dibawa pulang. Jadi dia memutuskan segera melangsungkan pesta pertunangan Devon dengan Cecilia.
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang