[Devon: Aku sudah di depan. Bisakah kita sambil makan siang?]
Rea membaca pesan itu lalu melongok sebentar lewat jendela kamar tamunya. Sebuah mobil Mercedes Benz C Class warna hitam terparkir disana. Rea tidak bisa melihat orang yang ada di dalamnya, tapi itu sudah pasti Devon.
[Rea: Iya baiklah. Tunggu sebentar aku telpon suamiku untuk pamit dulu ya?]
Devon mengumpat membaca balasan pesan dari Rea. Jadi wanita model kayak gini yang tega dicurangi lelaki tak punya otak itu?
Devon membukakan pintu mobil saat Rea keluar dari rumah dan menghampiri tempat dia parkir.
"Maaf ya lama," ucap wanita itu sambil sedikit menundukkan badan masuk ke mobil.
Bau harum maskulin langsung merebak saat Devon masuk dan menutup pintu mobil. Sandra tidak salah memilih pasangan. Sahabatnya itu memang memiliki selera sangat berkelas, gumam Rea dalam hati.
"Kamu suka makan apa, Rea?" tanya Devon saat mobil mulai melaju pelan membuat Rea sedikit kaget.
"Eh ... apa? Aku? Apa aja, Von. Aku nggak ada pantangan kok," kata wanita itu sambil nyengir.
"Biasanya ibu hamil suka pengen makan yang spesial kan?" Oops! Sial! Devon mengumpat lagi dalam hati. Dia keceplosan. Harusnya dia berakting tidak tahu kalau wanita di sampingnya ini sedang hamil.
"??" Rea menatapnya dengan senyum penuh tanya. "Dari mana kamu tahu kalau aku hamil?" tanyanya.
"Hanya menebak. Apa aku benar?" Devon mengedikkan bahunya.
"Iyya, kok bisa bener sih?" Rea memicingkan matanya ke arah Devon. "Hmm pasti Sandra yang ngasih tau kan?" Dia tertawa. Entah kenapa perut Devon mual mendengar Rea menyebut nama Sandra. Apa dia harus memberitahu wanita ini skandal suaminya dengan Sandra? Sejenak Devon menimbang. Tidak, dia tidak akan melakukan itu. Suatu hari wanita ini pasti akan tahu dengan sendirinya, bukan lewat dia.
"Jadi ... mau makan apa nih?" tanyanya lagi.
"Apa aja nggak masalah, Von. Tapi kalau kamu pengen tau sih, aku suka steak," kata Rea dengan mimik lucu. Devon mengangguk, selera yang sederhana, pikirnya.
"Oke, steak ya? Aku akan ajak kamu makan di tempat steak paling enak." Devon melajukan mobilnya lebih cepat. Entah kenapa suasana hatinya menjadi sedikit tenang kali ini.
☆☆☆
"Ini hotel kan?" Rea mengerutkan dahi. Tiba-tiba ada sedikit kecemasan dalam hatinya. Kenapa pacar sahabatnya ini membawanya ke hotel? Bukannya tadi dia bilang mau mengajaknya makan? Pandangannya menatap Devon penuh curiga.
"Disini steaknya sangat enak," jelas Devon sambil tersenyum geli. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan wanita ini, takut akan dirinya. Lucu sekali, pikirnya.
Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Rea dan bermaksud manggandeng tangan mungilnya masuk ke dalam hotel. Tapi dia agak terkejut saat Rea ternyata menolaknya dengan halus.
"Maaf," katanya dengan nada menyesal. Dia teringat Sandra karena terbiasa menggandeng tangan Sandra saat keluar dari mobil.
Rea mengikuti Devon ke dalam hotel lalu menuju lift yang membawa mereka berdua ke roof top. Mendadak Rea merasa malu saat mereka sampai di sana. Devon ternyata hanya ingin mengajaknya ke sebuah restauran hotel yang berada di atap gedung itu. Dia mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena sudah menyangka lelaki ini ingin berniat buruk padanya.
Seorang pelayan yang terlihat masih sangat belia menghampiri mereka sesaat setelah Devon memundurkan kursi untuk Rea. Untuk kesekian kalinya Rea melayang dengan perlakuan lelaki berkelas ini. Membukakan pintu mobil saat dia masuk dan keluar, menggandeng tangan saat berjalan walaupun akhirnya ditolaknya dan sekarang menyiapkan kursi untuknya duduk. Anggit, suaminya bahkan tak pernah melakukan semua itu padanya. Sandra sangat beruntung, pikirnya.
"Chef Hendra sedang di tempat?" tanya Devon pada pelayan itu.
"Ada, Pak? Bisa saya panggilkan jika Bapak berkenan."
"Oke," kata Devon. Pelayan itu berpamitan dengan sopan lalu berlalu membawa kembali daftar menunya. Sejurus kemudian seorang lelaki yang mungkin berusia 40 tahunan datang. Keduanya berjabat tangan akrab dan saling menanyakan kabar.
"Dan ini?" Chef Hendra mengulurkan tangan ke arah Rea. Rea membalasnya dengan jabatan tangan hangat.
"Halo, aku Rea, teman Devon, Chef," ucapnya ramah.
"Sebenernya aku mengantar wanita cantik yang lagi hamil ini untuk mencicipi steak paling enak buatan chef di sini," ucap Devon membercandai sang chef.
"Oooh ... I see. Steak segera siap, Ma'am. Silahkan di tunggu sebentar dan kami pastikan tidak akan mengecewakan," kata Chef Hendra terkekeh ramah lalu meninggalkan Rea dan Devon yang saling pandang dan tersenyum.
"Kalian berteman?" tanya Rea.
"Ya ... kami bertemu di London waktu aku kuliah di sana. Dia chef yang sangat handal."
"Ooh." Rea mengangguk membawa suasana hening sejenak setelahnya. "Jadi, apa yang mau kamu bicarakan? Apa soal Sandra?" Rea mencoba membuka pembicaraan.
"Yaaa ... aku hanya perlu sedikit informasi."
"Tentang?"
"Apa aku boleh tau, sedekat apa kamu sama Sandra, Rea?"
"Dekat. Sangat dekat, Von. Sandra dan aku berteman sejak SMA. Sepertinya Kamu sedang galau ya sama hubungan kalian?" goda Rea. "Kalau kamu masih ragu padanya, aku hanya bisa bilang kalau Sandra itu gadis baik-baik." Rea menghentikan kalimatnya sebentar mengatur nafas. "Apa kamu bermaksud melamarnya? Jika iya, aku akan sangat senang bisa membantu." Rea tersenyum sangat manis.
Devon sempat terpana melihat senyum itu, Tapi dia lebih kaget dengan kalimat yang diucapkan wanita itu barusan. Sebaik ini sahabatnya, dan Sandra tega menyakitinya? Devon menggelengkan kepalanya.
"Tidak? Maksudnya Kamu tidak berencana untuk melamarnya?" Rea menyangka gelengan kepala Devon berarti dia tidak akan melamar Sandra. Padahal sebenarnya Itu hanya ungkapan kekecewaan Devon untuk Sandra.
"Tidak! Eeeh maksudku, Tidak untuk saat ini," jawab Devon berdusta, mencoba menjawab keterkejutan Rea.
"Tapi, kalian serius kan? Maksudku, hubungan kalian. Jujur aku sangat ingin melihat Sandra segera menikah juga," kata Rea lagi. Dan lagi-lagi hal ini membuat Devon sakit perut. Ingin sekali dia muntah saat itu juga demi mendengar kata-kata Rea.
"Kalau jodoh takkan kemana." Ucapan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Devon. Dia tahu dia tidak akan mungkin lagi memiliki impian menikahi Sandra, tapi dia juga tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya kepada Rea. Ada semacam ketidak tegaan menyeruak dalam hatinya.
"Iya, kamu benar. Aku dulu bahkan tidak pernah membayangkan bisa menikah dengan Anggit. Tapi ternyata Tuhan berkata lain."
"Suamimu?" Rea mengangguk "Apa kamu mencintainya?" Pertanyaan bodoh itu keluar begitu saja dari mulut Devon dan bahkan terdengar sangat konyol di telinganya sendiri. Tentu saja wanita itu mencintai suaminya. Mereka bahkan akan segera memiliki anak, rutuk Devon dalam hati.
"Sangat. Anggit adalah cinta pertamaku." Rea terkekeh malu-malu.
Devon menatap wanita itu lekat. Benar-benar wanita malang. Haruskah dia memberitahunya sekarang? Dia benar-benar sangat innocent dan tidak tahu apa yang sedang dialaminya sekarang. Apa yang akan terjadi nanti saat dia tahu? Hidupnya pasti akan sangat hancur.
"Berapa usianya?" Devon mencoba mengalihkan pembicaraan.
"??" Rea mengernyit sebentar sebelum akhirnya tahu kemana arah pembicaraan Devon karena lelaki itu segera menunjuk ke arah bawah, ke perutnya.
"Tiga bulan," jawabnya.
"Sudah berapa lama kalian menikah?" Kok dia mendadak merasa seperti sedang menginterogasi wanita di hadapannya ini. Devon mengulum senyum, merasa aneh pada dirinya sendiri.
"Belum lama sih. Baru 2 bulan yang lalu." Rea tersenyum malu "Kami ... kecelakaan... you know? Seperti itu," katanya sambil terkekeh menyembunyikan malu di wajahnya.
Devon merasa ingin tertawa, tapi demi menghormati Rea, akhirnya dia memilih untuk pura pura tersedak saja. Wanita ini benar-benar lugu.
Sandra duduk dengan gelisah di pojok ruangan. Beberapa saat yang lalu Anggit menelpon dari kantornya dan bilang ingin mengatakan hal penting. Wanita itu penasaran tentang apa, tapi dia yakin pasti ada hubungannya dengan mereka berdua.Anggit datang tergesa lima menit kemudian, seperti biasa mereka selalu berciuman sebentar. Sangat menjijikkan jika saja ada orang yang tahu bahwa keduanya bukan pasangan suami istri."Ada apa?" tanya Sandra saat Anggit sudah terlihat duduk dengan tenang disofa cafetempat favorit mereka bertemu."Pacar kamu ... ngajak Rea keluar makan siang tadi.""Apa?? Devon? Kamu serius?""Rea menelponku bilang pamit mau keluar sama pacarmu.""Tapi itu nggak mungkin, Git. Mereka berdua nggak deket. Setau
Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
"Yakin nggak mau aku antar masuk?" tanya Devon pelan di depan pagar rumah. Rea menggeleng."Biar kuselesaikan masalah ini sendiri saja," kata Rea. Devon mengangguk tidak yakin."Baik, masuklah! Aku tunggu disini.""Pulanglah, Von. Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Rea merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil yang harus ditunggui ayahnya karena takut. Namun belum sempat dia protes, dilihatnya Anggit keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Tak ingin terjadi pertikaian karena Rea tahu betapa Devon pasti juga sangat ingin sekali menghajar suaminya itu, Rea segera berlalu meninggalkan Devon masuk ke pagar rumah."Dari mana kamu, Rea?" tanya Anggit menata
Teddy membuka layar ponselnya saat tiba di parkiran kantor. Dibukanya satu pesan dari Devon.[Cari tau kabar Rea, dia tidak merespon chat dan panggilanku dari semalam. Aku agak khawatir. Secepatnya ya?]Lelaki bertubuh jangkung itu mengunci layar ponselnya dengan cepat dan segera bergegas menuju mobil sport warna silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Hanya satu tujuannya, yaitu rumah Rea, wanita yang sepertinya beberapa hari belakangan telah membuat sahabatnya susah konsentrasi.☆☆☆Rea duduk di sofa ruang tengah diapit kedua orang tuanya. Tangis sesenggukannya sejak dia sampai di rumah itu belum juga mereda. Bu Renata, ibu Rea, memeluk bahu anaknya dengan perasaan teriris. Dia benar-benar tidak menyangka putri kesayangannya itu mengalami nasib buruk dalam pernikahannya yang baru seumur jagung.Sementara Pak Hanggono, ayah Rea, terdiam
Orang kaya itu memang terkadang tingkahnya aneh dan susah dipahami, begitu pun dengan Devon. Sepulang dari rumah orang tua Rea, dia langsung menghubungi Teddy, meminta sahabatnya itu mengambil alih semua pekerjaannya di perusahaan start-up yang menjadi kebanggaannya itu.Lalu dia mengabarkan berita gembira pada pamannya bahwa dia berubah pikiran. Minggu ini dia akan mulai memimpin perusahaan peninggalan mendiang papanya. Entah apa yang ada di dalam otak lelaki blasteran berusia 27 tahun itu.Pertemuannya dengan Rea hari ini tak disangka menjadi mood booster untuk Devon. Semangatnya seolah menjadi sepuluh kali lipat dari hari-hari biasanya. Dia ingin sekali membawa wanita itu kembali ke Jakarta secepatnya dan menemani setiap hari-harinya.Melangkah memasuki lift menuju apartemennya di lantai 30, Devon berjalan bagai tak berpijak, ringan sekali seolah tak ada beban apapun yang mengganggu pik
Ternyata Devon serius dengan omongannya, hari berikutnya Rea mendapat pesan dari lelaki itu tentang lowongan kerja di perusahaan temannya. Devon bilang seorang temannya sedang membutuhkan seorang sekretaris."Tapi aku sedang hamil? Apa tidak masalah?" kata Rea di telepon."Temanku bilang dia bahkan tidak masalah jika harus mempekerjakan seorang nenek-nenek," ujar Devon sambil menahan tawa atas ucapannya sendiri."Baik sekali ya teman kamu itu. Kapan aku bisa masukkan surat lamarannya?" tanya Rea."Secepatnya katanya. Kapan kamu ada waktu? Besok bisa?""Baiklah, aku siapkan dulu berkas lamarannya."
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka
Lelaki itu nampak sangat tampan dengan setelan jas warna putihnya. Meskipun suasana di ruangan itu penuh suka cita, namun wajah lelaki itu nampak tidak begitu bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia selalu menebarkan senyum ke setiap tamu yang datang ke pesta kecil pertunangan mereka.Ketakutan akan kehilangan sang ibunda menyebabkan Devon akhirnya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Cecilia.Atas permintaan Devon, pesta pertunangan kecil itu dilaksanakan di rumah orang tua Devon, hanya mengundang beberapa klien penting saja. Bu Arina yang akhirnya mendapatkan keinginannya agar putra semata wayangnya brrsanding dengan putri sang sahabat nampak mengembangkan senyum bahagianya di atas kursinya.Dokter menyatakan bahwa wanita baya itu sudah cukup sehat untuk dibawa pulang. Jadi dia memutuskan segera melangsungkan pesta pertunangan Devon dengan Cecilia.
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang