Ji Hwan menatap pintu restoran yang terbuat dari kaca dan memungkinkannya leluasa memandang ke luar. Amara sudah telat nyaris dua puluh menit. Dia sama sekali tidak tahu apakah terlambat merupakan kebiasaan Amara. Menyabarkan diri, Ji Hwan tetap bertahan di tempat duduknya.
Ada keinginan untuk menghubungi Amara via telepon. Atau berkirim pesan lewat aplikasi WhatsApp. Ji Hwan menyimpan nomor ponsel gadis itu. Akan tetapi, dia tahu bahwa Amara tak sama dengan gadis-gadis lain. Jika dia salah langkah, bisa-bisa Amara malah makin menjauh dan membencinya.
Ji Hwan tidak tahu apa yang sudah dialami Amara seputar lawan jenis. Namun dia bisa menebak bahwa gadis itu pernah melewati pengalaman traumatis yang membuatnya begitu kaku dan waspada saat berada di depan kaum adam. Seharusnya, dia menjauh dari gadis itu. Akan tetapi, perasaannya tak bisa dibohongi atau dikendalikan. Dia sangat menyukai Amara dan bertekad tak akan mundur sebelum berusaha mati-matian.
“Kamu a
“Ah, Mara, kenapa nggak bilang terus terang kalau kamu tak tertarik untuk datang?” keluh Ji Hwan dalam hati.Dada Ji Hwan terasa ngilu karena fakta itu. Kenapa dia tidak bisa menjadi cowok istimewa di mata Amara? Sejak awal Ji Hwan sudah tahu kalau Amara memiliki persoalan serius sehubungan dengan lawan jenis. Dia masih belum bisa lupa reaksi gadis itu tatkala mereka bertemu di kampus pertama kali. Reaksi yang menguakkan banyak fakta.Namun pada akhirnya yang salah adalah Ji Hwan. Sudah tahu dia berhadapan dengan gadis yang tidak mudah bahkan sekadar untuk diajak bicara, tapi masih saja nekat menyukai Amara. Dan entah keberanian dari mana yang membuatnya mengajak Amara untuk merayakan hari bersejarahnya kali ini.Ji Hwan meraih ponsel di sakunya dan nyaris memencet panggilan cepat nomor dua. Namun dia buru-buru membatalkan niat itu sekuat tenaga. Amara bukan orang yang mudah diprediksi, jauh lebih rumit dibanding rumus kimia paling kompleks. Ji Hwan
Selama berhari-hari, Amara berdebat dengan hatinya sendiri. Akal sehat versus emosi. Dan makin lama dia hanya mampu menahan gunungan rasa malu yang kian meninggi. Di masyarakat mana pun apa yang sudah dilakukan Amara tidak pantas mendapat pemakluman, kan? Dia memang sudah keterlaluan.Amara terjebak dalam perasaan yang saling tarik-menarik. Merasa bersalah tapi tidak melihat jalan keluar yang bisa membebaskannya dari perasaan itu. Meminta maaf menjadi terasa sangat berat karena jauh di kedalaman hatinya Amara cemas Ji Hwan benar-benar marah dan tak akan sudi memaafkannya.Entah sejak kapan perasaan Ji Hwan menjadi penting baginya. Namun setelah berusaha keras memikirkan segala kemungkinan, Amara mengambil kesimpulan. Ji Hwan yang sabar dan tidak menjauh darinya seharusnya mendapat lebih banyak penghargaan. Bukan karena Ji Hwan mengaku punya perasaan istimewa untuk Amara, melainkan sebagai seorang manusia seharusnya gadis itu memberikan atensi yang pantas.&ldquo
Ji Hwan melongo. Ekspresinya tampak menggelikan hingga membuat Amara diam-diam menahan senyum. Tebakan Amara, cowok itu tidak menyangka akan mendengarnya bicara cukup panjang. Ini pasti menjadi semacam rekor baru dalam interaksi mereka berdua.“Kamu mungkin nggak tau, tapi aku merasa bersalah karena udah ngebatalin janji secara sepihak. Aku bahkan udah bertingkah nggak sopan, kan? Seharusnya aku meneleponmu supaya kamu nggak menunggu-nunggu. Aku tau itu, tapi aku tetap aja nggak melakukannya.” Amara menunduk, kehilangan kata-kata. Dia sendiri cukup kaget karena bisa berbicara lumayan panjang meski tentu tak berarti banyak bagi Ji Hwan.“Kalau kamu memang nggak mau makan malam denganku, bukan masalah, kok. Aku bisa mengerti,” kata Ji Hwan dengan suara rendah.“Bukan begitu!” suara Amara agak kencang. Dia segera menyesali kecerobohannya saat menyadari beberapa pengunjung menatapnya seakan berkata “ini perpustakaan, bukan t
Sepanjang sisa siang itu, Amara diterpa kegugupan luar biasa yang coba disembunyikan setengah mati. Lututnya bergetar, membuat gadis itu tak sanggup berdiri lebih dari lima detak jantung. Telapak tangannya dibanjiri keringat yang seakan tidak bisa berhenti mengalir. Entah berapa kali dia mengusapkan tangannya di kaus yang dikenakan. Tremor di sana-sini.Setelah meninggalkan perpustakaan, Amara mulai merasa kacau. Andai bisa, betapa ingin gadis pingsan dan terbangun esok paginya saja. Sehingga bisa melewatkan malam itu. Sayangnya itu mustahil, kecuali dia menderita penyakit berbahaya yang memungkinkan kehilangan kesadaran dalam jangka waktu lama.Amara memilih berjalan kaki menuju kampusnya yang memang bersebelahan dengan perpustakaan. Kepalanya tertunduk sambil menendang kerikil kecil di tepi jalan. Ada banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar Amara, tapi gadis itu tenggelam dalam dunianya sendiri.“Kamu kenapa? Apa enaknya melamun sambil jalan? Bis
“Kamu beneran nggak keberatan meneleponku tiap sepuluh menit?” Amara memastikan dengan tatapan tak percaya.“Tentu! Apa susahnya nelepon tiap sepuluh menit?” Sophie malah balik bertanya. Suara gadis itu melembut saat bicara lagi. “Kasih kesempatan untuk Ji Hwan, Mara. Juga kesempatan untuk dirimu sendiri. Bukan kesempatan yang aneh, cuma untuk ngedapetin teman baru. Jangan mikir terlalu jauh dulu, apalagi yang jelek-jelek. Aku percaya Ji Hwan orang yang baik. Pada dasarnya, ada lebih banyak orang baik di dunia ini, kok.”Amara ingin membantah. Cello adalah contoh nyata, sosok yang selama bertahun-tahun dianggapnya sebagai teman baik yang memiliki hati lurus. Namun akhirnya Amara memilih menelan kembali kata-katanya. Sophie benar, dia harus memberi kesempatan pada Ji Hwan dan dirinya sendiri. Minimal untuk saling kenal, berinteraksi lebih intens dibanding yang sudah terjadi. Apa pun yang terjadi di masa depan, dia akan mencari t
Tanpa terasa, tahu-tahu hari sudah merayap dalam kegelapan dan malam menjelang. Amara sudah rapi sejak pukul setengah tujuh. Dia nyaris menutup mata dan menahan napas saat meraih celana jeans dan kemeja putih dengan aksen kancing di bagian lengan. Amara tidak ingin berdandan heboh dan memberikan kesan yang keliru kepada Ji Hwan. Rapi dan nyaman adalah pilihan terbaik, setidaknya untuk saat itu.“Kamu mau keluar ya, Mara?” tanya Ika saat mengantarkan pakaian yang baru diambil dari laundry ke kamar Amara.“Iya, Mbak. Ada janji sama teman,” aku Amara. “Cowok,” suaranya melirih.“Wah, bagus kalau begitu. Memang udah saatnya kamu keluar bareng teman cowok,” sahut Ika santai. “Semoga semuanya lancar, ya.”“Makasih, Mbak,” sahut Amara, agak kikuk.“Jangan lupa pesannya Nef sebelum kamu balik ke sini. Bahwa kamu harus belajar menjalani hidup normal kayak dulu,&r
Berada di boncengan motor motor sport milik Ji Hwan membuat Amara tidak bisa menjaga jarak dari cowok itu. Posisi sadel yang miring sedemikian rupa mau tak mau memaksa tubuh gadis itu nyaris menempel di punggung Ji Hwan. Entah berapa kali Amara mencoba bergeser mundur dengan hati-hati.Mengapa saat pertama kali dibonceng oleh Ji Hwan dia tak sampai terganggu akan posisi sadel? Padahal ini motor yang sama yang digunakan Ji Hwan untuk mengantar Amara pulang tempo hari.Karena itu, Amara menarik napas luar biasa lega saat akhirnya Ji Hwan menghentikan motornya di sebuah area parkir yang luas. Ada dinding tinggi dengan tanaman rambat yang membuat Amara tidak bisa melihat bangunan yang berdiri di baliknya dengan leluasa. Dengan gerakan hati-hati, Amara turun dari boncengan.Di saat itu, ponselnya berbunyi. Amara merogoh kantong celana dan menahan diri untuk tidak mengumpat di depan Ji Hwan. Ada sembilan panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor ponsel S
Ups, Amara nyaris menepuk keningnya saat kata “menawan” melintas di benaknya. Namun gadis itu tidak sempat berlama-lama mengomeli diri sendiri karena perhatiannya tersedot oleh pemandangan yang tersaji. Ji Hwan tampak cekatan dan tidak canggung berhadapan dengan kompor dan peralatan masak. Pegawai restoran yang tadi menunjukkan arah, berada di sebelah cowok itu. Tampaknya si pegawai siap membantu jika Ji Hwan membutuhkan sesuatu.Entah berapa lama Amara berdiri mematung dengan tangan memeluk jaket harum milik Ji Hwan. Aroma parfum cowok itu yang mulai dikenali Amara pun mengendap di hidungnya. Hal itu membuat percakapannya dengan Sophie memenuhi benak Amara selama beberapa saat.“Omong-omong, kenapa selama ini aku nggak nyadar kalau Ji Hwan memakai parfum, ya? Kalau nanti ketemu dia lagi, aku akan mengendusnya.”Kini, Amara bisa mencium aroma yang identik dengan wangi yang menguar di mobilnya waktu itu, tanpa perlu mengendus deng