"Sekarang kumpulkan buku latihan kalian."
Perintah seorang guru wanita yang berada didepan sebuah kelas.
"Kalau sampai saya melihat foto selfie dengan banyak filter edit seperti kemarin, bakalan langsung saya buang ke tempat sampah."
Salah satu guru mengharuskan muridnya untuk memiliki dua buku latihan dan buku catatan, kemudian diharuskan menempelkan foto rapih mereka, juga bahkan menuliskan peraturan yang dibuat oleh guru mereka pada lima lembar utama di masing-masing buku. Oleh karena itu, mereka satu persatu mengumpulkan buku mereka sesuai barisan yang diperintahkan oleh guru mereka untuk melakukan pengecekan, dan itu juga dilakukan oleh seorang gadis yang sudah menitipkan bukunya pada kursi didepan untuk kembali dioper ke depan, dan kini dia sedang duduk bersandar sambil memainkan Ludo diponselnya secara diam-diam bersama dengan teman sebangkunya.
Sementara itu, ketua kelas mengambil buku-buku mereka dan langsung mengumpulkannya pada meja guru.
"Jalan anj*r, malah ngelamun." Ujar gadis itu pada teman sebangkunya laki-lakinya yang saat ini terkekeh.
"Sabar, matanya ngarah kesini, nih, ngeliatin lo."
"Mana? Tanya gadis itu melirik ke depan dan memang benar." Ah, iya. Gue lagi cantik banget kayaknya hari ini, makanya dia ngeliatin."
Teman sebangkunya tertawa mual mendengar tingkat kepercayaan diri gadis itu yang tinggi. Gadis itupun ikut tertawa.
"Dinar."
"Iya saya, kenapa, bu?" Sahut gadis itu langsung menatap kedepan.
"Dimana foto kamu?"
"Ada di dalem lah bu. Makanya diliat dulu, baru nanya." Ujarnya sempat membuat beberapa murid lain tertawa ditahan, sementara guru itu terlihat menatap kesal sambil membuka buku milik gadis itu.
Namun saat dibuka, foto yang dipakai gadis itu justru gambar sebuah meme yang sedang ramai dikalangan anak zaman sekarang.
"Dinar, kamu bercanda sama saya? Setelah kemarin kamu pakai foto selfie, sekarang kamu pakai foto ginian?"
"Siapa yang bercanda sih, bu? Lagian saya emang nggak tau mau pake foto apa. Jadi itu aja."
Guru wanita didepan itu rasanya mulai kesal dengan kelakuan gadis itu. "Saya itu nyuruh kamu masang foto kamu, bukan meme kayak gini!"
"Yaudah sih bu, masih untung saya mau pajang foto saya disitu. Lagian yang kemarin juga malah di robek sama Ibu, kan? Salah siapa? Udah tau itu foto tercantik saya."
Guru wanita itu rasanya menjadi semakin kesal dengan sikapnya.
"Dinar!"
"Apalagi, bu? Ujarnya langsung bangkit berdiri. "Ganti lagi? Oke, nih, saya bawa cadangannya. Ibu mau liat?"
Gelak tawa langsung terdengar keras didalam kelas ketika gadis itu justru menjadi mengeluarkan sebuah foto guru mereka yang berada didepan saat ini, terlihat sedang bergaya selfie dengan alay disana.
"Yang ini, boleh?"
"DINAR!!! KELUAR KAMU!"
Dinnartika Arvega.
Siapapun pasti mengenalnya. Gadis yang terkadang dipanggil Cici oleh teman-temannya itu merupakan biang onar disekolah mereka. Memiliki wajah asli oriental dengan rambut hitam yang panjang, berkulit putih, sedikit bermata sipit dan pipi yang tembab.
Katakan, siapa yang tidak mengenal seorang Dinar, si gadis troublemaker nomor satu disekolahnya?
Gadis yang sering membuat banyak masalah dengan kelakuannya dan meryupakan satu-satunya murid perempuan yang mendapatkan banyak poin minus, dari banyaknya anak badung sekolah, bahkan ketiga teman-teman dekatnya, The Dude.
Yap, The Dude.
Julukan lain yang diubah sedikit menjadi lebih menarik, menggantikan julukan asli ketiga dari mereka yang sebelumnya biasa dijuluki Trio B*ngs*t.
Tidak terlepas dari julukan itu, Seorang Dinar memang dikenal sangat dekat dengan ketika laki-laki tampan dan menggoda satu sekolahan mereka, meski mereka bertiga adalah murid yang badung. The Dued atau ketiga laki-laki itu adalah cs kental Dinar sejak pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di SMA Cita Buana ini.Lalu, siapa sajakah mereka? Mari mengenalnya sebelum jauh.
Pertama, adalahCalvin Perwira.
Kedua,
Keano Melgiansyah. Terakhir, adalahSandy Satria Pangestu.Ketiga laki-laki boyfriend materials yang namanya sangat tidak asing dan tentunya dikagumi banyak kaum hawa disekolah mereka, karena wajah dan gaya mereka membuat siapapun yang melihatnya bisa menjerit-jerit dengan historis bahkan sampai mimisan dibuatnya. Seolah paket lengkap, ketiga laki-laki seperti mereka bersatu dan bersahabat dengan Dinar. Persahabatan konyol bodoh bahkan bobrok yang tapi untungnya salah satu dari mereka tidak memiliki rasa apapun seperti pada kebanyakan cerita remaja. Seorang Dinar bukannya disukai atau menjadi rebutan diantara mereka bertiga, tapi justru menjadi yang ditolak mentah-mentah oleh mereka.
Bukan karena Dinar tidak menarik apalagi tidak cantik, tapi itu karena mereka takut.
Berteman dengannya saja sudah menyeramkan, apapun bisa dilampiaskannya, bahkan Samson pun kalah meski sudah mengeluarkan kekuatannya, jadi mereka tidak pernah membayangkan jika bisa lebih dari sekedar teman dengannya.
Namun itu tidak hanya berlaku bagi mereka bertiga, tapi juga untuk yang lainnya. Siapa pun takut dengan seorang Dinar si buang onar. Mungkin beberapa dari mereka ada yang tidak, karena mungkin mereka belum tahu dan mengenal bagaimana seorang Dinar, atau mungkin juga mereka sudah mengenalnya dengan baik.
Troublemaker.
Tidak lepas dari kata itu, biasanya hal itu sudah pasti melekat erat pada orang-orang yang tidak jauh dari kata tampan dan juga cantik. Karena hal itupun berlaku untuk seorang Dinar. Dinar termasuk jajaran gadis yang cantik disekolah. Orang-orang pun mengakuinya meski memang wajahnya tidak secantik Pevita Pearce atau Raisa Adriana.
Apalagi yang orang-orang ketahui dari seorang Dinar?
Ada lagi, masih soal teman.
Seorang Dinar tidak memiliki teman perempuan yang benar-benar dekat dengannya selain Kiandra Tasyafani dan juga Malika Anjani. Dinar bisa berteman baik dengan Tasya juga karena gadis itu merupakan pacar dari Kean, sementara Jani, bisa menjadi temannya karena mereka pernah bertemu dirumah polisi saat ketahuan mengemudi tanpa surat lengkap berkendara. Kala itu, sekolah menengah pertama. Mereka sudah belajar mengendarai mobil dengan brutal seperti jalanan hanya milik mereka dan keduanya pun memiliki sifat yang sama. Sama-sama gila dan brutal.
"BALIK! BALIK! BALIK!"Lagi dan lagi.
Dinar menjadi biang masalah dari semua permasalahan yang ada di sekolah. Perihal apapun, tanpa ada celah untuk kata kecuali membiarkannya menghalangi. Terlebih lagi jika urusan ini menyangkut kenyamanannya dan tidak sesuai keinginannya.
Tepatnya seperti saat ini.
Keberadaannya berdiri dengan piluh dan wajah lusuh, ia menjadi provokator diantara murid yang ingin segera pulang karena acara yang OSIS diadakan sangat membosankan. Dan jika disitu ada Dinar yang memulainya menjadi provokator, tentunya ia tidak sendiri. Dibelakangnya jelas ada tiga cs kentalnya yang selalu satu pikiran dengannya itu membantunya meneriakan suara kebebasan bersama.
"BALIK WOY! KITA MAU BALIK! SEKOLAH APAAN NGADAIN ACARA DARI PAGI BUTA SAMPE SORE BEGINI!?!"
Calvin. Suara berat dan terdengar sangat lantang itu berasal dari laki-laki setinggi tiang listrik, yang sejak tadi pun sudah mengompor-ngompori agar yang lainnya ikut semakin berisik dan heboh berteriak setuju agar membantunya keluar dari sekolahnya ini. Lebih tepatnya, keluar dari acara saat ini.
"TAU! ACARA ENGGAK JELAS, SERU ENGGAK! MENDING GUE MAIN GAME SEHARIAN DI RUMAH!"
Suara berat dan lantang selanjutnya kembali terdengar. Suara seorang Satria, laki-laki dengan sejuta ketampanannya. Sejuta ketampanan merupakan julukan untuk Satria dari para kaum hawa disekolah, karena bagaimanapun ekspresi dan posisinya, laki-laki itu selalu terlihat tampan. Bahkan ketika laki-laki itu pernah terpeleset saat bermain basket dilapangan karena keaadan hujan kala itu, wajahnya tetap terlihat tampan. Laki-laki sejuta ketampanan itu kini terlihat menatap tajam kelompok musuh. Mulutnya terus berteriak menyambungi dari komporan Calvin tadi.
"TAU, GILA! MENDING GUE TIDUR DARI PADA NONTONIN ACARA BEGITUAN!!"
Terakhir, itu adalah suara Kean. Laki-laki berkulit kecoklatan berbeda dengan Calvin dan juga Satria namun tidak kalah menggoda dengan senyuman mautnya itu juga ikut berteriak kompak agar gerbang sekolah segera dibukakan, dan mereka bisa terbebas. Tapi sayangnya tidak semudah itu. Kelompok musuh, masih terus bertahan menjaga gerbang sekolah.
"NGGAK! KALIAN NGGAK BOLEH KELUAR! ACARANYA BELUM SELESAI!"
Teriakan salah satu dari semua musuh murid— anak OSIS dan MPK yang berani angkat bicara setelah lima diantara tujuh belasnya lebih memilih diam karena lelah, dan juga takut dengan banyaknya jumlah mereka. Terlebih lagi terdapat keberadaan Dinar dan ketiga temannya.
"HEH! MENDING AJA KALO GUE DI BAYAR! INI DI BAYAR AJA ENGGAK! SEENAKNYA AJA LO NAHAN KITA SEMUA!"
Dinar kembali berteriak, menyuarakan kelelahan dan emosinya menunggu mereka membukakannya. Suara lantangnya pun mampu membuat keheningan ditengah teriaknya, lalu kembali bersorak-sorai menyetujui perkataannya setelahnya.
Suasana pun semakn ricuh. Anak-anak OSIS yang sudah terlihat kitcep meladeni berisiknya mulut-mulut para anak kelas dua belas yang seperti orang demo buruh pabrik, —meminta dinaikkan gaji. Sama halnya dengan anak MPK yang lebih memilih diam, dan hanya bisa menjaga pintu gerbang berharap tidak didobrak.
"BUKAIN, WOY! DENGER NGGAK SIH LO?!"
"Enggak ada yang boleh keluar, sebelum acaranya SELESAI!"
Suara itu, sukses membuat seluruh murid yang berdemo meminta dibukakan gerbang terdiam seketika. Suara itu begitu tajam, dingin dan menusuk, seolah panah tajam baru saja terarahkan tanpa diketahui sudah tertancap dalam.
Siapa lagi, kalau bukan suara sang ketua MPK yang menyebalkan itu?
"Kenapa pada diem? Lo semua bisa dengerkan tadi gue ngomong apa?" Ujar ketua MPK itu. "Enggak ada yang boleh keluar, tanpa kecuali!"
Laki-laki itu menatapnya dengan datar namun tatapan matanya terlihat sangat menakutkan dan mematikan seluruh murid yang sejak tadi mengerubungi tidak jauh dari keberadaan gerbang depan sekolah. Mereka terdiam, dan hanya saling melirik yang lainnya. Entah kenapa semuanya takut dengan suara dan tatapan itu.
Namun bagi seorang Dinar, itu tidak berlaku untuknya.
"GUE MAU BALIK! LO NGGAK TAU KITA CAPEK? SEHARIAN DI SEKOLAH LO KIRA KITA KERJA?!"
Dinar kembali berteriak marah karena keheningan melanda. Seluruh murid yang tadi terdiam sesaat pun kembali ikut berteriak ricuh, meminta gerbang dibukakan.
"Tugas lo itu cuman duduk, dan merhatiin acaranya sampe selesai! TAPI KENAPA LO SEMUA PADA SUSAH BANGET?!" Suaranya yang berawal rendah dan datar, kini berujung sentakan dan teriakan keras yang membuat semuanya kembali terdiam. Senyap. Mereka ketakutan.
"LAGIAN, LO BARU GUE SURUH DATENG PAGI, CUMAN BUAT DUDUK MANIS MERHATIIN ACARANYA, TAPI LO BILANG CAPEK?" Katanya lagi. "GIMANA SAMA KITA PARA OSIS SAMA MPK YANG NYUSUN ACARANYA? BISA MIKIR NGGAK?!"
Ketua MPK itu terlihat semakin marah. Walaupun wajahnya masih sama datar, namun terlihat dari nada bicaranya yang sudah meninggi. Kemarahannya pun pasti sudah berada diubun-ubunnya.
Tapi, itu tetap tidak berpengaruh apapun untuk Dinar.
Dinar tetaplah Dinar.
Dinar tidak akan takut sama sekali, jika itu menyangkut ketidaknyamanan dan bertentang keras dengan keinginannya.
"YA LO JUGA, UDAH TAU MURID PADA NGGAK MAU SAMA ACARA BEGITUAN! TAPI LO SAMA KELOMPOK SAMPAH LO MASIH AJA NGERENCANAIN HAL NGGAK JELAS KAYAK GITU! NGGAK GUNA!"
Suasana kembali ricuh, semuanya sangat menyetujui apa yang dikatakan Dinar.
Dinar lantas menatap kemenangan pada si ketua MPK itu. Namun ketua MPK itu hanya diam dengan wajah datarnya.
"Buka atau kita robohin ini gerbang!" Dinar kembali bersuara, seolah mengomando untuk bersiap agar melakukan penyerbuan. Dan itu membuat keadaan semakin ricuh.
Ketua MPK itu masih saja terdiam, tidak merespon apapun. Laki-laki itu hanya menatap dingin seluruh murid, sementara para OSIS dan MPK sudah melirikinya dengan cemas, bertanya apa yang akan mereka lakukan. Dan karena merasa tak ada jawaban apapun dari mereka, Dinar yang menjadi provokator itu kembali bersuara.
"Kalo beneran nggak mau bukan, KITA ROBOHIN SEKARANG JUGA! AYOO!!!"
Kemenangan berada didepan mata.
Dinar pun berlari semakin mendekati gerbang, mengajak seluruh murid lainnya untuk mengikutinya dan melakukan apa yang dikatakannya. Teriakan pun terdengar semakin ricuh saat gerbang mencoba didorong paksa oleh seluruh murid. Para OSIS dan MPK begitu juga ketua MPK yang tadi berjaga telah menyingkir dan membiarkan mereka merobohkan gerbang.
Dan,
BRAK!
Suaranya sangat keras, hingga nyaring. Gerbang lantas roboh. Seluruh murid kemudian berhamburan cepat meninggalkan lingkungan sekolah dengan teriakan kemenangan.
Harlingga Dio Wardana.Laki-laki berkacamata itu biasa di kenal dengan sapaan Lingga. Laki-laki yang selalu diduga lahir di Antartika paling ujung, dan mungkin juga Ibunya selalu mengidam banyak silet tajam. Begitulah, sekiranya orang-orang sering mengenalnya dan menjulukinya. Berwajah dan juga sikap yang dingin dan ketus, mulutnyapun setajam silet di acara televisi pada zamannya. Meski laki-laki itu jarang sekali bicara, tetapi sekalinya berucap, kalimat pedas, tajam dan menusuk sangat terasa di telinga dan dada.Lingga yang menjabat sebagai ketua MPK membuat orang-orangpun semakin tidak menyukainya, karena tahun sebelumnya, laki-laki itu sudah pernah menjabat menjadi ketua OSIS, kemudian di tahun berikutnya justru menjabat sebagai ketua MPK. Hal itu jelas membuat seluruh murid seperti berada didalam lapas penjara. Selalu ada banyak peraturan dan kedisplinan yang melelahkan bagi mereka, terutama bagi para murid
"CAL! TEMENIN GUE KE KAN—"Suara teriakan yang terdengar menggema dari lorong koridor itu menggantung. Dinar, si gadis yang baru saja berteriak dan kini berdiri diambang pintu kelas seorang Calvin Perwira yang ia panggil dengan Jangkung itu pun terkejut. Ia yang berniat ingin menghampiri Calvin untuk mengajaknya pergi ke kantin itu terdiam, karena matanya menangkap keberadaan laki-laki yang sudah menjabat sebagai pacarnya kurang lebih selama dua tahun ini.Laki-laki berkacamata yang duduk manis di barisan bangku paling depan, terlihat sedang sibuk menuliskan sesuatu disebuah kertas dengan banyak buku dan kertas-kertas lainnya dimejanya. Laki-laki itu tidak sendiri. Disebelah kanan dan kirinya, dia ditemani dengan kedua teman satu organisasinya, yang jika bagi seorang Dinar sendiri, mereka adalah musuh terberatnya disekolah.
Tidak ada hari bagi seorang Lingga tanpa adanya sebuah kesibukan.Seorang Lingga selalu disibukkan dengan banyak hal. Dimulai dari kesibukannya sebagai ketua MPK, kesibukannya untuk selalu menyempatkan diri membaca buku yang sudah ditambahkan ke dalam daftar bacaannya, waktunya untuk belajar saat malam hari, atau juga kesibukannya meluangkan waktu untuk membantu Bunda diwarung sembako yang sudah menghidupi keluarganya selama sepuluh tahun terakhir ini. Intinya, Lingga itu sibuk. Benar-benar sibuk. Tidak ada kata untuk membuang-buang waktu dikesempatan mudanya, karena masa depan sudah didepan mata saat ini. Bahkan karena sibuknya, terkadang ia sampai lupa untuk makan atau melakukan kegiatan sehari-hari lainnya seperti sekedar untuk bersantai atau beristirahat sebent
BUGH!"Maya!"Dinar menatap tajam musuh bebuyutannya yang saat ini sudah terkapar pingsan dan sedang berusaha ditolong oleh beberapa temanseanggotanyadengan darah mengalir dari hidungnya. Di gerakkannya tangannya seperti preman yang habis menghabisi banyak orang. Pandangannya puntidak lepas menatap ke arah Maya dengan jengah. Baru satu pukulannya mendarat, dan itu baru pukulan biasa, tapi gadis itu sudah terkapar.Senyuman lantasmenggembangdibibirnya. Ia tersenyum menang, tentunya. Karena lihat? Siapapun yang beranimenganggunya, dan menentangnya, semua akan berakhir seperti Maya. Garis bawahi, kalau Naura tidak pernah takut dengan siapapun. Jangan berani macam-macam dengannya, jika tidak ingin terjadi sesuatu.
"Eh buset, itu mata...""Masih pagi lagi, itu napas naik-turun.""Firasat gue nggak enak sih ini, serius."Calvin, Satria dan Kean memperhatikan Dinar yang baru saja datang bersama dengan Tasya. Mereka bertiga menatap Dinar terkejut sekaligus bingung, lantaran raut wajah Dinar sejak turun dari mobil sudah tidak enak dilihat. Matanya menajam, tangannya mengepal, napasnya menggebu dan langkahnya cepat. Masih terlalu pagi untuk melihat kedatangan Dinar dengan wajah seperti itu. Pasti ada sesuatu yang membuat murka gadis itu."Si Cici kenapa, yang?" Kean bertanya saat Tasya sudah didekatnya. Sementara Dinar sudah melangkah duluan melewati keberadaan mereka bertiga."Tau tuh. Tau-tau aja gitu dimobil." Tasya menggidikkan bahunya.Kean menoleh pada Tasya saat gadis itu mengatakan tidak ta
"Gila, ini cewek-cewek, pada bawa makeup banyak gini.""Yah, cewek mah masih wajar, Ky.""Enggak wajar kalo disekolahan, May.""Cowok juga nih, gila, banyak banget yang bawa sebat.""Mending Rin. Coba si Kean, liat, bawa obat itu anak. Siap-siap aja panggilan orang tua.""Seriusan?""Iya. Giliran gue tanya ini obat apaan, dia malahan jawab kontreksin. Dikira gue b*go kali."
Drt! Drt!Sebuah notifikasi pesan masuk membangunkan Dinar dari tidurnya. Ia mengerang pelan, lalu meraih ponselnya dan bangkit. Ia kesal karena pagi-pagi buta seperti ini sudah ada yang berani mengganggunya. Namun tiba-tiba saja Dinar merasakan tubuhnya terasa remuk. Kepalanya dan tenggorokannya sakit, lalu perutnya mual. Tapi Dinar tidak memperdulikan itu. Ia lebih memilih mengecek ponselnya, dan ternyata hanya notifikasi dari Line yang sudah banyak sejak kemarin.Dinar menghela napasnya malas dan melempar ponselnya. Tangannya pun menyentuh kepalanya yang terasa pening. Lalu sebelahnya lagi menyentuh perutnya yang terasa mual. Dinar bingung, kenapa tubuhnya menjadi seperti ini? Matanya kemudian melirik jam di
"Lingga, tolong bawakan tas saya ke kelas. Saya mau ke kamar mandi dulu."Lingga mengangguk, tersenyum tipis dan menggambil alih tas bu Erika untuk dibawanya ke kelas. Kakinya pun melangkah menuju kelasnya, MIPA 1, dimana kelasnya berada di ujung lantai atas gedung kelas 12. Kakinya melangkah menuju kelasnya, melewati koridor kelas 12. Sambil membawakan tas milik bu Erika, pandangannya hanya menatap lurus depannya dengan wajah datarnya. Ditengah langkahnya, tiba-tiba saja matanya tidak sengaja melihat keberadaan ketiga laki-laki yang sedang di interogasi oleh guru piket, di lobby sekolah.Ketiga laki-laki itu adalah si biang onar atau The Dude.Lingga hanya meliriknya sekilas, tidak peduli dengan kedatangan telat mereka. Melihat mereka disana sudah bukan menjadi hal aneh lagi setiap harinya. Mereka yang selalu datang pukul delapan atau bahkan lebih, memakai seragam yang tida
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏Jakarta, 21 Juli 2017.Untukmu."Saya suka sama kamu."Ada yang berbeda sebelum itu. Perasaan gundah, gelisah, dan tidak nyaman. Apa itu sebuah rasa? Saya bahkan tidak tahu. Saat itu. Senang melihatmu tersenyum, dalam balutan seragam putih abu-abu setiap harinya. Wajah lelah kepanasan, dan jengkel. Ada yang meletup-letup dalam diri. Seolah ingin terus menatap, menghampiri, dan ingin dekat. Tidak pernah sedikit pun merasa seperti itu sebelumnya. Hati ini tidak mengerti. Tapi, melihatmu membuat saya paham apa arti pandangan pertama.Rasa suka yang berbeda. Saya tidak pernah melihat dan merasakan yang seperti ini. Sampai akhirnya, saya memberanikan diri mengungkapkannya. Ada kebahagiaan saat kamu menerima meski sempat mendapat penolakan mentah-mentah di awal.Karena kamu yang pertama, dan mungkin, jika kamu tidak mengatakan ingin, saya akan terus menjadi laki-laki yang kamu kenal kemarin. Ba
Lingga melamun menatap jalanan yang ada. Kendaraan yang berjalan silih berganti, berlawanan arah atau searah dengannya.Lingga tidak percaya akan seperti ini. Menunggu lagi selama dua jam di Taman, namun Dinar tidak juga datang. Sampai akhirnya, ia berada di dalam mobil ini yang akan membawanya menuju bandara, tanpa bisa bertemu dengan Dinar dan mengatakan apa yang ingin dikatakannya padanya untuk terakhir kalinya, di Indonesia. Padahal ia benar-benar ingin mengungkapkan semuanya, tapi Dinar sepertinya memang sangat marah dan kecewa padanya. Pesan terakhir yang dikirimannya pun hanya di baca olehnya, tanpa ingin membalasnya. Lingga pun memejamkan matanya dalam. Dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin pergi, karena semua ini masih membebankannya. Ada hal yang belum di selesaikan, dan itu membuatnya tidak nyaman. Ia juga ingin melihat Dinar untuk terakhir kalinya, karena ia tidak tahu bisa kembali kesini saat libur tiba atau tidak. Tapi sepertinya ia tidak ingin merepo
Lingga menatap diam dua buah koper besar yang berada di sebelah tempat tidurnya, berwarna merah dan juga hitam. Ia menatapnya sambil tersenyum tipis. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Belanda, lebih tepatnya sore nanti. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mewujudkan mimpinya berkuliah di salah satu universitas terbaik pilihannya di luar negeri. Akhirnya.. Lingga menghela napasnya.Matanya kemudian melirik kearah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang. Hari ini ia akan menemui Dinar.Mencobanya kembali, dan ia berharap Dinar mau menemuinya. Matanya melirik ponselnya yang tadi sempat di ambilnya untuk melihat pesan yang di kirimkan pada Dinar, tapi hanya di baca olehnya. Lingga pun mengunci ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam sakunya.Meski tidak mendapatkan jawaban, Lingga masih berharap dan yakin kalau Dinar akan datang. Iapun melangkah mendekati meja belajarnya dimana tas ranselnya berada disana. Tangannya kemud
Hari-hari pun telah berlalu.Lingga, duduk diam melamun menatap keluar jendela kamarnya. Memperhatikan sebuah pohon yang bergerak mengikuti angin yang berhembus tidak terlalu besar diluar. Iapun menghela napasnya. Entah apa yang dilakukannya, tapi, diam melamun memperhatikan hal-hal tidak jelas seperti sekarang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Semua berjalan begitu saja, padahal ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Memang, setelah kejadian itu, Lingga menjadi lebih murung. Ia semakin banyak diam sementara kepalanya terus memikirkan kenapa Dinar tidak ingin datang malam itu, padahal ia sudah menunggu hingga berjam-jam lamanya disana. Tidak, ia tidak menyalahkan Dinar dan berujung menjadi kesal dengannya. Ia hanya bertanya-tanya, bingung, dan tidak mengerti. Niatnya malam itu baik. Lingga ingin mengatakan semuanya, mengakui kesalahan dan menyesalkan apa yang telah dilakukannya. Tapi malam itu Dinar benar-benar tidak datang. Mungkin semua ini memang kesalahannya selama ini pada
Dalam acaknya rasa, banyaknya warna, hingga ganjilnya pola, cinta bisa saja terselip yang entah muncul dari mana.Mereka datang, tanpa di ketahui. Membuat gelisah, dan tidak terkendali.•••Hari itu..."Kamu mau jadi pacar saya?"Dinar terkejut saat mendengar laki-laki dihadapannya saat ini mengatakan itu baru saja dengan tiba-tiba. Ia lantas menarik jabatan tangannya dengan laki-laki itu. Matanya menatap heran seorang Harlingga, laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya padanya dan mengatakan mereka satu gugus, namun tiba-tiba dia mengatakan hal mengejutkan. Sejauh ini, mereka-mereka yang mengangumi wajahnya, mereka hanya sekadar suka biasa yang ia tahu. Mereka hanya mengatakan bualannya dan pergi begitu saja. Namun laki-laki ini, tiba-tiba saja mengatakan menyukainya dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Yang benar saja? "Gila lo?" Dinar menatap tidak percaya. "Gue kenal lo aja enggak. Nggak usah aneh-aneh!"Dinar lantas bangkit dan meninggalkan Lingga yang hanya diam menata
Two weeks later...Terangnya cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela di kamar milik Lingga siang itu.Lingga, sedang merapihkan kamarnya saat ini. Ia terlihat merapihkan seprai tempat tidurnya, mengganti karpet lantainya, mengganti gorden, merapihkan dan memisahkan buku-buku yang akan dibawanya dengan yang tidak, serta memindahkan beberapa rak buku ke sisi yang terlihat lebih rapih dan tidak terlalu penuh. Setidaknya, sebelum ia pergi dan tinggal di Belanda. Terhitung sudah dua minggu berlalu, ia memang sudah memutuskan untuk tidak membuat semuanya menjadi lebih sulit lagi. Meski rasanya seperti tidak ingin, tetapi ia sudah memutuskannya. Lagi pula tidak mungkin ia menolak kesempatan besar ini, dan Bunda pun sudah mengizinkan sepenuhnya untuknya melanjutkan studi disana, karena Bunda mengatakan tidak ingin ia menyia-nyiakan apa yang sudah diperjuangkannya. Besok juga Bunda sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh Dokter. Sebelumnya, Dokter meman
"I intend to make my own way in the world."Seperti itulah sekiranya yang dikatakan oleh Jo March di sebuah Novel klasik karya Louisa May Alcot yang baru saja Lingga selesaikan selama dua hari terakhir. Hanya sebuah novel ringan, yang tidak menguras otaknya untuk memahami apa maksud dan makna yang di dapat dari tulisan itu. Sangat berbeda dengan buku-buku yang dibacanya selama ini.Lingga pun menghela napasnya. Sebenernya ia bukan orang yang menyukai sebuah Novel drama apalagi romansa. Ia lebih menyukai membaca buku-buku seperti Biography, Ensiklopedia, ilmiah, dan kalaupun itu sebuah novel, ia lebih menyukai genre Fiksi Sains, Fantasi ataupun Aksi.Jika kalian bertanya kenapa ia mempunyai novel itu dan mau membacanya? Semua itu karena Dinar. Dinar pernah memberikan novel itu padanya.Ingat kejadian itu? Saat dimana ia dan Dinar berdebat di sebuah toko buku karena Dinar ingin membelikannya banyak buku untuk di bacanya dengan harga hampir satu juta? Saat itu ia juga memang tidak mau
"Ujian Nasional sudah selesai dilakukan, dan kalian hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan."Sudah tiga hari, setelah Ujian Nasional selesai, Lingga masih sama seperti kemarin. Rasanya ia tidak tahu ingin melakukan apa, dan rasanya tidak ingin. Kepalanya selalu tidak bisa fokus akhir-akhir ini. Ia pun menghela napasnya. Tangannya kemudian menutup buku yang sempat coba dibacanya, tapi ia tidak mendapati apapun selain hanya melamun. Karena kejadian itu, ia menjadi merasa dirinya orang yang paling menyedihkan di dunia ini. Tidak biasanya ia seperti ini. Sangat tidak biasa dan bukanlah dirinya. Kepalanya benar-benar terisi penuh dengan kata Dinar. Namanya, wajahnya, kilas kejadian yang sudah terjadi dengan Dinar.Dan ia menjadi teringat setiap kali ulangan sekolah selesai dan liburan tiba, Dinar biasanya akan selalu mengajaknya pergi kemana pun tempat yang ingin di tuju gadis itu. Selalu ada daftar liburan yang Dinar buat dan ditunjukkan kepadanya kemana
A few days later...Lingga duduk melamun, menatap buku-buku berukuran tebal miliknya yang di biarkannya terbuka di meja belajar. Bersama bolpoin berada dalam genggamannya, ia melamun memikirkan semua yang telah terjadi beberapa hari belakangan ini padanya. Dengan kehidupannya. Apa yang Sheza katakan saat itu, kekecewaan Bunda padanya, dan juga apa yang telah terjadi padanya bersama Dinar.Entah apa yang terjadi, tetapi semua itu memenuhi kepalanya. Terutama kejadiannya dengan Dinar. Semua itu benar-benar tidak bisa di percayanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Berhari-hari memikirkannya, sampai membuatnya tidak nyaman saat melakukan kesehariannya. Kehidupan sehari-harinya menjadi terganggu oleh pikiran yang entah bagaimana rasanya, tapi ini benar-benar seperti menghantuinya.Terlebih lagi saat ia sedang sendiri