"CAL! TEMENIN GUE KE KAN—"
Suara teriakan yang terdengar menggema dari lorong koridor itu menggantung. Dinar, si gadis yang baru saja berteriak dan kini berdiri diambang pintu kelas seorang Calvin Perwira yang ia panggil dengan Jangkung itu pun terkejut. Ia yang berniat ingin menghampiri Calvin untuk mengajaknya pergi ke kantin itu terdiam, karena matanya menangkap keberadaan laki-laki yang sudah menjabat sebagai pacarnya kurang lebih selama dua tahun ini.
Laki-laki berkacamata yang duduk manis di barisan bangku paling depan, terlihat sedang sibuk menuliskan sesuatu disebuah kertas dengan banyak buku dan kertas-kertas lainnya dimejanya. Laki-laki itu tidak sendiri. Disebelah kanan dan kirinya, dia ditemani dengan kedua teman satu organisasinya, yang jika bagi seorang Dinar sendiri, mereka adalah musuh terberatnya disekolah.
Dinar pun tersenyum melihatnya. Ia tidak menduga karena bisa bertemu dan melihat laki-laki itu didalam kelasnya saat ini. Biasanya, laki-laki itu selalu sibuk diluar kelas, setiap kali Dinar ingin menghampiri Calvin hanya untuk mengajaknya pergi ke kantin atau dengan sengaja hanya ingin melihat pacarnya itu.
Jika bagi kaum pendosa seperti Dinae, mungkin mereka akan menghindar dari keberadaan pacarnya itu sejauh mungkin dan juga menjauh dari dua teman satu pemikirannya. Tetapi itu tidak berlaku untuk Dinar. Biarpun Dinar se-rusuh dan seberantakan apapun di sekolah, kalau matanya tidak sengaja melihat keberadaan pacarnya dimanapun, sudah pasti ia akan datang menghampirinya. Walau hanya sekedar menyapa dan berbicara sebentar melepas rindu karena kesibukan laki-laki itu di organisasi OSISnya.
"Dio..."
Dinar tersenyum semakin lebar saat ia berada tepat dihadapan meja pacarnya itu. Si Ketua MPK yang jutek, judes, dan nyebelinnya membuat satu penghuni sekolah terkecuali anak rajin dan teladan ingin sekali memusnahkannya.
Harlingga Dio Wardana.
Laki-laki berkacamata dengan wajah dingin dan biasa ia panggil Dio itu merupakan pacar seorang Dinar.
Seluruh penghuni sekolahan sebenarnya selalu bertanya-tanya dan tidak habis pikir dengan seorang Dinar. Gadis troublemaker dan bad seperti Dinar, anehnya bisa berpacaran dengan Lingga yang merupakan anak teladan sekolah. Benar-benar membuat semuanya menggelengkan kepalanya tidak percaya. Semuanya diluar dugaan mereka. Kedua kubu yang berbanding balik, memiliki status yang seharusnya juga berbanding jauh. Seharusnya mereka seperti kisah yang ada di cerita novel; musuh bebuyutan. Meski faktanya juga begitu, sih, tapi jika sampai memiliki hubungan mereka saat ini, sebenarnya sangat jauh diluar ekspetasi mereka.
Bayangkan,
Seorang laki-laki yang di ibaratkan suci seperti Lingga, bisa berpacaran dengan sang pendosa Dinar. Itu adalah julukan biasa yang mereka dapatkan dari pengisi sekolah.
Bahkan, ketiga laki-laki atau The Dude saat itu sempat heran dengan hubungan keduanya. Mereka berdua berpacaran, dalam hitungan waktu yang bahkan anehnya tidak sebentar, tetapi mereka seringkali bertengkar. Bertengkar hebat. Rasanya seperti seorang musuh bebuyutan, bahkan jika sudah jengah diantara masing-masing, mereka seperti orang tidak kenal.
Seperti saat Dinar yang selalu melanggar aturan sekolah. Dinar dan Lingga akan selalu berdebat hebat. Bahkan rasanya jika melihat mereka berdebat seperti melihat perdebatan memperebutkan suatu negara. Dinar yang tidak tanggung-tanggung jika sudah berdebat, semua bahasa kebun binatang ia keluarkan tanpa melihat tempat, tanpa takut dan tanpa pandang bulunya pada Lingga, begitu pun sebaliknya. Lingga pula bahkan tidak segan-segan mengadukan Dinar pada guru BP jika dia melihat Dinar melanggar aturan. Lingga juga membiarkan Dinar dihukum sesuai dengan aturan yang harus diterimanya tanpa melihat bagaimana status mereka berdua.
Setidaknya, biasanya orang yang berpacaran saling peduli dan khawatir. Membela dan perhatian. Tapi tidak dengan Lingga, dan Dinar sendiri selalu menerimanya ujungnya.
Memang aneh.
The Dude juga sempat mengusuli pada Dinar agar Dinar mau mengakhiri hubungan konyolnya dengan Lingga. Tetapi Dinar menolaknya, karena gadis itu mengatakan, kalau ia sudah sangat jatuh cinta dengan Lingga dari awal pertemuan mereka saat MOS sekolah. Bagi Dinar, saat itu Lingga masih terlihat sangat polos, lucu dan manis yang membuatnya selalu gemas dan tidak pernah lupa. Jadi Dinar memilih untuk mempertahankan hubungannya, meskipun mereka berdua pun sering bertengkar karena perbedaan pemikiran, dan mereka terkadang diam-diam seperti orang tidak saling mengenal, tapi Dinar tetap mencintai Lingga.
Dinar masa bodoh dengan hubungannya yang terkadang seperti musuh, dan seperti orang tidak dikenal. Meski begitu, dibalik itu, Lingga masih peduli dan juga perhatian padanya. Walaupun hanya diwaktu-waktu tertentu dan rasanya hanya hal kecil biasa bagi Lingga, tapi Dinar tetap tidak ingin putus dengan Lingga, kecuali jika ia benar-benar sudah tidak mempunyai rasa apa-apa lagi padanya. Tidak mungkinkan, bertahan jika tanpa ada rasa?
"Tumben, nggak diruang Osis?"
Dinar mencodongkan tubuhnya dihadapan Lingga, mensejajarkan dengan mejanya Lingga. Kedua lengannya bertopang disana. Matanya memperhatikan pacarnya itu sambil tersenyum, tapi yang diperhatikan hanya sibuk menulis tanpa peduli keberadaannya. Dinar sudah hapal dengan kebiasaan itu. Dinar juga tidak peduli dengan adanya kedua teman sepemikiran Lingga yang melirikinya sejak tadi.
"Ling, ada si Dinar."
Sibuk. Pastinya.
Sudah menjadi hal biasa bagi Dinar selalu melihat dan akan selalu mendengar jika Lingga akan berucap seperti itu. Dan juga, sikap tidak peduli Lingga seperti sekarang ini, sudah menjadi makanannya sehari-hari.
"Lo kangen gue, ya, makanya lo dikel—"
"Turun."
Dinar terdiam sesaat menatapnya, namun kemudian ia menuruti perintah Lingga. Posisinya yang sempat duduk diatas meja, kembali pada posisi awal. Kalau saja ia tidak duduk diatas meja yang digunakan Lingga seperti tadi, mungkin Lingga tidak akan meresponnya. Karena memang itulah caranya agar Lingga mau merespon keberadaanya. Dan Dinar selalu suka melakukannya.
"Ke kantin, yuk..." Suaranya mengalun, menggunakan nada manis, agar Lingga mau diajaknya pergi makan. Tapi laki-laki itu justru menggeleng.
"Nggak bisa."
Dinar terdiam sesaat. Menatap Lingga yang masih sibuk tanpa menoleh kearahnya sedikitpun. "Kenapa?"
"Lo nggak liat?" Nada biacaranya terdengar datar, membuat Dinar melirik lembaran kertas itu.
"Sibuk?"
"Iya, terus kenapa masih ganggu?"
Padahal nada bicara ya mengusir, tapi Dinar justru tersenyum ketika Lingga mulai menatapnya. Tangannya lantas menyeret salah satu kursi dari meja sebelah, dan mendudukinya tepat dihadapan Lingga. Ia jelas senang, karena akhirnya Lingga ingin menatapnya saat berbicara seperti ini. Sepertinya Lingga memang sedang rindu dengannya.
"Biar kangen lo hilang..." Suaranya bernada lagi. Dinar pun bertopang dagu menatap laki-laki dihadapannya, tapi Lingga justru hanya kembali menulis tanpa menghiraukan ucapan Dinar baru saja. Senyumannya lantas semakin melebar dibibirnya.
"Ayo... Udah lama nggak makan bareng dikantin." Ucap Dinar tersenyum lebar.
"Gue bawa bekel."
"Oh? Yaudah kalo gitu makan disini berdua, gapapa. Gue laper."
Dinar masih tersenyum, menatap Lingga menunggu responan yang membuat Lingga pun menghentikan kegiatan menulisnya, dan kembali menatap Dinar dengan datar. Dinar sendiri justru masih tersenyum dengan lebar. Ia tahu betul kalau memang Lingga sedang rindu padanya. Beberapa hari ia di skor, tanpa bisa melihat Lingga atau mengabarinya, laki-laki itu pasti rindu padanya. Dinar tahu itu. Terlihat jelas dari cara Lingga yang sejak tadi seolah ingin menatapnya, padahal biasanya dia selalu acuh.
"Ling, gue duluan deh, mau makan. Laper."
"Iya, gue juga, yaa..."
Rindy dan Reka yang sejak tadi seolah menjadi nyamuk diantara mereka berdua itu memilih pergi meninggalkan mereka berdua didalam kelas yang sepi karena jam istirahat sedang berlangsung. Lingga pun hanya bisa menghela napasnya melihat Dinar yang saat ini masih menatapnya.
"Balik sana. Gue mau ke ruangan guru."
Lingga bangkit dari duduknya, dan diikuti oleh Dinar. Tanpa peduli, tangannya sibuk merapihkan mejanya yang sedikit penuh dengan beberapa buku dan kertas tadi.
"Diem."
Lingga menyingkirkan tangan Dinar yang ingin ikut membantunya membereskan bukunya. Ia jengah dengan perlakuan gadis itu. Saat ini ia sedang sibuk, tetapi gadis itu justru menganggunya.
Dinar pun mendengus malas.
"Ck, yaudah, kalo lo nggak mau! Gue duluan!"
Dinar pun melangkah begitu saja keluar kelas, meninggalkan Lingga yang saat ini berhenti membereskan bukunya, dan memperhatikan Dinar yang perlahan menjauh. Lingga menatapnya diam. Ia tidak mengerti, bagaimana bisa ia dan Dinar bersatu dibalik perbedaan yang sangat berbanding jauh itu.
•••
Apa kehidupan Lingga dan Dinar mengambil paham Bhinneka Tunggal Ika?
Entahlah, Lingga juga tidak mengerti. Rasanya terasa bodoh dan konyol jika lagi dan lagi, kepalanya terselip pemikiran aneh seperti ini. Meski saat itu ia rasanya bahagia ketika Dinar mau menerimanya dan bisa menjadi seperti sekarang, tapi saat ini, ia mempertanyakan semuanya.
"RAZIA COY, RAZIA! DARURAT! DARURAT!"
Lingga menghentikan langkahnya saat telinganya mendengar kebisingan tidak jauh dari keberadaannya. Tangannya yang selama berjalan melewati lorong itu sibuk menuliskan sesuatu diselembaran kertas pun dihentikannya. Matanya mulai melirik, dan memperhatikan keberadaan gadis berambut hitam panjang yang terlihat berlarian ditengah ramainya lalu lalang siswa dan siswi yang ada.
Bersama ketiga laki-laki yang sudah Lingga tahu dengan sangat, gadis itu berteriak-teriak dengan mereka seperti orang bodoh. Lingga pun menghela napasnya, pelan. Ini semua memang kesalahannya. Kalau saja saat istirahat itu ia tidak membawa buku kepengurusan OSIS ke kelas tadi, semuanya tidak akan seperti ini. Gadis itu menjadi mengetahuinya kalau hari ini akan ada razia dadakan.
"Eh, si b*go! Gue kasih tau batu banget sih lo? Razia, g*blok! Ada razia!"
"Waspada! Sembunyikan barang-barang berharga kalian! Gelang, kaos kaki, parfum, anting, makeup, permen, sebat! Semuanya!"
Seluruh murid yang berada di sanapun dengan segera berhamburan pergi ke kelasnya masing-masing, dan mencari tempat untuk menyembunyikan barang bawaan yang tidak diperbolehkan dibawa di sekolah.
"GECE! GECE! BEL MASUK NANTI RAZI—"
KRING!!!!!
"HAHA, MAMPUS!"
Mereka bertiga yang sejak tadi berteriak-teriak memberitahu kepada yang lainnya itu langsung membulatkan matanya terkejut ketika mendengar bel masuk berbunyi. Mata mereka saling melirik satu sama lain, karena bel sudah berbunyi, tapi mereka belum juga pergi untuk membolos karena razia ini.
"CABUT! CABUT!!! CABUT ANJ*NG!"
"HEH, B*GO! LO MAU KEMANA?!"
Salah satu laki-laki berbadan setinggi tiang diantara mereka bertiga itu berteriak memanggil gadis yang berlari berlawanan arah dengan laki-laki itu. Gadis itu lantas menoleh, dan mengusir ketiga lelaki itu untuk pergi lebih dulu.
"DULUAN!" Sahutnya. "ADA YANG MAU GUE AMBIL DI KELAS!"
"APAAN LAGI? GUE TUNGGUIN!"
"NGGAK USAH! UDAH, DULUAN SANA!" Bentaknya sebal. Ditunggui justru menjadi ribet.
"YAUDAH, TERSERAH LO!"
Gadis itu mengacungkan sebelah jempolnya dan segera berlari dengan cepat menuju kelasnya tanpa menghiraukan siapapun yang berada disekitarnya, karena ia memang seperti itu. Tidak mengenal mereka semua. Tapi karena hari ini ada razia, dengan berbaik hati ia memberitahu pada siapapun yang ada di sekolah ini, bersama dengan tiga teman sebobroknya. Karena tugas geng Pendosa adalah saling setia kawan untuk memberitahukan informasi apapun yang menyangkut hal tentang OSIS dan MPK.
"Eh lo, umpetin barang lo sana, cepet. Ada razia sebentar lagi ke setiap kelas!" Ujarnya sambil berlalu. Tapi langkah gadis itu langsung terhenti, saat hidungnya mencium aroma parfum yang dikenakan oleh murid disebelahnya sangat tidak asing. Ia mengendus, dan menoleh cepat ketika menyadarinya.
"Razia, ya?"
Gadis itu menyengir lebar, karena ternyata dugaannya benar. "Eh, si sayang.... Dari kapan lo disini?"
Gadis itu langsung menghadap Lingga sambil menyengir bodoh karena tidak menyadari keberadaan sang pacarnya. Iya, gadis itu adalah Dinar. Sementara ketiga laki-laki tadi adalah The Dude, yang saat ini sudah pergi duluan membolos melewati tembok belakang sekolah. Saat ini Dinar hanya bisa menyengir bodoh sementara Lingga sendiri hanya menatap datar gadisnya itu. Ia tak habis pikir dengan perilaku Dinar yang tidak pernah berubah dari dulu. Masih sama. Tidak ada yang berubah. Masih saja badung, meski mereka sudah menginjak kelas dua belas.
"Ikut gue."
Lingga mencubit bagian lengan seragam milik Dinar, berniat menariknya untuk membawanya ke ruangan O/M karena masalah ini. Tapi Dinar yang melihat itu justru kesal setengah mati.
"Kebiasaan!" Sentaknya. "Lo kira gue kotoran, lo pegang kayak gitu?! Lepas! Gue nggak mau ikut ke ruangan kerja lo!"
Dinar menghentakkan tubuhnya menjauhi Lingga. Gadis itu kesal, karena Lingga selalu menariknya dengan cara seperti itu, seolah laki-laki itu enggan menyentuhnya. Dinar juga tidak ingin dibawa ke dalam ruangan sumpek yang penuh dengan rak, meja-meja dan kursi milik para anggota MPK dan OSIS itu yang selalu digunakan untuk rapat, dan pasti didalam sana ia akan disuruh menuliskan tanda tangan lebih dari sepuluh kali itu. Dinar tidak mau.
Melihat penolakan dari Dinar membuat Lingga jengah dengan sikapnya. Hanya karena masalah sepele seperti ini, Dinar mempermasalahkannya. "Terus mau lo apa? Di skors lagi?" Katanya. "Udah nggak usah berisik. Ini peraturan."
"Bodo amat!" Sentaknya lagi kesal. "Hidup lo aja sono penuhin peraturan! Nggak usah ngatur-ngatur hidup gu— ih!! Jauh-jauh lo! Bukan mukhrim!"
Tangan Lingga menarik kembali lengan seragam Dinar yang masih terus mengoceh, namun gadis itu kembali menghentakkan tubuhnya dan perlahan menjauh, menghindar. Gadis itu tidak terima jika diperlakukan seperti ini, terlebih lagi oleh Lingga, pacarnya sendiri.
Lingga lantas menatap Dinar dengan sangat jengah. Ia geram dengan sikap Dinar yang selalu susah diatur seperti ini. Tidak mengerti lagi, bagaimana pemikiran Dinar saat ini. Karena tidak memiliki waktu untuk meladeni sikap berlebihannya, Lingga melakukan apa yang gadis itu inginkan. Membiarkannya, selama gadis itu menurut dan tidak melebihi batas.
"Enggak—"
Teriakannya terhenti, ketika Dinar menyadari sesuatu yang membuat hatinya langsung berbunga-bunga. Jutaan kupu-kupu bahkan seolah baru saja terbang didalam dirinya karena bahagia. Matanya pun melirik Lingga, yang saat ini hanya menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan tatapan kebahagiaannya saat ini. Senyuman lantas menghiasi wajah Dinar. Kini ia hanya memilih diam, membiarkan Lingga membawanya ke ruangan sempit itu. Ia menyukai saat seperti ini. Ia benar-benar menyukainya, jika Lingga melakukan ini padanya.
Dengan wajah datar dan dinginnya, Lingga membawanya keruang O/M sambil menggenggam tangannya.
Senyuman terus bertengger dibibirnya.
Inilah alasan kenapa ia masih sangat ingin bertahan, dan masih tetap mencintai seorang Harlingga Dio Wardana yang seperti ini. Karena dibalik perdebatan, dan dinginnya sifat serta sikap Lingga, selalu terselip hal kecil seperti ini yang membuat Dinar bahagia. Memang benar kata salah satu penulis ternama, Boy Chandra. Jika sedang jatuh cinta, hal-hal kecil saja terasa sangat spesial untuknya.
Tidak ada hari bagi seorang Lingga tanpa adanya sebuah kesibukan.Seorang Lingga selalu disibukkan dengan banyak hal. Dimulai dari kesibukannya sebagai ketua MPK, kesibukannya untuk selalu menyempatkan diri membaca buku yang sudah ditambahkan ke dalam daftar bacaannya, waktunya untuk belajar saat malam hari, atau juga kesibukannya meluangkan waktu untuk membantu Bunda diwarung sembako yang sudah menghidupi keluarganya selama sepuluh tahun terakhir ini. Intinya, Lingga itu sibuk. Benar-benar sibuk. Tidak ada kata untuk membuang-buang waktu dikesempatan mudanya, karena masa depan sudah didepan mata saat ini. Bahkan karena sibuknya, terkadang ia sampai lupa untuk makan atau melakukan kegiatan sehari-hari lainnya seperti sekedar untuk bersantai atau beristirahat sebent
BUGH!"Maya!"Dinar menatap tajam musuh bebuyutannya yang saat ini sudah terkapar pingsan dan sedang berusaha ditolong oleh beberapa temanseanggotanyadengan darah mengalir dari hidungnya. Di gerakkannya tangannya seperti preman yang habis menghabisi banyak orang. Pandangannya puntidak lepas menatap ke arah Maya dengan jengah. Baru satu pukulannya mendarat, dan itu baru pukulan biasa, tapi gadis itu sudah terkapar.Senyuman lantasmenggembangdibibirnya. Ia tersenyum menang, tentunya. Karena lihat? Siapapun yang beranimenganggunya, dan menentangnya, semua akan berakhir seperti Maya. Garis bawahi, kalau Naura tidak pernah takut dengan siapapun. Jangan berani macam-macam dengannya, jika tidak ingin terjadi sesuatu.
"Eh buset, itu mata...""Masih pagi lagi, itu napas naik-turun.""Firasat gue nggak enak sih ini, serius."Calvin, Satria dan Kean memperhatikan Dinar yang baru saja datang bersama dengan Tasya. Mereka bertiga menatap Dinar terkejut sekaligus bingung, lantaran raut wajah Dinar sejak turun dari mobil sudah tidak enak dilihat. Matanya menajam, tangannya mengepal, napasnya menggebu dan langkahnya cepat. Masih terlalu pagi untuk melihat kedatangan Dinar dengan wajah seperti itu. Pasti ada sesuatu yang membuat murka gadis itu."Si Cici kenapa, yang?" Kean bertanya saat Tasya sudah didekatnya. Sementara Dinar sudah melangkah duluan melewati keberadaan mereka bertiga."Tau tuh. Tau-tau aja gitu dimobil." Tasya menggidikkan bahunya.Kean menoleh pada Tasya saat gadis itu mengatakan tidak ta
"Gila, ini cewek-cewek, pada bawa makeup banyak gini.""Yah, cewek mah masih wajar, Ky.""Enggak wajar kalo disekolahan, May.""Cowok juga nih, gila, banyak banget yang bawa sebat.""Mending Rin. Coba si Kean, liat, bawa obat itu anak. Siap-siap aja panggilan orang tua.""Seriusan?""Iya. Giliran gue tanya ini obat apaan, dia malahan jawab kontreksin. Dikira gue b*go kali."
Drt! Drt!Sebuah notifikasi pesan masuk membangunkan Dinar dari tidurnya. Ia mengerang pelan, lalu meraih ponselnya dan bangkit. Ia kesal karena pagi-pagi buta seperti ini sudah ada yang berani mengganggunya. Namun tiba-tiba saja Dinar merasakan tubuhnya terasa remuk. Kepalanya dan tenggorokannya sakit, lalu perutnya mual. Tapi Dinar tidak memperdulikan itu. Ia lebih memilih mengecek ponselnya, dan ternyata hanya notifikasi dari Line yang sudah banyak sejak kemarin.Dinar menghela napasnya malas dan melempar ponselnya. Tangannya pun menyentuh kepalanya yang terasa pening. Lalu sebelahnya lagi menyentuh perutnya yang terasa mual. Dinar bingung, kenapa tubuhnya menjadi seperti ini? Matanya kemudian melirik jam di
"Lingga, tolong bawakan tas saya ke kelas. Saya mau ke kamar mandi dulu."Lingga mengangguk, tersenyum tipis dan menggambil alih tas bu Erika untuk dibawanya ke kelas. Kakinya pun melangkah menuju kelasnya, MIPA 1, dimana kelasnya berada di ujung lantai atas gedung kelas 12. Kakinya melangkah menuju kelasnya, melewati koridor kelas 12. Sambil membawakan tas milik bu Erika, pandangannya hanya menatap lurus depannya dengan wajah datarnya. Ditengah langkahnya, tiba-tiba saja matanya tidak sengaja melihat keberadaan ketiga laki-laki yang sedang di interogasi oleh guru piket, di lobby sekolah.Ketiga laki-laki itu adalah si biang onar atau The Dude.Lingga hanya meliriknya sekilas, tidak peduli dengan kedatangan telat mereka. Melihat mereka disana sudah bukan menjadi hal aneh lagi setiap harinya. Mereka yang selalu datang pukul delapan atau bahkan lebih, memakai seragam yang tida
Lingga menatap diam selembaran kertas yang berisikan soal latihan dihadapannya tanpa berkedip. Ia bukannya sedang fokus untuk mengerjakan soal latihan itu. Tapi matanya justru menatapnya kosong. Lebih tepatnya ia melamun, melamun memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Kejadian tiga hari lalu."Kak?"Lingga terkejut saat sebuah tangan dikibaskan tepat didepan wajahnya, membuatnya langsung tersadar."Kakak denger nggak aku ngomong apa?"Lingga menatap bingung Shakila yang duduk berhadapan dengannya dan hanya dibatasi oleh meja berukuran persegi."Kan, bener. Kakak ngelamun dari tadi." Ujarnya. "Aku dari tadi nanya yang ini, tapi kakak diem aja. Lagi ada masalah, kak?"Lingga masih terdiam menatap Shakila. Ia juga tidak mengerti, kenapa ia bisa jadi melamun memikirkan hal yang tidak jelas? Karena tiba-tiba saja pikiran itu melintas. Lingga pun mengalihkan pandangann
"Saya suka sama kamu."Kata-kata itu terus menerus terngiang semalaman dikepala Dinar. Kata-kata sederhana yang pernah Lingga ucapkan ketika pertama kalinya Dinar bertemu dan melihat laki-laki culun, dengan seragam rapih yang selalu dimasukkan ke dalam celana, memakai kacamata bulat minusnya, serta wajah yang dingin dan tatapannya yang tajam, mengungkapkan perasaannya pada Dinar saat itu.Bahkan kata-kata itu masih terus terngiang sampai sekarang.Kata-kata yang diucapkan dengan nada dan juga wajah datar tidak berekspresi yang sukses membuatnya menganga terkejut, namun mampu membuat seorang Dinar menganggukkan kepala menerima kata-katanya. Tidak ada rangakaian kalimat romantis seperti i love you, will you be my girlfriend? dan kata-kata lainnya, atau juga bahkan sebuah kejutan spesial seperti pemberian bunga, coklat dan boneka.Hanya beberapa kata itu. Dan kata-kata itu sekarang
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏Jakarta, 21 Juli 2017.Untukmu."Saya suka sama kamu."Ada yang berbeda sebelum itu. Perasaan gundah, gelisah, dan tidak nyaman. Apa itu sebuah rasa? Saya bahkan tidak tahu. Saat itu. Senang melihatmu tersenyum, dalam balutan seragam putih abu-abu setiap harinya. Wajah lelah kepanasan, dan jengkel. Ada yang meletup-letup dalam diri. Seolah ingin terus menatap, menghampiri, dan ingin dekat. Tidak pernah sedikit pun merasa seperti itu sebelumnya. Hati ini tidak mengerti. Tapi, melihatmu membuat saya paham apa arti pandangan pertama.Rasa suka yang berbeda. Saya tidak pernah melihat dan merasakan yang seperti ini. Sampai akhirnya, saya memberanikan diri mengungkapkannya. Ada kebahagiaan saat kamu menerima meski sempat mendapat penolakan mentah-mentah di awal.Karena kamu yang pertama, dan mungkin, jika kamu tidak mengatakan ingin, saya akan terus menjadi laki-laki yang kamu kenal kemarin. Ba
Lingga melamun menatap jalanan yang ada. Kendaraan yang berjalan silih berganti, berlawanan arah atau searah dengannya.Lingga tidak percaya akan seperti ini. Menunggu lagi selama dua jam di Taman, namun Dinar tidak juga datang. Sampai akhirnya, ia berada di dalam mobil ini yang akan membawanya menuju bandara, tanpa bisa bertemu dengan Dinar dan mengatakan apa yang ingin dikatakannya padanya untuk terakhir kalinya, di Indonesia. Padahal ia benar-benar ingin mengungkapkan semuanya, tapi Dinar sepertinya memang sangat marah dan kecewa padanya. Pesan terakhir yang dikirimannya pun hanya di baca olehnya, tanpa ingin membalasnya. Lingga pun memejamkan matanya dalam. Dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin pergi, karena semua ini masih membebankannya. Ada hal yang belum di selesaikan, dan itu membuatnya tidak nyaman. Ia juga ingin melihat Dinar untuk terakhir kalinya, karena ia tidak tahu bisa kembali kesini saat libur tiba atau tidak. Tapi sepertinya ia tidak ingin merepo
Lingga menatap diam dua buah koper besar yang berada di sebelah tempat tidurnya, berwarna merah dan juga hitam. Ia menatapnya sambil tersenyum tipis. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Belanda, lebih tepatnya sore nanti. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mewujudkan mimpinya berkuliah di salah satu universitas terbaik pilihannya di luar negeri. Akhirnya.. Lingga menghela napasnya.Matanya kemudian melirik kearah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang. Hari ini ia akan menemui Dinar.Mencobanya kembali, dan ia berharap Dinar mau menemuinya. Matanya melirik ponselnya yang tadi sempat di ambilnya untuk melihat pesan yang di kirimkan pada Dinar, tapi hanya di baca olehnya. Lingga pun mengunci ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam sakunya.Meski tidak mendapatkan jawaban, Lingga masih berharap dan yakin kalau Dinar akan datang. Iapun melangkah mendekati meja belajarnya dimana tas ranselnya berada disana. Tangannya kemud
Hari-hari pun telah berlalu.Lingga, duduk diam melamun menatap keluar jendela kamarnya. Memperhatikan sebuah pohon yang bergerak mengikuti angin yang berhembus tidak terlalu besar diluar. Iapun menghela napasnya. Entah apa yang dilakukannya, tapi, diam melamun memperhatikan hal-hal tidak jelas seperti sekarang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Semua berjalan begitu saja, padahal ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Memang, setelah kejadian itu, Lingga menjadi lebih murung. Ia semakin banyak diam sementara kepalanya terus memikirkan kenapa Dinar tidak ingin datang malam itu, padahal ia sudah menunggu hingga berjam-jam lamanya disana. Tidak, ia tidak menyalahkan Dinar dan berujung menjadi kesal dengannya. Ia hanya bertanya-tanya, bingung, dan tidak mengerti. Niatnya malam itu baik. Lingga ingin mengatakan semuanya, mengakui kesalahan dan menyesalkan apa yang telah dilakukannya. Tapi malam itu Dinar benar-benar tidak datang. Mungkin semua ini memang kesalahannya selama ini pada
Dalam acaknya rasa, banyaknya warna, hingga ganjilnya pola, cinta bisa saja terselip yang entah muncul dari mana.Mereka datang, tanpa di ketahui. Membuat gelisah, dan tidak terkendali.•••Hari itu..."Kamu mau jadi pacar saya?"Dinar terkejut saat mendengar laki-laki dihadapannya saat ini mengatakan itu baru saja dengan tiba-tiba. Ia lantas menarik jabatan tangannya dengan laki-laki itu. Matanya menatap heran seorang Harlingga, laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya padanya dan mengatakan mereka satu gugus, namun tiba-tiba dia mengatakan hal mengejutkan. Sejauh ini, mereka-mereka yang mengangumi wajahnya, mereka hanya sekadar suka biasa yang ia tahu. Mereka hanya mengatakan bualannya dan pergi begitu saja. Namun laki-laki ini, tiba-tiba saja mengatakan menyukainya dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Yang benar saja? "Gila lo?" Dinar menatap tidak percaya. "Gue kenal lo aja enggak. Nggak usah aneh-aneh!"Dinar lantas bangkit dan meninggalkan Lingga yang hanya diam menata
Two weeks later...Terangnya cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela di kamar milik Lingga siang itu.Lingga, sedang merapihkan kamarnya saat ini. Ia terlihat merapihkan seprai tempat tidurnya, mengganti karpet lantainya, mengganti gorden, merapihkan dan memisahkan buku-buku yang akan dibawanya dengan yang tidak, serta memindahkan beberapa rak buku ke sisi yang terlihat lebih rapih dan tidak terlalu penuh. Setidaknya, sebelum ia pergi dan tinggal di Belanda. Terhitung sudah dua minggu berlalu, ia memang sudah memutuskan untuk tidak membuat semuanya menjadi lebih sulit lagi. Meski rasanya seperti tidak ingin, tetapi ia sudah memutuskannya. Lagi pula tidak mungkin ia menolak kesempatan besar ini, dan Bunda pun sudah mengizinkan sepenuhnya untuknya melanjutkan studi disana, karena Bunda mengatakan tidak ingin ia menyia-nyiakan apa yang sudah diperjuangkannya. Besok juga Bunda sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh Dokter. Sebelumnya, Dokter meman
"I intend to make my own way in the world."Seperti itulah sekiranya yang dikatakan oleh Jo March di sebuah Novel klasik karya Louisa May Alcot yang baru saja Lingga selesaikan selama dua hari terakhir. Hanya sebuah novel ringan, yang tidak menguras otaknya untuk memahami apa maksud dan makna yang di dapat dari tulisan itu. Sangat berbeda dengan buku-buku yang dibacanya selama ini.Lingga pun menghela napasnya. Sebenernya ia bukan orang yang menyukai sebuah Novel drama apalagi romansa. Ia lebih menyukai membaca buku-buku seperti Biography, Ensiklopedia, ilmiah, dan kalaupun itu sebuah novel, ia lebih menyukai genre Fiksi Sains, Fantasi ataupun Aksi.Jika kalian bertanya kenapa ia mempunyai novel itu dan mau membacanya? Semua itu karena Dinar. Dinar pernah memberikan novel itu padanya.Ingat kejadian itu? Saat dimana ia dan Dinar berdebat di sebuah toko buku karena Dinar ingin membelikannya banyak buku untuk di bacanya dengan harga hampir satu juta? Saat itu ia juga memang tidak mau
"Ujian Nasional sudah selesai dilakukan, dan kalian hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan."Sudah tiga hari, setelah Ujian Nasional selesai, Lingga masih sama seperti kemarin. Rasanya ia tidak tahu ingin melakukan apa, dan rasanya tidak ingin. Kepalanya selalu tidak bisa fokus akhir-akhir ini. Ia pun menghela napasnya. Tangannya kemudian menutup buku yang sempat coba dibacanya, tapi ia tidak mendapati apapun selain hanya melamun. Karena kejadian itu, ia menjadi merasa dirinya orang yang paling menyedihkan di dunia ini. Tidak biasanya ia seperti ini. Sangat tidak biasa dan bukanlah dirinya. Kepalanya benar-benar terisi penuh dengan kata Dinar. Namanya, wajahnya, kilas kejadian yang sudah terjadi dengan Dinar.Dan ia menjadi teringat setiap kali ulangan sekolah selesai dan liburan tiba, Dinar biasanya akan selalu mengajaknya pergi kemana pun tempat yang ingin di tuju gadis itu. Selalu ada daftar liburan yang Dinar buat dan ditunjukkan kepadanya kemana
A few days later...Lingga duduk melamun, menatap buku-buku berukuran tebal miliknya yang di biarkannya terbuka di meja belajar. Bersama bolpoin berada dalam genggamannya, ia melamun memikirkan semua yang telah terjadi beberapa hari belakangan ini padanya. Dengan kehidupannya. Apa yang Sheza katakan saat itu, kekecewaan Bunda padanya, dan juga apa yang telah terjadi padanya bersama Dinar.Entah apa yang terjadi, tetapi semua itu memenuhi kepalanya. Terutama kejadiannya dengan Dinar. Semua itu benar-benar tidak bisa di percayanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Berhari-hari memikirkannya, sampai membuatnya tidak nyaman saat melakukan kesehariannya. Kehidupan sehari-harinya menjadi terganggu oleh pikiran yang entah bagaimana rasanya, tapi ini benar-benar seperti menghantuinya.Terlebih lagi saat ia sedang sendiri