Share

5. Always Happen

Penulis: hihelloray
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Gila, ini cewek-cewek, pada bawa makeup banyak gini."

"Yah, cewek mah masih wajar, Ky."

"Enggak wajar kalo disekolahan, May."

"Cowok juga nih, gila, banyak banget yang bawa sebat."

"Mending Rin. Coba si Kean, liat, bawa obat itu anak. Siap-siap aja panggilan orang tua."

"Seriusan?"

"Iya. Giliran gue tanya ini obat apaan, dia malahan jawab kontreksin. Dikira gue b*go kali."

"Sejak kapan kontreksin berubah warna jadi kuning coba?"

"Emang dasar si Kean ini. Doyan banget ngeles kayak bajaj."

"Terus mau diapain nih? Simpen aja dulu apa gimana? Pak Ikhsan lagi sibuk rapat."

"Udah, dibuang aja kali. Mereka juga nggak bakalan mau ambil ini."

"Eh? Ling, ini barang gimana? Mau diapain?"

Beberapa anak OSIS yang sedang kumpul membahas barang yang telah di razia itu menoleh saat melihat Lingga tiba-tiba saja masuk sambil terburu-buru dan mencari sesuatu.

"Udah semuanya?" Tanyanya sambil sibuk mencari sesuatu di meja.

"Udah." Jawab beberapa dari mereka.

"Lo nyari apa sih? Buru-buru amat?"

"Flashdisk." Ujarnya. "Liat flashdisk disini?" Tangannya masih sibuk mencari.

"Nggak tau deh."

"Coba di laci, Ling, atau di keselip di kertas-kertas?"

Lingga masih mencoba mencarinya di atas meja, karena seingatnya flashdisk itu ia taruh dimeja. Dan benar saja, karena tidak lama kemudian ia akhirnya menemukannya. "Nih, ada." Lingga menunjukkan flashdisknya pada yang lain sambil melangkah ke arah mereka.

"Barang-barangnya jangan dibuang dulu. Disimpen sampe pak Ikhsan yang ngurus."

Mereka pun hanya mengangguk mengerti dengan perkataan Lingga.

"Oke."

"Gue duluan. Mau presentasi." Lingga pun sudah siap melangkah pergi meninggalkan ruangan, namun diurungkan saat ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

Maya yang melihatnya pun bertanya. "Kenapa, Ling?" Tanyanya saat melihat Lingga mengambil sebuah gelang kain berwarna hitam dan merah berinisalkan nama D disana. Gelang itu merupakan gelang yang dirazia tadi.

Lingga terdiam menatap gelang itu. Gelang yang di ujung pengaitnya terlepas.

"Itu gelang gue ambil dikelas Dinar. Nggak tau punya siapa kali tadi, gue lupa." Ujar Rindy karena Lingga terlihat memperhatikan serius gelang itu.

"Oh iya Ling, tadi—"

"Gue duluan."

Belum sempat melanjutkan perkataannya, Lingga melangkah pergi meninggalkan Maya yang hanya diam menatapnya.

•••

"Eh, gelang apaan nih?"

Gadis bersurai hitam panjang tidak berponi itu menarik lengan Lingga yang sedang menganggur, sementara sebelahnya sibuk menahan buku yang sedang dibacanya. Lingga hanya meliriknya tanpa berniat menjawab. Gadis itu mengernyit bingung, karena baru kali ini melihat seorang Lingga menggenakan sebuah gelang kain dan bertuliskan nama dengan inisial V.

"Anj*r, anj*r. Sejak kapan lo suka pake beginian?" Gadis itu tertawa menatap Lingga. "Pake inisial segala lag—"

Gadis itu tiba-tiba saja membulatkan matanya terkejut. Ia baru menyadari kenapa laki-laki itu memakai gelang berinisal V tersebut. Cengiran lebar lantas mengembang dibibir gadis itu. Raut wajahnya berubah menjadi mengejek.

"Kemajuan ya, bro. Couple..." Gadis itu terkekeh sambil menepuk pundak Lingga kencang dan membuat Lingga terkejut. Lingga pun menatap malas gadis itu yang melangkah meninggalkannya sambil terkekeh.

Malika Anjani, atau biasa dipanggil Jani, adalah teman satu kerja paruh waktu Lingga kurang lebih lima bulan ini di kafe, dan juga kebetulan merupakan teman Dinar. Sebetulnya, Lingga enggan menyebut Jani sebagai temannya, karena sikapnya yang tidak bisa diam itu membuat Lingga terkadang malas menganggapnya. Lingga justru lebih ingin menyebutnya sebagai orang yang tidak dikenalnya. Sikap Jani dan Dinar sangat mirip. Sama-sama tidak bisa diam, tingkah seperti preman pasar yang kasar, penganut kebebasan, dan keras kepala. Mereka sebelas dua belas. Maka dari itu rasanya Lingga enggan berteman dengannya, karena mengenal Dinar saja rasanya melelahkan. Ada saja kejadian yang membuatnya geram. Tapi semua itu sudah menjadi takdirnya. Karena kenyatannya, mereka berdua ada dikehidupannya.

"Gitu dong kali-kali couple, kayak gue sama Iky, biar punya bukti kalo lo berdua pacar— IYA, SELAMAT SORE, SILAHKAN!" Jani berteriak saat melihat pintu kafe terbuka dan menampakan seorang gadis cantik memasuki kafe.

"Noh, gantian. Udah tiga kali gue bulak balik. Lo dari tadi masih aja baca." Jani menunjuk pelanggan yang baru saja masuk itu menggunakan dagunya.

Lingga menghela napasnya pelan menatap Jani. Iapun bangkit lalu menutup buku science fictionnya yang tadi sedang dibacanya. Jani pun hanya menyengir lebar.

Hari ini sebenarnya keadaan kafe sedang tidak ramai seperti biasanya. Tapi Jani mengatakan seolah ia lelah sekali bekerja hari ini. Lingga bingung sebenarnya, kenapa gadis seperti Jani yang sebelas dua belas dengan Naura lebih memilih bekerja paruh waktu dibandingkan bersenang-senang dengan uang orang tua mereka? Jelas-jelas mereka orang yang mampu.

"Selamat sore, pesan apa?"

Lingga bertanya pada gadis yang baru saja datang dan duduk di kursi nomor 02 itu yang kini justru menatapnya terkejut.

"Kak Lingga?"

•••

Hari ini Dinar merasa bosan di dalam apartemennya. Lingga tidak membalas pesannya lagi setelah dua jam yang lalu. Walaupun sebenarnya Lingga selalu membalas pesannya dengan singkat dan juga lama, tapi Dinar masih menyukainya meski selalu itu membuatnya kesal menunggu seperti saat ini. Tapi karena tidak ada balasan lagi dari Lingga, Dinar menjadi gemas sendiri. Ia ingin menemui Lingga. Rasanya rindu, meski sering bertemu disekolah.

Jadi sekarang Dinar memilih keluar menuju kafe tempat Lingga bekerja untuk menemuinya, atau lebih tepatnya ingin memperhatikannya selama bekerja. Dinar tidak masalah untuk itu, dibandingkan ia harus terus menatap barang yang berhubungan dengan laki-laki itu, atau bahkan memperhatikan foto Lingga agar rindunya hilang.

"SELAMAT DAT—eh, woi! Watsap men!"

Jani terkekeh, menghampiri Dinar yang hanya diam menatapnya didekat pintu.

"Lah, kenapa lo? Sedih amat tuh muka?" Jani heran dengan wajah Dinar yang tertekuk saat datang seperti ini.

"Iya, kangen Dio gue."

Jani tertawa geli mendengarnya, bahkan melihat raut wajah Dinar yang seperti itu. Mengerucutkan bibirnya dengan wajah memelas dan matanya yang melirik ke penjuru kafe mencari keberadaan Lingga. Biasanya Jani selalu melihat wajah ceria dan gila gadis itu sama sepertinya, tapi saat ini tidak. Memang, jika sudah berhubungan dengan Lingga, Dinar pasti selalu seperti ini. Namanya jatuh cinta, memang susah.

"Pororo gue nggak kerja hari ini?" Dinar semakin cemberut, karena merasa tidak melihat keberadaan Lingga ditempat ini. Namun Jani yang mendengarnya jengah.

"Mata pake yang bener." Katanya. "Segede gitu cowok lo disono masa nggak liat?"

Jani mengarahkan kepala Dinar ke tempat keberadaan Lingga yang sedang duduk di ujung kafe dengan seorang gadis berambut panjang tanggung berponi yang ternyata tidak asing bagi Dinar. Dinar lantas memicingkan matanya, mencoba memperhatikannya lekat-lekat, dan dugaannya benar. Gadis itu adalah Shakila. Lingga sedang duduk bersama Shakila dengan kekehan bersama di keduanya yang terlihat menyenangkan dan akrab. Mata Dinar jelas memanas seketika melihatnya. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras.

"Kok si Dio akrab gitu ya Ci, sama— eh, woy! Lo kenal?! Cici!"

Dinar sudah muak melihatnya. Sudah cukup dirinya hanya memperhatikan di kejauhan dalam diam. Ia sudah benar-benar tidak suka melihat gadis itu. Dinar diamkan, justru gadis itu semakin menjadi. Bahkan sampai berani membuat Lingga tertawa lepas bersamanya. Padahal ia harus setengah mati agar membuat Lingga tertawa seperti itu bersamanya, tapi justru gadis itu dengan mudahnya merebut posisinya.

BRAK!

Shakila menatap terkejut keberadaan Dinar yang dengan tiba-tiba saja menutup keras laptop miliknya. Namun tidak dengan Lingga yang hanya menatap Dinar dengan datar. Dinar tahu itu bukan tatapan datar biasa, karena tatapan itu memiliki artian berbeda. Tapi Dinar tidak peduli dengan itu. Matanya hanya terus menatap tajam Shakila yang kini menatapnya takut.

"K-kenapa ya kak?"

Dinar terus menatap Shakila dengan tajam. Ia tidak bisa seperti ini. Tangannya sudah benar-benar gatal. "Lo pikir kenapa gue kesini, hah?!" Dinar melangkah mendekati gadis itu, namun pergerakannya terhenti saat Lingga menahannya.

"Nggak usah bikin keributan."

Dinar menoleh dan menepis kasar tangan Lingga. Ia tidak suka dihalangi, terlebih lagi ini sudah menyangkut dengan emosi tingkat dewanya. Dinar tidak akan pandang bulu walau sebenarnya masalahnya terjadi karena orang itu.

Melihat Dinar dan Lingga yang seperti itu, Shakila mulai menatap khawatir keduanya.

"M-maaf kak, t-tapi—"

"Lo tau? Tadinya, setelah gue nonjok Maya sampai dia mimisan, gue mikir dua kali buat ngelakuinnya lagi sama orang lain." Dinar berujar tajam. Suaranya terdengar mengancam. "Tapi sekarang, gue rasa enggak."

Dinar semakin menatap Shakila dengan tajam. Tangannya mengepal kuat, siap melayangkan pukulan mautnya. Tapi ketika kepalan tangannya melayang ke arah gadis itu, Lingga menahannya dengan cepat.

"Mending lo pulang kalo susah gue bilangin!"

Lingga menghempas kasar tangan Dinar dan menatapnya tajam. Ia tidak mengerti apa yang ada dipikiran gadis itu? Tidak ada apapun, tiba-tiba saja Dinar ingin melayangkan pukulan pada Shakila. Dinar sendiri pun ikut menatap tajam laki-laki itu. Ia benar-benar kesal saat ini.

"KENAPA SIH LO SELALU BELAIN ORANG LAIN DIBANDING GUE?! KENAPA YO!?"

Dinar menatap kesal, matanya mulai berkaca-kaca. Namun Lingga hanya diam menatapnya tanpa ingin mengatakan penjelasan apapun tentang kemarahannya ini. Dinar benar-benar kesal.

"Terus selama ini gue lo anggep apa sih, yo?!" Ujarnya kesal. "Lo tuh emang nggak—"

"Nggak usah bawa-bawa hal gak jelas kayak gitu!" Lingga menatap Dinar geram. Rahangnya terlihat mengeras. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang gadis itu pikirkan. "Lo itu salah! Kapan lo ngerti?! Kapan lo berubah?!"

Dinar masih menatap Lingga dengan berkaca-kaca. Ia kesal dengan laki-laki itu. Andai saja ia bisa meluapkan emosinya dengan mencakarnya, menamparnya atau bahkan memukul laki-laki itu seperti apa yang biasa ia lakukan pada Kean, Calvin, Satria dan lainnya, pasti akan ia lakukan sekarang! Tapi rasanya sulit melakukannya pada orang yang di sayang.

"Gue benci sama lo yo. Gue benci."

••

"BR*NGS*K! DIO BR*NGS*K!!!!"

Dinar berteriak dengan keras, mengisi tempat berkumpul mereka dengan nyaringnya suara teriakannya.

"Iya, iya, gue juga tau, Nar... Lo udah bilang gitu, dari dua jam yang lalu." Satria menyahuti teriakan tidak jelas Dinar yang tengah berbaring di sofa berukuran besar, dengan sebotol minuman beralkohol digenggamnya.

"Dio tuh b*go! Harusnya dia bangga, punya cewek kayak gue! Cewek yang masih cemburu liat cowoknya sama cewek lain!"

"Semua cewek juga gitu, bambang." Kali ini Kean yang menyahut jengah.

"Apalagi cewek nya kayak gue..." Dinad kembali bersuara. "Dio emang b*go, udah nyia-nyiain gue! Bikin gue sakit..." Dinar menenggak habis sisa Bir Heneikennua, lalu melempar botol itu sembarang. Satria buru-buru menangkapnya, agar pecahannya tidak menjadi kerjaan dua kali untuk mereka.

Memang, sudah sekitar dua jam lebih Dinar uring-uringan seperti ini hanya karena seorang Harlingga Dio Wardana. Laki-laki batu, kaku, dan dingin yang bisa-bisanya menjadi pacar seorang Dinar. Semua itu selalu menjadi misteri dan tanda tanya besar. Pikiran menggunakan ilmu hitamlah yang selalu terlintas dikepala The Dude, namun selalu disangkal keras oleh Dinar sendiri.

"Lo nya aja yang b*go. Udah disuruh tinggalin, masih aja—"

"GUE DENGER YA SAT!"

Calvin yang baru saja giliran ingin melakukan shoot permainan biliardnya bersama dengan Kean dan Satria itu sampai membuatnya buyar. Jelas saja teriakan dalam keadaan mabuk Dinar membuat laki-laki itu siap bersembunyi, khawatir Dinar ternyata masih dalam keadaan sadar, meski tubuh Dinar sudah terlihat terkulai lemas diatas sofa.

"Dia tadi nyebut sat?" Tanya Calvin melirik takut. "Sat, b*ngs*t, apa si Satria?"

Kean, Satria, Tasya dan juga Geby yang berada disana terbahak melihat bagaimana raut wajah ketakutan Calvin.

"Tau dah, b*ngs*t kali." Kekeh Kean kembali melanjutkan billiardnya bersama Satria. Calvin sendiri masih melirik takut. Tangannya bahkan sibuk melempari Dinar dengan bungkus rokok, memastikan gadis itu benar-benae tidak sadar.

"Santai sih lo, yaelah. Abis dua botol nih anak." Tasya terkekeh sambil menepuk kepala Dinar, meyakinkan Calvin kalau Dinar sudah tidak sadar.

Apa yang dikatakan Tasya memang benar. Dinar tidak lagi bergerak, selain bergumam tidak jelas karena pengaruh Bir yang diminumnya, dan membuat gadis itu lemas untuk bergerak dan hanya berkata melantur.

"Tepar beneran?"

"Gue harus gimanaaa supaya Dio nggak deket-deket Shakila, huhu..."

Dinar tiba-tiba saja kembali bersuara, membuat semuanya menoleh kemudian terbahak bersama.

"Putusin biar cepet."

"Gue nggak mau Dio deket-deket sama cewek lain selain gue..." Ujar Dinar tidak merespon perkataan Kean.

Semuanya kini hanya diam tidak menanggapi. Mereka sudah bosan dan lelah menanggapi dan menasehati Dinar, agar gadis itu berpisah dengan Lingga. Tapi Dinar tidak pernah mau. Entah apa yang merasukinya.

"Sayang Dio, huaaa..."

"Gue harus giman—ah, gue tau!" Seru Dinar dengan tiba-tiba yang membuat Geby menoleh terkejut. "Ah! Gue nggak tau, huhu..."

Dinar yang baru saja berniat bangkit dari baringannya, kini kembali merebahkan tubuhnya lagi dengan lemas.

Calvin, Geby dan Tasya melihat itupun hanya menggelengkan kepalanya, sudah tidak paham lagi dengan apa yang ada dipikiran Dinar. Sementara Kean dan Satria justru terkekeh.

"Liat temen lo, noh. Bucin stadium 4! Beg*nya bahkan sampe ke partikel terkecil kulit!" Calvin berujar jengah dan kembali bermain billiard.

"Kayak lo, tuh." Ujar Satria pada Kean, membuat Kean menoleh.

"Apaan kayak gue?"

"Belernya, kalo lagi minum." Satria tertawa meledek. Kean pun memukul menggunakan tongkat billiard.

Sementara itu, Geby dan Tasya hanya bisa menghela napasnya melihat Dinar dalam keadaan seperti ini. Selalu seperti ini, lebih tepatnya, ketika gadis itu sedang memiliki masalah dengan Lingga.

"Siapa yang mau bawa pulang?" Tanya Tasya. "Mobilnya ditinggal di kafe si Dio."

"Lah, terus mobil siapa itu tadi?"

"Dia naik taxi. Si Jani ngasih tau gue." Kata Geby sambil menutupi rok Dinar yang sedikit tersingkap, memperlihatkan pahanya.

"Gaya bener, mobil main tinggal." Ujar Kean. "Jangan bilang tuh kunci mobil ditinggal juga disono?"

Geby menggeleng saat mengecek tas Dinar dan menemukan kunci mobilnya disana. "Kagak. Nih, dibawa sama dia."

"Yaudah, si Satria tuh, nganggur." Kata Kean. "Gue kan sama majikan, noh."

Tasya melirik jengah saat Kean mengatakan dirinya majikan. "Oh, jadi babu ngomongnya gitu sama majikan?"

Kean menyengir bodoh saat Tasya menanggapi candaannya dengan serius. Mereka pun hanya terkekeh melihatnya, terlebih lagi Calvin.

"Akhirnya, babu mengakui kalau selama ini lo majikannya, Sa, bukan pacarnya."

"Sial, apa-apaan?!"

"Udah, lo ah helah, bac*t." Sentak Geby kesal. "Urusin dulu nih temen lo satu!"

"Yaudah sih, tinggalin aja tuh anak disini. Nggak bakalan mati lagian ditinggal sendirian di basecamp." Kean mengatakan dengan entengnya, membuat Geby dan Tasya menatap jengah.

"Yaudah, kalo gitu lo yang nanggung kalo nih anak nyerocos seharian besok. Mau lo?"

Kean hanya menyengir menolak, sementara Calvin terkekeh melihatnya. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana keadaan jika Dinar ditinggal di basecamp semalaman, dan esoknya akan ada mulut yang terus berkoar tidak henti seharian.

"Udah, lo yang nganter balik nih ke apartemen." Kata Geby. "Ambil dulu mobilnya sama si Ical apa si Kean sono."

"Terus motor gue gimana?"

"Yaelah, masih aja mikirin motor. Tinggal aja disini kenapa sih? Nggak bakalan ilang motor lo." Tasya sudah geram, karena Satria terus-menerus menolak, padahal hanya laki-laki itu yang datang sendirian kemari.

"Biar gue yang bawa dia balik."

Seketika semuanya menoleh kearah sumber suara. Suara asing diantara mereka berlima, yang datang dari arah ambang pintu membuat bingung. Mereka kemudian menatap terkejut saat melihat siapa yang datang.

••

Dari setiap hari-hari yang Lingga lewati dengan kesibukannya, Lingga memilih hari ini menjadi hari paling terlelahnya. Entahlah. Mungkin hari ini ia benar-benar bekerja keras, karena saat kepergian Dinar dari kafe, banyak pelanggan yang berdatangan satu persatu dan berujung ramai, sampai akhirnya ia harus pulang pukul 9 malam ini. Lingga lembur selama tiga jam.

Lingga menghela napasnya.

Di standarkannya motor vespa maticnya, hasil pembelian dari dikumpulkannya uang dalam lomba cerdas cermat yang selalu Lingga ikuti setiap diadakan, dan uang hasil dari kerja paruh waktunya. Ditaruhnya helm yang berwarna senada dengan motor matic vespa miliknya. Kakinya pun melangkah mendekati kursi single berbahan kerajinan itu didekat pintu depan rumahnya. Ia mendaratkan bokongnya disana.

Lingga benar-benar lelah hari ini. Ia merasa, ia harus mandi dengan air hangat dan mengolesi tubuhnya dengan sedikit minyak hangat agar tubuhnya yang lelah menjadi tidak terlalu terasa, karena besok juga hari senin, dan ia harus datang pagi karena selain upacara berlangsung, ia juga akan ada ulangan harian nantinya. Ia harus segera beristirahat, agar besok tubuhnya tidak terlalu lelah.

Disaat Lingga sedang ingin menaruh sepatunya di rak dekat jendela, ia terdiam sejenak karena melihat sesuatu disana. Sepatu Dinar, yang bahkan tidak gadis itu ambil sejak seminggu yang lalu. Lingga hanya menghela napasnya tidak peduli. Ia benar-benar lelah hari ini, jadi ia tidak ingin dipusingkan dengan hal lain.

Tunggu, kenapa ia menjadi seperti ini?

Lingga lagi-lagi membuang napasnya. Ia memasuki rumah dan melangkah menuju ke arah dapur. Ia menaruh tas ranselnya itu diatas meja dapur, dan membuka lemari es untuk menggambil segelas air putih disana.

"Tadi Dinar kesini."

Lingga hanya diam. Suara itu tidak mengejutkannya, karena memang saat menuju dapur, ia melihat kakaknya sedang asik menonton drama di ruang keluarga yang masih menjadi satu ruangan tidak jauh dengan dapur itu.

"Tapi lo nggak ada, jadi dia ke kafe nyamperin lo." Katanya. "Ketemu nggak?"

Lingga tetap diam. Ia lebih memilih meneguk air putihnya dibanding mempedulikan perkataan kakaknya. Itu jelas membuat kakaknya kesal, karena tidak ada jawaban apapun.

"Lo denger nggak sih gue ngomong?!" Bentaknya sebal.

"Kenapa sih, malem-malem kok teriak-teriak, kak?" Bunda yang baru saja keluar dari kamarnya itu bertanya bingung lantaran anak sulungnya itu terdengar berteriak-teriak, padahal jam sudah malam.

Sheza, kakak perempuan Lingga kembali menatap layar televisi dengan wajah kesal. "Tuh, anak Bunda. Diajakin ngomong diem aja kayak batu."

"Berisik." Lingga bangkit dari duduknya, dan mengambil tasnya.

"Kan, bun! Liat! Sekalinya ngejawab omongannya kurang ajar!" Sheza menoleh, menatap Lingga yang saat ini berjalan kearah Bunda dan terlihat sedang mencium tangannya.

"Kamu ketemu Dinar nggak?" Tanya Bunda. "Tadi dia kesini nanyain kamu. Katanya kamu nggak ngabarin dia."

Lingga terdiam sesaat menatap Bundanya. "Aku capek, bun."

Bunda mengelus pundak Lingga dan tersenyum tipis. "Kamu berantem lagi sama dia?"

Sheza yang sejak tadi menguping itu berdecak. "Pastilah bun. Pacaran aja nggak normal, gimana nggak berantem mulu."

"Sheza..."

"Biar sadar bun. Cewek juga kalo di gituin nggak bakalan betah!" Sheza menggebu. "Aku malahan bingung, gimana bisa si Dinar betah pacaran sama—"

"Gue itu udah normal sama dia." Tukas Lingga. "Lo kalo nggak tau apa-apa mending diem."

Lingga pun melangkah begitu saja menuju kamarnya tanpa lagi mempedulikan perkataan Sheza. Namun kakaknya kembali berteriak yang terdengar olehnya.

"Kan, bun! Liat kelakuannya! Pantes aja banyak yang ngga suka sama dia, ya karena gitu tuh!"

Bunda yang melihat bagaimana kakak beradik itu hanya bisa menghela napasnya. Mereka selalu bertengkar, hanya karena masalah kecil. "Kamu udah makan, yo?"

Lingga hanya terus melangkah menuju lantai atas tanpa memperdulikan perkataan Bunda.

"Tadi Dinar bawain spagetti kesukaan kamu, yo."

Lingga berhenti melangkah. Kepalanya langsung teringat kejadian siang tadi di Kafe.

"Mau kamu makan?"

Lingga menghela napasnya. Matanya memejam sesaat, tangannya memijat lelah pelipisnya. Lingga benar-benar lelah dan pikirannya sangat kalut sekarang.

"Nggak laper bun."

Kakinya kembali melangkah meninggalkan mereka.

Bab terkait

  • Without You [Indonesia]    6. Disease

    Drt! Drt!Sebuah notifikasi pesan masuk membangunkan Dinar dari tidurnya. Ia mengerang pelan, lalu meraih ponselnya dan bangkit. Ia kesal karena pagi-pagi buta seperti ini sudah ada yang berani mengganggunya. Namun tiba-tiba saja Dinar merasakan tubuhnya terasa remuk. Kepalanya dan tenggorokannya sakit, lalu perutnya mual. Tapi Dinar tidak memperdulikan itu. Ia lebih memilih mengecek ponselnya, dan ternyata hanya notifikasi dari Line yang sudah banyak sejak kemarin.Dinar menghela napasnya malas dan melempar ponselnya. Tangannya pun menyentuh kepalanya yang terasa pening. Lalu sebelahnya lagi menyentuh perutnya yang terasa mual. Dinar bingung, kenapa tubuhnya menjadi seperti ini? Matanya kemudian melirik jam di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    7. Gum Kiss

    "Lingga, tolong bawakan tas saya ke kelas. Saya mau ke kamar mandi dulu."Lingga mengangguk, tersenyum tipis dan menggambil alih tas bu Erika untuk dibawanya ke kelas. Kakinya pun melangkah menuju kelasnya, MIPA 1, dimana kelasnya berada di ujung lantai atas gedung kelas 12. Kakinya melangkah menuju kelasnya, melewati koridor kelas 12. Sambil membawakan tas milik bu Erika, pandangannya hanya menatap lurus depannya dengan wajah datarnya. Ditengah langkahnya, tiba-tiba saja matanya tidak sengaja melihat keberadaan ketiga laki-laki yang sedang di interogasi oleh guru piket, di lobby sekolah.Ketiga laki-laki itu adalah si biang onar atau The Dude.Lingga hanya meliriknya sekilas, tidak peduli dengan kedatangan telat mereka. Melihat mereka disana sudah bukan menjadi hal aneh lagi setiap harinya. Mereka yang selalu datang pukul delapan atau bahkan lebih, memakai seragam yang tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    8. Umpteenth Time

    Lingga menatap diam selembaran kertas yang berisikan soal latihan dihadapannya tanpa berkedip. Ia bukannya sedang fokus untuk mengerjakan soal latihan itu. Tapi matanya justru menatapnya kosong. Lebih tepatnya ia melamun, melamun memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Kejadian tiga hari lalu."Kak?"Lingga terkejut saat sebuah tangan dikibaskan tepat didepan wajahnya, membuatnya langsung tersadar."Kakak denger nggak aku ngomong apa?"Lingga menatap bingung Shakila yang duduk berhadapan dengannya dan hanya dibatasi oleh meja berukuran persegi."Kan, bener. Kakak ngelamun dari tadi." Ujarnya. "Aku dari tadi nanya yang ini, tapi kakak diem aja. Lagi ada masalah, kak?"Lingga masih terdiam menatap Shakila. Ia juga tidak mengerti, kenapa ia bisa jadi melamun memikirkan hal yang tidak jelas? Karena tiba-tiba saja pikiran itu melintas. Lingga pun mengalihkan pandangann

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    9. Breaking My Heart

    "Saya suka sama kamu."Kata-kata itu terus menerus terngiang semalaman dikepala Dinar. Kata-kata sederhana yang pernah Lingga ucapkan ketika pertama kalinya Dinar bertemu dan melihat laki-laki culun, dengan seragam rapih yang selalu dimasukkan ke dalam celana, memakai kacamata bulat minusnya, serta wajah yang dingin dan tatapannya yang tajam, mengungkapkan perasaannya pada Dinar saat itu.Bahkan kata-kata itu masih terus terngiang sampai sekarang.Kata-kata yang diucapkan dengan nada dan juga wajah datar tidak berekspresi yang sukses membuatnya menganga terkejut, namun mampu membuat seorang Dinar menganggukkan kepala menerima kata-katanya. Tidak ada rangakaian kalimat romantis seperti i love you, will you be my girlfriend? dan kata-kata lainnya, atau juga bahkan sebuah kejutan spesial seperti pemberian bunga, coklat dan boneka.Hanya beberapa kata itu. Dan kata-kata itu sekarang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    10. He Returned

    Terik matahari melihat masuk melalui celah jendela yang berada tidak jauh dari keberadaan Lingga. Menyorotkan cahayanya pada buku yang sedang dibacakan oleh Lingga saat ini. Terlihat tidak merasa terganggu dengan adanya cahaya itu, tapi justru ada hal lain yang mengganggunya ditengah kefokusannya membaca bukunya.Lingga pun mendongak, mengungkapkan diam kursi kosong yang berlawanan dengan posisi saat ini. Ia selain memandang tanpa ada apapun ekspresi diwajahnya datar tidak bisa dijelaskan. sesuatu yang berada dikepalanya terus mengganggunya sejak tadi, dan membuatnya tidak nyaman.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    11. Each Other

    "Bundaaaaaa."Suara teriakan keras Sheza sambil menuruni anak tangga terdengar menggema diruang meja makan pada pagi hari itu. Bunda yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan pun mengintip dibalik konter dapur."Kenapa kak? Masih pagi kok teriak-teriak gitu sih? Pamali tau."Bunda berjalan menuju meja makan sambil membawa masakannya dan memperhatikan anak pertamanya yang memasang wajah tertekuk."Bunda liat binder aku nggak yang warna pink?" Sheza bertanya dengan wajah kusutnya. Bunda jelas menggelengkan kepalanya."Binder apa sih? Bunda nggak liat, kak."Sheza seketika memasang wajah sedih saat Bunda mengatakan tidak melihat barang penting itu. "Bunda beneran nggak liat?"Bunda menggeleng lagi. "Emangnya kamu taruh mana kemarin-kemarin? Coba di inget lagi."Sheza semakin mengerucutkan bibirnya dan menggeleng. "Aku lupa, Bun, makanya itu aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    12. End of His World

    Dinar dan Kean berjalan berdua melewati koridor sekolah yang ramai dengan lalu lalang para murid, meski saat ini bukan jamnya istirahat. Kean, yang hari ini merasa dirinya sedang terlihat lebih ganteng dari biasanya, dia berjalan penuh gaya layaknya Adam Levin yang sedang menyapa para fansnya dengan senyuman dan cengiran tebar pesona. Dinar yang berjalan disebelah Kean hanya menatapnya dengan malas. Ralat. Dinar tidak melihat bagaimana gayanya temannya itu sekarang, tapi dari banyaknya para siswi yang menatap terpana laki-laki itu, sudah membuat Dinar mengerti tanpa harus melihat bagaimana menjijikannya Kean seperti itu."Muka lo rasanya pengen gue lelepin ke wc.""Dih, sirik aja lo jadi orang." Lirik Kean jengah. "Gue tau kok, si Lingga itu nggak ada tai-tainya dari gue." Kean terkekeh yang kemudian mendapatkan pukulan dari Dinar tepat dikepalanya, yang membuatnya mengaduh kesakitan."Anj*r! Sakit, Ci!"D

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Without You [Indonesia]    13. Why Don't You Kill Me?

    Dinar terdiam menatap hadapannya dengan kosong. Kepalanya kembali teringat bagaimana kilas balik dulu saat ia masih bersama dengan Lingga. Bagaimana pertemuannya pertama kali, cara Lingga mendekatinya, menyatakan perasaannya, menjalin hubungan dengan lika-liku, kejadian-jadian manis, dan kata-kata dari Lingga yang tidak pernah Dinar lupakan sedikitpun. Seperti saat bagaimana ia bisa mulai mencintai Lingga dengan perlahan, saat Lingga yang tidak pernah mengatakan putus walaupun hubungan mereka tidak bisa disebut baik-baik saja, dan ketika Lingga pernah mengatakan sekali selama hubungan mereka terjalin. Dia mengatakan kalau tidak akan meninggalkannya. "Iya untuk hari ini." Seperti sebuah janji pernikahan yang diucapkan dengan sakral oleh Lingga, sekali, seumur hidupnya. Hanya hari itu, untuk selamanya. Itu yang Dinar pikirka

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Without You [Indonesia]    Special part end: Letter

    ﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏Jakarta, 21 Juli 2017.Untukmu."Saya suka sama kamu."Ada yang berbeda sebelum itu. Perasaan gundah, gelisah, dan tidak nyaman. Apa itu sebuah rasa? Saya bahkan tidak tahu. Saat itu. Senang melihatmu tersenyum, dalam balutan seragam putih abu-abu setiap harinya. Wajah lelah kepanasan, dan jengkel. Ada yang meletup-letup dalam diri. Seolah ingin terus menatap, menghampiri, dan ingin dekat. Tidak pernah sedikit pun merasa seperti itu sebelumnya. Hati ini tidak mengerti. Tapi, melihatmu membuat saya paham apa arti pandangan pertama.Rasa suka yang berbeda. Saya tidak pernah melihat dan merasakan yang seperti ini. Sampai akhirnya, saya memberanikan diri mengungkapkannya. Ada kebahagiaan saat kamu menerima meski sempat mendapat penolakan mentah-mentah di awal.Karena kamu yang pertama, dan mungkin, jika kamu tidak mengatakan ingin, saya akan terus menjadi laki-laki yang kamu kenal kemarin. Ba

  • Without You [Indonesia]    38. It's Not That It Can't Work, But It's Just Too Late Now

    Lingga melamun menatap jalanan yang ada. Kendaraan yang berjalan silih berganti, berlawanan arah atau searah dengannya.Lingga tidak percaya akan seperti ini. Menunggu lagi selama dua jam di Taman, namun Dinar tidak juga datang. Sampai akhirnya, ia berada di dalam mobil ini yang akan membawanya menuju bandara, tanpa bisa bertemu dengan Dinar dan mengatakan apa yang ingin dikatakannya padanya untuk terakhir kalinya, di Indonesia. Padahal ia benar-benar ingin mengungkapkan semuanya, tapi Dinar sepertinya memang sangat marah dan kecewa padanya. Pesan terakhir yang dikirimannya pun hanya di baca olehnya, tanpa ingin membalasnya. Lingga pun memejamkan matanya dalam. Dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin pergi, karena semua ini masih membebankannya. Ada hal yang belum di selesaikan, dan itu membuatnya tidak nyaman. Ia juga ingin melihat Dinar untuk terakhir kalinya, karena ia tidak tahu bisa kembali kesini saat libur tiba atau tidak. Tapi sepertinya ia tidak ingin merepo

  • Without You [Indonesia]    37. Don't Know Anything

    Lingga menatap diam dua buah koper besar yang berada di sebelah tempat tidurnya, berwarna merah dan juga hitam. Ia menatapnya sambil tersenyum tipis. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Belanda, lebih tepatnya sore nanti. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mewujudkan mimpinya berkuliah di salah satu universitas terbaik pilihannya di luar negeri. Akhirnya.. Lingga menghela napasnya.Matanya kemudian melirik kearah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang. Hari ini ia akan menemui Dinar.Mencobanya kembali, dan ia berharap Dinar mau menemuinya. Matanya melirik ponselnya yang tadi sempat di ambilnya untuk melihat pesan yang di kirimkan pada Dinar, tapi hanya di baca olehnya. Lingga pun mengunci ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam sakunya.Meski tidak mendapatkan jawaban, Lingga masih berharap dan yakin kalau Dinar akan datang. Iapun melangkah mendekati meja belajarnya dimana tas ranselnya berada disana. Tangannya kemud

  • Without You [Indonesia]    36. A Regret

    Hari-hari pun telah berlalu.Lingga, duduk diam melamun menatap keluar jendela kamarnya. Memperhatikan sebuah pohon yang bergerak mengikuti angin yang berhembus tidak terlalu besar diluar. Iapun menghela napasnya. Entah apa yang dilakukannya, tapi, diam melamun memperhatikan hal-hal tidak jelas seperti sekarang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Semua berjalan begitu saja, padahal ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Memang, setelah kejadian itu, Lingga menjadi lebih murung. Ia semakin banyak diam sementara kepalanya terus memikirkan kenapa Dinar tidak ingin datang malam itu, padahal ia sudah menunggu hingga berjam-jam lamanya disana. Tidak, ia tidak menyalahkan Dinar dan berujung menjadi kesal dengannya. Ia hanya bertanya-tanya, bingung, dan tidak mengerti. Niatnya malam itu baik. Lingga ingin mengatakan semuanya, mengakui kesalahan dan menyesalkan apa yang telah dilakukannya. Tapi malam itu Dinar benar-benar tidak datang. Mungkin semua ini memang kesalahannya selama ini pada

  • Without You [Indonesia]    Special part: ii. Before

    Dalam acaknya rasa, banyaknya warna, hingga ganjilnya pola, cinta bisa saja terselip yang entah muncul dari mana.Mereka datang, tanpa di ketahui. Membuat gelisah, dan tidak terkendali.•••Hari itu..."Kamu mau jadi pacar saya?"Dinar terkejut saat mendengar laki-laki dihadapannya saat ini mengatakan itu baru saja dengan tiba-tiba. Ia lantas menarik jabatan tangannya dengan laki-laki itu. Matanya menatap heran seorang Harlingga, laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya padanya dan mengatakan mereka satu gugus, namun tiba-tiba dia mengatakan hal mengejutkan. Sejauh ini, mereka-mereka yang mengangumi wajahnya, mereka hanya sekadar suka biasa yang ia tahu. Mereka hanya mengatakan bualannya dan pergi begitu saja. Namun laki-laki ini, tiba-tiba saja mengatakan menyukainya dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Yang benar saja? "Gila lo?" Dinar menatap tidak percaya. "Gue kenal lo aja enggak. Nggak usah aneh-aneh!"Dinar lantas bangkit dan meninggalkan Lingga yang hanya diam menata

  • Without You [Indonesia]    35. And Then There Where Was No One Left

    Two weeks later...Terangnya cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela di kamar milik Lingga siang itu.Lingga, sedang merapihkan kamarnya saat ini. Ia terlihat merapihkan seprai tempat tidurnya, mengganti karpet lantainya, mengganti gorden, merapihkan dan memisahkan buku-buku yang akan dibawanya dengan yang tidak, serta memindahkan beberapa rak buku ke sisi yang terlihat lebih rapih dan tidak terlalu penuh. Setidaknya, sebelum ia pergi dan tinggal di Belanda. Terhitung sudah dua minggu berlalu, ia memang sudah memutuskan untuk tidak membuat semuanya menjadi lebih sulit lagi. Meski rasanya seperti tidak ingin, tetapi ia sudah memutuskannya. Lagi pula tidak mungkin ia menolak kesempatan besar ini, dan Bunda pun sudah mengizinkan sepenuhnya untuknya melanjutkan studi disana, karena Bunda mengatakan tidak ingin ia menyia-nyiakan apa yang sudah diperjuangkannya. Besok juga Bunda sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh Dokter. Sebelumnya, Dokter meman

  • Without You [Indonesia]    34. This is Not What He Wants

    "I intend to make my own way in the world."Seperti itulah sekiranya yang dikatakan oleh Jo March di sebuah Novel klasik karya Louisa May Alcot yang baru saja Lingga selesaikan selama dua hari terakhir. Hanya sebuah novel ringan, yang tidak menguras otaknya untuk memahami apa maksud dan makna yang di dapat dari tulisan itu. Sangat berbeda dengan buku-buku yang dibacanya selama ini.Lingga pun menghela napasnya. Sebenernya ia bukan orang yang menyukai sebuah Novel drama apalagi romansa. Ia lebih menyukai membaca buku-buku seperti Biography, Ensiklopedia, ilmiah, dan kalaupun itu sebuah novel, ia lebih menyukai genre Fiksi Sains, Fantasi ataupun Aksi.Jika kalian bertanya kenapa ia mempunyai novel itu dan mau membacanya? Semua itu karena Dinar. Dinar pernah memberikan novel itu padanya.Ingat kejadian itu? Saat dimana ia dan Dinar berdebat di sebuah toko buku karena Dinar ingin membelikannya banyak buku untuk di bacanya dengan harga hampir satu juta? Saat itu ia juga memang tidak mau

  • Without You [Indonesia]    33. Nostalgic

    "Ujian Nasional sudah selesai dilakukan, dan kalian hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan."Sudah tiga hari, setelah Ujian Nasional selesai, Lingga masih sama seperti kemarin. Rasanya ia tidak tahu ingin melakukan apa, dan rasanya tidak ingin. Kepalanya selalu tidak bisa fokus akhir-akhir ini. Ia pun menghela napasnya. Tangannya kemudian menutup buku yang sempat coba dibacanya, tapi ia tidak mendapati apapun selain hanya melamun. Karena kejadian itu, ia menjadi merasa dirinya orang yang paling menyedihkan di dunia ini. Tidak biasanya ia seperti ini. Sangat tidak biasa dan bukanlah dirinya. Kepalanya benar-benar terisi penuh dengan kata Dinar. Namanya, wajahnya, kilas kejadian yang sudah terjadi dengan Dinar.Dan ia menjadi teringat setiap kali ulangan sekolah selesai dan liburan tiba, Dinar biasanya akan selalu mengajaknya pergi kemana pun tempat yang ingin di tuju gadis itu. Selalu ada daftar liburan yang Dinar buat dan ditunjukkan kepadanya kemana

  • Without You [Indonesia]    32. His Mistake

    A few days later...Lingga duduk melamun, menatap buku-buku berukuran tebal miliknya yang di biarkannya terbuka di meja belajar. Bersama bolpoin berada dalam genggamannya, ia melamun memikirkan semua yang telah terjadi beberapa hari belakangan ini padanya. Dengan kehidupannya. Apa yang Sheza katakan saat itu, kekecewaan Bunda padanya, dan juga apa yang telah terjadi padanya bersama Dinar.Entah apa yang terjadi, tetapi semua itu memenuhi kepalanya. Terutama kejadiannya dengan Dinar. Semua itu benar-benar tidak bisa di percayanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Berhari-hari memikirkannya, sampai membuatnya tidak nyaman saat melakukan kesehariannya. Kehidupan sehari-harinya menjadi terganggu oleh pikiran yang entah bagaimana rasanya, tapi ini benar-benar seperti menghantuinya.Terlebih lagi saat ia sedang sendiri

DMCA.com Protection Status