"Bundaaaaaa."
Suara teriakan keras Sheza sambil menuruni anak tangga terdengar menggema diruang meja makan pada pagi hari itu. Bunda yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan pun mengintip dibalik konter dapur.
"Kenapa kak? Masih pagi kok teriak-teriak gitu sih? Pamali tau."
Bunda berjalan menuju meja makan sambil membawa masakannya dan memperhatikan anak pertamanya yang memasang wajah tertekuk.
"Bunda liat binder aku nggak yang warna pink?" Sheza bertanya dengan wajah kusutnya. Bunda jelas menggelengkan kepalanya.
"Binder apa sih? Bunda nggak liat, kak."
Sheza seketika memasang wajah sedih saat Bunda mengatakan tidak melihat barang penting itu. "Bunda beneran nggak liat?"
Bunda menggeleng lagi. "Emangnya kamu taruh mana kemarin-kemarin? Coba di inget lagi."
Sheza semakin mengerucutkan bibirnya dan menggeleng. "Aku lupa, Bun, makanya itu aku
Dinar dan Kean berjalan berdua melewati koridor sekolah yang ramai dengan lalu lalang para murid, meski saat ini bukan jamnya istirahat. Kean, yang hari ini merasa dirinya sedang terlihat lebih ganteng dari biasanya, dia berjalan penuh gaya layaknya Adam Levin yang sedang menyapa para fansnya dengan senyuman dan cengiran tebar pesona. Dinar yang berjalan disebelah Kean hanya menatapnya dengan malas. Ralat. Dinar tidak melihat bagaimana gayanya temannya itu sekarang, tapi dari banyaknya para siswi yang menatap terpana laki-laki itu, sudah membuat Dinar mengerti tanpa harus melihat bagaimana menjijikannya Kean seperti itu."Muka lo rasanya pengen gue lelepin ke wc.""Dih, sirik aja lo jadi orang." Lirik Kean jengah. "Gue tau kok, si Lingga itu nggak ada tai-tainya dari gue." Kean terkekeh yang kemudian mendapatkan pukulan dari Dinar tepat dikepalanya, yang membuatnya mengaduh kesakitan."Anj*r! Sakit, Ci!"D
Dinar terdiam menatap hadapannya dengan kosong. Kepalanya kembali teringat bagaimana kilas balik dulu saat ia masih bersama dengan Lingga. Bagaimana pertemuannya pertama kali, cara Lingga mendekatinya, menyatakan perasaannya, menjalin hubungan dengan lika-liku, kejadian-jadian manis, dan kata-kata dari Lingga yang tidak pernah Dinar lupakan sedikitpun. Seperti saat bagaimana ia bisa mulai mencintai Lingga dengan perlahan, saat Lingga yang tidak pernah mengatakan putus walaupun hubungan mereka tidak bisa disebut baik-baik saja, dan ketika Lingga pernah mengatakan sekali selama hubungan mereka terjalin. Dia mengatakan kalau tidak akan meninggalkannya. "Iya untuk hari ini." Seperti sebuah janji pernikahan yang diucapkan dengan sakral oleh Lingga, sekali, seumur hidupnya. Hanya hari itu, untuk selamanya. Itu yang Dinar pikirka
Dinar duduk diam melamun ditempat tidur berukuran King miliknya. Sejak terbangun dua jam yang lalu, tidak ada yang ia lakukan selain melamun, melamun dan melamun. Kepalanya terus memikirkan kejadian beberapa hari lalu di kelab.Dinar pikir, saat itu memang Lingga yang datang menjemputnya seperti yang biasa laki-laki itu lakukan ketika ia mabuk di bar atau kelab malam. Tapi nyatanya bukan. Wajah Lingga hanya ilusi yang Dinar gambarkan sendiri di kepalanya ketika itu saat mabuk. Dan ilusi itu terbentuk karena Dinar sendiri terlalu dan bahkan dikepalanya sudah dipenuhi oleh Lingga, kemudian ditambah ia sedang dalam keadaan mabuk. Seperti pada kenyataannya juga, sebuah minuman beralkohol jika dikonsumsi secara berlebih dapat menyebabkan gangguan pada sel-sel saraf pusat, dimana bagian utama otak akan sangat terpengaruh.Dan itulah yang terjadi.Kepalanya juga memikirkan bagaimana bisa Juan selalu ada disaat ia sedang dalam kea
12 januari, 1 years ago. To Arvega: Taman. Send. Lingga menaruh ponselnya didalam tas dan kembali membaca bukunya yang sempat terganggu. Pesan masuk dari Dinar itu sempat mengganggu waktu luangnya yang biasa digunakan untuk membaca. Meski hanya sekedar membaca sebuah pesan, tapi rasanya sangat menganggu bagi Lingga. Namun kini ia sudah mencoba untuk kembali fokus. Suasana yang saat ini sedang tenang pun membuatnya lebih mudah kembali terlarut dalam bacaannya. Ditengah keseriusannya membaca, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat bahkan langsung mendudukkan dirinya dikursi kosong sebelahnya. Dan tanpa menoleh pun Lingga sudah tahu siapa seseorang itu. Tentu saja orang yang mengiriminya pesan tadi.
Sebuah mobil Rush berwarna hitam mengkilap terlihat melewati jalanan Ibukota dengan kecepatan standar Jakarta yang selalu terkena macet. Di dalam, Dinar yang duduk disebelah kemudi itu duduk diam melamun. Selama di perjalanan menuju sekolah atau bahkan saat Calvin menjemputnya, pikirannya hanya terus tertuju pada persoalan Lingga yang keluar begitu saja dari MPK dengan alasan yang tidak Dinar ketahui. Lingga keluar dari sana seolah-olah mendapatkan jabatannya itu adalah hal yang mudah. Atau memang karena alasan lain? Mungkin saja, tapi alasan lain itu yang tidak Dinar ketahui dan membuatnya penasaran. Semalaman pun Dinar benar-benar memikirkannya. Ia sangat penasaran. Sampai akhirnya pagi tadi, Dinar memutuskan untuk menanyakannya secara langsung pada Lingga disekolah nanti. Walaupun ia tahu ia sendiri masih belum siap bertemu atau berpas-pasan lagi dengan Lingga, dan bagaimana bodohnya nanti ia akan menanyakannya pada Lingga yang seolah
Dinar duduk diam sambil memainkan ponselnya. Saat ini ia sedang sibuk melihat-lihat kembali pesan lamanya dengan Lingga yang ternyata sudah berakhir dua minggu lalu. Tidak disangka, semua itu sudah dua minggu berlalu. Dinar akui ia sangat merindukannya. Bukan, Dinar bukan hanya rindu dengan Lingga, tetapi juga dengan pesan-pesan singkat yang Lingga kirimkan padanya itu meski sangat jarang dilakukannya. Namun jika laki-laki itu mengiriminya, terdapat banyak kata yang membuatnya selalu tersenyum bahagia meski hanya berisi kata-kata biasa.Saat ini Dinar sedang berada disalah satu Kafe ternama langganannya, bersama dengan Sheza disana. Setelah kurang lebih hampir dua jam mereka sempat berkeliling Mall untuk mencuci mata dan sudah memenuhi apa yang mereka butuhkan, akhirnya mereka memilih beristirahat disini untuk melepas lelahnya karena berkeliling, dengan memesan sebuah minuman."Eh, tadi gue liat temen lo tuh, Nar." Sheza
BRAK!Suara pintu di banting dengan keras terdengar sangat jelas mengisi seluruh apartemen, begitu juga suara tangisan yang datang setelah bantingan itu muncul memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Dinar, menangis sejadi-jadinya di dalam apartemennya. Ia menangis terisak dengan keras karena kata-kata jahat Lingga di sekolah tadi. Perkataan yang benar-benar menusuk dalam ke hatinya, yang membuatnya langsung memilih pulang ke apartemen di bandingkan harus berada disana. Tidak peduli ia kembali membolos dan pelajaran yang dilewatkannya lagi. Ia seperti ini pun karena ia ingin melepaskan semuanya. Melepaskan rasa sakitnya karena perkataan Lingga, dan juga amarahnya yang tertahan tidak mampu di lampiaskan pada laki-laki itu.Dinar memang tidak habis pikir, bagaimana bisa Lingga melakukannya seolah-olah semuanya bukan apa-apa? Maksudny
Dinar berjalan sendirian di koridor utama sekolah. Tanpa di temani Calvin ataupun Tasya yang terkadang berangkat bersamanya, tapi kali ini ia sedang ingin berangkat sendiri. Meskipun mereka telah menawarkan diri untuk menjadi tukang ojeknya—kalau kata Calvin— setelah kejadian ia tidak masuk tiga hari kemarin, tapi Dinar menolaknya mentah-mentah. Ia sedang tidak ingin di pusingkan dengan berisiknya mulut-mulut mereka.Itu keinginan awalnya.Tapi sepertinya sekarang sama saja. Seharusnya ia kembali tidak sekolah saja untuk menenangkan dirinya, lantaran kesedihannya masih berlanjut hingga kini yang di sebabkan oleh seorang Harlingga Dio Wardana, laki-laki yang tidak pernah ingin pergi dari pikiran dan juga hatinya yang membuatnya lelah."Weh s*t, bagi hotspot sih."Dinar menghela napas napasnya kasar. Penyesalan memang berada di akhir. Lihat sekarang? Baru saja datang, suara Satria membuat Dinar m
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏Jakarta, 21 Juli 2017.Untukmu."Saya suka sama kamu."Ada yang berbeda sebelum itu. Perasaan gundah, gelisah, dan tidak nyaman. Apa itu sebuah rasa? Saya bahkan tidak tahu. Saat itu. Senang melihatmu tersenyum, dalam balutan seragam putih abu-abu setiap harinya. Wajah lelah kepanasan, dan jengkel. Ada yang meletup-letup dalam diri. Seolah ingin terus menatap, menghampiri, dan ingin dekat. Tidak pernah sedikit pun merasa seperti itu sebelumnya. Hati ini tidak mengerti. Tapi, melihatmu membuat saya paham apa arti pandangan pertama.Rasa suka yang berbeda. Saya tidak pernah melihat dan merasakan yang seperti ini. Sampai akhirnya, saya memberanikan diri mengungkapkannya. Ada kebahagiaan saat kamu menerima meski sempat mendapat penolakan mentah-mentah di awal.Karena kamu yang pertama, dan mungkin, jika kamu tidak mengatakan ingin, saya akan terus menjadi laki-laki yang kamu kenal kemarin. Ba
Lingga melamun menatap jalanan yang ada. Kendaraan yang berjalan silih berganti, berlawanan arah atau searah dengannya.Lingga tidak percaya akan seperti ini. Menunggu lagi selama dua jam di Taman, namun Dinar tidak juga datang. Sampai akhirnya, ia berada di dalam mobil ini yang akan membawanya menuju bandara, tanpa bisa bertemu dengan Dinar dan mengatakan apa yang ingin dikatakannya padanya untuk terakhir kalinya, di Indonesia. Padahal ia benar-benar ingin mengungkapkan semuanya, tapi Dinar sepertinya memang sangat marah dan kecewa padanya. Pesan terakhir yang dikirimannya pun hanya di baca olehnya, tanpa ingin membalasnya. Lingga pun memejamkan matanya dalam. Dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin pergi, karena semua ini masih membebankannya. Ada hal yang belum di selesaikan, dan itu membuatnya tidak nyaman. Ia juga ingin melihat Dinar untuk terakhir kalinya, karena ia tidak tahu bisa kembali kesini saat libur tiba atau tidak. Tapi sepertinya ia tidak ingin merepo
Lingga menatap diam dua buah koper besar yang berada di sebelah tempat tidurnya, berwarna merah dan juga hitam. Ia menatapnya sambil tersenyum tipis. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Belanda, lebih tepatnya sore nanti. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mewujudkan mimpinya berkuliah di salah satu universitas terbaik pilihannya di luar negeri. Akhirnya.. Lingga menghela napasnya.Matanya kemudian melirik kearah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang. Hari ini ia akan menemui Dinar.Mencobanya kembali, dan ia berharap Dinar mau menemuinya. Matanya melirik ponselnya yang tadi sempat di ambilnya untuk melihat pesan yang di kirimkan pada Dinar, tapi hanya di baca olehnya. Lingga pun mengunci ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam sakunya.Meski tidak mendapatkan jawaban, Lingga masih berharap dan yakin kalau Dinar akan datang. Iapun melangkah mendekati meja belajarnya dimana tas ranselnya berada disana. Tangannya kemud
Hari-hari pun telah berlalu.Lingga, duduk diam melamun menatap keluar jendela kamarnya. Memperhatikan sebuah pohon yang bergerak mengikuti angin yang berhembus tidak terlalu besar diluar. Iapun menghela napasnya. Entah apa yang dilakukannya, tapi, diam melamun memperhatikan hal-hal tidak jelas seperti sekarang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Semua berjalan begitu saja, padahal ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Memang, setelah kejadian itu, Lingga menjadi lebih murung. Ia semakin banyak diam sementara kepalanya terus memikirkan kenapa Dinar tidak ingin datang malam itu, padahal ia sudah menunggu hingga berjam-jam lamanya disana. Tidak, ia tidak menyalahkan Dinar dan berujung menjadi kesal dengannya. Ia hanya bertanya-tanya, bingung, dan tidak mengerti. Niatnya malam itu baik. Lingga ingin mengatakan semuanya, mengakui kesalahan dan menyesalkan apa yang telah dilakukannya. Tapi malam itu Dinar benar-benar tidak datang. Mungkin semua ini memang kesalahannya selama ini pada
Dalam acaknya rasa, banyaknya warna, hingga ganjilnya pola, cinta bisa saja terselip yang entah muncul dari mana.Mereka datang, tanpa di ketahui. Membuat gelisah, dan tidak terkendali.•••Hari itu..."Kamu mau jadi pacar saya?"Dinar terkejut saat mendengar laki-laki dihadapannya saat ini mengatakan itu baru saja dengan tiba-tiba. Ia lantas menarik jabatan tangannya dengan laki-laki itu. Matanya menatap heran seorang Harlingga, laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya padanya dan mengatakan mereka satu gugus, namun tiba-tiba dia mengatakan hal mengejutkan. Sejauh ini, mereka-mereka yang mengangumi wajahnya, mereka hanya sekadar suka biasa yang ia tahu. Mereka hanya mengatakan bualannya dan pergi begitu saja. Namun laki-laki ini, tiba-tiba saja mengatakan menyukainya dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Yang benar saja? "Gila lo?" Dinar menatap tidak percaya. "Gue kenal lo aja enggak. Nggak usah aneh-aneh!"Dinar lantas bangkit dan meninggalkan Lingga yang hanya diam menata
Two weeks later...Terangnya cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela di kamar milik Lingga siang itu.Lingga, sedang merapihkan kamarnya saat ini. Ia terlihat merapihkan seprai tempat tidurnya, mengganti karpet lantainya, mengganti gorden, merapihkan dan memisahkan buku-buku yang akan dibawanya dengan yang tidak, serta memindahkan beberapa rak buku ke sisi yang terlihat lebih rapih dan tidak terlalu penuh. Setidaknya, sebelum ia pergi dan tinggal di Belanda. Terhitung sudah dua minggu berlalu, ia memang sudah memutuskan untuk tidak membuat semuanya menjadi lebih sulit lagi. Meski rasanya seperti tidak ingin, tetapi ia sudah memutuskannya. Lagi pula tidak mungkin ia menolak kesempatan besar ini, dan Bunda pun sudah mengizinkan sepenuhnya untuknya melanjutkan studi disana, karena Bunda mengatakan tidak ingin ia menyia-nyiakan apa yang sudah diperjuangkannya. Besok juga Bunda sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh Dokter. Sebelumnya, Dokter meman
"I intend to make my own way in the world."Seperti itulah sekiranya yang dikatakan oleh Jo March di sebuah Novel klasik karya Louisa May Alcot yang baru saja Lingga selesaikan selama dua hari terakhir. Hanya sebuah novel ringan, yang tidak menguras otaknya untuk memahami apa maksud dan makna yang di dapat dari tulisan itu. Sangat berbeda dengan buku-buku yang dibacanya selama ini.Lingga pun menghela napasnya. Sebenernya ia bukan orang yang menyukai sebuah Novel drama apalagi romansa. Ia lebih menyukai membaca buku-buku seperti Biography, Ensiklopedia, ilmiah, dan kalaupun itu sebuah novel, ia lebih menyukai genre Fiksi Sains, Fantasi ataupun Aksi.Jika kalian bertanya kenapa ia mempunyai novel itu dan mau membacanya? Semua itu karena Dinar. Dinar pernah memberikan novel itu padanya.Ingat kejadian itu? Saat dimana ia dan Dinar berdebat di sebuah toko buku karena Dinar ingin membelikannya banyak buku untuk di bacanya dengan harga hampir satu juta? Saat itu ia juga memang tidak mau
"Ujian Nasional sudah selesai dilakukan, dan kalian hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan."Sudah tiga hari, setelah Ujian Nasional selesai, Lingga masih sama seperti kemarin. Rasanya ia tidak tahu ingin melakukan apa, dan rasanya tidak ingin. Kepalanya selalu tidak bisa fokus akhir-akhir ini. Ia pun menghela napasnya. Tangannya kemudian menutup buku yang sempat coba dibacanya, tapi ia tidak mendapati apapun selain hanya melamun. Karena kejadian itu, ia menjadi merasa dirinya orang yang paling menyedihkan di dunia ini. Tidak biasanya ia seperti ini. Sangat tidak biasa dan bukanlah dirinya. Kepalanya benar-benar terisi penuh dengan kata Dinar. Namanya, wajahnya, kilas kejadian yang sudah terjadi dengan Dinar.Dan ia menjadi teringat setiap kali ulangan sekolah selesai dan liburan tiba, Dinar biasanya akan selalu mengajaknya pergi kemana pun tempat yang ingin di tuju gadis itu. Selalu ada daftar liburan yang Dinar buat dan ditunjukkan kepadanya kemana
A few days later...Lingga duduk melamun, menatap buku-buku berukuran tebal miliknya yang di biarkannya terbuka di meja belajar. Bersama bolpoin berada dalam genggamannya, ia melamun memikirkan semua yang telah terjadi beberapa hari belakangan ini padanya. Dengan kehidupannya. Apa yang Sheza katakan saat itu, kekecewaan Bunda padanya, dan juga apa yang telah terjadi padanya bersama Dinar.Entah apa yang terjadi, tetapi semua itu memenuhi kepalanya. Terutama kejadiannya dengan Dinar. Semua itu benar-benar tidak bisa di percayanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Berhari-hari memikirkannya, sampai membuatnya tidak nyaman saat melakukan kesehariannya. Kehidupan sehari-harinya menjadi terganggu oleh pikiran yang entah bagaimana rasanya, tapi ini benar-benar seperti menghantuinya.Terlebih lagi saat ia sedang sendiri