Harlingga Dio Wardana.
Laki-laki berkacamata itu biasa di kenal dengan sapaan Lingga. Laki-laki yang selalu diduga lahir di Antartika paling ujung, dan mungkin juga Ibunya selalu mengidam banyak silet tajam. Begitulah, sekiranya orang-orang sering mengenalnya dan menjulukinya. Berwajah dan juga sikap yang dingin dan ketus, mulutnyapun setajam silet di acara televisi pada zamannya. Meski laki-laki itu jarang sekali bicara, tetapi sekalinya berucap, kalimat pedas, tajam dan menusuk sangat terasa di telinga dan dada.
Lingga yang menjabat sebagai ketua MPK membuat orang-orangpun semakin tidak menyukainya, karena tahun sebelumnya, laki-laki itu sudah pernah menjabat menjadi ketua OSIS, kemudian di tahun berikutnya justru menjabat sebagai ketua MPK. Hal itu jelas membuat seluruh murid seperti berada didalam lapas penjara. Selalu ada banyak peraturan dan kedisplinan yang melelahkan bagi mereka, terutama bagi para murid pendosa (badung).
Lingga pun merupakan anak yang teladan disekolah. Laki-laki itu disiplin, pekerja keras dan sangat pintar. Itu sebabnya kenapa para murid tidak menyukainya karena alasan itu. Tapi Lingga tidak ingin ambil pusing. Ia akan tetap menjalankan apa yang menurutnya manusia lakukan dengan benar, bukan justru sebaliknya. Lagi pula ia menyukainya dan menginginkan semua itu. Menjadi badung dan bodoh hanya menyia-nyiakan hidup, menurutnya.
Selain Lingga pintar dibidang akademik, Lingga juga pandai bernyanyi. Tidak heran, dibeberapa kesempatan saat sekolah mengadakan acara, sekolah jarang mengundang bintang tamu. Karena selain mencari dana dan pihak promotor tidak semudah itu, jadi Lingga bersama anak eskul padus sudah bisa menghibur yang lain dengan suara merdu mereka.
Jika bagi perempuan, mendengar suara Lingga saat menyanyi rasanya seperti mendengar sholawat nabi. Sangat merdu, lembut, dan indah didengar. Namun berbeda lagi saat laki-laki itu berbicara dengan nada datar dan dinginnya, tidak ada lagi kata merdu. Tidak ada lembut, apalagi indah. Suaranya justru terdengar mematikan.
Seorang Lingga tidak memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya selain Hafidz si anak Rohis dan Pramuka yang satu pemikiran dengannya. Mereka sama-sama murid teladan dan pintar disekolah. Namun meskipun cukup dekat, mereka tidak sering terlihat bersama karena kesibukan mereka masing-masing. Dan mereka merupakan sama-sama orang yang di tidak disukai disekolah setelah pak Yusuf dan Bu Helga yang ketus, dingin dan menyebalkan.
Lingga juga sangat anti dengan murid yang melanggar aturan. Itu sangat berbanding jauh dengan apa yang sudah melekat didirinya, tentunya. Wajar saja jika ia membencinya. Dan musuh terbesar Lingga adalah, si ketiga laki-laki yang selalu membuat onar dengan tidak kira. Lingga sampai sempat berpikir ingin sekali rasanya ia mengajukan pada pak Ikhsan untuk memberikan hukuman berat para murid tidak jelas seperti mereka bertiga, dan juga ia sempat berpikiran ingin memusnahkan keberadaan mereka dari muka bumi ini. Mereka hanya pengganggu. Perusak masa depan.
"Mau kemana?"
Lingga menatap dengan datar ketiga laki-laki yang baru saja buru-buru menuruni tembok belakang sekolah. Tepat sekali Lingga sedang melakukan patroli keliling saat upacara berlangsung, dan ia mendapatkan tiga curut tidak jelas sedang mencoba masuk ke sekolah tanpa ingin mengikuti upacara bendera.
Mereka bertigapun tersentak. Kepala mereka menoleh dan langsung menyengir lebar menampilkan deretan gigi mereka dihadapan Lingga.
"Eh, elo, yo." Cengirnya bodoh. "Ngapain dah disini? Bukannya minggu ini patroli didepan?
Calvin bertanya sambil terus menyengir bodoh. Laki-laki jangkung itu sudah mengerti bagaimana tatapan Lingga saat ini pada mereka, karena selama dua tahun ini mereka berada didalam kelas yang sama, jadi Calvin sudah hapal betul maksud tatapan itu.
"Ngga sadar, poin lo semua udah berapa?"
Mereka bertiga terdiam sesaat, kemudian berpura-pura berpikir, dan terkekeh konyol.
"Hm, berapa, ya?" Kean berakting bodoh dihadapan Lingga. "Berapa weh, Sat?"
Lagi-lagi mereka bertiga hanya menyengir tidak jelas dihadapam Lingga. Iapun hanya menatap dengan datar mereka bertiga. Sudah bukan menjadi hal aneh lagi melihat mereka selalu menyengir bodoh saat ditanyakan seperti ini. Bukan menjadi hal baru lagi pula, melihat mereka selalu datang siang ataupun membolos melewati tembok belakang, dan selalu mencoba menghindarinya.
"Itu, itu, itu, itu," Jarinya menunjuk pada seragam sebelah kanan dan kiri mereka, ke arah kerah, lalu menunjuk pada sepatu mereka. "Pada kemana? Miskin semua?"
Mereka bertiga melirik ke arah yang ditunjuk oleh Lingga. Letak bet sekolah, dasi, topi yang tidak ada dan sepatu mereka yang berwarna jelas melanggar peraturan sekolah. Namun mereka hanya menyengir kuda, —lagi, dengan bodohnya.
"Hilang pas dicuci nih." Satria mencoba mengeles.
"Iya nih, gue nggak ada duit buat beli." Kata Kean.
"Seragam baru yo, jadi nggak ada, hehe." Terakhir, Calvin.
Lingga hanya menatap datar mereka bertiga. Namun tatapannya kali ini terasa begitu mematikan dari biasanya. Berbeda. Dan ini menandakan hal buruk akan terjadi pada ketiga laki-laki itu, tidak akan lama lagi.
Karena Lingga adalah Lingga.
Lingga pun mulai mengeluarkan sesuatu dari kantung almameternya. Sebuah buku, yang merupakan buku catatan poin murid di sekolahnya yang diberikan khusus untuk anak OSIS dan MPK. Ia memegangnya dan berhak mengisinya jika murid melanggar aturan karena ia juga ketua MPK.
"Nggak pake pakaian lengkap, lima—"
"Woi, Sialan!" Teriakan seseorang menghentikan pergerakan Lingga. "Kemana lo—"
BRAK!
"Gue main di tinggal!"
Ketiga laki-laki itu lantas menoleh saat mereka mendengar teriakan serta suara orang terjatuh ditembok sebelah kanan, tidak jauh dari keberadaan mereka. Tepatnya berada dibelakang mushola. Itu adalah suara seorang gadis. Gadis biasa yang juga menjadi sahabat ketiga laki-laki itu dan merupakan biang onar yang sebenarnya. Mereka pun kini terdiam memperhatikan gadis itu yang datang sambil sibuk merapihkan pakaiannya. Matanya pun menatap terkejut karena adanya keberadaan Lingga yang langsung membuatnya terdiam.
Sia-sia ia memanjat tadi.
"A-apa?!"
Ketiga laki-laki itu hanya menyengir bodoh lagi, sementara Lingga menatap datar gadis itu.
"Terlambat datang, lima po—"
"Nggak usah ngomong! Gue juga tau!"
Lingga menatapnya jengah. "Kalo tau kenapa masih ngelanggar?"
Gadis itu hanya bisa dengan sabar menatap seorang Lingga. Rasanya ia kesal dan ingin sekali marah, tapi tidak bisa. Sudah menjadi peraturan sekolah diberlakukan seperti itu, dan juga karena laki-laki itu adalah..
"Heh, woi! Gila!" Mata gadis itu membulat tajam saat ketiga temannya pergi meninggalkannya. "Jangan tinggalin gue, set—"
"Ngomong kasar lima poin."
Mata gadis itu melirik cepat dan langsung menatap dengan tajam juga tidak suka pada Lingga. Gadis itu kesal dengan laki-laki itu. Oh tidak, semuanya pasti sangat kesal dan benci dengan laki-laki itu. Kecuali mungkin hanya guru yang tidak melakukannya.
"Mau ikut mereka kabur poin lo nambah, atau ikut gue ke lapangan?"
Gadis itu mengepalkan tangannya kesal. Kalau saja Lingga bukan siapa-siapa, pasti ia akan menamparnya, mencakarnya, atau bahkan menonjoknya. Pasti. Tapi dengan terpaksa gadis itu hanya menurut dan mengikuti seorang Harlingga Dio Wardana di belakangnya.
"CAL! TEMENIN GUE KE KAN—"Suara teriakan yang terdengar menggema dari lorong koridor itu menggantung. Dinar, si gadis yang baru saja berteriak dan kini berdiri diambang pintu kelas seorang Calvin Perwira yang ia panggil dengan Jangkung itu pun terkejut. Ia yang berniat ingin menghampiri Calvin untuk mengajaknya pergi ke kantin itu terdiam, karena matanya menangkap keberadaan laki-laki yang sudah menjabat sebagai pacarnya kurang lebih selama dua tahun ini.Laki-laki berkacamata yang duduk manis di barisan bangku paling depan, terlihat sedang sibuk menuliskan sesuatu disebuah kertas dengan banyak buku dan kertas-kertas lainnya dimejanya. Laki-laki itu tidak sendiri. Disebelah kanan dan kirinya, dia ditemani dengan kedua teman satu organisasinya, yang jika bagi seorang Dinar sendiri, mereka adalah musuh terberatnya disekolah.
Tidak ada hari bagi seorang Lingga tanpa adanya sebuah kesibukan.Seorang Lingga selalu disibukkan dengan banyak hal. Dimulai dari kesibukannya sebagai ketua MPK, kesibukannya untuk selalu menyempatkan diri membaca buku yang sudah ditambahkan ke dalam daftar bacaannya, waktunya untuk belajar saat malam hari, atau juga kesibukannya meluangkan waktu untuk membantu Bunda diwarung sembako yang sudah menghidupi keluarganya selama sepuluh tahun terakhir ini. Intinya, Lingga itu sibuk. Benar-benar sibuk. Tidak ada kata untuk membuang-buang waktu dikesempatan mudanya, karena masa depan sudah didepan mata saat ini. Bahkan karena sibuknya, terkadang ia sampai lupa untuk makan atau melakukan kegiatan sehari-hari lainnya seperti sekedar untuk bersantai atau beristirahat sebent
BUGH!"Maya!"Dinar menatap tajam musuh bebuyutannya yang saat ini sudah terkapar pingsan dan sedang berusaha ditolong oleh beberapa temanseanggotanyadengan darah mengalir dari hidungnya. Di gerakkannya tangannya seperti preman yang habis menghabisi banyak orang. Pandangannya puntidak lepas menatap ke arah Maya dengan jengah. Baru satu pukulannya mendarat, dan itu baru pukulan biasa, tapi gadis itu sudah terkapar.Senyuman lantasmenggembangdibibirnya. Ia tersenyum menang, tentunya. Karena lihat? Siapapun yang beranimenganggunya, dan menentangnya, semua akan berakhir seperti Maya. Garis bawahi, kalau Naura tidak pernah takut dengan siapapun. Jangan berani macam-macam dengannya, jika tidak ingin terjadi sesuatu.
"Eh buset, itu mata...""Masih pagi lagi, itu napas naik-turun.""Firasat gue nggak enak sih ini, serius."Calvin, Satria dan Kean memperhatikan Dinar yang baru saja datang bersama dengan Tasya. Mereka bertiga menatap Dinar terkejut sekaligus bingung, lantaran raut wajah Dinar sejak turun dari mobil sudah tidak enak dilihat. Matanya menajam, tangannya mengepal, napasnya menggebu dan langkahnya cepat. Masih terlalu pagi untuk melihat kedatangan Dinar dengan wajah seperti itu. Pasti ada sesuatu yang membuat murka gadis itu."Si Cici kenapa, yang?" Kean bertanya saat Tasya sudah didekatnya. Sementara Dinar sudah melangkah duluan melewati keberadaan mereka bertiga."Tau tuh. Tau-tau aja gitu dimobil." Tasya menggidikkan bahunya.Kean menoleh pada Tasya saat gadis itu mengatakan tidak ta
"Gila, ini cewek-cewek, pada bawa makeup banyak gini.""Yah, cewek mah masih wajar, Ky.""Enggak wajar kalo disekolahan, May.""Cowok juga nih, gila, banyak banget yang bawa sebat.""Mending Rin. Coba si Kean, liat, bawa obat itu anak. Siap-siap aja panggilan orang tua.""Seriusan?""Iya. Giliran gue tanya ini obat apaan, dia malahan jawab kontreksin. Dikira gue b*go kali."
Drt! Drt!Sebuah notifikasi pesan masuk membangunkan Dinar dari tidurnya. Ia mengerang pelan, lalu meraih ponselnya dan bangkit. Ia kesal karena pagi-pagi buta seperti ini sudah ada yang berani mengganggunya. Namun tiba-tiba saja Dinar merasakan tubuhnya terasa remuk. Kepalanya dan tenggorokannya sakit, lalu perutnya mual. Tapi Dinar tidak memperdulikan itu. Ia lebih memilih mengecek ponselnya, dan ternyata hanya notifikasi dari Line yang sudah banyak sejak kemarin.Dinar menghela napasnya malas dan melempar ponselnya. Tangannya pun menyentuh kepalanya yang terasa pening. Lalu sebelahnya lagi menyentuh perutnya yang terasa mual. Dinar bingung, kenapa tubuhnya menjadi seperti ini? Matanya kemudian melirik jam di
"Lingga, tolong bawakan tas saya ke kelas. Saya mau ke kamar mandi dulu."Lingga mengangguk, tersenyum tipis dan menggambil alih tas bu Erika untuk dibawanya ke kelas. Kakinya pun melangkah menuju kelasnya, MIPA 1, dimana kelasnya berada di ujung lantai atas gedung kelas 12. Kakinya melangkah menuju kelasnya, melewati koridor kelas 12. Sambil membawakan tas milik bu Erika, pandangannya hanya menatap lurus depannya dengan wajah datarnya. Ditengah langkahnya, tiba-tiba saja matanya tidak sengaja melihat keberadaan ketiga laki-laki yang sedang di interogasi oleh guru piket, di lobby sekolah.Ketiga laki-laki itu adalah si biang onar atau The Dude.Lingga hanya meliriknya sekilas, tidak peduli dengan kedatangan telat mereka. Melihat mereka disana sudah bukan menjadi hal aneh lagi setiap harinya. Mereka yang selalu datang pukul delapan atau bahkan lebih, memakai seragam yang tida
Lingga menatap diam selembaran kertas yang berisikan soal latihan dihadapannya tanpa berkedip. Ia bukannya sedang fokus untuk mengerjakan soal latihan itu. Tapi matanya justru menatapnya kosong. Lebih tepatnya ia melamun, melamun memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Kejadian tiga hari lalu."Kak?"Lingga terkejut saat sebuah tangan dikibaskan tepat didepan wajahnya, membuatnya langsung tersadar."Kakak denger nggak aku ngomong apa?"Lingga menatap bingung Shakila yang duduk berhadapan dengannya dan hanya dibatasi oleh meja berukuran persegi."Kan, bener. Kakak ngelamun dari tadi." Ujarnya. "Aku dari tadi nanya yang ini, tapi kakak diem aja. Lagi ada masalah, kak?"Lingga masih terdiam menatap Shakila. Ia juga tidak mengerti, kenapa ia bisa jadi melamun memikirkan hal yang tidak jelas? Karena tiba-tiba saja pikiran itu melintas. Lingga pun mengalihkan pandangann
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏Jakarta, 21 Juli 2017.Untukmu."Saya suka sama kamu."Ada yang berbeda sebelum itu. Perasaan gundah, gelisah, dan tidak nyaman. Apa itu sebuah rasa? Saya bahkan tidak tahu. Saat itu. Senang melihatmu tersenyum, dalam balutan seragam putih abu-abu setiap harinya. Wajah lelah kepanasan, dan jengkel. Ada yang meletup-letup dalam diri. Seolah ingin terus menatap, menghampiri, dan ingin dekat. Tidak pernah sedikit pun merasa seperti itu sebelumnya. Hati ini tidak mengerti. Tapi, melihatmu membuat saya paham apa arti pandangan pertama.Rasa suka yang berbeda. Saya tidak pernah melihat dan merasakan yang seperti ini. Sampai akhirnya, saya memberanikan diri mengungkapkannya. Ada kebahagiaan saat kamu menerima meski sempat mendapat penolakan mentah-mentah di awal.Karena kamu yang pertama, dan mungkin, jika kamu tidak mengatakan ingin, saya akan terus menjadi laki-laki yang kamu kenal kemarin. Ba
Lingga melamun menatap jalanan yang ada. Kendaraan yang berjalan silih berganti, berlawanan arah atau searah dengannya.Lingga tidak percaya akan seperti ini. Menunggu lagi selama dua jam di Taman, namun Dinar tidak juga datang. Sampai akhirnya, ia berada di dalam mobil ini yang akan membawanya menuju bandara, tanpa bisa bertemu dengan Dinar dan mengatakan apa yang ingin dikatakannya padanya untuk terakhir kalinya, di Indonesia. Padahal ia benar-benar ingin mengungkapkan semuanya, tapi Dinar sepertinya memang sangat marah dan kecewa padanya. Pesan terakhir yang dikirimannya pun hanya di baca olehnya, tanpa ingin membalasnya. Lingga pun memejamkan matanya dalam. Dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin pergi, karena semua ini masih membebankannya. Ada hal yang belum di selesaikan, dan itu membuatnya tidak nyaman. Ia juga ingin melihat Dinar untuk terakhir kalinya, karena ia tidak tahu bisa kembali kesini saat libur tiba atau tidak. Tapi sepertinya ia tidak ingin merepo
Lingga menatap diam dua buah koper besar yang berada di sebelah tempat tidurnya, berwarna merah dan juga hitam. Ia menatapnya sambil tersenyum tipis. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Belanda, lebih tepatnya sore nanti. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mewujudkan mimpinya berkuliah di salah satu universitas terbaik pilihannya di luar negeri. Akhirnya.. Lingga menghela napasnya.Matanya kemudian melirik kearah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang. Hari ini ia akan menemui Dinar.Mencobanya kembali, dan ia berharap Dinar mau menemuinya. Matanya melirik ponselnya yang tadi sempat di ambilnya untuk melihat pesan yang di kirimkan pada Dinar, tapi hanya di baca olehnya. Lingga pun mengunci ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam sakunya.Meski tidak mendapatkan jawaban, Lingga masih berharap dan yakin kalau Dinar akan datang. Iapun melangkah mendekati meja belajarnya dimana tas ranselnya berada disana. Tangannya kemud
Hari-hari pun telah berlalu.Lingga, duduk diam melamun menatap keluar jendela kamarnya. Memperhatikan sebuah pohon yang bergerak mengikuti angin yang berhembus tidak terlalu besar diluar. Iapun menghela napasnya. Entah apa yang dilakukannya, tapi, diam melamun memperhatikan hal-hal tidak jelas seperti sekarang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini. Semua berjalan begitu saja, padahal ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Memang, setelah kejadian itu, Lingga menjadi lebih murung. Ia semakin banyak diam sementara kepalanya terus memikirkan kenapa Dinar tidak ingin datang malam itu, padahal ia sudah menunggu hingga berjam-jam lamanya disana. Tidak, ia tidak menyalahkan Dinar dan berujung menjadi kesal dengannya. Ia hanya bertanya-tanya, bingung, dan tidak mengerti. Niatnya malam itu baik. Lingga ingin mengatakan semuanya, mengakui kesalahan dan menyesalkan apa yang telah dilakukannya. Tapi malam itu Dinar benar-benar tidak datang. Mungkin semua ini memang kesalahannya selama ini pada
Dalam acaknya rasa, banyaknya warna, hingga ganjilnya pola, cinta bisa saja terselip yang entah muncul dari mana.Mereka datang, tanpa di ketahui. Membuat gelisah, dan tidak terkendali.•••Hari itu..."Kamu mau jadi pacar saya?"Dinar terkejut saat mendengar laki-laki dihadapannya saat ini mengatakan itu baru saja dengan tiba-tiba. Ia lantas menarik jabatan tangannya dengan laki-laki itu. Matanya menatap heran seorang Harlingga, laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya padanya dan mengatakan mereka satu gugus, namun tiba-tiba dia mengatakan hal mengejutkan. Sejauh ini, mereka-mereka yang mengangumi wajahnya, mereka hanya sekadar suka biasa yang ia tahu. Mereka hanya mengatakan bualannya dan pergi begitu saja. Namun laki-laki ini, tiba-tiba saja mengatakan menyukainya dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Yang benar saja? "Gila lo?" Dinar menatap tidak percaya. "Gue kenal lo aja enggak. Nggak usah aneh-aneh!"Dinar lantas bangkit dan meninggalkan Lingga yang hanya diam menata
Two weeks later...Terangnya cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela di kamar milik Lingga siang itu.Lingga, sedang merapihkan kamarnya saat ini. Ia terlihat merapihkan seprai tempat tidurnya, mengganti karpet lantainya, mengganti gorden, merapihkan dan memisahkan buku-buku yang akan dibawanya dengan yang tidak, serta memindahkan beberapa rak buku ke sisi yang terlihat lebih rapih dan tidak terlalu penuh. Setidaknya, sebelum ia pergi dan tinggal di Belanda. Terhitung sudah dua minggu berlalu, ia memang sudah memutuskan untuk tidak membuat semuanya menjadi lebih sulit lagi. Meski rasanya seperti tidak ingin, tetapi ia sudah memutuskannya. Lagi pula tidak mungkin ia menolak kesempatan besar ini, dan Bunda pun sudah mengizinkan sepenuhnya untuknya melanjutkan studi disana, karena Bunda mengatakan tidak ingin ia menyia-nyiakan apa yang sudah diperjuangkannya. Besok juga Bunda sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh Dokter. Sebelumnya, Dokter meman
"I intend to make my own way in the world."Seperti itulah sekiranya yang dikatakan oleh Jo March di sebuah Novel klasik karya Louisa May Alcot yang baru saja Lingga selesaikan selama dua hari terakhir. Hanya sebuah novel ringan, yang tidak menguras otaknya untuk memahami apa maksud dan makna yang di dapat dari tulisan itu. Sangat berbeda dengan buku-buku yang dibacanya selama ini.Lingga pun menghela napasnya. Sebenernya ia bukan orang yang menyukai sebuah Novel drama apalagi romansa. Ia lebih menyukai membaca buku-buku seperti Biography, Ensiklopedia, ilmiah, dan kalaupun itu sebuah novel, ia lebih menyukai genre Fiksi Sains, Fantasi ataupun Aksi.Jika kalian bertanya kenapa ia mempunyai novel itu dan mau membacanya? Semua itu karena Dinar. Dinar pernah memberikan novel itu padanya.Ingat kejadian itu? Saat dimana ia dan Dinar berdebat di sebuah toko buku karena Dinar ingin membelikannya banyak buku untuk di bacanya dengan harga hampir satu juta? Saat itu ia juga memang tidak mau
"Ujian Nasional sudah selesai dilakukan, dan kalian hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan."Sudah tiga hari, setelah Ujian Nasional selesai, Lingga masih sama seperti kemarin. Rasanya ia tidak tahu ingin melakukan apa, dan rasanya tidak ingin. Kepalanya selalu tidak bisa fokus akhir-akhir ini. Ia pun menghela napasnya. Tangannya kemudian menutup buku yang sempat coba dibacanya, tapi ia tidak mendapati apapun selain hanya melamun. Karena kejadian itu, ia menjadi merasa dirinya orang yang paling menyedihkan di dunia ini. Tidak biasanya ia seperti ini. Sangat tidak biasa dan bukanlah dirinya. Kepalanya benar-benar terisi penuh dengan kata Dinar. Namanya, wajahnya, kilas kejadian yang sudah terjadi dengan Dinar.Dan ia menjadi teringat setiap kali ulangan sekolah selesai dan liburan tiba, Dinar biasanya akan selalu mengajaknya pergi kemana pun tempat yang ingin di tuju gadis itu. Selalu ada daftar liburan yang Dinar buat dan ditunjukkan kepadanya kemana
A few days later...Lingga duduk melamun, menatap buku-buku berukuran tebal miliknya yang di biarkannya terbuka di meja belajar. Bersama bolpoin berada dalam genggamannya, ia melamun memikirkan semua yang telah terjadi beberapa hari belakangan ini padanya. Dengan kehidupannya. Apa yang Sheza katakan saat itu, kekecewaan Bunda padanya, dan juga apa yang telah terjadi padanya bersama Dinar.Entah apa yang terjadi, tetapi semua itu memenuhi kepalanya. Terutama kejadiannya dengan Dinar. Semua itu benar-benar tidak bisa di percayanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Berhari-hari memikirkannya, sampai membuatnya tidak nyaman saat melakukan kesehariannya. Kehidupan sehari-harinya menjadi terganggu oleh pikiran yang entah bagaimana rasanya, tapi ini benar-benar seperti menghantuinya.Terlebih lagi saat ia sedang sendiri