[Halo.]
Tak ada jawaban dari penelfon diseberang, hening membuat Evelyn takut.
[Halo.]
[Apakah benar ini Evelyna Dyandra?]
[Iya.]
[Ini nomor pengagum rahasiamu.]
Tut tut tut telefon terputus, Evelyn sengaja menutup telefon itu. Karena ia sedang tidak ingin diganggu siapapun. Ia masih merutuki tugas dari Pak Dimas yang mengharuskan dia ke luar kota.
“Emmm, aku bosan,” ucap Evelyn dengan kesal.
Dilihat jam tangan di lengan kirinya tepat pukul 22.00, matanya mulai lelah menatap short story di youtube. Banyak cerita yang menguras air matanya, mungkin skenarionya yang mengandung bawaang dimana-mana.
“Aku lapar,” batin Evelyn mendengar suara dari perutnya.
Suara fiersa besari mulai mengalun indah ditelinganya, notifikasi telefon dari nomor tidak dikenal itu lagi. Telefon itu hanya dilihat oleh Evelyn, tanpa ada keinginan menjawab sekalipun.
Klunting
Suara pesan masuk, lagi-lagi nomor tidak dikenal itu.
{Halo, Evelyna Dyandra.}
Isi pesan itu, ditatapnya lekat. Nomor yang tidak ia kenal itu, misterius “Siapa sih ini?” batin Evelyn. Karena penasaran Evelyn terpaksa membalas pesan itu.
{Ini siapa sih? Maaf nih aku gak kenal!}
Pesan itu langsung dibaca oleh pengirimnya, sontak Evelyn terkejut secepat itu sosok misterius ini membalas pesannya. Lagi-lagi jawabannya tidak meyakinkan sama sekali.
{Kamu tak perlu tau aku siapa, kamu cukup tau aku adalah pengagum rahasiamu.}
Evelyn mulai geram, ia letakkan ponsel itu dan membiarkan pesan itu tertimbun memilih membiarkan. Tetapi Evelyn masih penasaran, siapa pengirim pesan itu.
Klunting
{Eve, lekaslah tidur. Malam ini agar bulan saja yang terjaga, kamu lekaslah lelap dalam pelukan malam. Aku akan menjamu dari jauh.}
“Shitttt apa maksud pengirim pesan ini?”
“Berusaha merayu aku?”
“Ahh gila ini orang!” Cecar Evelyn merutuki pengirim pesan.
Evelyn memilih berjalan ke dapur, langkahnya pelan meniti kegelapan di dalam rumah karena semua lampu dimatikan saat malam hari.
“Aduh dimana ini tombol lampunya,” ucap Evelyn mencari-cari.
Evelyn dikejutkan oleh suara pria yang berasal dari dalam dapur.
“Vel,” suara Ayah membuat Evelyn sedikit terperanjat.
“Ayahhh, ya ampun aku kaget.” Evelyn sedikit bersembunyi dibalik tembok saat melihat ayah.
“Kamu kenapa malam-malam ke dapur?” tanya Ayah.
“Aku lapar,” jawab Evelyn cengengesan.
Ayah langsung membuka kulkas, mengambil mie kuah dan satu telur. Ayah lihai dalam memasak, berbeda dengan Evelyn yang sering membuat kacau dapur saat diauruh memasak.
Mie kuah sudah siap, ayah sengaja membuat dua mangkuk agar bisa menemani Evelyn makan.
“Terima kasih ayah,” ucap Evelyn kegirangan.
“Sama-sama, anak cantik.” Tangannya mengusap pelan ujung kepala Evelyn.
***
Klunting
Klunting
Klunting
Klunting
Pukul 01.30 WIB, suara notifikasi membuat Evelyn terbangun. Selarut ini ada pesan masuk.beruntun. lagi-lagi pesan dari nomor yang tidak dikenal, dia menghubungi tanpa kejelasan.
[Selamat pagi, Eve.]
[Maaf mengganggu waktu tidurmu.]
[Sepagi ini aku sedang meminjam namamu, untuk aku diskusikan dengan tuhanku.
Apakah kamu mengijinkannya? Ku harap dengan senang hati kamu mengijinkannya.
Sepagi ini aku ingin melihat wajahmu yang menggemaskan itu.]
Isi pesan dari nomor tidak dikenal itu, sepagi itu dia membangunkan dengan pesan yang sama sekali tidak dipahami Evelyn.
[Maaf ya kak, saya tidak mengenal anda. Tolong jangan ganggu jam tidur saya, perihal anda meminjam nama saya? Bisa anda tanyakan pada ayah saya yang sudah memberi nama itu untuk saya. Terima kasih.]
Jari-jemari Evelyn mulai lihai mengetik beberapa kata untuk pengirim pesan tak dikenal itu. Kesal rasanya saat jam tidurnya diganggu begitu saja. Pesan terkirim sempurna, dan dibalas dengan puisi yang meembuat Evelyn muak.
[Terima kasih sudah hadir
Mewarnai hariku kala itu
Saat aku sedang tidak ingin diganggu
Tapi menatapmu meembuatku kagum
Senyum manis yang terpampang di wajah mungilmu
Rambut dikuncir kuda khas ketomboian mu
Kamu cantik, Evelyna Dyandra.]
Evelyn sudah kesal, ditatapnya layar ponsel itu. Muak membaca pesan berisi puisi tidak jelas pengirimnya. Evelyn suka puisi tapi tidak dengan ini. Diletakkan ponsel itu diatas meja, tiba-tiba ia teringat dengan pria yang bertemu dengannya. Di kedai Ardy, iseng ia membuka i*******m dan mencoba masuk ke grub bikers yang dimaksud Rendy. “Siapa tau nomor ini ada di grub itu,” batin Evelyn.
Di telusuri nomor yang tidak dia kenal itu, tapi tidak ada di grub chat itu.
Drrrrrrrt
Suara notifikasi dari grub menyita perhatian Evelyn,
[Selamat datang kak, semoga betah.] Tertulis nama Rendy Pratama Aji.
“Oh, ini nomor Rendy,” batin Evelyn.
[Eh, iya terima kasih.
Perkenalkan aku Evelyna Dyandra, lady bikers asal kota tahu.
Salam kenal semua.]
Hanya untuk formalitas setelah masuk grub, Perlahan namanya disebut-sebut. Tapi Evelyn cuek dan masa bodo.
***
Mentari mulai menunjukkan senyumnya, cahaya nya sudah masuk ke kamar Evelyn. Suara nyaring ibu mendominasi suasana pagi, suara penggorengan mulai terdengar nyaring. Aroma masakan pun sudah mulai masuk ke lubang hidung.
“Vely, bangun!” teriak Ibu keras.
Matanya mengerjab pelan, “Sudah Ibu.” Langkahnya menuju kamar mandi.
***
Ibu terlihat sudah menyiapkan semua di meja makan, tapi ayah belum terlihat. Evelyn clingak clinguk mencari ayah, tetapi ayah tetap tidak kunjung ada.
“Kenapa, Vel? Kok clingak clinguk gitu, cari siapa?” tanya Ibu penasaran.
“Ayah dimana?” tanya Evelyn.
“Ayahmu sudah berangkat tadi pagi,” jawab ibu singkat.
Suasana sarapan saat itu sangat sepi, hanya suara sendok dan piring yang mendominasi. Setelah sarapan pun tak ada perbincangan antara Evelyn dan Ibu. Evelyn langsung bersiap untuk berangkat kerja, mempersiapkan beberapa berkas untuk keberangkatannya keluar kota.
“Ibu, Vely berangkat dulu,” ucap Evelyn berpamitan pada Ibu.
“Hati-hati nak.”
Suara motor mulai keluar dari gerbang rumah Evelyn, debu-debu jalanan mulai memenuhi pandangan. Kemacetan dipagi hari sudah menjadi kebiasaan dipagi hari, berdesak-desakan tak ingin mengalah.
“Vel,” panggil pengendara disebelahnya.
“Eh.” Evelyn terkejut mendengar namanya dipanggil, iya clingak-clinguk ke kanan dan ke kiri melihat siapa yang memanggilnya.
“Hey, ini aku,” ucap pengendara menggunakan helm halfface hitam itu.
“Maaf siapa ya?” tanya Evelyn, ia tak mengenali pengendara itu.
“Aku yang bertemu di kedai kemarin,” ucap pengendara itu.
Lampu hijau sudah menyala pertanda pengendara sudah boleh melajukan kendaraannya. Evelyn tidak mempedulikan pengendara itu, “Paling juga orang sok kenal,” batin Evelyn menikmati kemacetan kotanya. Tiga puluh menit berlalu, sampailah ia pada parkiran kantor.
Rinda sudah berjaga diatas motornya menunggu kedatangan Evelyn.
“Lama banget si?” tanya Rinda mengkibas-kibaskan rambutnya.
“Biasa, macet,” jawab Evelyn singkat.
Mereka berdua berjalan pelan menuju kantor, tidak lupa absen terlebih dahulu.
“Vel, dicari Pak Dimas. Disuruh ke ruangannya,” ucap Ridho, “Ati-ati luu, hahaha.” Ridho berjalan meninggalkan Evelyn dan Rinda.
“Ya udah, gih ke ruangan Pak Dimas,” ujar Rinda.
Tanpa basa basi Evelyn pamit ke Rinda, dan langsung pergi menuju ruangan Pak Dimas.
***
“Eve, apa kamu ... ?” tanya Pak Dimas terhenti.
“Eve, apa kamu?” tanya Pak Dimas terhenti, saat melihat mata Evelyn yang berkantong hitam itu.“Iya, Pak. Apakah ada yang salah?” Evelyn malah bertanya kembali kepada Pak Dimas.“Itu, kantung matamu hitam sekali.” Pak Dimas menunjuk ke arah mata Evelyn.Evelyn langsung menutup matanya dengan kacamata, “Iya pak, semalam susah tidur,” jawab Evelyn.“Oh iya, Eve,” ujar Pak Dimas terhenti.“Hari ini kamu boleh pulang cepat, persiapkan keperluan untuk pemberangkatan besok pagi,” jelas Pak Dimas menjelaskan.“Baik, Pak,” ucap Evelyn.Evelyn bergegas meninggalkan ruangan Pak Dimas, langkahnya terhenti saat Pak Dimas memanggil namanya.“Eve,” panggil Pak Dimas.“Iya, Pak.” Evelyn menoleh pelan menatap Pak Dimas.“Jadi begini, saya tadi lupa memberitahumu. Jangan lupa membawa alat-alat kantor yang sekiranya aka
“Eve,” panggil Pak Dimas.Langkahnya pelan dan pasti, saat ini mereka ada di ruang tunggu sebuah bandara. Menunggu jam keberangkatan. Evelyn yang sibuk menatap layar ponselnya, ditatapnya walpaper ponsel itu foto keluarga yang utuh.“Iya, Pak.” Evelyn sempat terkejut dengan panggilan Pak Dimas, karena ia asik dengan ponsel di tangan kanannya.“Wajahmu lesu, apa kamu sakit?” tanya Pak Dimas tiba-tiba.“Tidak, Pak. Saya hanya kawatir,” jawab Evelyn pelan.“Apa yang kamu kawatirkan?” tanya Pak Dimas lagi.Evelyn hanya diam dan tertunduk lesu, menatap layar ponsel lagi dan lagi. Pak Dimas pun tidak ingin bertanya panjang lebar.Suara pengumuman sudah terdengar, sudah waktunya semua penumpang mempersiapkan diri.“Eve, ayo nanti terlambat,” ajak Pak Dimas.Evelyn mengikuti langkah Pak Dimas pelan, meski terkadang masih tertinggal karena langkah Pak Dimas c
[Vely]Suara nyaring Ardi membuyarkan bayangannya tentang Rendy.[Iya, Di. Kenapa?][Kapan balik?][2 hari lagi.][Ya sudah, wkwkwk. See you Vel.]Tut tut tutttt“Apaan ini si Ardi,” gerutu Evelyn.Matanya terbelelak saat melihat jam sudah 22.00 WIB, “Hah,” ucap Evelyn kaget.Evelyn langsung berjalan terburu-buru menuju kamar, langkahnya pelan tapi pasti.***“Huaammmmm.” Evelyn menguap, hari ini berbeda mungkin karena dia bangun kesiangan.Kring kringg“Permisi,” ucap seorang dari luar kamar.Evelyn berjalan lunglai menuju pintu, dilihatnya seorang pelayan membawa nampan berisi makanan.“Iya,”“Maaf mengganggu waktunya, ini ada titipan sarapan dari Bapak Dimas.” Pelayan itu memberikan nampan berisi makanan itu.“Eh, Terima kasih,” ucap Evelyn.“Sama-sama Kak.&rdqu
Mentari pagi menampakkan senyumnya, sinarnya menembus kaca cendela kamar Evelyn. Suara ibu terdengar nyaring melengking ditelinga Evelyn, suara khas yang selalu terdengar jika ia tidak nurut dengan ibu. Matanya perlahan terbuka lebar, terkejab pelan karena kesadarannya belum kembali penuh. “Vely, bangun!!” panggil ibu dari luar kamar. “Iya, Ibu. Sebentar,” keluhnya dengan bergilimang di atas kasur. “Vely!!! Dengarkan ibu.” Teriak ibu dengan menggedor-gedor pintu kamar. “Iya,Ibu sebentar,” elak Evelyn dari dalam kamar. Tangannya masih sibuk mengucek mata, cahaya matahari mulai masuk dari celah cendela kamarnya. Suara ibu sudah mulai pelan dan nyaris tak terdengar mungkin Ibu sedang keluar, ia terdiam sejenak lalu beranjak dari kasurnya. “Evelyn.” Suara Ayah membuat ia berhenti. “Iya, Ayah. Ada apa?” tanya nya. “Ayah punya sesuatu buat kamu.” Tangan Ayah sengaja disembunyikan, entah apa yang ia bawa untuk putri tung
Sepulang dari restoran ayah dan ibu Evelyn terlihat bahagia, tetapi perasaan Evelyn berbeda seperti ada yang disembunyikan oleh mereka. Tapi ia sama sekali tidak ingin bertanya dan memecah suasana bahagia ayah dan ibu. Sesampainya di rumah Evelyn pamit ke kamar, tetapi ayah menahannya.“Nak, temani ayah ngobrol di balkon ya.” Tangan ayah menyentuh pelan pundak Evelyn.Evelyn hanya menuruti apa kata ayah, “Iya, Ayah. Aku mengembalikan tas dulu ke kamar, nanti Vely nyusul,” ucap Evelyn pergi ke kamar.Sementara ibu langsung pergi ke kamar karena capek, aktifitasnya dari pagi sudah menguras tenaganya seharian ini. Ibu memang orang yang tidak banyak bicara, hanya bertindak atas apa yang ia mau.***Terlihat ayah sudah duduk di balkon ditemani secangkir kopi, Evelyn sedang bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan oleh ayah. Ayah yang menyadari kehadiran Evelyn langsung menyuruhnya duduk.“Vely,” panggilnya pel
Saat ayah kembali ketempat ibu turun, jarak 5 meter ayah melihat dengan matanya lekat. Hatinya sakit seperti tertusuk anak panah dari busur, tepat menembus ulu hati.“Oh, ini ternyata!” batin ayah, saat melihat ibu dijemput oleh pria berjas hitam itu.Tanpa basa-basi ayah langsung putar balik, menuju kantor lagi. Tidak ingin lebih lama disana, hatinya tak akan sanggup. Dalam batinnya ia masih bertanya-tanya, “Siapa pria itu? Kenapa semesra itu?”.Sesampainya d kantor ia tidak langsung keluar dari mobil, kakinya lemas hatinya rapuh. Serasa ayah tidak terima, tangan istrinya digandeng mesra oleh pria lain. Siapa sangka istri yang paling ia cintai bisa akrab dengan pria lain?“Aaarghhh,” raungnya penuh kekecewaan. Lekat-lekat ayah keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju kantor. Langkahnya terhenti saat ada yang memanggil dari belakang.“Pak Anton,” panggil wanita dari belakang
Mata Evelyn terbelalak saat membaca berkas yang ditunjukkan Pak Dimas, beberapa berkas itu berisi tentang surat tugas ke luar kota.“Pak, kenapa harus saya?” tanya Evelyn sendu.“Itu memang tugasmu, Eve. Semua sudah saya siapkan, mulai dari akomodasi dan lain-lain. Kita disana hanya satu minggu, untuk membahas agenda tahunan saja,” jelas Pak Dimas panjang lebar.“Bapak, saya tidak bisa meninggalkan orang tua selama itu,” rengek Evelyn.“Tenang, Eve. Soal ijin kepada Ayahmu sudah saya atur, beliau mengijinkan kamu pergi menemani saya rapat,” jelasnya lugas.Evelyn tak menyangka bahwa Pak Dimas sudah meminta ijin, dan kenapa ayah mengijinkan aku pergi. Evelyn keluar ruangan dengan gusar.“Vel,” panggil rinda dengan suara cemprengnya.“Iya, apa?” jawab Evelyn singkat.“Disuruh ngapain?” tanya Rinda kepo.“Kepo.” Evelyn pergi menu
[Vely]Suara nyaring Ardi membuyarkan bayangannya tentang Rendy.[Iya, Di. Kenapa?][Kapan balik?][2 hari lagi.][Ya sudah, wkwkwk. See you Vel.]Tut tut tutttt“Apaan ini si Ardi,” gerutu Evelyn.Matanya terbelelak saat melihat jam sudah 22.00 WIB, “Hah,” ucap Evelyn kaget.Evelyn langsung berjalan terburu-buru menuju kamar, langkahnya pelan tapi pasti.***“Huaammmmm.” Evelyn menguap, hari ini berbeda mungkin karena dia bangun kesiangan.Kring kringg“Permisi,” ucap seorang dari luar kamar.Evelyn berjalan lunglai menuju pintu, dilihatnya seorang pelayan membawa nampan berisi makanan.“Iya,”“Maaf mengganggu waktunya, ini ada titipan sarapan dari Bapak Dimas.” Pelayan itu memberikan nampan berisi makanan itu.“Eh, Terima kasih,” ucap Evelyn.“Sama-sama Kak.&rdqu
“Eve,” panggil Pak Dimas.Langkahnya pelan dan pasti, saat ini mereka ada di ruang tunggu sebuah bandara. Menunggu jam keberangkatan. Evelyn yang sibuk menatap layar ponselnya, ditatapnya walpaper ponsel itu foto keluarga yang utuh.“Iya, Pak.” Evelyn sempat terkejut dengan panggilan Pak Dimas, karena ia asik dengan ponsel di tangan kanannya.“Wajahmu lesu, apa kamu sakit?” tanya Pak Dimas tiba-tiba.“Tidak, Pak. Saya hanya kawatir,” jawab Evelyn pelan.“Apa yang kamu kawatirkan?” tanya Pak Dimas lagi.Evelyn hanya diam dan tertunduk lesu, menatap layar ponsel lagi dan lagi. Pak Dimas pun tidak ingin bertanya panjang lebar.Suara pengumuman sudah terdengar, sudah waktunya semua penumpang mempersiapkan diri.“Eve, ayo nanti terlambat,” ajak Pak Dimas.Evelyn mengikuti langkah Pak Dimas pelan, meski terkadang masih tertinggal karena langkah Pak Dimas c
“Eve, apa kamu?” tanya Pak Dimas terhenti, saat melihat mata Evelyn yang berkantong hitam itu.“Iya, Pak. Apakah ada yang salah?” Evelyn malah bertanya kembali kepada Pak Dimas.“Itu, kantung matamu hitam sekali.” Pak Dimas menunjuk ke arah mata Evelyn.Evelyn langsung menutup matanya dengan kacamata, “Iya pak, semalam susah tidur,” jawab Evelyn.“Oh iya, Eve,” ujar Pak Dimas terhenti.“Hari ini kamu boleh pulang cepat, persiapkan keperluan untuk pemberangkatan besok pagi,” jelas Pak Dimas menjelaskan.“Baik, Pak,” ucap Evelyn.Evelyn bergegas meninggalkan ruangan Pak Dimas, langkahnya terhenti saat Pak Dimas memanggil namanya.“Eve,” panggil Pak Dimas.“Iya, Pak.” Evelyn menoleh pelan menatap Pak Dimas.“Jadi begini, saya tadi lupa memberitahumu. Jangan lupa membawa alat-alat kantor yang sekiranya aka
[Halo.]Tak ada jawaban dari penelfon diseberang, hening membuat Evelyn takut.[Halo.][Apakah benar ini Evelyna Dyandra?][Iya.][Ini nomor pengagum rahasiamu.]Tut tut tut telefon terputus, Evelyn sengaja menutup telefon itu. Karena ia sedang tidak ingin diganggu siapapun. Ia masih merutuki tugas dari Pak Dimas yang mengharuskan dia ke luar kota.“Emmm, aku bosan,” ucap Evelyn dengan kesal.Dilihat jam tangan di lengan kirinya tepat pukul 22.00, matanya mulai lelah menatap short story di youtube. Banyak cerita yang menguras air matanya, mungkin skenarionya yang mengandung bawaang dimana-mana.“Aku lapar,” batin Evelyn mendengar suara dari perutnya.Suara fiersa besari mulai mengalun indah ditelinganya, notifikasi telefon dari nomor tidak dikenal itu lagi. Telefon itu hanya dilihat oleh Evelyn, tanpa ada keinginan menjawab sekalipun.KluntingSuara
Mata Evelyn terbelalak saat membaca berkas yang ditunjukkan Pak Dimas, beberapa berkas itu berisi tentang surat tugas ke luar kota.“Pak, kenapa harus saya?” tanya Evelyn sendu.“Itu memang tugasmu, Eve. Semua sudah saya siapkan, mulai dari akomodasi dan lain-lain. Kita disana hanya satu minggu, untuk membahas agenda tahunan saja,” jelas Pak Dimas panjang lebar.“Bapak, saya tidak bisa meninggalkan orang tua selama itu,” rengek Evelyn.“Tenang, Eve. Soal ijin kepada Ayahmu sudah saya atur, beliau mengijinkan kamu pergi menemani saya rapat,” jelasnya lugas.Evelyn tak menyangka bahwa Pak Dimas sudah meminta ijin, dan kenapa ayah mengijinkan aku pergi. Evelyn keluar ruangan dengan gusar.“Vel,” panggil rinda dengan suara cemprengnya.“Iya, apa?” jawab Evelyn singkat.“Disuruh ngapain?” tanya Rinda kepo.“Kepo.” Evelyn pergi menu
Saat ayah kembali ketempat ibu turun, jarak 5 meter ayah melihat dengan matanya lekat. Hatinya sakit seperti tertusuk anak panah dari busur, tepat menembus ulu hati.“Oh, ini ternyata!” batin ayah, saat melihat ibu dijemput oleh pria berjas hitam itu.Tanpa basa-basi ayah langsung putar balik, menuju kantor lagi. Tidak ingin lebih lama disana, hatinya tak akan sanggup. Dalam batinnya ia masih bertanya-tanya, “Siapa pria itu? Kenapa semesra itu?”.Sesampainya d kantor ia tidak langsung keluar dari mobil, kakinya lemas hatinya rapuh. Serasa ayah tidak terima, tangan istrinya digandeng mesra oleh pria lain. Siapa sangka istri yang paling ia cintai bisa akrab dengan pria lain?“Aaarghhh,” raungnya penuh kekecewaan. Lekat-lekat ayah keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju kantor. Langkahnya terhenti saat ada yang memanggil dari belakang.“Pak Anton,” panggil wanita dari belakang
Sepulang dari restoran ayah dan ibu Evelyn terlihat bahagia, tetapi perasaan Evelyn berbeda seperti ada yang disembunyikan oleh mereka. Tapi ia sama sekali tidak ingin bertanya dan memecah suasana bahagia ayah dan ibu. Sesampainya di rumah Evelyn pamit ke kamar, tetapi ayah menahannya.“Nak, temani ayah ngobrol di balkon ya.” Tangan ayah menyentuh pelan pundak Evelyn.Evelyn hanya menuruti apa kata ayah, “Iya, Ayah. Aku mengembalikan tas dulu ke kamar, nanti Vely nyusul,” ucap Evelyn pergi ke kamar.Sementara ibu langsung pergi ke kamar karena capek, aktifitasnya dari pagi sudah menguras tenaganya seharian ini. Ibu memang orang yang tidak banyak bicara, hanya bertindak atas apa yang ia mau.***Terlihat ayah sudah duduk di balkon ditemani secangkir kopi, Evelyn sedang bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan oleh ayah. Ayah yang menyadari kehadiran Evelyn langsung menyuruhnya duduk.“Vely,” panggilnya pel
Mentari pagi menampakkan senyumnya, sinarnya menembus kaca cendela kamar Evelyn. Suara ibu terdengar nyaring melengking ditelinga Evelyn, suara khas yang selalu terdengar jika ia tidak nurut dengan ibu. Matanya perlahan terbuka lebar, terkejab pelan karena kesadarannya belum kembali penuh. “Vely, bangun!!” panggil ibu dari luar kamar. “Iya, Ibu. Sebentar,” keluhnya dengan bergilimang di atas kasur. “Vely!!! Dengarkan ibu.” Teriak ibu dengan menggedor-gedor pintu kamar. “Iya,Ibu sebentar,” elak Evelyn dari dalam kamar. Tangannya masih sibuk mengucek mata, cahaya matahari mulai masuk dari celah cendela kamarnya. Suara ibu sudah mulai pelan dan nyaris tak terdengar mungkin Ibu sedang keluar, ia terdiam sejenak lalu beranjak dari kasurnya. “Evelyn.” Suara Ayah membuat ia berhenti. “Iya, Ayah. Ada apa?” tanya nya. “Ayah punya sesuatu buat kamu.” Tangan Ayah sengaja disembunyikan, entah apa yang ia bawa untuk putri tung