Sepulang dari restoran ayah dan ibu Evelyn terlihat bahagia, tetapi perasaan Evelyn berbeda seperti ada yang disembunyikan oleh mereka. Tapi ia sama sekali tidak ingin bertanya dan memecah suasana bahagia ayah dan ibu. Sesampainya di rumah Evelyn pamit ke kamar, tetapi ayah menahannya.
“Nak, temani ayah ngobrol di balkon ya.” Tangan ayah menyentuh pelan pundak Evelyn.
Evelyn hanya menuruti apa kata ayah, “Iya, Ayah. Aku mengembalikan tas dulu ke kamar, nanti Vely nyusul,” ucap Evelyn pergi ke kamar.
Sementara ibu langsung pergi ke kamar karena capek, aktifitasnya dari pagi sudah menguras tenaganya seharian ini. Ibu memang orang yang tidak banyak bicara, hanya bertindak atas apa yang ia mau.
***
Terlihat ayah sudah duduk di balkon ditemani secangkir kopi, Evelyn sedang bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan oleh ayah. Ayah yang menyadari kehadiran Evelyn langsung menyuruhnya duduk.
“Vely,” panggilnya pelan.
“Iya, Ayah,”
“Sini duduk, kita ngobrol santai ya ayah sudah bawakan teh untuk kamu,” ucap ayah dengan menunjukkan secangkir teh.
Evelyn duduk disebelah ayah, ditiup pelan teh yang berada dicangkir. Perlahan ayah memulai pembicaraan.
“Nak, menurutmu bagaimana?” tanya Ayah.
“Bagaimana apanya, Yah?” Evelyn malah berbalik bertanya.
“Kotak musik itu.” Tatapannya kosong menghadap langit malam ini yang penuh dengan bintang.
“Kotak musik itu cantik, kenapa Ayah?” ungkap Evelyn.
“Sepertinya Ibumu tidak menyukainya,” ucapnya lirih, ayah kini tertunduk.
“Siapa yang tidak menyukai kotak musik secantik itu, Ayah? Pasti Ibu menyukainya, apalagi ayah yang memberinya,” ungkap Evelyn penuh percaya.
Suasana di balkon kini sendu, ayah hanya terdiam tanpa jawaban. Ayah tertunduk lesu sepertinya dingin malam ini mulai merasuki tubuh rentanya.
“Ayah,” panggil Evelyn pelan.
Ayah sempat terperanjat kaget, “Iya, Nak. Ada apa?” tanya ayah.
“Ayah bersedih?” tanya Evelyn saat melihat pelupuk mata ayah berkaca-kaca.
“Tidak, Nak.” Tangan ayah kini sibuk menepikan bulir yang akan turun di pipi keriputnya.
Baru pertama kali ini Evelyn melihat super hero nya tertunduk pilu. Ayah selalu terlihat tegar dan kuat, dan hari ini super hero dengan pundak terkuat menunduk penuh kesedihan. Sungguh batin Evelyn kini bertanya-tanya lekat, “Sebenarnya ada apa, Ayah?”. Dingin malam ini menambah kepiluan pembicaraan Evelyn dengan ayah, hawa dingin yang mulai merasuk ke tubuh. Secangkir teh dan kopi yang mulai mendingin.
Ayah mulai menyeruput secangkir kopi yang tinggal setengah, Evelyn hanya menatapnya sendu. Tiba-tiba ia tercengang saat ayah berkata, “Nak, maafkan ayah jika keliru ya,” ucapnya penuh.
“Ayah, apakah ada hal yang ayah sembunyikan dari Vely?” tanya Evelyn pelan.
“Tidak ada, Nak,” jawab ayah.
Mendengar jawaban ayah, Feeking Evelyn berkata “Iya.” Meski ayah menjawab “Tidak.”, Evelyn tidak tau apa yang disembunyikan ayah dan ibu. Suara ayah membuyarkan pikiran Evelyn.
“Nak, kamu tau kotak musik itu ialah kotak musik yang ibumu minta saat umur mu 17 tahun,” ucapnya bernostalgia.
“Really?” tanya Evelyn kaget.
“Iya, dua tahun lalu saat anniversary pernikahan ayah dan ibu. Tapi tabungan ayah saat itu belum cukup untuk membelinya, jadi ayah hanya bilang ke ibumu suatu saat jika tabungan ayah cukup pasti akan ayah belikan untuk ibu,” tutur ayah penuh penjelasan.
“Dan hari ini ayah berhasil mewujudkan keinginan ibu,” ucap Evelyn dengan ceria.
Ayah malah tertawa keras, raut wajah sendunya sudah berubah periang. Begitu ya jadi seorang super hero, harus siap dengan keadaan yang berubah-ubah.
“Ayah, malah ketawa si,” ucap Evelyn mengerucutkan bibirnya.
Tangan ayah yang usil mulai mencubit pipi cubby Evelyn, “Kamu itu sudah lucu, Nak. Seperti bayi, hahaha.” Tawa nya lepas seperti tidak ada lagi beban dipundak rentanya.
Kini matanya tertuju pada jarum jam yang berada di tangannya, tertera pukul 22.30 raut wajahnya terlihat terkejut. Tanpa basa basi ayah langsung meminta Evelyn masuk dan lekas beristirahat karena besok harus bekerja.
“Terima kasih ya, vely. Maaf kan ayah membuatmu begadang, udah ya sekarang tidur,” titahnya pelan.
“Iya, Ayah. Aku juga sudah mengantuk sekali,” ucap Evelyn dan pergi meninggalkan ayah. Tetapi ia teringat dan berbalik ke balkon, terlihat ayah masih menatap bintang dimalam itu, “Ayah! Jangan lupa beristirahat ya,” ucapnya pelan.
“Iya, Nak,”
***
Pagi ini di meja makan Ibu sudah menyiapkan sarapan, ayah dan Evelyn sudah siap untuk sarapan bersama. Setiap makan bersama berlangsung tidak ada suara selain suara sendok dan piring. Itu ialah aturan yang diterapkan dari dulu saat Evelyn masih kecil hingga saat ini. Tapi pagi ini ibu sudah bertingkah berbeda dari biasanya, berdandan rapi seperti akan pergi. Seusai makan Evelyn memberanikan diri untuk bertanya pada ibu.
“Ibu berdandan rapi mau kemana?” tanya Evelyn.
“Ibu ada acara dengan teman-teman ibu hari ini, Nak,” jawab ibu.
“Perlu Vely antar, Bu?” tanya Evelyn lagi.
“Tidak, biar ayah yang mengantar ibu sekalian ayah berangkat kerja,” jawab ibu.
“Evelyn berangkat kerja saja, ayah yang akan mengantar ibumu,” ucap ayah dari ruang keluarga.
Evelyn langsung bersiap untuk berangkat bekerja, dengan mengendarai motor beat hitam kesayangannya. Ia menembus jalanan aspal yang ke abu-abuan itu, pikirannya masih terpaku pada hal yang mengganjal dihatinya. Ada beban yang rasanya ingjn ia lepaskan, tapi ia tak tau apa beban itu.
***
Saat ayah sedang menyetir dengan tenang, tiba-tiba ibu berteriak.
“Stop!” teriak Ibu.
“Ada apa, Bu?” tanya ayah yang terkejut, reflek ia mengerem mendadak mobil yang mereka kendarai.
“Ayah antarkan aku sampai sini saja ya, nanti ayah terlambat kerjanya,” ucap Ibu.
“Ada apa? Kenapa tidak langsung di lokasi saja?” tanya Ayah lagi.
“Hust, tidak apa. Ayah berangkat kerja saja! Nanti teman ku menjemput disini,” jawab ibu menjelaskan.
“Ya sudah, aku temani sampai temanmu tiba disini,” ucap Ayah.
“Jangan! Ayah berangkat kerja saja nanti kesiangan,” rayu Ibu.
“Oh, oke. Hati- hati ya, Bu.” Ayah berlalu dan meninggalkan ibu di pinggir jalan itu.
Kini ayah bertanya-tanya apa yang disembunyikan ibu, hingga menyuruh ayah buru-buru. Padahal jika harus menunggu teman ibu tiba pun tetap akan ayah tunggu. Agar ibu tak sendirian dipinggir jalan. “Ada apa sebenarnya apa aku kembali lagi saja ya?” batin Ayah bertanya-tanya. Ayah memilih kembali ke tempat ibu tadi turun, matanya terbelalak saat melihat ibu...
Bersambung
Saat ayah kembali ketempat ibu turun, jarak 5 meter ayah melihat dengan matanya lekat. Hatinya sakit seperti tertusuk anak panah dari busur, tepat menembus ulu hati.“Oh, ini ternyata!” batin ayah, saat melihat ibu dijemput oleh pria berjas hitam itu.Tanpa basa-basi ayah langsung putar balik, menuju kantor lagi. Tidak ingin lebih lama disana, hatinya tak akan sanggup. Dalam batinnya ia masih bertanya-tanya, “Siapa pria itu? Kenapa semesra itu?”.Sesampainya d kantor ia tidak langsung keluar dari mobil, kakinya lemas hatinya rapuh. Serasa ayah tidak terima, tangan istrinya digandeng mesra oleh pria lain. Siapa sangka istri yang paling ia cintai bisa akrab dengan pria lain?“Aaarghhh,” raungnya penuh kekecewaan. Lekat-lekat ayah keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju kantor. Langkahnya terhenti saat ada yang memanggil dari belakang.“Pak Anton,” panggil wanita dari belakang
Mata Evelyn terbelalak saat membaca berkas yang ditunjukkan Pak Dimas, beberapa berkas itu berisi tentang surat tugas ke luar kota.“Pak, kenapa harus saya?” tanya Evelyn sendu.“Itu memang tugasmu, Eve. Semua sudah saya siapkan, mulai dari akomodasi dan lain-lain. Kita disana hanya satu minggu, untuk membahas agenda tahunan saja,” jelas Pak Dimas panjang lebar.“Bapak, saya tidak bisa meninggalkan orang tua selama itu,” rengek Evelyn.“Tenang, Eve. Soal ijin kepada Ayahmu sudah saya atur, beliau mengijinkan kamu pergi menemani saya rapat,” jelasnya lugas.Evelyn tak menyangka bahwa Pak Dimas sudah meminta ijin, dan kenapa ayah mengijinkan aku pergi. Evelyn keluar ruangan dengan gusar.“Vel,” panggil rinda dengan suara cemprengnya.“Iya, apa?” jawab Evelyn singkat.“Disuruh ngapain?” tanya Rinda kepo.“Kepo.” Evelyn pergi menu
[Halo.]Tak ada jawaban dari penelfon diseberang, hening membuat Evelyn takut.[Halo.][Apakah benar ini Evelyna Dyandra?][Iya.][Ini nomor pengagum rahasiamu.]Tut tut tut telefon terputus, Evelyn sengaja menutup telefon itu. Karena ia sedang tidak ingin diganggu siapapun. Ia masih merutuki tugas dari Pak Dimas yang mengharuskan dia ke luar kota.“Emmm, aku bosan,” ucap Evelyn dengan kesal.Dilihat jam tangan di lengan kirinya tepat pukul 22.00, matanya mulai lelah menatap short story di youtube. Banyak cerita yang menguras air matanya, mungkin skenarionya yang mengandung bawaang dimana-mana.“Aku lapar,” batin Evelyn mendengar suara dari perutnya.Suara fiersa besari mulai mengalun indah ditelinganya, notifikasi telefon dari nomor tidak dikenal itu lagi. Telefon itu hanya dilihat oleh Evelyn, tanpa ada keinginan menjawab sekalipun.KluntingSuara
“Eve, apa kamu?” tanya Pak Dimas terhenti, saat melihat mata Evelyn yang berkantong hitam itu.“Iya, Pak. Apakah ada yang salah?” Evelyn malah bertanya kembali kepada Pak Dimas.“Itu, kantung matamu hitam sekali.” Pak Dimas menunjuk ke arah mata Evelyn.Evelyn langsung menutup matanya dengan kacamata, “Iya pak, semalam susah tidur,” jawab Evelyn.“Oh iya, Eve,” ujar Pak Dimas terhenti.“Hari ini kamu boleh pulang cepat, persiapkan keperluan untuk pemberangkatan besok pagi,” jelas Pak Dimas menjelaskan.“Baik, Pak,” ucap Evelyn.Evelyn bergegas meninggalkan ruangan Pak Dimas, langkahnya terhenti saat Pak Dimas memanggil namanya.“Eve,” panggil Pak Dimas.“Iya, Pak.” Evelyn menoleh pelan menatap Pak Dimas.“Jadi begini, saya tadi lupa memberitahumu. Jangan lupa membawa alat-alat kantor yang sekiranya aka
“Eve,” panggil Pak Dimas.Langkahnya pelan dan pasti, saat ini mereka ada di ruang tunggu sebuah bandara. Menunggu jam keberangkatan. Evelyn yang sibuk menatap layar ponselnya, ditatapnya walpaper ponsel itu foto keluarga yang utuh.“Iya, Pak.” Evelyn sempat terkejut dengan panggilan Pak Dimas, karena ia asik dengan ponsel di tangan kanannya.“Wajahmu lesu, apa kamu sakit?” tanya Pak Dimas tiba-tiba.“Tidak, Pak. Saya hanya kawatir,” jawab Evelyn pelan.“Apa yang kamu kawatirkan?” tanya Pak Dimas lagi.Evelyn hanya diam dan tertunduk lesu, menatap layar ponsel lagi dan lagi. Pak Dimas pun tidak ingin bertanya panjang lebar.Suara pengumuman sudah terdengar, sudah waktunya semua penumpang mempersiapkan diri.“Eve, ayo nanti terlambat,” ajak Pak Dimas.Evelyn mengikuti langkah Pak Dimas pelan, meski terkadang masih tertinggal karena langkah Pak Dimas c
[Vely]Suara nyaring Ardi membuyarkan bayangannya tentang Rendy.[Iya, Di. Kenapa?][Kapan balik?][2 hari lagi.][Ya sudah, wkwkwk. See you Vel.]Tut tut tutttt“Apaan ini si Ardi,” gerutu Evelyn.Matanya terbelelak saat melihat jam sudah 22.00 WIB, “Hah,” ucap Evelyn kaget.Evelyn langsung berjalan terburu-buru menuju kamar, langkahnya pelan tapi pasti.***“Huaammmmm.” Evelyn menguap, hari ini berbeda mungkin karena dia bangun kesiangan.Kring kringg“Permisi,” ucap seorang dari luar kamar.Evelyn berjalan lunglai menuju pintu, dilihatnya seorang pelayan membawa nampan berisi makanan.“Iya,”“Maaf mengganggu waktunya, ini ada titipan sarapan dari Bapak Dimas.” Pelayan itu memberikan nampan berisi makanan itu.“Eh, Terima kasih,” ucap Evelyn.“Sama-sama Kak.&rdqu
Mentari pagi menampakkan senyumnya, sinarnya menembus kaca cendela kamar Evelyn. Suara ibu terdengar nyaring melengking ditelinga Evelyn, suara khas yang selalu terdengar jika ia tidak nurut dengan ibu. Matanya perlahan terbuka lebar, terkejab pelan karena kesadarannya belum kembali penuh. “Vely, bangun!!” panggil ibu dari luar kamar. “Iya, Ibu. Sebentar,” keluhnya dengan bergilimang di atas kasur. “Vely!!! Dengarkan ibu.” Teriak ibu dengan menggedor-gedor pintu kamar. “Iya,Ibu sebentar,” elak Evelyn dari dalam kamar. Tangannya masih sibuk mengucek mata, cahaya matahari mulai masuk dari celah cendela kamarnya. Suara ibu sudah mulai pelan dan nyaris tak terdengar mungkin Ibu sedang keluar, ia terdiam sejenak lalu beranjak dari kasurnya. “Evelyn.” Suara Ayah membuat ia berhenti. “Iya, Ayah. Ada apa?” tanya nya. “Ayah punya sesuatu buat kamu.” Tangan Ayah sengaja disembunyikan, entah apa yang ia bawa untuk putri tung
[Vely]Suara nyaring Ardi membuyarkan bayangannya tentang Rendy.[Iya, Di. Kenapa?][Kapan balik?][2 hari lagi.][Ya sudah, wkwkwk. See you Vel.]Tut tut tutttt“Apaan ini si Ardi,” gerutu Evelyn.Matanya terbelelak saat melihat jam sudah 22.00 WIB, “Hah,” ucap Evelyn kaget.Evelyn langsung berjalan terburu-buru menuju kamar, langkahnya pelan tapi pasti.***“Huaammmmm.” Evelyn menguap, hari ini berbeda mungkin karena dia bangun kesiangan.Kring kringg“Permisi,” ucap seorang dari luar kamar.Evelyn berjalan lunglai menuju pintu, dilihatnya seorang pelayan membawa nampan berisi makanan.“Iya,”“Maaf mengganggu waktunya, ini ada titipan sarapan dari Bapak Dimas.” Pelayan itu memberikan nampan berisi makanan itu.“Eh, Terima kasih,” ucap Evelyn.“Sama-sama Kak.&rdqu
“Eve,” panggil Pak Dimas.Langkahnya pelan dan pasti, saat ini mereka ada di ruang tunggu sebuah bandara. Menunggu jam keberangkatan. Evelyn yang sibuk menatap layar ponselnya, ditatapnya walpaper ponsel itu foto keluarga yang utuh.“Iya, Pak.” Evelyn sempat terkejut dengan panggilan Pak Dimas, karena ia asik dengan ponsel di tangan kanannya.“Wajahmu lesu, apa kamu sakit?” tanya Pak Dimas tiba-tiba.“Tidak, Pak. Saya hanya kawatir,” jawab Evelyn pelan.“Apa yang kamu kawatirkan?” tanya Pak Dimas lagi.Evelyn hanya diam dan tertunduk lesu, menatap layar ponsel lagi dan lagi. Pak Dimas pun tidak ingin bertanya panjang lebar.Suara pengumuman sudah terdengar, sudah waktunya semua penumpang mempersiapkan diri.“Eve, ayo nanti terlambat,” ajak Pak Dimas.Evelyn mengikuti langkah Pak Dimas pelan, meski terkadang masih tertinggal karena langkah Pak Dimas c
“Eve, apa kamu?” tanya Pak Dimas terhenti, saat melihat mata Evelyn yang berkantong hitam itu.“Iya, Pak. Apakah ada yang salah?” Evelyn malah bertanya kembali kepada Pak Dimas.“Itu, kantung matamu hitam sekali.” Pak Dimas menunjuk ke arah mata Evelyn.Evelyn langsung menutup matanya dengan kacamata, “Iya pak, semalam susah tidur,” jawab Evelyn.“Oh iya, Eve,” ujar Pak Dimas terhenti.“Hari ini kamu boleh pulang cepat, persiapkan keperluan untuk pemberangkatan besok pagi,” jelas Pak Dimas menjelaskan.“Baik, Pak,” ucap Evelyn.Evelyn bergegas meninggalkan ruangan Pak Dimas, langkahnya terhenti saat Pak Dimas memanggil namanya.“Eve,” panggil Pak Dimas.“Iya, Pak.” Evelyn menoleh pelan menatap Pak Dimas.“Jadi begini, saya tadi lupa memberitahumu. Jangan lupa membawa alat-alat kantor yang sekiranya aka
[Halo.]Tak ada jawaban dari penelfon diseberang, hening membuat Evelyn takut.[Halo.][Apakah benar ini Evelyna Dyandra?][Iya.][Ini nomor pengagum rahasiamu.]Tut tut tut telefon terputus, Evelyn sengaja menutup telefon itu. Karena ia sedang tidak ingin diganggu siapapun. Ia masih merutuki tugas dari Pak Dimas yang mengharuskan dia ke luar kota.“Emmm, aku bosan,” ucap Evelyn dengan kesal.Dilihat jam tangan di lengan kirinya tepat pukul 22.00, matanya mulai lelah menatap short story di youtube. Banyak cerita yang menguras air matanya, mungkin skenarionya yang mengandung bawaang dimana-mana.“Aku lapar,” batin Evelyn mendengar suara dari perutnya.Suara fiersa besari mulai mengalun indah ditelinganya, notifikasi telefon dari nomor tidak dikenal itu lagi. Telefon itu hanya dilihat oleh Evelyn, tanpa ada keinginan menjawab sekalipun.KluntingSuara
Mata Evelyn terbelalak saat membaca berkas yang ditunjukkan Pak Dimas, beberapa berkas itu berisi tentang surat tugas ke luar kota.“Pak, kenapa harus saya?” tanya Evelyn sendu.“Itu memang tugasmu, Eve. Semua sudah saya siapkan, mulai dari akomodasi dan lain-lain. Kita disana hanya satu minggu, untuk membahas agenda tahunan saja,” jelas Pak Dimas panjang lebar.“Bapak, saya tidak bisa meninggalkan orang tua selama itu,” rengek Evelyn.“Tenang, Eve. Soal ijin kepada Ayahmu sudah saya atur, beliau mengijinkan kamu pergi menemani saya rapat,” jelasnya lugas.Evelyn tak menyangka bahwa Pak Dimas sudah meminta ijin, dan kenapa ayah mengijinkan aku pergi. Evelyn keluar ruangan dengan gusar.“Vel,” panggil rinda dengan suara cemprengnya.“Iya, apa?” jawab Evelyn singkat.“Disuruh ngapain?” tanya Rinda kepo.“Kepo.” Evelyn pergi menu
Saat ayah kembali ketempat ibu turun, jarak 5 meter ayah melihat dengan matanya lekat. Hatinya sakit seperti tertusuk anak panah dari busur, tepat menembus ulu hati.“Oh, ini ternyata!” batin ayah, saat melihat ibu dijemput oleh pria berjas hitam itu.Tanpa basa-basi ayah langsung putar balik, menuju kantor lagi. Tidak ingin lebih lama disana, hatinya tak akan sanggup. Dalam batinnya ia masih bertanya-tanya, “Siapa pria itu? Kenapa semesra itu?”.Sesampainya d kantor ia tidak langsung keluar dari mobil, kakinya lemas hatinya rapuh. Serasa ayah tidak terima, tangan istrinya digandeng mesra oleh pria lain. Siapa sangka istri yang paling ia cintai bisa akrab dengan pria lain?“Aaarghhh,” raungnya penuh kekecewaan. Lekat-lekat ayah keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju kantor. Langkahnya terhenti saat ada yang memanggil dari belakang.“Pak Anton,” panggil wanita dari belakang
Sepulang dari restoran ayah dan ibu Evelyn terlihat bahagia, tetapi perasaan Evelyn berbeda seperti ada yang disembunyikan oleh mereka. Tapi ia sama sekali tidak ingin bertanya dan memecah suasana bahagia ayah dan ibu. Sesampainya di rumah Evelyn pamit ke kamar, tetapi ayah menahannya.“Nak, temani ayah ngobrol di balkon ya.” Tangan ayah menyentuh pelan pundak Evelyn.Evelyn hanya menuruti apa kata ayah, “Iya, Ayah. Aku mengembalikan tas dulu ke kamar, nanti Vely nyusul,” ucap Evelyn pergi ke kamar.Sementara ibu langsung pergi ke kamar karena capek, aktifitasnya dari pagi sudah menguras tenaganya seharian ini. Ibu memang orang yang tidak banyak bicara, hanya bertindak atas apa yang ia mau.***Terlihat ayah sudah duduk di balkon ditemani secangkir kopi, Evelyn sedang bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan oleh ayah. Ayah yang menyadari kehadiran Evelyn langsung menyuruhnya duduk.“Vely,” panggilnya pel
Mentari pagi menampakkan senyumnya, sinarnya menembus kaca cendela kamar Evelyn. Suara ibu terdengar nyaring melengking ditelinga Evelyn, suara khas yang selalu terdengar jika ia tidak nurut dengan ibu. Matanya perlahan terbuka lebar, terkejab pelan karena kesadarannya belum kembali penuh. “Vely, bangun!!” panggil ibu dari luar kamar. “Iya, Ibu. Sebentar,” keluhnya dengan bergilimang di atas kasur. “Vely!!! Dengarkan ibu.” Teriak ibu dengan menggedor-gedor pintu kamar. “Iya,Ibu sebentar,” elak Evelyn dari dalam kamar. Tangannya masih sibuk mengucek mata, cahaya matahari mulai masuk dari celah cendela kamarnya. Suara ibu sudah mulai pelan dan nyaris tak terdengar mungkin Ibu sedang keluar, ia terdiam sejenak lalu beranjak dari kasurnya. “Evelyn.” Suara Ayah membuat ia berhenti. “Iya, Ayah. Ada apa?” tanya nya. “Ayah punya sesuatu buat kamu.” Tangan Ayah sengaja disembunyikan, entah apa yang ia bawa untuk putri tung