Lupakan masalah masa lalu, mari kita ceritakan hal yang membuatku bahagia saja. Contohnya hari ini. Hari ini aku akan mengunjungi divisi konveksi. Memastikan bahwa gaun rancanganku akan selesai dalam waktu satu minggu ke depan. Dan akan segera aku pasarkan di satu bulan ke depan.
Untuk satu alasan yang pasti, aku bahagia untuk hal besar ini. Rancangan gaunku yang kelima sudah akan berhasil diluncurkan ke publik. Setelah sebelumnya terkendala karena butikku yang lain, yang ada di Bandung.Belum sempat aku membuka pintu kamarku, ponselku berbunyi nyaring. Ternyata salah satu dari karyawanku di butik. Rini. Mahasiswa semester akhir yang melamar pekerjaan di butikku. Aku langsung menerimanya kala itu. Selain karena alasan aku sedang sangat membutuhkan staff, aku juga sangat mengerti sekali kondisi Rini yang kala itu sangat membutuhkan pekerjaan. Karena aku pernah merasakannya. Berada di posisi Rini atau pun mahasiswa-mahasiswi lain. Menjadi mahasiswa dengan uang pas-pasan, namun kebutuhan sehari-hari tak dapat dirancang untuk 'pas'."Mbak, hari ini ngantor, kan?" aku mendengar bunyi kasak kusuk di seberang sana. Sepertinya Rini sedang memasak. Atau entah melakukan pekerjaan di dapur yang menjadi tempat favoritnya di rumah sewanya. Tak sepertiku yang hanya ke dapur bila ada keadaan urgent saja.Terlebih letak dispenserku berada di ruang tengah, tak berada di dapur. Hanya camilan yang terkadang aku letakkan di lemari es agar kondisinya tetap dalam keadaan baik. Tak ada peralatan rumah tangga apa pun di dapur. Malah, aku berencana untuk merubah area itu menjadi ruang olahraga untukku saja. Ya, semoga saja aku bisa memasuki ruangan itu dengan hati yang tenang.Walau aku yakin Rini tak bisa melihat anggukan kepalaku, tetapi aku tetap melakukan hal itu. "Hu'um. Kenapa?" aku berjalan ke sudut ruangan. Membuka gorden dan jendela, walau di luar masih terlihat sangat petang. Tak apa, karena aku suka sekali menghirup udara segar di pagi hari dan menikmati suasana di waktu-waktu ini. Tak ada kebisingan membuatku merasa tenang."Nggak ada apa-apa, sih. Memastikan aja. Soalnya biasanya Mbak Aya suka tiba-tiba nggak datang, padahal udah bilang datang." aku mendengar ia tertawa ceria, berbanding terbalik denganku yang sudah merasa resah.Aku menghela napas panjang. Sudah aku katakan ribuan kali pada Rini untuk tak mengkhawatirkanku terlalu sering, karena sungguh aku tak terbiasa diperhatikan seperti ini. Bertahun-tahun tak pernah diperhatikan, lalu akhirnya mencoba mengasingkan diri karena terlalu lelah dengan keadaan, ada perasaan asing dan takut saat aku dikhawatirkan seperti ini.Asing karena sejak dulu aku tak pernah ditanyai hal remeh temeh seperti ini oleh siapa pun, dan takut apabila aku merasa ketergantungan dengan semua yang Rini lakukan untukku.Walau Rini hanya bertanya, tetapi tetap saja aku merasa ini terlalu berlebihan. Sungguh, ini wajar untukku yang sebelumnya tak pernah diperlakukan dengan istimewa seperti ini."Dateng kok. Urusan di Bandung udah selesai,” walau ingin sekali kembali menegur, tetapi aku tetap menjawab karena aku tidak ingin Rini kembali menanyai alasanku yang tak ingin ditanyai perihal keberadaanku dari dulu hingga sekarang. Bila itu terjadi, aku yakin aku akan menjelma menjadi wanita lemah yang butuh perhatian.Aku sudah sejauh ini membuktikan pada dunia bahwa aku adalah wanita kuat. Berdiri dan berjalan sendiri dengan kakiku sendiri, walau masih dengan tertatih. Tak mungkin usahaku hancur hanya karena ada salah seorang yang mengisi kekosongan di hati yang sejak dulu tak pernah terisi dengan sempurna, layaknya orang-orang pada umumnya.“Oke, deh, Mbak. Aku tunggu di butik, ya?”“Hu'um” tanpa menunggu salam dari Rini, aku langsung mematikan sambungan telepon kami. Aku harus cepat-cepat membereskan rumah hari ini, agar aku bisa cepat-cepat datang ke butik dan mendatangi divisi konveksi untuk menyaksikan sudah sejauh mana progress mereka menyelesaikan dress baru yang aku jadwalkan selesai dalam waktu satu minggu ke depan.Keluar dari kamarku yang berada di lantai atas, aku langsung disuguhkan dengan pemandangan gelap di depan sana. Memang, bila aku sudah akan menuju ke kamar dan tak akan kembali ke ruangan lain sampai pagi hari, aku akan mematikan semua lampu ruangan di rumahku, kecuali teras depan. Karena tempat itu sebagai penanda bahwa aku masih berada di rumah, tak kemana-mana, tak sedang dalam perjalanan bisnis seperti beberapa hari yang lalu.Bagi sebagian orang, mungkin akan terlihat menyesakkan, rumah dalam keadaan gelap gulita seperti tak berpenghuni barang satu orang pun. Tetapi, menurutku, berada dalam kondisi gelap memiliki ketenangan sendiri.Berjalan tanpa menghidupkan lampu, aku akan ke ruang tengah untuk mengambil sapu. Mulai membersihkan rumah seperti yang sudah aku katakan tadi. Dari sedikit hal yang aku sukai, menyibukkan diri dan berkutat dengan keadaan rumah yang berantakan adalah salah satunya. Aku bisa mengalihkan pikiranku dengan melakukan aktivitas dan menyibukkan diri di sana.Sekali pun terdengar sangat aneh sekali untuk orang-orang yang mendengarnya, tetapi bila aku bahagia, semua tak apa, kan? Karena sudah cukup aku menderita dibawah riuh tawa mereka, orang-orang yang ada di dalam masa laluku. Yang tak pernah bertanggung jawab atas segala hal yang sudah mereka perbuat, padahal kala itu aku sangat membutuhkannya.Terlalu banyak rahasia, ya? Benar. Aku memang menyimpan begitu banyak rahasia masa lalu yang menyesakkan dada, yang mungkin tak akan pernah coba aku utarakan pada dunia untuk meminta belas kasihan, sekali pun aku berhak atas itu.****"Pagi, Mbak Aya!" Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala sebelum berhenti sebentar di depan resepsionis untuk mengatakan sesuatu pada seseorang yang bekerja di balik meja resepsionis. "Rin, nanti kalau ada yang cari saya, sementara tolong kamu handle dulu, ya." Rini tampak kebingungan, namun aku yakin ia tahu maksudku. Walau, dia juga tahu pasti bahwa ada beberapa agenda yang harus aku laksanakan hari ini. Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengangguk. "Baik, Mbak. Nanti pasti aku hadapin." candanya sambil menggerakkan tanda hormat. Aku hanya tertawa saja. Kebiasaanku setelah bermimpi buruk atau sedang mengalami mood yang juga sama buruknya adalah berdiam diri di ruangan kerjaku. Sebenarnya aku bisa memaksakan diri untuk tetap menajalnkan agendaku hari ini. Namun, aku tahu itu sangat sia-sia. Karena jelas, aku tak bisa seproduktif ketika aku dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana tidak, bila aku sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Hal yang hanya aku lakukan ad
Sebenarnya, sudah sejak pertemuan pertama kami, aku terang-terangan menolak Erwin. Alasan yang aku buat untuk menolaknya adalah aku mengatakan padanya bahwa aku bukanlah wanita yang baik. Alasan klise, menurut Erwin pada saat itu. Tetapi, aku tetap dengan pendirianku. Tanpa menceritakan detailnya, aku beralasan bahwa selama hampir tiga puluh tahun aku hidup di dunia, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Sekali dekat, aku akan menolaknya dan laki-laki itu akan mundur pelan-pelan. Aku adalah wanita yang tak gampang bersosialisasi dengan orang lain. Terlebih, saat itu aku mengatakan, untuk bersosialisasi dengan keluarga besar Erwin. Aku tak pernah bisa beramah-tamah. Dan seperti keluarga yang lainnya, jelas, keluarga Erwin sangat menjunjung keramah tamahan. Dan aku tak suka itu.Lalu, senjata terakhir untuk membuat Erwin mundur adalah, aku mengatakan bahwa aku tak memiliki keluarga yang seharmonis keluarganya. Sudut kecil hatiku ingin mengatakan bahwa aku adalah anak yatim piatu. Tet
Sebenarnya, aku jarang tidak profesional seperti ini. Maksudku, jarang sekali aku menjadikan kantorku sebagai tempat untuk bermalas-malasan. Aku tahu dengan pasti bahwa ketika aku menginjakkan kaki ke kantorku ini -ya, aku menganggap butikku ini sebagai kantor- aku harus menjalankan pekerjaanku. Mengesampingkan terlebih dahulu masalah pribadiku dan berkutat dengan kegemaran yang sudah aku jadikan pekerjaan. Aku adalah lulusan dari jurusan fashion design di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sejak dulu, aku sudah sangat senang sekali menggambar mecam-macam fashion. Seolah bisa menciptakan suatu produk dengan hasil gambaranku, aku pernah mendapatkan ejekan dari temanku bahwa aku sangat bercita-cita tinggi. Padahal, menurut mereka aku tak bisa menggambar dengan baik. Yeah, waktu itu aku sering menangis karena ejekan itu. Tetapi, semakin lama, aku berhasil menguatkan diri sendiri bahwa aku pasti mampu menghadapi semuanya. Tentunya sendiri. Pasang surut kehidupan, jelas kuhadapi
"Orang gila.. orang gila...." Aku menutup telinga dan juga mata saat seruan nada penuh ejekan itu terdengar ditelingaku. Aku berharap segera ditolong oleh ibu guru, namun di waktu istirahat seperti ini, biasanya semua guru sedang ada di ruangannya masing-masing. Beristirahat seraya bercengkerama mengenai kondisi terkini anak didiknya, dan membiarkan kami -anak didik mereka- bermain di taman bersama-sama. Tetapi, perkiraan mereka salah. Sebab, kali ini sebagian anak didik mereka tak bermain selayaknya anak-anak pada umumnya, melainkan sedang mengolok-olokku yang sudah tampak pasrah. Berteriak pun rasanya percuma, karena mereka akan semakin mengejekku habis-habisan. Mengatakan selain cengeng, aku juga tukang ngadu. Ya, seruan dan ejekan itu berasal dari teman-temanku di taman kanak-kanak. Tak berlagak seperti anak kecil yang penyayang dan ingin berteman dengan siapa pun, teman-temanku justru sangat nakal padaku dan membenciku. Semua hal yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.
Selama bersekolah di sini, aku tak pernah melakukan hal serupa yang dilakukan teman-temanku selama ini padaku. Aku tak pernah mengejek mereka, pun tak pernah tertawa saat salah seorang temanku menangis kencang. Karena yang aku lakukan justru menenangkan mereka. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi balasan mereka sungguh diluar dugaan. Aku kembali dibuat ketakutan. Bukan hanya karena perkara pisau, melainkan ejekan mereka padaku yang sungguh menurunkan semangatku untuk bersekolah.Tetapi, jika tak bersekolah, aku akan ke mana? Setiap hari ayah dan ibu akan pergi. Entah kemana, aku tak boleh tahu. Dan di rumah, aku hanya bersama dengan pembantu, yang juga akan kembali pulang ke rumahnya di sore hari. Aku tak memiliki teman, karena aku tak pintar bergaul. Bila tak di sekolah, aku jarang berbicara. Aku lebih banyak diam dan ketakutan, karena sumber masalahku adalah di rumah. Ketakutanku adalah berada di sana. Namun, aku tak bisa pergi dari sana. Astaga, ini benar-benar me
Aku terengah-engah saat sudah berhasil membuka mata lebar-lebar. Langsung beranjak duduk, aku mataku mengerling ke semua arah kamar. Memastikan bahwa aku masih ada di dalam kamarku yang nyaman, kamar masih dalam keadaan baik dan aku sudah tidak berada dalam kondisi menyakitkan itu. Mengacak rambutku frustasi, sungguh aku lelah dengan keadaan ini. Mimpi sialann yang entah sampai kapan akan terus menghantuiku. Aku, Kalanaya Indah Ayuningtyas, akan bereaksi berlebihan seperti ini bila mendapatkan mimpi dari masa laluku. Dan baru bisa tenang saat pandangan mataku sudah berhasil memastikan bahwa aku sudah tak berada dalam labirin menyakitkan itu. Aku sudah berada dalam tempat yang aman, tempat yang kupilih sebagai tempat menenangkan diri sekaligus tempat tinggalku selama lebih dari lima tahun lamanya. Tempat yang jauh dari kata mewah, namun aku nyaman berada di dalamnya. Tak seperti tempat mewah yang kusebut sebagai rumah neraka, yang sampai kapan pun tak bisa sedikit pun terlupa dari in
Sebenarnya, aku jarang tidak profesional seperti ini. Maksudku, jarang sekali aku menjadikan kantorku sebagai tempat untuk bermalas-malasan. Aku tahu dengan pasti bahwa ketika aku menginjakkan kaki ke kantorku ini -ya, aku menganggap butikku ini sebagai kantor- aku harus menjalankan pekerjaanku. Mengesampingkan terlebih dahulu masalah pribadiku dan berkutat dengan kegemaran yang sudah aku jadikan pekerjaan. Aku adalah lulusan dari jurusan fashion design di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sejak dulu, aku sudah sangat senang sekali menggambar mecam-macam fashion. Seolah bisa menciptakan suatu produk dengan hasil gambaranku, aku pernah mendapatkan ejekan dari temanku bahwa aku sangat bercita-cita tinggi. Padahal, menurut mereka aku tak bisa menggambar dengan baik. Yeah, waktu itu aku sering menangis karena ejekan itu. Tetapi, semakin lama, aku berhasil menguatkan diri sendiri bahwa aku pasti mampu menghadapi semuanya. Tentunya sendiri. Pasang surut kehidupan, jelas kuhadapi
Sebenarnya, sudah sejak pertemuan pertama kami, aku terang-terangan menolak Erwin. Alasan yang aku buat untuk menolaknya adalah aku mengatakan padanya bahwa aku bukanlah wanita yang baik. Alasan klise, menurut Erwin pada saat itu. Tetapi, aku tetap dengan pendirianku. Tanpa menceritakan detailnya, aku beralasan bahwa selama hampir tiga puluh tahun aku hidup di dunia, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Sekali dekat, aku akan menolaknya dan laki-laki itu akan mundur pelan-pelan. Aku adalah wanita yang tak gampang bersosialisasi dengan orang lain. Terlebih, saat itu aku mengatakan, untuk bersosialisasi dengan keluarga besar Erwin. Aku tak pernah bisa beramah-tamah. Dan seperti keluarga yang lainnya, jelas, keluarga Erwin sangat menjunjung keramah tamahan. Dan aku tak suka itu.Lalu, senjata terakhir untuk membuat Erwin mundur adalah, aku mengatakan bahwa aku tak memiliki keluarga yang seharmonis keluarganya. Sudut kecil hatiku ingin mengatakan bahwa aku adalah anak yatim piatu. Tet
"Pagi, Mbak Aya!" Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala sebelum berhenti sebentar di depan resepsionis untuk mengatakan sesuatu pada seseorang yang bekerja di balik meja resepsionis. "Rin, nanti kalau ada yang cari saya, sementara tolong kamu handle dulu, ya." Rini tampak kebingungan, namun aku yakin ia tahu maksudku. Walau, dia juga tahu pasti bahwa ada beberapa agenda yang harus aku laksanakan hari ini. Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengangguk. "Baik, Mbak. Nanti pasti aku hadapin." candanya sambil menggerakkan tanda hormat. Aku hanya tertawa saja. Kebiasaanku setelah bermimpi buruk atau sedang mengalami mood yang juga sama buruknya adalah berdiam diri di ruangan kerjaku. Sebenarnya aku bisa memaksakan diri untuk tetap menajalnkan agendaku hari ini. Namun, aku tahu itu sangat sia-sia. Karena jelas, aku tak bisa seproduktif ketika aku dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana tidak, bila aku sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Hal yang hanya aku lakukan ad
Lupakan masalah masa lalu, mari kita ceritakan hal yang membuatku bahagia saja. Contohnya hari ini. Hari ini aku akan mengunjungi divisi konveksi. Memastikan bahwa gaun rancanganku akan selesai dalam waktu satu minggu ke depan. Dan akan segera aku pasarkan di satu bulan ke depan. Untuk satu alasan yang pasti, aku bahagia untuk hal besar ini. Rancangan gaunku yang kelima sudah akan berhasil diluncurkan ke publik. Setelah sebelumnya terkendala karena butikku yang lain, yang ada di Bandung. Belum sempat aku membuka pintu kamarku, ponselku berbunyi nyaring. Ternyata salah satu dari karyawanku di butik. Rini. Mahasiswa semester akhir yang melamar pekerjaan di butikku. Aku langsung menerimanya kala itu. Selain karena alasan aku sedang sangat membutuhkan staff, aku juga sangat mengerti sekali kondisi Rini yang kala itu sangat membutuhkan pekerjaan. Karena aku pernah merasakannya. Berada di posisi Rini atau pun mahasiswa-mahasiswi lain. Menjadi mahasiswa dengan uang pas-pasan, namun kebutuh
Aku terengah-engah saat sudah berhasil membuka mata lebar-lebar. Langsung beranjak duduk, aku mataku mengerling ke semua arah kamar. Memastikan bahwa aku masih ada di dalam kamarku yang nyaman, kamar masih dalam keadaan baik dan aku sudah tidak berada dalam kondisi menyakitkan itu. Mengacak rambutku frustasi, sungguh aku lelah dengan keadaan ini. Mimpi sialann yang entah sampai kapan akan terus menghantuiku. Aku, Kalanaya Indah Ayuningtyas, akan bereaksi berlebihan seperti ini bila mendapatkan mimpi dari masa laluku. Dan baru bisa tenang saat pandangan mataku sudah berhasil memastikan bahwa aku sudah tak berada dalam labirin menyakitkan itu. Aku sudah berada dalam tempat yang aman, tempat yang kupilih sebagai tempat menenangkan diri sekaligus tempat tinggalku selama lebih dari lima tahun lamanya. Tempat yang jauh dari kata mewah, namun aku nyaman berada di dalamnya. Tak seperti tempat mewah yang kusebut sebagai rumah neraka, yang sampai kapan pun tak bisa sedikit pun terlupa dari in
Selama bersekolah di sini, aku tak pernah melakukan hal serupa yang dilakukan teman-temanku selama ini padaku. Aku tak pernah mengejek mereka, pun tak pernah tertawa saat salah seorang temanku menangis kencang. Karena yang aku lakukan justru menenangkan mereka. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi balasan mereka sungguh diluar dugaan. Aku kembali dibuat ketakutan. Bukan hanya karena perkara pisau, melainkan ejekan mereka padaku yang sungguh menurunkan semangatku untuk bersekolah.Tetapi, jika tak bersekolah, aku akan ke mana? Setiap hari ayah dan ibu akan pergi. Entah kemana, aku tak boleh tahu. Dan di rumah, aku hanya bersama dengan pembantu, yang juga akan kembali pulang ke rumahnya di sore hari. Aku tak memiliki teman, karena aku tak pintar bergaul. Bila tak di sekolah, aku jarang berbicara. Aku lebih banyak diam dan ketakutan, karena sumber masalahku adalah di rumah. Ketakutanku adalah berada di sana. Namun, aku tak bisa pergi dari sana. Astaga, ini benar-benar me
"Orang gila.. orang gila...." Aku menutup telinga dan juga mata saat seruan nada penuh ejekan itu terdengar ditelingaku. Aku berharap segera ditolong oleh ibu guru, namun di waktu istirahat seperti ini, biasanya semua guru sedang ada di ruangannya masing-masing. Beristirahat seraya bercengkerama mengenai kondisi terkini anak didiknya, dan membiarkan kami -anak didik mereka- bermain di taman bersama-sama. Tetapi, perkiraan mereka salah. Sebab, kali ini sebagian anak didik mereka tak bermain selayaknya anak-anak pada umumnya, melainkan sedang mengolok-olokku yang sudah tampak pasrah. Berteriak pun rasanya percuma, karena mereka akan semakin mengejekku habis-habisan. Mengatakan selain cengeng, aku juga tukang ngadu. Ya, seruan dan ejekan itu berasal dari teman-temanku di taman kanak-kanak. Tak berlagak seperti anak kecil yang penyayang dan ingin berteman dengan siapa pun, teman-temanku justru sangat nakal padaku dan membenciku. Semua hal yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.