Beranda / Romansa / With Kalanaya / Telepon dari 'Kekasih'

Share

Telepon dari 'Kekasih'

Penulis: Saskia Indah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-17 22:59:58

"Pagi, Mbak Aya!"

Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala sebelum berhenti sebentar di depan resepsionis untuk mengatakan sesuatu pada seseorang yang bekerja di balik meja resepsionis.

"Rin, nanti kalau ada yang cari saya, sementara tolong kamu handle dulu, ya."

Rini tampak kebingungan, namun aku yakin ia tahu maksudku. Walau, dia juga tahu pasti bahwa ada beberapa agenda yang harus aku laksanakan hari ini.

Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengangguk. "Baik, Mbak. Nanti pasti aku hadapin." candanya sambil menggerakkan tanda hormat. Aku hanya tertawa saja.

Kebiasaanku setelah bermimpi buruk atau sedang mengalami mood yang juga sama buruknya adalah berdiam diri di ruangan kerjaku. Sebenarnya aku bisa memaksakan diri untuk tetap menajalnkan agendaku hari ini. Namun, aku tahu itu sangat sia-sia. Karena jelas, aku tak bisa seproduktif ketika aku dalam keadaan baik-baik saja.

Bagaimana tidak, bila aku sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Hal yang hanya aku lakukan adalah melamun sepanjang hari dan melewatkan makan siang. Atau bila sedang beruntung, aku akan kembali memejamkan mata -melanjutkan tidur- hingga sore hari ketika ada seseorang yang membangunkanku.

Mengapa beruntung? Karena terkadang setelah mimpi buruk, seringnya aku sudah tak bisa melanjutkan tidur lagi. Ada rasa was-was dalam diriku yang sulit kukendalikan. Aku akan merasa sangat lemah dan meninggalkan rasa tangguhku yang sudah kupupuk sejak kecil. Bila sudah seperti itu, aku akan sangat membutuhkan sebuah obat. Obat penenang yang diresepkan psikiater langgananku.

Ya, tentu saja aku tahu jika aku bermasalah. Tetapi, jelas aku mencoba tak menghiraukannya. Sebab, semakin aku terfokus pada rasa lemah ini, semakin aku kembali diingatkan tentang kejadian menyakitkan yang harus aku tanggung sendirian.

Ya sudahlah, toh kejadian itu sudah aku kubur dalam-dalam. Tak akan sudi aku 'sengaja' memikirkannya.

"Aduhh maaf, Mbak, ini ada telepon dari Mas Erwin. Aku sudah bilang Mbak Aya sedang nggak mau diganggu, tapi Mas Erwin malah ancam mau fitnah bilang ke ibu kosku kalau aku kerja di tempat yang nggak bener."

Sontak saja aku berdecak. Erwin adalah pengusaha makanan ringan. Memiliki pabrik yang sebenarnya tak terlalu besar, namun itu adalah bisnis keluarga. Bisnis yang sudah dijalani saat kakeknya masih ada di dunia.

Mengapa aku bisa sampai tahu sedetail itu? Karena ibunya adalah langganan di butik milikku. Kami pernah mengobrol mengenai fashion dan kebetulan aku pernah menolongnya saat beliau jatuh pingsan.

Terdengar klise sekali, kan? Yeah, namun begitulah adanya.

Lalu, mengalirlah cerita tentang keluarga beliau. Keluarga yang menurutku adalah keluarga yang harmonis, jauh sekali dengan keluarga yang aku miliki.

Tante Mala, ibu Erwin, mengatakan bahwa beliau menyukaiku. Lalu, mengatakan dengan terang-terangan padaku bahwa aku harus berjodoh dengan anak bungsunya. Tanpa perlu mengetahui pendapayku lebih dulu.

Gayung bersambut, bukannya menolak dengan beralasan laki-laki itu sudah memiliki kekasih, Erwin malah langsung mengangguk menyetujui. Seolah ia sudah sangat yakin pada ibunya bahwa pilihan seseorang yang berjasa melahirkan dan merawatnya adalah yang terbaik dan sudah pasti baik bibit, bebet, bobotnya.

Padahal, belum tentu semua benar, kan? Terlebih Tante Mala hanya tahu casingku saja. Tak tahu mengenai kehiduoan atau bahkan keluargaku saja. Begitu tahu bahwa aku adalah wanita karir yang mandiri -menurut beliau- Tante Mala langsung ingin menjodohkan anak kesayangannya denganku.

Yeah, aku memang mandiri. Aku akui itu. Dan dengan kepercayaan diriku yang seharusnya tinggi, aku mengangguk menyetujui pendapat Tante Mala. Tetapi untuk bersama dengan anaknya?

Ah, bahkan aku tak pernah mengenal lelaki kecuali adalah ayahku. Tak pernah mencoba berhubungan dengan lawan jenis, walau harus aku akui banyak yang secara tersirat atau bahkan terang-terangan ingin mencoba menjalin hubungan denganku.

"Mbak, telepon lagi, nih"

Aku berdecak kesal. Kesal bukan main. Aku memang sudah tak diteror berpuluh-puluh telepon oleh laki-laki bernama Erwin itu, tetapi sialnya Erwin tak kehabisan akal. Ia berganti meneror karyawan yang paling dekat denganku. Si Rini itu.

Yang membuatku kesal adalah, dia tak pernah menyerah sedikit pun. Padahal, sudah cukup lama 'pendekatan' ini terjadi. Enam bulan, mungkin? Aku lupa kapan persisnya.

"Ada apa?"

"Hai, sayang. Lagi apa?"

Aku memutar bola mataku malas. Erwin ini semakin melunjak saja, pikirku. Padahal, terakhir kali kami berhubungan- ah tidak. Maksudku, terakhir kali Erwin meneleponku adalah saat dirinya di Singapura, 3 minggu yang lalu.

"Jam segini Mas Erwin harusnya tahu aku lagi kerja."

Erwin terdengar tertawa disana. Membuat darahku makin mendidih saja. Astaga, kepalaku sudah sangat pening rasanya. Ingin merebahkan diri di sofa nyaman yang ada di dekat meja kerjaku.

Ah, ya. Sesebal-sebalnya aku dengan laki-laki ini, aku tetap menghargai dia sebagai laki-laki yang usianya lebih tua dibandingkan denganku. Jadi, aku memanggipnya dengan embel-embel 'Mas'.

Niatnya memang untuk menghargai saja. Tetapi, disalah artikan oleh ibunya -yeah, selalu- bahwa hubunganku dengan Erwin telah berjalan sangat sempurna. Dan misi perjodohan beliau, berjalan dengan mulus.

"Ah, iya maaf, Sayang. Aku baru aja pulang dari Singapura dan ada oleh-oleh buat kamu. Aku antarkan sekarang, ya?"

"Kamu tahu, kan, Mas, aku nggak suka diganggu saat kerja?"

Sebagai penerus bisnis keluarga, menurutku Erwin begitu santai dalam bekerja. Sangat santai malah. Yeah, tetapi siapa yang akan memecatnya, kan? Toh, itu adalah milik keluarganya. Pada akhirnya, kekayaan mereka itu akan jatuh ke tangan sang pewaris.

Ah ya, aku ingat. Tante Mala pernah mengatakan padaku untuk jangan risau mengenai masalah finansial apabila aku menikah dengan putranya. Sebab, kehidupan kami sudah terjamin. Mereka adalah seorang pebisnis ulung. Tak akan bangkrut untuk beberapa puluh tahun ke depan, ucap Tante Mala pada saat itu dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.

Jujur, kala itu aku hanya tertawa mendengarnya. Sebenarnya menurutku, aku tak pernah bereaksi berlebihan atau memberikan harapan pada niat Tante Mala dan Erwin. Tetapi, lagi-lagi, mereka menganggap semua tawa dan senyumanku kala merespon ucapan mereka, adalah lampu hijau.

"Ah iya, pacarku ini memang ambisius dan tekun, ya? Ya udah, aku akan kasih ini setelah kamu pulang kerja, ya?" kata Erwin di seberang telepon, dengan nada yang masih ceria. Berbanding terbalik denganku yang sudah menghela napas lelah.

Sudahlah pekerjaan masih menumpuk, tetapi kondisi sangat tak mendukung untukku tetap fokus pada itu. Kepala pening dan gangguan yang tak kunjung selesai, cukup membuatku ingin meledak saja rasanya.

Ah, benar-benar hari yang buruk.

****

Bab terkait

  • With Kalanaya    Menolak

    Sebenarnya, sudah sejak pertemuan pertama kami, aku terang-terangan menolak Erwin. Alasan yang aku buat untuk menolaknya adalah aku mengatakan padanya bahwa aku bukanlah wanita yang baik. Alasan klise, menurut Erwin pada saat itu. Tetapi, aku tetap dengan pendirianku. Tanpa menceritakan detailnya, aku beralasan bahwa selama hampir tiga puluh tahun aku hidup di dunia, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Sekali dekat, aku akan menolaknya dan laki-laki itu akan mundur pelan-pelan. Aku adalah wanita yang tak gampang bersosialisasi dengan orang lain. Terlebih, saat itu aku mengatakan, untuk bersosialisasi dengan keluarga besar Erwin. Aku tak pernah bisa beramah-tamah. Dan seperti keluarga yang lainnya, jelas, keluarga Erwin sangat menjunjung keramah tamahan. Dan aku tak suka itu.Lalu, senjata terakhir untuk membuat Erwin mundur adalah, aku mengatakan bahwa aku tak memiliki keluarga yang seharmonis keluarganya. Sudut kecil hatiku ingin mengatakan bahwa aku adalah anak yatim piatu. Tet

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-17
  • With Kalanaya    'Dia' Datang

    Sebenarnya, aku jarang tidak profesional seperti ini. Maksudku, jarang sekali aku menjadikan kantorku sebagai tempat untuk bermalas-malasan. Aku tahu dengan pasti bahwa ketika aku menginjakkan kaki ke kantorku ini -ya, aku menganggap butikku ini sebagai kantor- aku harus menjalankan pekerjaanku. Mengesampingkan terlebih dahulu masalah pribadiku dan berkutat dengan kegemaran yang sudah aku jadikan pekerjaan. Aku adalah lulusan dari jurusan fashion design di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sejak dulu, aku sudah sangat senang sekali menggambar mecam-macam fashion. Seolah bisa menciptakan suatu produk dengan hasil gambaranku, aku pernah mendapatkan ejekan dari temanku bahwa aku sangat bercita-cita tinggi. Padahal, menurut mereka aku tak bisa menggambar dengan baik. Yeah, waktu itu aku sering menangis karena ejekan itu. Tetapi, semakin lama, aku berhasil menguatkan diri sendiri bahwa aku pasti mampu menghadapi semuanya. Tentunya sendiri. Pasang surut kehidupan, jelas kuhadapi

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-17
  • With Kalanaya    Awal - Bayangan Masa Lalu

    "Orang gila.. orang gila...." Aku menutup telinga dan juga mata saat seruan nada penuh ejekan itu terdengar ditelingaku. Aku berharap segera ditolong oleh ibu guru, namun di waktu istirahat seperti ini, biasanya semua guru sedang ada di ruangannya masing-masing. Beristirahat seraya bercengkerama mengenai kondisi terkini anak didiknya, dan membiarkan kami -anak didik mereka- bermain di taman bersama-sama. Tetapi, perkiraan mereka salah. Sebab, kali ini sebagian anak didik mereka tak bermain selayaknya anak-anak pada umumnya, melainkan sedang mengolok-olokku yang sudah tampak pasrah. Berteriak pun rasanya percuma, karena mereka akan semakin mengejekku habis-habisan. Mengatakan selain cengeng, aku juga tukang ngadu. Ya, seruan dan ejekan itu berasal dari teman-temanku di taman kanak-kanak. Tak berlagak seperti anak kecil yang penyayang dan ingin berteman dengan siapa pun, teman-temanku justru sangat nakal padaku dan membenciku. Semua hal yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-17
  • With Kalanaya    Bayangan Masa Lalu (2)

    Selama bersekolah di sini, aku tak pernah melakukan hal serupa yang dilakukan teman-temanku selama ini padaku. Aku tak pernah mengejek mereka, pun tak pernah tertawa saat salah seorang temanku menangis kencang. Karena yang aku lakukan justru menenangkan mereka. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi balasan mereka sungguh diluar dugaan. Aku kembali dibuat ketakutan. Bukan hanya karena perkara pisau, melainkan ejekan mereka padaku yang sungguh menurunkan semangatku untuk bersekolah.Tetapi, jika tak bersekolah, aku akan ke mana? Setiap hari ayah dan ibu akan pergi. Entah kemana, aku tak boleh tahu. Dan di rumah, aku hanya bersama dengan pembantu, yang juga akan kembali pulang ke rumahnya di sore hari. Aku tak memiliki teman, karena aku tak pintar bergaul. Bila tak di sekolah, aku jarang berbicara. Aku lebih banyak diam dan ketakutan, karena sumber masalahku adalah di rumah. Ketakutanku adalah berada di sana. Namun, aku tak bisa pergi dari sana. Astaga, ini benar-benar me

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-17
  • With Kalanaya    Mendapatkan Mimpi Buruk

    Aku terengah-engah saat sudah berhasil membuka mata lebar-lebar. Langsung beranjak duduk, aku mataku mengerling ke semua arah kamar. Memastikan bahwa aku masih ada di dalam kamarku yang nyaman, kamar masih dalam keadaan baik dan aku sudah tidak berada dalam kondisi menyakitkan itu. Mengacak rambutku frustasi, sungguh aku lelah dengan keadaan ini. Mimpi sialann yang entah sampai kapan akan terus menghantuiku. Aku, Kalanaya Indah Ayuningtyas, akan bereaksi berlebihan seperti ini bila mendapatkan mimpi dari masa laluku. Dan baru bisa tenang saat pandangan mataku sudah berhasil memastikan bahwa aku sudah tak berada dalam labirin menyakitkan itu. Aku sudah berada dalam tempat yang aman, tempat yang kupilih sebagai tempat menenangkan diri sekaligus tempat tinggalku selama lebih dari lima tahun lamanya. Tempat yang jauh dari kata mewah, namun aku nyaman berada di dalamnya. Tak seperti tempat mewah yang kusebut sebagai rumah neraka, yang sampai kapan pun tak bisa sedikit pun terlupa dari in

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-17
  • With Kalanaya    Dunia Baru

    Lupakan masalah masa lalu, mari kita ceritakan hal yang membuatku bahagia saja. Contohnya hari ini. Hari ini aku akan mengunjungi divisi konveksi. Memastikan bahwa gaun rancanganku akan selesai dalam waktu satu minggu ke depan. Dan akan segera aku pasarkan di satu bulan ke depan. Untuk satu alasan yang pasti, aku bahagia untuk hal besar ini. Rancangan gaunku yang kelima sudah akan berhasil diluncurkan ke publik. Setelah sebelumnya terkendala karena butikku yang lain, yang ada di Bandung. Belum sempat aku membuka pintu kamarku, ponselku berbunyi nyaring. Ternyata salah satu dari karyawanku di butik. Rini. Mahasiswa semester akhir yang melamar pekerjaan di butikku. Aku langsung menerimanya kala itu. Selain karena alasan aku sedang sangat membutuhkan staff, aku juga sangat mengerti sekali kondisi Rini yang kala itu sangat membutuhkan pekerjaan. Karena aku pernah merasakannya. Berada di posisi Rini atau pun mahasiswa-mahasiswi lain. Menjadi mahasiswa dengan uang pas-pasan, namun kebutuh

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-17

Bab terbaru

  • With Kalanaya    'Dia' Datang

    Sebenarnya, aku jarang tidak profesional seperti ini. Maksudku, jarang sekali aku menjadikan kantorku sebagai tempat untuk bermalas-malasan. Aku tahu dengan pasti bahwa ketika aku menginjakkan kaki ke kantorku ini -ya, aku menganggap butikku ini sebagai kantor- aku harus menjalankan pekerjaanku. Mengesampingkan terlebih dahulu masalah pribadiku dan berkutat dengan kegemaran yang sudah aku jadikan pekerjaan. Aku adalah lulusan dari jurusan fashion design di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sejak dulu, aku sudah sangat senang sekali menggambar mecam-macam fashion. Seolah bisa menciptakan suatu produk dengan hasil gambaranku, aku pernah mendapatkan ejekan dari temanku bahwa aku sangat bercita-cita tinggi. Padahal, menurut mereka aku tak bisa menggambar dengan baik. Yeah, waktu itu aku sering menangis karena ejekan itu. Tetapi, semakin lama, aku berhasil menguatkan diri sendiri bahwa aku pasti mampu menghadapi semuanya. Tentunya sendiri. Pasang surut kehidupan, jelas kuhadapi

  • With Kalanaya    Menolak

    Sebenarnya, sudah sejak pertemuan pertama kami, aku terang-terangan menolak Erwin. Alasan yang aku buat untuk menolaknya adalah aku mengatakan padanya bahwa aku bukanlah wanita yang baik. Alasan klise, menurut Erwin pada saat itu. Tetapi, aku tetap dengan pendirianku. Tanpa menceritakan detailnya, aku beralasan bahwa selama hampir tiga puluh tahun aku hidup di dunia, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Sekali dekat, aku akan menolaknya dan laki-laki itu akan mundur pelan-pelan. Aku adalah wanita yang tak gampang bersosialisasi dengan orang lain. Terlebih, saat itu aku mengatakan, untuk bersosialisasi dengan keluarga besar Erwin. Aku tak pernah bisa beramah-tamah. Dan seperti keluarga yang lainnya, jelas, keluarga Erwin sangat menjunjung keramah tamahan. Dan aku tak suka itu.Lalu, senjata terakhir untuk membuat Erwin mundur adalah, aku mengatakan bahwa aku tak memiliki keluarga yang seharmonis keluarganya. Sudut kecil hatiku ingin mengatakan bahwa aku adalah anak yatim piatu. Tet

  • With Kalanaya    Telepon dari 'Kekasih'

    "Pagi, Mbak Aya!" Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala sebelum berhenti sebentar di depan resepsionis untuk mengatakan sesuatu pada seseorang yang bekerja di balik meja resepsionis. "Rin, nanti kalau ada yang cari saya, sementara tolong kamu handle dulu, ya." Rini tampak kebingungan, namun aku yakin ia tahu maksudku. Walau, dia juga tahu pasti bahwa ada beberapa agenda yang harus aku laksanakan hari ini. Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengangguk. "Baik, Mbak. Nanti pasti aku hadapin." candanya sambil menggerakkan tanda hormat. Aku hanya tertawa saja. Kebiasaanku setelah bermimpi buruk atau sedang mengalami mood yang juga sama buruknya adalah berdiam diri di ruangan kerjaku. Sebenarnya aku bisa memaksakan diri untuk tetap menajalnkan agendaku hari ini. Namun, aku tahu itu sangat sia-sia. Karena jelas, aku tak bisa seproduktif ketika aku dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana tidak, bila aku sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Hal yang hanya aku lakukan ad

  • With Kalanaya    Dunia Baru

    Lupakan masalah masa lalu, mari kita ceritakan hal yang membuatku bahagia saja. Contohnya hari ini. Hari ini aku akan mengunjungi divisi konveksi. Memastikan bahwa gaun rancanganku akan selesai dalam waktu satu minggu ke depan. Dan akan segera aku pasarkan di satu bulan ke depan. Untuk satu alasan yang pasti, aku bahagia untuk hal besar ini. Rancangan gaunku yang kelima sudah akan berhasil diluncurkan ke publik. Setelah sebelumnya terkendala karena butikku yang lain, yang ada di Bandung. Belum sempat aku membuka pintu kamarku, ponselku berbunyi nyaring. Ternyata salah satu dari karyawanku di butik. Rini. Mahasiswa semester akhir yang melamar pekerjaan di butikku. Aku langsung menerimanya kala itu. Selain karena alasan aku sedang sangat membutuhkan staff, aku juga sangat mengerti sekali kondisi Rini yang kala itu sangat membutuhkan pekerjaan. Karena aku pernah merasakannya. Berada di posisi Rini atau pun mahasiswa-mahasiswi lain. Menjadi mahasiswa dengan uang pas-pasan, namun kebutuh

  • With Kalanaya    Mendapatkan Mimpi Buruk

    Aku terengah-engah saat sudah berhasil membuka mata lebar-lebar. Langsung beranjak duduk, aku mataku mengerling ke semua arah kamar. Memastikan bahwa aku masih ada di dalam kamarku yang nyaman, kamar masih dalam keadaan baik dan aku sudah tidak berada dalam kondisi menyakitkan itu. Mengacak rambutku frustasi, sungguh aku lelah dengan keadaan ini. Mimpi sialann yang entah sampai kapan akan terus menghantuiku. Aku, Kalanaya Indah Ayuningtyas, akan bereaksi berlebihan seperti ini bila mendapatkan mimpi dari masa laluku. Dan baru bisa tenang saat pandangan mataku sudah berhasil memastikan bahwa aku sudah tak berada dalam labirin menyakitkan itu. Aku sudah berada dalam tempat yang aman, tempat yang kupilih sebagai tempat menenangkan diri sekaligus tempat tinggalku selama lebih dari lima tahun lamanya. Tempat yang jauh dari kata mewah, namun aku nyaman berada di dalamnya. Tak seperti tempat mewah yang kusebut sebagai rumah neraka, yang sampai kapan pun tak bisa sedikit pun terlupa dari in

  • With Kalanaya    Bayangan Masa Lalu (2)

    Selama bersekolah di sini, aku tak pernah melakukan hal serupa yang dilakukan teman-temanku selama ini padaku. Aku tak pernah mengejek mereka, pun tak pernah tertawa saat salah seorang temanku menangis kencang. Karena yang aku lakukan justru menenangkan mereka. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi balasan mereka sungguh diluar dugaan. Aku kembali dibuat ketakutan. Bukan hanya karena perkara pisau, melainkan ejekan mereka padaku yang sungguh menurunkan semangatku untuk bersekolah.Tetapi, jika tak bersekolah, aku akan ke mana? Setiap hari ayah dan ibu akan pergi. Entah kemana, aku tak boleh tahu. Dan di rumah, aku hanya bersama dengan pembantu, yang juga akan kembali pulang ke rumahnya di sore hari. Aku tak memiliki teman, karena aku tak pintar bergaul. Bila tak di sekolah, aku jarang berbicara. Aku lebih banyak diam dan ketakutan, karena sumber masalahku adalah di rumah. Ketakutanku adalah berada di sana. Namun, aku tak bisa pergi dari sana. Astaga, ini benar-benar me

  • With Kalanaya    Awal - Bayangan Masa Lalu

    "Orang gila.. orang gila...." Aku menutup telinga dan juga mata saat seruan nada penuh ejekan itu terdengar ditelingaku. Aku berharap segera ditolong oleh ibu guru, namun di waktu istirahat seperti ini, biasanya semua guru sedang ada di ruangannya masing-masing. Beristirahat seraya bercengkerama mengenai kondisi terkini anak didiknya, dan membiarkan kami -anak didik mereka- bermain di taman bersama-sama. Tetapi, perkiraan mereka salah. Sebab, kali ini sebagian anak didik mereka tak bermain selayaknya anak-anak pada umumnya, melainkan sedang mengolok-olokku yang sudah tampak pasrah. Berteriak pun rasanya percuma, karena mereka akan semakin mengejekku habis-habisan. Mengatakan selain cengeng, aku juga tukang ngadu. Ya, seruan dan ejekan itu berasal dari teman-temanku di taman kanak-kanak. Tak berlagak seperti anak kecil yang penyayang dan ingin berteman dengan siapa pun, teman-temanku justru sangat nakal padaku dan membenciku. Semua hal yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status