"Aku milih Dea Pa," jawab Aiden sedikit tercekat. Hatinya terasa sangat berat, namun dia tidak bisa melawan."Kalau begitu, kamu putusin Wendy sekarang juga," perintah papanya."T-tapi Pa.""Papa beri waktu sampai besok buat kamu putusin Wendy. Atau jabatan kamu saya turunin," ancam papanya. Mendengar ucapan papanya, Aiden ingin marah. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Papanya memang belum resmi memberikan perusahaan itu kepadanya. Dia hanya bertugas mengolah bisnis yang sudah dibangun orang tuanya.Sangat disayangkan jika Aiden harus turun dari jabatannya sekarang. Meskipun ia sudah memiliki beberapa bisnis kecil. Namun, itu tidak sebanding dengan jabatan di perusahaan papanya.Dengan berat hati Aiden pun mengangguk, mengartikan jika dia akan memenuhi perintah Papanya.Kedua orangtuanya langsung berdiri dan kembali ke kamar Dea. Tinggal Aiden yang terduduk di atas sofa dengan frustasi."Sial!" ucapnya dengan tangan yang mengepal erat.Pikirannya menjadi kalut karena diperintah
"Tapi kenapa Dea?" tanya Aiden kebingungan.Devano menundukkan kepalanya."Gua gak tau Den. Sekali liat Dea gua langsung berdebar-debar, terutama sorot matanya.""Ada apa dengan sorot matanya?" tanya Aiden penasaran."Ketulusan, kesedihan, ahhh...! Gua gak tau, tapi gua suka sama sorot mata Dea." Devano mengucapkan kalimat itu dengan bibir yang tersenyum.Ini pertama kali Aiden melihat ekspresi Devano yang seperti itu. "Sorry, seharunya gua gak ngomong kayak gini ke elu. Tapi karena lu dan Dea cuma nikah kontrak, gua masih punya kesempatan kan?" tanya Devano menatap mata Aiden.hening, Aiden terpaku dengan pernyataan Devano."Ekhem..." deham Aiden memecah keheningan. "Yaa... ada kesempatan.""YES!" girang Devano dengan mengepalkan tangannya semangat.Aiden tidak bisa berkata apapun. Ada banyak hal yang sangat terduga akhir-akhir ini.Pikirannya blank, tidak tau apa yang harus dilakukannya."Ekheemmm... Gua bakal nunggu urusan kalian sampai selesai Den. Jadi gua nggak bakal ganggu per
Aiden terbangun, diliriknya Dea kini masih tertidur di sampingnya. Ketika ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar."Sudah bangun?" tanya Dea dengan mata yang tertutup. Aiden terkaget mendengar pertanyaan itu."Ya, sudah. Kamu tidak tidur?""Tidak, aku sudah tidur cukup lama.""Emm okay." Aiden merasa sangat canggung berada satu ranjang dengan Dea setelah mengetahui perasaan Devano."Intropeksi dirilah Aiden, jangan membuat orangtuamu khawatir."Aiden termenung mendengar perkataan Dea. "Cinta memang tidak bisa dipaksa, tapi perhatikan juga orangtuamu. Kebahagiaan tidak hanya soal wanita," lanjut Dea dengan mata yang masih tertutup.Aiden menatap langit-langit kamarnya dengan mulut terbungkam. "Dari awal kamu memiliki pilihan, kamu bisa menolak pernikahan ini untuk mengejar cintamu. Tapi kamu lebih memilih menikah denganku. Jadi, seberapa besar cintamu pada Wendy?"'Seberapa besar cintaku pada Wendy?' tanya Aiden pada dirinya sendiri. Aiden tidak bisa menemukan jawabannya.
Mendengar tawaran Papa membuat Aiden pusing. Ia tidak tahu jika Orangtuanya secara diam-diam mendirikan perusahaan baru.Namun, persyaratan yang diberikan Papanya terasa sangat gila. Bagaimana bisa dia memberikan cucu pada orangtuanya? Sedangkan dalam perjanjian yang tertera dalam kontrak pernikahannya hal itu tidak akan terjadi."Jadi bagaimana Aiden? Kamu menerima tawaran ini?" tanya Kusuma."Uhh... Aiden belum terpikirkan Pa. Beri aku sedikit waktu untuk memutuskannya.""It's okay boy, tidak masalah. Kamu harus merayu Dea agar Papa segera menimang cucu." "Emm... Aku tidak yakin," ucap Aiden ragu."Papa sudah tidak sabar mendapatkan cucu dari kamu. Hanya kamu harapan Papa. Kami tidak bisa mengharapkan cucu pada Kakakmu."Yaa... Kakak Aiden hingga sekarang enggan untuk menikah. Dan dia memilih kabur ke Amerika mendirikan perusahaannya sendiri disana.Meskipun setiap tahun kakaknya pulang ke Indonesia, namun dia hanya menciptakan berbagai keributan di keluarganya.Kusuma menepuk dada
Pembicaraan semalam membuat Aiden termenung pagi ini. Makanan di depannya sedari tadi teranggurkan karena Aiden sibuk dengan pikirannya."Memang ada yang melarang?" Pertanyaan ini sukses membuat Aiden tidak fokus.Ia ingin menyakan hal ini lebih mendalam pada Dea. Namun, setelah melontarkan pertanyaan itu Dea tertidur pulas di samping Aiden. Aiden tidak bisa menanyakan lebih jelas lagi. Ditambah ketika bangun tidur Dea sudah menghilang dari kamarnya.Bik Asih menghampiri Aiden."Tuan, apa sarapannya perlu diganti?" "Tidak," tolak Aiden. "Dimana Dea?""Non Dea pergi dengan Toni.""Ini masih pagi dan dia sudah pergi?""Maafkan saya Tuan, tadi sudah saya larang. Namun, Non Dea tidak mendengarkan saya.""Pergi kemana Dea?"Bik Asih menggelangkan kepalanya. Aiden menghela nafasnya dan segera menghubungi Dea.Namun, telepon itu tidak tersambung. Ia beralih menghubungi Toni. Hasilnya sama saja, di antara mereka tidak ada yang bisa dihubungi.Aiden emosi karena Dea pergi tanpa pamit padanya
Mendapat sergapan dari majikan laki-lakinya, membuat Toni kebingungan harus menjawab apa. Nyonya muda memintanya untuk menyembunyikan peristiwa hari ini.Sedangkan Aiden kini dalam mode geram."Maaf Tuan, saya tidak bisa menjawab. Anda bisa menanyakan langsung pada Non Dea. Namun, keadaan Non Dea menjadi drop lagi kemungkinan besar karena tidak sarapan dan meminum obat," jelas Toni."Trus tadi kemana saja?""Ke rumah teman Non Dea.""Laki-laki atau perempuan?" selidik Aiden."Perempuan dan laki-laki.""Kamu merahasiakan sesuatu pada saya?"Toni diam, enggan membuka suaranya."Great!" Aiden mengangguk-anggukan kepalanya. "Ternyata kamu sudah berkomplotan dengan Dea."Toni hanya mampu menelan salivanya."Sekarang kamu bisa istirahat, keluar.""Saya dipecat Pak?" Toni shock dengan kata keluar."Tidak, beristirahatlah. Kamu sudah menemani Dea seharian," jelas Aiden. Ia tidak bermaksud memecat Toni."Baik Tuan, terima kasih." Toni undur diri dari hadapan Aiden. Aiden hanya bisa menghela na
Dua orang tersebut merasa curiga ketika melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. Mereka yakin jika Pak Hando tidak memiliki keluarga satupun. Itu pasti seorang tamu. Dea dan Toni mengamati gerak gerik keadaan rumah Pak Hando dari dalam mobil.Namun, semakin ditelisik mata Dea melebar ketika melihat salah satu lelaki sedang membawa senjata di depan pintu masuk. Pria berbadan tegap dengan warna kulit gelap berjalan mengitari rumah dengan was-was."Ton, kamu di sini dulu.""Saya akan ikut Nyonya.""Jangan!" tolak Dea. "Tunggu di sini selama 15 menit, jika selama itu aku belum keluar dari dalam rumah. Segera ke Mr.Bad.""T-tapi.""Ikuti perintahku, jangan banyak tanya."Dea langsung turun dari mobil, tak lupa membawa kotak makanan yang ia siapkan untuk Pak Hando. Dadanya berdetak cukup kenjang ketika kakinya menjangkah ke dalam pekaran rumah. "Siapa itu?" tanya seseorang yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah."Dea, keponakannya Pak Hando.""Pak Hando tidak memiliki keponakan. Jang
"Argghhh!!!!" erangnya frustrasi. Dea yang hanya perempuan biasanya kini dihadapkan kenyataan yang tak terduga. Ia sudah didapuk sebagai ketua organisasi mematikan di negara ini, sangat di luar nalar. Bahkan ayahnya tak mengatakan apapun soal ini, bekal pengetahuan menjadi seorang ketua pun terasa sangat memusingkan."Sial! Kenapa sangat rumit!" kesalnya sembari menyamakan kode yang ada di layar ponsel dan laptop. Mr. Bad dari kemarin mengirimkan rentetan kode untuk mengakses sistem organisasi, tapi hingga sekarang Dea hanya berhasil memecahkan empat kode. Masih tersisa enam kode.'Krruuukkkk...' suara perutnya menggelegar di telinganya."Hahh... aku lupa tidak makan dari kemarin, kita akhiri kerjaan konyol ini dengan makan sepuasnya."Ketika membuka pintu kamar, Bik Asih, Rara, dan Nina sedang berjalan ke arah kamarnya. Dea tertegun melihat troli dengan berbagai hidangan di atasnya."Non," sapa Bik Asih dengan senyum semringah. Wanita paruh baya itu nampak lega melihat kemunculan Dea
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te