Dua orang tersebut merasa curiga ketika melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. Mereka yakin jika Pak Hando tidak memiliki keluarga satupun. Itu pasti seorang tamu. Dea dan Toni mengamati gerak gerik keadaan rumah Pak Hando dari dalam mobil.Namun, semakin ditelisik mata Dea melebar ketika melihat salah satu lelaki sedang membawa senjata di depan pintu masuk. Pria berbadan tegap dengan warna kulit gelap berjalan mengitari rumah dengan was-was."Ton, kamu di sini dulu.""Saya akan ikut Nyonya.""Jangan!" tolak Dea. "Tunggu di sini selama 15 menit, jika selama itu aku belum keluar dari dalam rumah. Segera ke Mr.Bad.""T-tapi.""Ikuti perintahku, jangan banyak tanya."Dea langsung turun dari mobil, tak lupa membawa kotak makanan yang ia siapkan untuk Pak Hando. Dadanya berdetak cukup kenjang ketika kakinya menjangkah ke dalam pekaran rumah. "Siapa itu?" tanya seseorang yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah."Dea, keponakannya Pak Hando.""Pak Hando tidak memiliki keponakan. Jang
"Argghhh!!!!" erangnya frustrasi. Dea yang hanya perempuan biasanya kini dihadapkan kenyataan yang tak terduga. Ia sudah didapuk sebagai ketua organisasi mematikan di negara ini, sangat di luar nalar. Bahkan ayahnya tak mengatakan apapun soal ini, bekal pengetahuan menjadi seorang ketua pun terasa sangat memusingkan."Sial! Kenapa sangat rumit!" kesalnya sembari menyamakan kode yang ada di layar ponsel dan laptop. Mr. Bad dari kemarin mengirimkan rentetan kode untuk mengakses sistem organisasi, tapi hingga sekarang Dea hanya berhasil memecahkan empat kode. Masih tersisa enam kode.'Krruuukkkk...' suara perutnya menggelegar di telinganya."Hahh... aku lupa tidak makan dari kemarin, kita akhiri kerjaan konyol ini dengan makan sepuasnya."Ketika membuka pintu kamar, Bik Asih, Rara, dan Nina sedang berjalan ke arah kamarnya. Dea tertegun melihat troli dengan berbagai hidangan di atasnya."Non," sapa Bik Asih dengan senyum semringah. Wanita paruh baya itu nampak lega melihat kemunculan Dea
"Apa?" tanya Dea setelah membuka pintu. Nampak otot wajah Aiden yang menegang."Kenapa kamu tidak ke kamar?" Aiden bertanya dengan napas memburu. Mendengar itu, alis Dea mengerut. "Sekarang aku kan sedang di kamar."Terdengar helaan napas cukup panjang dari pria itu setelah mendapat jawaban dari istrinya. "Bukan kamar ini. Tapi kamar kita."Dea akhirnya mengerti maksud lelaki itu. Mulutnya membulat kemudian berkata, "aku masih bermain game. Nanti aku akan ke sana. Pergilah."Aiden menatap netranya sangat tajam. "Awas saja kalau bohong. " Beberapa detik ia mematung melihat istrinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Setelah puas, lelaki itu masuk ke kamar pribadinya. Dea hanya menghela napas, ia memijit kepalanya sejenak. Namun, tak butuh waktu lama ia pun kembali bergelut dengan data-data yang harus dipelajarinya. Syukurnya tak ada spam dari orang lain sehingga ia tenggelam dalam pikirannya dan berlahan semua data yang terasa rumit bisa terbongkar menjadi mudah.Detik demi detik me
Pria itu berdiri tegak, matanya tersembunyi di balik masker, tetapi sikapnya yang tenang dan penuh perhitungan membuat Dea merasa semakin cemas. Tangan pria itu memegang sebuah map hitam, yang tampaknya berisi informasi penting. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatap Dea dengan tatapan penuh arti, seakan menunggu dia untuk mengambil keputusan.Dea menelan ludah, mencoba untuk tidak memperlihatkan ketakutannya. Tetapi tubuhnya terasa kaku, seolah-olah ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang menahan setiap langkahnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia merasa seperti terjebak di persimpangan yang gelap, tidak tahu arah mana yang harus diambil."Siapa kamu?" akhirnya Dea memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha keras untuk terdengar tegas.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah sedikit lebih dekat, memberi jarak yang cukup dekat namun tidak mengancam. "Maaf, Non. Saya tidak dapat mengungkapkan identitas saya. Tapi saya diutus oleh o
Wendy berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah yang merah padam, matanya penuh dengan api kemarahan yang tidak bisa disembunyikan. Pintu yang terkuak lebar itu menambah kesan dramatis pada kejadian yang baru saja terjadi. Dea dan Aiden terhenti sejenak, saling berpandangan, sebelum Aiden segera melangkah mundur dan melepaskan Dea dari pelukannya."Wendy?!" Aiden terkejut, suaranya mencampur antara kebingungan dan rasa bersalah. "Kenapa kamu-"“Kenapa aku?” Wendy memotong dengan suara nyaring, penuh kebencian. "Kenapa kamu menyembunyikan semuanya dariku, Aiden?! Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang Dea? Tentang pernikahan kalian!" Aiden tampak terkejut. Di sisi lain, Dea merasakan ketegangan di udara yang hampir bisa dipotong dengan pisau. Semua perasaan hangat yang sempat menyelimuti dirinya dengan Aiden, kini berubah menjadi kebingungan. Ia tak pernah menduga bahwa Wendy akan muncul begitu saja, dengan amarah yang begitu besar. Apalagi dengan situasi saat dirinya akan memadu ka
Hari ini Triyo dan Jamono datang ke kediaman Dea dan Aiden. Tuan rumah yang sedari lama menunggu kabar mereka langsung menyambut keduanya dengan baik. "Selamat datang, Pak. Silakan masuk," sambut Aiden saat kedua pria itu turun dari sepeda motor."Saya akan mengatakan langsung pada inti kasus Anda. Sebelum itu, berikut adalah undangan untuk anggota organisasi. Akan ada pelantikan ketua baru dalam organisasi ini, dan Anda sudah dinyatakan sebagai anggota kami. Jadi, mohon untuk menghadiri acara yang sakral ini. Undangan ini hanya untuk tamu VVIP," ucap Triyo sembari menyodorkan amplop hitam sedikit ornamen emas."Terima kasih." Aiden tersenyum mendapatkan undangan tersebut. Ia tak berekspetasi akan menjadi tamu VVIP ataupun anggota dari organisasi yang diperintahkan Wijaya, ayah mertuanya. Namun hatinya berkata, "Aku merasaka akan mendapatkan banyak keuntungan dari sini. Semoga saja benar."Triyo mempersilakan Jamono untuk mengambil alih pembicaraan mereka. Pria yang diberi kode pun be
Dea mencoba menenangkan dirinya, meski hatinya terasa seperti dihimpit batu besar. "Oh, hanya urusan keluarga saja," jawabnya cepat, dengan senyum kecil yang tampak dipaksakan. Namun, Aiden tidak mudah percaya. "Keluarga? Siapa yang kamu maksud? Dan kenapa kamu terlihat gelisah?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Dea dengan saksama. Ia tahu istrinya sedang menyembunyikan sesuatu.Toni, yang merasa situasi semakin rumit, langsung menyela. "Saya hanya mengingatkan Madam tentang dinner dari undangan teman Pak Wijaya. Kami harus memastikan semuanya siap."Aiden menatap Toni dengan alis terangkat. "Dinner? Apa yang kamu maksud dengan dinner? Dan kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang ini?"Dea menarik napas dalam, berusaha menguasai dirinya. "Aiden, ini bukan sesuatu yang penting untuk dibahas sekarang. Aku hanya diminta hadir sebagai wakil dari keluarga. Tidak lebih."Aiden kembali bertanya dengan nada yang lebih tajam. "Kenapa semuanya terasa seperti dirahasiakan dariku?"Dea menggengg
Setelah Aiden keluar dari rumah, Dea berjalan ke ruang tamu dengan langkah tenang namun penuh tekad. Dia duduk di salah satu sofa sambil mengambil ponselnya, memeriksa beberapa pesan yang masuk. Wanita tersebut mengetik pesan singkat kepada Toni, supir dan pengawal setianya, yang selalu siap kapan saja."Toni, tolong siapkan mobil. Aku akan berangkat ke markas dalam beberapa menit. Jangan terlambat, acara pelantikan sudah dekat."Tak lama, Toni membalas dengan cepat, "Siap, Nyonya. Saya akan menunggu di depan."Dea meletakkan ponselnya dan berdiri, berjalan menuju pintu depan. Setiap langkah yang diambil terasa lebih berat, seperti ada beban besar yang mengganjal di hatinya. Sementara itu, Aiden yang baru saja meninggalkan rumah dengan mobil mewahnya, menghela napas dalam perjalanan ke kantornya. Meskipun ia tahu bahwa hari ini akan penuh dengan pertemuan penting dan masalah perusahaan yang harus diselesaikan, pikirannya terus teringat pada Dea. Ada sesuatu dalam sikap istrinya yang
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te