Dea menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debar jantungnya. Ia tahu saat ini adalah momen yang sangat penting, dan tidak ada ruang untuk keraguan. Setelah meyakinkan dirinya sendiri, ia berdiri tegak, menatap Wijaya yang memberikan senyum penuh dukungan. "Kamu akan baik-baik saja, Dea," ucap Wijaya dengan nada lembut namun tegas. "Ingat, ini bukan tentang siapa kamu sebelumnya, tetapi siapa kamu sekarang dan ke mana kamu akan membawa mereka."Dea mengangguk perlahan, mengambil naskah pidatonya dan berjalan keluar dari ruangan dengan ayahnya di sampingnya. Toni segera mendekat, memastikan jalur aman untuk mereka. Sepanjang perjalanan menuju aula utama, Dea memperhatikan bagaimana para anggota organisasi berdiri berjajar di sepanjang lorong, memberikan penghormatan saat ia lewat. Matanya menangkap berbagai ekspresi—beberapa penuh harapan, beberapa terlihat skeptis.Sesampainya di aula utama, suasana semakin megah. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung besar dan bendera organi
Suasana langsung berubah kacau. Para anggota organisasi yang sebelumnya duduk dengan tenang kini bergegas menuju posisi perlindungan, sementara tim keamanan melangkah cepat ke arah pintu masuk untuk menghadapi ancaman. Wijaya menginstruksikan beberapa orang untuk mengevakuasi tamu penting, tetapi Dea tetap berdiri tegak di tempatnya, meskipun wajahnya menunjukkan kecemasan."Ayo, Nyonya, kita harus keluar dari sini!" desak Toni, mencoba menarik Dea menjauh dari kerumunan. "Tidak, Toni. Ini tanggung jawabku. Jika mereka datang untuk menyerang organisasi ini, aku tidak akan melarikan diri seperti pengecut," jawab Dea dengan nada tegas. Aiden, yang berada tak jauh dari mereka, melangkah mendekat. "Dea, ini gila! Kamu bisa terbunuh! Apa pun ini, bukan tanggung jawabmu untuk menyelesaikannya sendirian," katanya, suaranya penuh emosi. Dea menatap Aiden dengan mata yang berkilat tajam. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di sini, Aiden. Jika aku melarikan diri sekarang, apa
Di tengah kekacauan, Wijaya dan Mr.Bad tiba-tiba muncul dari ujung lorong bersama tim pengawalnya. Dengan sigap, mereka membantu Toni memukul mundur para penyerang. Dalam waktu singkat, situasi berhasil dikendalikan, meskipun beberapa pengawal terluka.Setelah situasi mulai terkendali, Wijaya berdiri tegak di tengah lorong, memastikan semua penyerang sudah dilumpuhkan atau ditahan. Di sebelahnya, Mr. Bad memberikan isyarat kepada timnya untuk memeriksa area sekitar, memastikan tidak ada ancaman tambahan."Dea, kau baik-baik saja?" tanya Wijaya, nadanya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia memindai wajah putrinya untuk mencari tanda-tanda luka.Dea mengangguk perlahan, meskipun wajahnya masih tegang. Kejadian ini diluar prediksinya, ia tak mengira situasinya akan serumit ini. Jadi ia yang baru saja mengenal dunia penuh tantangan ini mengalami keterkejutan. "Aku baik-baik saja, Ayah. Tapi beberapa dari tim kita terluka. Kita harus segera membawa mereka ke tempat aman."Pria paruh baya ter
Di bawah cahaya lampu redup lorong-lorong markas, Dea melangkah dengan keyakinan penuh, meskipun ketegangan masih menyelimuti setiap sudut pikirannya. Toni berjalan di depannya, memimpin tim pengawal yang membentuk barisan pelindung, sementara Mr. Bad berada di sisi belakang, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Di genggaman Dea, sebuah kotak abu-abu kecil terasa dingin, mengingatkan pada tugas berat yang menantinya.Perjalanan ke bunker tak semulus yang direncanakan. Di salah satu persimpangan lorong, mereka dihadang oleh sekelompok penyerang bersenjata. Suara tembakan menggema, dan Toni segera memberikan perintah, "Lindungi Nyonya Dea! Jangan biarkan mereka mendekat!"Dea bersembunyi di balik dinding, tubuhnya gemetar saat suara peluru bersiul di sekitar. Namun, ia menahan ketakutannya, mengingat pesan ayahnya, tugas ini lebih besar dari dirinya sendiri. Toni bergerak dengan cekatan, memimpin beberapa pengawal untuk menekan penyerang. Dalam waktu singkat, musuh berhasil dilum
Setelah menyimpan semua berkas yang baru ia dapat dengan nyaman, Dea kembali ke kamar. Baru saja ia mengunci pintu, terlihat Aiden keluar dari lift."Sudah selesai?" tanya pria itu mendekat ke arah istrinya. Dea tersenyum lantas menjawab, "sudah.""Ayo kembali ke kamar. Kita harus istirahat." Aiden menggandeng tangan istrinya penuh kasih.Dea membiarkan dirinya digandeng oleh Aiden menuju kamar mereka. Sentuhan tangan suaminya terasa hangat, berbeda dari ketegangan yang memenuhi hari mereka sebelumnya. Ketika mereka memasuki kamar, Aiden menutup pintu perlahan, lalu menatap Dea dengan lembut. "Kamu pasti lelah," katanya, membimbing Dea untuk duduk di tepi tempat tidur. "Hari ini adalah salah satu hari terberat yang pernah kita lalui, aku sangat mengagumi keberanianmu."Dea menghela napas panjang, membiarkan dirinya sejenak tenggelam dalam suasana yang lebih tenang. "Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan, Aiden. Tidak lebih."Aiden berjongkok di depannya, menggenggam kedua tang
Devano yang mendengar kabar sohibnya murka di kantor segera meluncur. "Apa ada sesuatu yang perlu kubantu?" tanya pria itu setelah membuka pintu ruang kerja CEO tersebut.Aiden menghela lega mendapati sahabatnya berkunjung. Namun, ada perasaan bersalah untuk masalah pribadi. CEO itu segera menggelengkan kepala. "Untuk sementara belum ada."Devano duduk di sofa yang panjang, sembari membuka laptop. Alisnya berkerut sembali jari sibuk menyentuh layar tablet miliknya. Kemudia pria itu mengode empu perusahaan untuk mendekat. Aiden yang penasaran pun langsung duduk di sampingnya."Bon yang dibuang ke tempat sampah. Setelah sekian lama, setingg-tingginya tupai melompat akan jatuh juga," ucap Devano sembari menggeser bukti bon yang ia temukan di tempat sampah. "Semua bukti ada di rumahku. Terus ini laporan jika meruntut dari penghasilan perhari swalayan yang kamu buka di salah satu kota."Napas Aiden menghembus layaknya banteng yang siap menubruk matador. Sementara itu, di rumah, Dea masih
Dea mencoba menenangkan dirinya dengan secangkir teh hangat. Namun, pikirannya terus berputar, memikirkan kemungkinan bahwa Andre, kakak ipar yang selama ini dianggapnya sebagai sosok pendukung utama adiknya dan tak mau mencampuri urusan perusahan sedikipun, ternyata menyimpan niat jahat. Entah ini benar atau tidak, tetapi kecurigaan terhadap Andre sulit dialihkan. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Andre memiliki akses dan cukup alasan untuk menjatuhkan Aiden baik dari sisi bisnis maupun pribadi.Ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatian Dea. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal:"Hati-hati dengan siapa kau percaya. Semua orang punya rahasia, termasuk mereka yang paling dekat."Dea membaca pesan itu berulang kali, jantungnya berdegup kencang. Pesan itu terasa seperti peringatan sekaligus ancaman. Ia mencoba melacak nomor tersebut, tetapi hasilnya nihil. Rasa cemas semakin menguasai dirinya."Apa ini ada hubungannya dengan Andre?" gumamnya pelan.Dea segera memanggil Toni me
Aiden segera bangkit dari kursinya, panik melihat Dea yang terjatuh dari kursinya sambil memegang lehernya. Cairan merah yang keluar dari mulutnya jelas bukan anggur. Devano sigap berlari ke dapur, mencari sesuatu untuk membantu, sementara Aiden memeluk Dea yang terlihat mulai kehilangan kesadaran."Dea, bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit!" Aiden berkata dengan nada putus asa, wajahnya memucat saat ia melihat darah di tangan dan bibir Dea.Devano kembali dengan segelas air hangat. "Mungkin dia keracunan! Kita harus segera tahu apa yang ia konsumsi terakhir!""Tidak ada waktu untuk itu sekarang! Kita ke rumah sakit dulu!" balas Aiden sambil mengangkat tubuh Dea. Ia segera memerintahkan Asih, kepala pelayan yang setia bekerja di rumahnya selama lebih dari satu dekade, untuk menjaga situasi di rumah."Asih, panggil Toni ke sini sekarang dan sterilkan semua orang dari ruangan ini! Pastikan dia memeriksa semua yang ada di ruang makan dan dapur. Jangan biarkan siapa pun menyentu
Kilauan lampu-lampu kota Monaco memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Dari balkon suite mewah mereka, Dea memandangi keindahan kota yang tak pernah tidur itu, sementara di belakangnya, langkah Aiden semakin mendekat.Tanpa suara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Dea, menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kau terlalu serius menatap ke luar," gumamnya di dekat telinga istrinya, suaranya berat namun mengandung senyum.Dea tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya bersandar ke dada bidang suaminya. "Aku masih tak percaya kita ada di sini," bisiknya, jemarinya tanpa sadar menyentuh lengan Aiden yang melingkupinya.Aiden memiringkan kepalanya, menatap wajah wanita yang kini benar-benar menjadi miliknya. "Aku sudah bilang, aku akan membawamu ke mana pun kau mau, selama kau tetap di sisiku."Dea menoleh, mata mereka bertemu dalam kehangatan yang sulit dijelaskan. "Dan kau yakin ingin terus bersamaku?" tanyanya lirih.Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Ai
Kembali ke Pelukan yang SamaDea berlari menerobos masuk tanpa permisi. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari beberapa orang menatapnya penuh keterkejutan."Madam! Tuan ada di kamar!" teriak Rara dari kejauhan saat menyadari perempuan itu masuk ke rumah.Tanpa ragu, Dea langsung menaiki tangga, melewati lorong yang sudah begitu familiar di ingatannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak tahu apakah Aiden masih menginginkannya di sini. Ia tidak tahu apakah dirinya masih punya tempat di sisi pria itu.Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Aiden.Laki-laki itu tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, dan di sampingnya terdapat botol alkohol yang belum sepenuhnya kosong.Dea menahan napas. Ini bukan A
Devano menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia berdiri tegak, menatap Dea dengan tatapan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Mata mereka bertemu, dan wanita itu bisa melihat kejujuran yang memancar dari dalam dirinya. Devano jarang sekali begitu terbuka, tetapi malam ini, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah lama ia simpan."Aku datang untuk berbicara, Dea," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."Wanita itu mengernyitkan dahi, sedikit bingung. "Ada apa? Apa yang kamu maksud?"Devano melangkah lebih dekat, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ini adalah momen yang menentukan, dan meskipun ia tahu itu bisa membuat segalanya lebih rumit, ia tak bisa lagi menahan perasaannya."Dea, aku tahu selama ini kita hanya teman, mungkin lebih dari itu bagi sebagian orang," katanya dengan hati-hati. "Tapi aku ingin jujur padamu. Aku..." Pria itu menggantungkan ucapannya, tetapi tak berselang l
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me