Aiden segera bangkit dari kursinya, panik melihat Dea yang terjatuh dari kursinya sambil memegang lehernya. Cairan merah yang keluar dari mulutnya jelas bukan anggur. Devano sigap berlari ke dapur, mencari sesuatu untuk membantu, sementara Aiden memeluk Dea yang terlihat mulai kehilangan kesadaran."Dea, bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit!" Aiden berkata dengan nada putus asa, wajahnya memucat saat ia melihat darah di tangan dan bibir Dea.Devano kembali dengan segelas air hangat. "Mungkin dia keracunan! Kita harus segera tahu apa yang ia konsumsi terakhir!""Tidak ada waktu untuk itu sekarang! Kita ke rumah sakit dulu!" balas Aiden sambil mengangkat tubuh Dea. Ia segera memerintahkan Asih, kepala pelayan yang setia bekerja di rumahnya selama lebih dari satu dekade, untuk menjaga situasi di rumah."Asih, panggil Toni ke sini sekarang dan sterilkan semua orang dari ruangan ini! Pastikan dia memeriksa semua yang ada di ruang makan dan dapur. Jangan biarkan siapa pun menyentu
Aiden merasa darahnya mendidih. "Siapa pelayan itu, Asih? Kita tidak bisa membiarkan seseorang seperti itu bebas berkeliaran di rumah ini."Asih menyebutkan nama pelayan yang dimaksud. "Zoe. Dia baru bekerja di sini selama beberapa bulan, dan tidak banyak yang tahu tentang latar belakangnya."Aiden mengangguk, otaknya berputar cepat. "Zoe? Kita harus segera mencari tahu lebih banyak tentang dia. Toni, pastikan pelayan itu diinterogasi dan ditahan sementara waktu. Jangan biarkan dia kabur."Toni mengangguk tegas. "Saya akan segera mengatur semuanya, Tuan."~Kembali ke rumah sakit, Dea akhirnya menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meski masih lemah. Aiden duduk di samping ranjangnya, memegang tangan Dea, menatapnya dengan penuh perhatian. Dea membuka matanya perlahan, melihat suaminya yang tampak lelah namun penuh perhatian."Aiden," suara Dea terdengar lirih.Aiden tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat sangat cemas. "Dea, kamu baik-baik saja. Kamu selamat. Aku hampir kehilanganmu.
Di dalam mansion, Dea sedang berada di kamar mandi, mencoba menenangkan diri setelah serangkaian kejadian yang mengguncang. Pikirannya penuh dengan pertanyaan dan rasa cemas tentang siapa yang bisa saja menjadi musuh di balik semua serangan yang terjadi. Meskipun tubuhnya masih lemah, ia merasa perlu untuk meresapi semua yang terjadi. Namun, tanpa disadari, sebuah bahaya baru mengintai.Ketika Dea berdiri di dekat wastafel, tangannya menggenggam tepi keramik dengan tubuh yang sedikit terhuyung. Tiba-tiba, lampu kamar mandi berkelip-kelip beberapa kali, dan hawa dingin yang aneh menyelimuti udara. Tanpa peringatan, aliran listrik dari salah satu perangkat listrik di sekitar wastafel mulai berdengung dan memancar. Sumber arus tiba-tiba mengalir melalui keran, menciptakan sebuah medan listrik yang berbahaya mengelilingi seluruh ruang kecil itu.Dea yang terkejut langsung merasakan sensasi kesemutan yang kuat di telapak tangannya. Sebelum bisa berpikir lebih jauh, tubuhnya tersentak. Rasa
Aiden menahan napas sejenak, matanya berpindah antara orangtuanya di layar dan Dea yang sedang terbaring di ranjang, wajahnya masih pucat meskipun dokter telah mengobatinya. Ia merasa ada tekanan besar di dadanya, tetapi ia harus menjaga ketenangannya di depan orangtuanya. Mereka sudah cukup khawatir dengan keadaan mereka, dan Aiden tidak ingin menambah beban itu."Dea baik-baik saja, Pa," jawab Aiden dengan nada yang sedikit lebih keras dari biasanya, berusaha menunjukkan kepercayaan diri meskipun hatinya terasa berat. "Dia sedang beristirahat. Kami akan menghadapinya bersama-sama."Kusuma menatap Aiden dengan mata tajam, mencoba membaca ekspresi putranya. "Aiden, jangan berpura-pura. Kami hanya ingin memastikan bahwa Dea baik-baik saja."Rita ikut bicara dengan lembut, "Jangan sungkan untuk memberitahu kami jika ada yang bisa kami bantu."Aiden mengangguk, meski sedikit terasa canggung. "Terima kasih, Ma, Pa. Tapi saya yakin kami bisa mengatasinya. Jangan terlalu khawatir. Dea sedan
Pada malam yang sama, suasana di mansion terasa lebih sunyi dari biasanya. Aiden memastikan semua sistem keamanan telah diaktifkan tanpa menarik perhatian siapa pun di dalam rumah. Kamera tambahan dipasang dengan teknik tersembunyi, dan akses ke mansion mulai dibatasi. Namun, ketenangan itu terasa seperti badai yang menunggu meledak.Di ruang bawah tanah, Toni berdiri memimpin koordinasi tim kecil yang dikirim oleh Mr. Bad. Mereka bergerak seperti bayangan, memeriksa setiap sudut mansion, termasuk bagian-bagian yang selama ini tidak diperhatikan. Salah satu anggota tim, seorang ahli forensik teknologi bernama Lars, menemukan sesuatu yang mencurigakan di kabel yang disambungkan ke jendela kamar Dea.“Ini bukan hanya kabel biasa,” gumam Lars sambil membungkuk, memeriksa ujung kabel yang tersambung pada alat kecil berbentuk seperti pemancar. “Perangkat ini dirancang untuk mengirimkan sinyal. Mereka mungkin memantau pergerakan di dalam kamar.”Toni mengerutkan kening. "Apa mereka sudah ta
Toni segera melaporkan temuannya kepada Aiden. Kebetulan ruang bawah tanah dibuat terhubung dengan ruang kerja tuan rumah. Jadi pergerakan mereka tidak diketahui orang lain. Di ruang kerja, Aiden terlihat sedang memeriksa laporan lain ketika Toni masuk dengan wajah serius."Tuan Aiden," kata Toni, menyerahkan tablet dengan data terbaru. "Pelacakan mobil itu selesai. Anda perlu melihat ini."Aiden mengambil tablet itu dan membaca hasilnya. Matanya menyipit tajam ketika nama yang tertera di layar muncul."Wendy?" gumamnya penuh keterkejutan dan kemarahan yang terkendali.Toni mengangguk. "Betul, Tuan. Mobil itu terdaftar atas nama Wendy, tetapi ada kemungkinan besar dia menggunakan nama orang lain untuk menyembunyikan aktivitasnya. Berdasarkan rekaman yang kita miliki, dia orang yang menerima amplop dari Sinta tadi malam."Aiden memijit pelipisnya, mencoba meredam emosi yang membuncah. "Aku tidak percaya dia akan sejauh ini. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk bersabar, kenapa dia begin
etelah semalam dirundung penemuan baru pelaku tragedi di massion. Aiden segera memanggil Nina dan Zoe untuk menghadap. Ia menanyakan dan memberikan bukti yang sudah didapatkan Toni. Sebelum melancarkan rencananya, Dea mengambil sedikit waktu untuk berpamitan."Aiden. Aku harus pergi," ujar Dea sembari mengemasi barang yang ia butuhkan."Ke mana?" Alis Aiden tertaut, ada segurat kekhawatiran dalam wajah pria itu. "Markas. Kami harus mempercepat pemindahan ke area baru." Dea menatap suaminya dengan lesu. Ia tahu Aiden ingin menahannya, tetapi wanita itu segera mengelus pipi suaminya. "Aku janji akan menjaga diriku sendiri. Ada Toni yang menemaniku."Pria itu hanya bisa mengangguk pasrah. "Aku tidak bisa menahanmu, De. Kabari aku jika terjadi sesuatu." Dea merespon permintaan suaminya dengan senyuman, kemudian ia mengecup pipi Aiden dengan lembut. "Pasti," sahut wanita itu, lalu keluar dari kamar.Aiden menatap punggung istrinya dengan sendu. Entah kenapa rasanya sangat berat membiar
Aiden duduk di kursinya dengan wajah tegang, pendengarannya terlalu fokus pada sambungan teleponnya dengan Andi. Pagi ini dia mengabarkan jika terlambat masuk kantor, jadi untuk sementara waktu CEO itu meminta Andi dan Risa untuk menghandel pekerjaan dan meeting bersama manager. Di tengah pemberian informasi yang rumit, pikirannya teralihkan oleh kedatangan Triyo dan Jamono yang baru saja tiba di mansion. Keduanya, membawa kabar penting yang tidak bisa ditunda lagi. Kecemasan di dada Aiden semakin mencekam, namun ia mencoba tetap tenang, berusaha menyiapkan diri untuk apapun yang akan mereka katakan.Saat pintu ruangan terbuka, Triyo dan Jamono masuk dengan langkah cepat dan hati-hati. Mereka berdua mengenakan pakaian resmi, wajah mereka serius, mencerminkan betapa pentingnya laporan yang mereka bawa."Selamat pagi, Pak Aiden," sapa Triyo dengan suara tegas namun penuh kehati-hatian."Selamat pagi, Pak Aiden," sambung Jamono, sedikit lebih ringan, meskipun ekspresi mereka tetap terlih
Kilauan lampu-lampu kota Monaco memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Dari balkon suite mewah mereka, Dea memandangi keindahan kota yang tak pernah tidur itu, sementara di belakangnya, langkah Aiden semakin mendekat.Tanpa suara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Dea, menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kau terlalu serius menatap ke luar," gumamnya di dekat telinga istrinya, suaranya berat namun mengandung senyum.Dea tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya bersandar ke dada bidang suaminya. "Aku masih tak percaya kita ada di sini," bisiknya, jemarinya tanpa sadar menyentuh lengan Aiden yang melingkupinya.Aiden memiringkan kepalanya, menatap wajah wanita yang kini benar-benar menjadi miliknya. "Aku sudah bilang, aku akan membawamu ke mana pun kau mau, selama kau tetap di sisiku."Dea menoleh, mata mereka bertemu dalam kehangatan yang sulit dijelaskan. "Dan kau yakin ingin terus bersamaku?" tanyanya lirih.Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Ai
Kembali ke Pelukan yang SamaDea berlari menerobos masuk tanpa permisi. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari beberapa orang menatapnya penuh keterkejutan."Madam! Tuan ada di kamar!" teriak Rara dari kejauhan saat menyadari perempuan itu masuk ke rumah.Tanpa ragu, Dea langsung menaiki tangga, melewati lorong yang sudah begitu familiar di ingatannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak tahu apakah Aiden masih menginginkannya di sini. Ia tidak tahu apakah dirinya masih punya tempat di sisi pria itu.Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Aiden.Laki-laki itu tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, dan di sampingnya terdapat botol alkohol yang belum sepenuhnya kosong.Dea menahan napas. Ini bukan A
Devano menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia berdiri tegak, menatap Dea dengan tatapan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Mata mereka bertemu, dan wanita itu bisa melihat kejujuran yang memancar dari dalam dirinya. Devano jarang sekali begitu terbuka, tetapi malam ini, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah lama ia simpan."Aku datang untuk berbicara, Dea," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."Wanita itu mengernyitkan dahi, sedikit bingung. "Ada apa? Apa yang kamu maksud?"Devano melangkah lebih dekat, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ini adalah momen yang menentukan, dan meskipun ia tahu itu bisa membuat segalanya lebih rumit, ia tak bisa lagi menahan perasaannya."Dea, aku tahu selama ini kita hanya teman, mungkin lebih dari itu bagi sebagian orang," katanya dengan hati-hati. "Tapi aku ingin jujur padamu. Aku..." Pria itu menggantungkan ucapannya, tetapi tak berselang l
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me