Dea mencoba menenangkan dirinya dengan secangkir teh hangat. Namun, pikirannya terus berputar, memikirkan kemungkinan bahwa Andre, kakak ipar yang selama ini dianggapnya sebagai sosok pendukung utama adiknya dan tak mau mencampuri urusan perusahan sedikipun, ternyata menyimpan niat jahat. Entah ini benar atau tidak, tetapi kecurigaan terhadap Andre sulit dialihkan. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Andre memiliki akses dan cukup alasan untuk menjatuhkan Aiden baik dari sisi bisnis maupun pribadi.Ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatian Dea. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal:"Hati-hati dengan siapa kau percaya. Semua orang punya rahasia, termasuk mereka yang paling dekat."Dea membaca pesan itu berulang kali, jantungnya berdegup kencang. Pesan itu terasa seperti peringatan sekaligus ancaman. Ia mencoba melacak nomor tersebut, tetapi hasilnya nihil. Rasa cemas semakin menguasai dirinya."Apa ini ada hubungannya dengan Andre?" gumamnya pelan.Dea segera memanggil Toni me
Aiden segera bangkit dari kursinya, panik melihat Dea yang terjatuh dari kursinya sambil memegang lehernya. Cairan merah yang keluar dari mulutnya jelas bukan anggur. Devano sigap berlari ke dapur, mencari sesuatu untuk membantu, sementara Aiden memeluk Dea yang terlihat mulai kehilangan kesadaran."Dea, bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit!" Aiden berkata dengan nada putus asa, wajahnya memucat saat ia melihat darah di tangan dan bibir Dea.Devano kembali dengan segelas air hangat. "Mungkin dia keracunan! Kita harus segera tahu apa yang ia konsumsi terakhir!""Tidak ada waktu untuk itu sekarang! Kita ke rumah sakit dulu!" balas Aiden sambil mengangkat tubuh Dea. Ia segera memerintahkan Asih, kepala pelayan yang setia bekerja di rumahnya selama lebih dari satu dekade, untuk menjaga situasi di rumah."Asih, panggil Toni ke sini sekarang dan sterilkan semua orang dari ruangan ini! Pastikan dia memeriksa semua yang ada di ruang makan dan dapur. Jangan biarkan siapa pun menyentu
Aiden merasa darahnya mendidih. "Siapa pelayan itu, Asih? Kita tidak bisa membiarkan seseorang seperti itu bebas berkeliaran di rumah ini."Asih menyebutkan nama pelayan yang dimaksud. "Zoe. Dia baru bekerja di sini selama beberapa bulan, dan tidak banyak yang tahu tentang latar belakangnya."Aiden mengangguk, otaknya berputar cepat. "Zoe? Kita harus segera mencari tahu lebih banyak tentang dia. Toni, pastikan pelayan itu diinterogasi dan ditahan sementara waktu. Jangan biarkan dia kabur."Toni mengangguk tegas. "Saya akan segera mengatur semuanya, Tuan."~Kembali ke rumah sakit, Dea akhirnya menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meski masih lemah. Aiden duduk di samping ranjangnya, memegang tangan Dea, menatapnya dengan penuh perhatian. Dea membuka matanya perlahan, melihat suaminya yang tampak lelah namun penuh perhatian."Aiden," suara Dea terdengar lirih.Aiden tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat sangat cemas. "Dea, kamu baik-baik saja. Kamu selamat. Aku hampir kehilanganmu.
Di dalam mansion, Dea sedang berada di kamar mandi, mencoba menenangkan diri setelah serangkaian kejadian yang mengguncang. Pikirannya penuh dengan pertanyaan dan rasa cemas tentang siapa yang bisa saja menjadi musuh di balik semua serangan yang terjadi. Meskipun tubuhnya masih lemah, ia merasa perlu untuk meresapi semua yang terjadi. Namun, tanpa disadari, sebuah bahaya baru mengintai.Ketika Dea berdiri di dekat wastafel, tangannya menggenggam tepi keramik dengan tubuh yang sedikit terhuyung. Tiba-tiba, lampu kamar mandi berkelip-kelip beberapa kali, dan hawa dingin yang aneh menyelimuti udara. Tanpa peringatan, aliran listrik dari salah satu perangkat listrik di sekitar wastafel mulai berdengung dan memancar. Sumber arus tiba-tiba mengalir melalui keran, menciptakan sebuah medan listrik yang berbahaya mengelilingi seluruh ruang kecil itu.Dea yang terkejut langsung merasakan sensasi kesemutan yang kuat di telapak tangannya. Sebelum bisa berpikir lebih jauh, tubuhnya tersentak. Rasa
Aiden menahan napas sejenak, matanya berpindah antara orangtuanya di layar dan Dea yang sedang terbaring di ranjang, wajahnya masih pucat meskipun dokter telah mengobatinya. Ia merasa ada tekanan besar di dadanya, tetapi ia harus menjaga ketenangannya di depan orangtuanya. Mereka sudah cukup khawatir dengan keadaan mereka, dan Aiden tidak ingin menambah beban itu."Dea baik-baik saja, Pa," jawab Aiden dengan nada yang sedikit lebih keras dari biasanya, berusaha menunjukkan kepercayaan diri meskipun hatinya terasa berat. "Dia sedang beristirahat. Kami akan menghadapinya bersama-sama."Kusuma menatap Aiden dengan mata tajam, mencoba membaca ekspresi putranya. "Aiden, jangan berpura-pura. Kami hanya ingin memastikan bahwa Dea baik-baik saja."Rita ikut bicara dengan lembut, "Jangan sungkan untuk memberitahu kami jika ada yang bisa kami bantu."Aiden mengangguk, meski sedikit terasa canggung. "Terima kasih, Ma, Pa. Tapi saya yakin kami bisa mengatasinya. Jangan terlalu khawatir. Dea sedan
Pada malam yang sama, suasana di mansion terasa lebih sunyi dari biasanya. Aiden memastikan semua sistem keamanan telah diaktifkan tanpa menarik perhatian siapa pun di dalam rumah. Kamera tambahan dipasang dengan teknik tersembunyi, dan akses ke mansion mulai dibatasi. Namun, ketenangan itu terasa seperti badai yang menunggu meledak.Di ruang bawah tanah, Toni berdiri memimpin koordinasi tim kecil yang dikirim oleh Mr. Bad. Mereka bergerak seperti bayangan, memeriksa setiap sudut mansion, termasuk bagian-bagian yang selama ini tidak diperhatikan. Salah satu anggota tim, seorang ahli forensik teknologi bernama Lars, menemukan sesuatu yang mencurigakan di kabel yang disambungkan ke jendela kamar Dea.“Ini bukan hanya kabel biasa,” gumam Lars sambil membungkuk, memeriksa ujung kabel yang tersambung pada alat kecil berbentuk seperti pemancar. “Perangkat ini dirancang untuk mengirimkan sinyal. Mereka mungkin memantau pergerakan di dalam kamar.”Toni mengerutkan kening. "Apa mereka sudah ta
Toni segera melaporkan temuannya kepada Aiden. Kebetulan ruang bawah tanah dibuat terhubung dengan ruang kerja tuan rumah. Jadi pergerakan mereka tidak diketahui orang lain. Di ruang kerja, Aiden terlihat sedang memeriksa laporan lain ketika Toni masuk dengan wajah serius."Tuan Aiden," kata Toni, menyerahkan tablet dengan data terbaru. "Pelacakan mobil itu selesai. Anda perlu melihat ini."Aiden mengambil tablet itu dan membaca hasilnya. Matanya menyipit tajam ketika nama yang tertera di layar muncul."Wendy?" gumamnya penuh keterkejutan dan kemarahan yang terkendali.Toni mengangguk. "Betul, Tuan. Mobil itu terdaftar atas nama Wendy, tetapi ada kemungkinan besar dia menggunakan nama orang lain untuk menyembunyikan aktivitasnya. Berdasarkan rekaman yang kita miliki, dia orang yang menerima amplop dari Sinta tadi malam."Aiden memijit pelipisnya, mencoba meredam emosi yang membuncah. "Aku tidak percaya dia akan sejauh ini. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk bersabar, kenapa dia begin
etelah semalam dirundung penemuan baru pelaku tragedi di massion. Aiden segera memanggil Nina dan Zoe untuk menghadap. Ia menanyakan dan memberikan bukti yang sudah didapatkan Toni. Sebelum melancarkan rencananya, Dea mengambil sedikit waktu untuk berpamitan."Aiden. Aku harus pergi," ujar Dea sembari mengemasi barang yang ia butuhkan."Ke mana?" Alis Aiden tertaut, ada segurat kekhawatiran dalam wajah pria itu. "Markas. Kami harus mempercepat pemindahan ke area baru." Dea menatap suaminya dengan lesu. Ia tahu Aiden ingin menahannya, tetapi wanita itu segera mengelus pipi suaminya. "Aku janji akan menjaga diriku sendiri. Ada Toni yang menemaniku."Pria itu hanya bisa mengangguk pasrah. "Aku tidak bisa menahanmu, De. Kabari aku jika terjadi sesuatu." Dea merespon permintaan suaminya dengan senyuman, kemudian ia mengecup pipi Aiden dengan lembut. "Pasti," sahut wanita itu, lalu keluar dari kamar.Aiden menatap punggung istrinya dengan sendu. Entah kenapa rasanya sangat berat membiar
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te
Ketua mafia menghela napas, dan berucap, "Bawa mereka masuk." Setelah mengucapkan itu, tanpa diduga dia melepaskan tali yang mengikat tubuh targetnya.Dea terperangah mendapati sikap orang yang dari tadi sangat nafsu ingin menghajarnya. "Kenapa?" Wanita itu tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Sedikit kelonggaran untuk wanita semenarik dirimu. Aku sangat menyukai keberanianmu, Dea. Kalau saja bukan karena profesionalitas aku tidak akan memberikanmu pada mereka," uar ketua mafia dengan senyum licik. 'apa maksudnya?' batin Dea yang semakin bingung. Tak berselang lama, beberapa orang memasuki ruangan. Dan pada saat itu pula mata Dea berubah tajam saat seseorang berdiri angkuh di hadapannya.Wendy melangkah masuk dengan anggun, mengenakan setelan blazer mahal berwarna hitam yang memancarkan aura percaya diri dan keangkuhan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi matanya dipenuhi dengan kepuasan yang sulit disembunyikan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan wa
"Tidak. Nyonya!" teriak Toni, suaranya penuh kepanikan dan amarah ketika Dea ditarik semakin jauh dari pandangannya. Ia meronta sekuat tenaga, tetapi tali yang mengikat tangannya terlalu kuat, dan dua pria berbadan besar menahan tubuhnya dengan kasar. Toni hanya bisa melihat punggung Dea yang semakin menjauh, diiringi suara langkah kaki berat dari pria yang membawanya.Namun, sebelum Dea benar-benar menghilang di balik bayangan, Toni melihat gerakan bibir majikannya. Dea mengucapkan sesuatu, tanpa suara, tetapi Toni tahu persis apa yang dikatakannya. "Pergi. Bawa tim, lalu selamatkan aku."Pesan itu menancap tajam di benak Toni. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa takut atau frustrasi, tetapi karena ia tahu Dea sedang mempertaruhkan segalanya untuk memberinya peluang. Namun, bagaimana mungkin ia meninggalkan Dea di tangan ketua mafia yang jelas-jelas berbahaya? Toni mengepalkan tangan, rasa bersalah dan tekad bercampur dalam pikirannya.Sementara itu, Dea dibawa melalui lorong y
Titik merah itu bergerak perlahan, nyaris tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama. Lars segera memperbesar tampilan di layar. "Apa itu?" tanya Aiden, yang kini berdiri di belakang Lars dengan wajah penuh ketegangan. Lars menyipitkan mata, menganalisis pola gerakan titik merah tersebut. "Titik ini berbeda. Ini bukan sinyal telepon atau alat biasa. Ini seperti…" Pria itu menimang diagnosisnya. "chip pelacak." Aiden terkejut. "Chip pelacak? Siapa yang punya chip itu?" Lars mengetik cepat di tablet-nya, mencoba mencocokkan sinyal dengan database internal mereka. Setelah beberapa detik, wajahnya berubah serius. "Ini dari Toni. Chip ini tertanam di kaki prostetiknya. Sepertinya dia masih hidup, dan dia bergerak." Mata Aiden membelalak. "Toni? Kau yakin itu dia?" "Ya," Lars menjawab tegas. "Chip itu dirancang khusus untuk situasi darurat seperti ini. Dia mungkin sadar bahwa kita sedang melacaknya." Mr. Bad mendengar percakapan itu melalui headset. "Jika chip itu ak
Toni berhenti melangkah begitu mendengar majikannya bergumam. Ia menoleh, melihat Dea memegang map dengan tulisan nama itu di sampulnya. Ekspresi wajah wanita itu berubah, campuran antara keterkejutan dan kecemasan."Apa itu, Nyonya?" tanya Toni dengan berbisik, kemudian mendekati majikannya perlahan.Dea membuka map tersebut dengan tangan bergetar, menemukan tumpukan dokumen di dalamnya. Matanya membaca cepat setiap halaman. Foto-foto, catatan transaksi, dan sebuah daftar nama yang mencolok di tengah dokumen itu. Nama Airon tercantum, dengan keterangan tambahan: "Target utama pengacara, ancaman hukum.""Ini daftar klien mereka, Toni," gumam Dea dengan suara serak. "Nama-nama yang memesan mereka untuk menyergap seseorang dan di sini, Airon adalah targetnya."Toni mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan. "Airon? Maksud Anda mantan tunangan Anda? Kenapa dia ada di daftar ini?"Dea menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. "Airon adalah pengacara