etelah semalam dirundung penemuan baru pelaku tragedi di massion. Aiden segera memanggil Nina dan Zoe untuk menghadap. Ia menanyakan dan memberikan bukti yang sudah didapatkan Toni. Sebelum melancarkan rencananya, Dea mengambil sedikit waktu untuk berpamitan."Aiden. Aku harus pergi," ujar Dea sembari mengemasi barang yang ia butuhkan."Ke mana?" Alis Aiden tertaut, ada segurat kekhawatiran dalam wajah pria itu. "Markas. Kami harus mempercepat pemindahan ke area baru." Dea menatap suaminya dengan lesu. Ia tahu Aiden ingin menahannya, tetapi wanita itu segera mengelus pipi suaminya. "Aku janji akan menjaga diriku sendiri. Ada Toni yang menemaniku."Pria itu hanya bisa mengangguk pasrah. "Aku tidak bisa menahanmu, De. Kabari aku jika terjadi sesuatu." Dea merespon permintaan suaminya dengan senyuman, kemudian ia mengecup pipi Aiden dengan lembut. "Pasti," sahut wanita itu, lalu keluar dari kamar.Aiden menatap punggung istrinya dengan sendu. Entah kenapa rasanya sangat berat membiar
Aiden duduk di kursinya dengan wajah tegang, pendengarannya terlalu fokus pada sambungan teleponnya dengan Andi. Pagi ini dia mengabarkan jika terlambat masuk kantor, jadi untuk sementara waktu CEO itu meminta Andi dan Risa untuk menghandel pekerjaan dan meeting bersama manager. Di tengah pemberian informasi yang rumit, pikirannya teralihkan oleh kedatangan Triyo dan Jamono yang baru saja tiba di mansion. Keduanya, membawa kabar penting yang tidak bisa ditunda lagi. Kecemasan di dada Aiden semakin mencekam, namun ia mencoba tetap tenang, berusaha menyiapkan diri untuk apapun yang akan mereka katakan.Saat pintu ruangan terbuka, Triyo dan Jamono masuk dengan langkah cepat dan hati-hati. Mereka berdua mengenakan pakaian resmi, wajah mereka serius, mencerminkan betapa pentingnya laporan yang mereka bawa."Selamat pagi, Pak Aiden," sapa Triyo dengan suara tegas namun penuh kehati-hatian."Selamat pagi, Pak Aiden," sambung Jamono, sedikit lebih ringan, meskipun ekspresi mereka tetap terlih
Dea dan Toni melaju di jalan raya yang sepi, menuju markas tempat mereka berencana untuk melanjutkan pemindahan ke area baru. Suasana pagi itu terasa berat, ditambah dengan perasaan was-was yang menghantui keduanya. Dea memandangi jalanan yang panjang dengan tatapan kosong, meskipun ia berusaha tetap tenang, ada kecemasan yang tak dapat disembunyikan.Toni, yang duduk di sampingnya, merasakan ketegangan yang sama. Sesekali ia melirik Dea, ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi ia tahu bahwa kondisi ini jauh dari aman. Markas yang mereka tuju, meskipun aman dari perhatian publik, tetap merupakan tempat yang penuh dengan potensi bahaya. Mereka berdua tahu betul bahwa mereka sedang berada di tengah permainan besar yang penuh intrik.Tiba-tiba, suasana tenang pecah. Lampu mobil yang mereka tumpangi menyala terang di malam gelap, tetapi seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi jalan mereka. Dari kejauhan, sebuah mobil besar mendekat dengan kecepatan tinggi, diikuti oleh beb
Kesadaran Dea perlahan pulih. Pandangannya yang sebelumnya gelap kini mulai menangkap pemandangan di sekitarnya. Rasa nyeri menjalar dari pelipisnya, dan bau lembap khas ruang tertutup menusuk hidung. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi kayu yang dingin.Matanya terpaku pada sosok di depannya. Toni, dengan kepala tertunduk, tampak masih tidak sadarkan diri. Pakaian pria itu kusut, dan ada noda darah kering di pelipisnya, menandakan bahwa ia mungkin sempat melawan sebelum akhirnya dilumpuhkan."Ton... Toni?" Dea berbisik serak, mencoba memanggil, tetapi suaranya nyaris tak terdengar. Ia menggigit bibir, berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk berbicara lebih keras. "Toni, bangun!"Toni bergerak sedikit, suara erangan pelan keluar dari bibirnya. Perlahan, pria itu mengangkat wajahnya, matanya yang sayu menatap Dea. "Nyonya! Anda baik-baik saja?" tanyanya lemah, mencoba fokus meskipun rasa sakit di kepalanya membuatnya sulit berpikir jernih
Toni terus menggeser kursinya guna mengikis jarak benda yang ingin ia gapai. Setiap gerakan kecil mengeluarkan suara derit yang membuat mereka berdua semakin tegang. Dea tetap waspada, pandangannya tak lepas dari pintu baja. Ia tahu bahwa waktu mereka sangat terbatas."Sedikit lagi, Toni," bisik Dea, berusaha memberikan dorongan semangat.Toni akhirnya berhasil mendekati pecahan kaca di lantai. Dengan hati-hati, ia meregangkan tubuhnya, mencoba meraih kaca itu dengan ujung jarinya. Setelah beberapa kali percobaan, ia akhirnya berhasil menjepit pecahan kaca tersebut. Ia segera memposisikannya di antara kedua tangannya yang terikat."Nyonya, saya akan mencoba memotong tali ini. Tetap tenang," kata Toni dengan suara rendah namun penuh keyakinan.Dea mengangguk, meskipun hatinya terus berdebar. Ia memandangi anak buahnya yang mulai menggesekkan pecahan kaca itu pada tali di pergelangan tangannya. Setiap goresan menghasilkan suara lembut, cukup untuk membuat keduanya makin gelisah.Waktu t
Toni berhenti melangkah begitu mendengar majikannya bergumam. Ia menoleh, melihat Dea memegang map dengan tulisan nama itu di sampulnya. Ekspresi wajah wanita itu berubah, campuran antara keterkejutan dan kecemasan."Apa itu, Nyonya?" tanya Toni dengan berbisik, kemudian mendekati majikannya perlahan.Dea membuka map tersebut dengan tangan bergetar, menemukan tumpukan dokumen di dalamnya. Matanya membaca cepat setiap halaman. Foto-foto, catatan transaksi, dan sebuah daftar nama yang mencolok di tengah dokumen itu. Nama Airon tercantum, dengan keterangan tambahan: "Target utama pengacara, ancaman hukum.""Ini daftar klien mereka, Toni," gumam Dea dengan suara serak. "Nama-nama yang memesan mereka untuk menyergap seseorang dan di sini, Airon adalah targetnya."Toni mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan. "Airon? Maksud Anda mantan tunangan Anda? Kenapa dia ada di daftar ini?"Dea menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. "Airon adalah pengacara
Titik merah itu bergerak perlahan, nyaris tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama. Lars segera memperbesar tampilan di layar. "Apa itu?" tanya Aiden, yang kini berdiri di belakang Lars dengan wajah penuh ketegangan. Lars menyipitkan mata, menganalisis pola gerakan titik merah tersebut. "Titik ini berbeda. Ini bukan sinyal telepon atau alat biasa. Ini seperti…" Pria itu menimang diagnosisnya. "chip pelacak." Aiden terkejut. "Chip pelacak? Siapa yang punya chip itu?" Lars mengetik cepat di tablet-nya, mencoba mencocokkan sinyal dengan database internal mereka. Setelah beberapa detik, wajahnya berubah serius. "Ini dari Toni. Chip ini tertanam di kaki prostetiknya. Sepertinya dia masih hidup, dan dia bergerak." Mata Aiden membelalak. "Toni? Kau yakin itu dia?" "Ya," Lars menjawab tegas. "Chip itu dirancang khusus untuk situasi darurat seperti ini. Dia mungkin sadar bahwa kita sedang melacaknya." Mr. Bad mendengar percakapan itu melalui headset. "Jika chip itu ak
"Tidak. Nyonya!" teriak Toni, suaranya penuh kepanikan dan amarah ketika Dea ditarik semakin jauh dari pandangannya. Ia meronta sekuat tenaga, tetapi tali yang mengikat tangannya terlalu kuat, dan dua pria berbadan besar menahan tubuhnya dengan kasar. Toni hanya bisa melihat punggung Dea yang semakin menjauh, diiringi suara langkah kaki berat dari pria yang membawanya.Namun, sebelum Dea benar-benar menghilang di balik bayangan, Toni melihat gerakan bibir majikannya. Dea mengucapkan sesuatu, tanpa suara, tetapi Toni tahu persis apa yang dikatakannya. "Pergi. Bawa tim, lalu selamatkan aku."Pesan itu menancap tajam di benak Toni. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa takut atau frustrasi, tetapi karena ia tahu Dea sedang mempertaruhkan segalanya untuk memberinya peluang. Namun, bagaimana mungkin ia meninggalkan Dea di tangan ketua mafia yang jelas-jelas berbahaya? Toni mengepalkan tangan, rasa bersalah dan tekad bercampur dalam pikirannya.Sementara itu, Dea dibawa melalui lorong y
Kilauan lampu-lampu kota Monaco memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Dari balkon suite mewah mereka, Dea memandangi keindahan kota yang tak pernah tidur itu, sementara di belakangnya, langkah Aiden semakin mendekat.Tanpa suara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Dea, menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kau terlalu serius menatap ke luar," gumamnya di dekat telinga istrinya, suaranya berat namun mengandung senyum.Dea tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya bersandar ke dada bidang suaminya. "Aku masih tak percaya kita ada di sini," bisiknya, jemarinya tanpa sadar menyentuh lengan Aiden yang melingkupinya.Aiden memiringkan kepalanya, menatap wajah wanita yang kini benar-benar menjadi miliknya. "Aku sudah bilang, aku akan membawamu ke mana pun kau mau, selama kau tetap di sisiku."Dea menoleh, mata mereka bertemu dalam kehangatan yang sulit dijelaskan. "Dan kau yakin ingin terus bersamaku?" tanyanya lirih.Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Ai
Kembali ke Pelukan yang SamaDea berlari menerobos masuk tanpa permisi. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari beberapa orang menatapnya penuh keterkejutan."Madam! Tuan ada di kamar!" teriak Rara dari kejauhan saat menyadari perempuan itu masuk ke rumah.Tanpa ragu, Dea langsung menaiki tangga, melewati lorong yang sudah begitu familiar di ingatannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak tahu apakah Aiden masih menginginkannya di sini. Ia tidak tahu apakah dirinya masih punya tempat di sisi pria itu.Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Aiden.Laki-laki itu tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, dan di sampingnya terdapat botol alkohol yang belum sepenuhnya kosong.Dea menahan napas. Ini bukan A
Devano menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia berdiri tegak, menatap Dea dengan tatapan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Mata mereka bertemu, dan wanita itu bisa melihat kejujuran yang memancar dari dalam dirinya. Devano jarang sekali begitu terbuka, tetapi malam ini, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah lama ia simpan."Aku datang untuk berbicara, Dea," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."Wanita itu mengernyitkan dahi, sedikit bingung. "Ada apa? Apa yang kamu maksud?"Devano melangkah lebih dekat, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ini adalah momen yang menentukan, dan meskipun ia tahu itu bisa membuat segalanya lebih rumit, ia tak bisa lagi menahan perasaannya."Dea, aku tahu selama ini kita hanya teman, mungkin lebih dari itu bagi sebagian orang," katanya dengan hati-hati. "Tapi aku ingin jujur padamu. Aku..." Pria itu menggantungkan ucapannya, tetapi tak berselang l
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me