"Tidak. Nyonya!" teriak Toni, suaranya penuh kepanikan dan amarah ketika Dea ditarik semakin jauh dari pandangannya. Ia meronta sekuat tenaga, tetapi tali yang mengikat tangannya terlalu kuat, dan dua pria berbadan besar menahan tubuhnya dengan kasar. Toni hanya bisa melihat punggung Dea yang semakin menjauh, diiringi suara langkah kaki berat dari pria yang membawanya.Namun, sebelum Dea benar-benar menghilang di balik bayangan, Toni melihat gerakan bibir majikannya. Dea mengucapkan sesuatu, tanpa suara, tetapi Toni tahu persis apa yang dikatakannya. "Pergi. Bawa tim, lalu selamatkan aku."Pesan itu menancap tajam di benak Toni. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa takut atau frustrasi, tetapi karena ia tahu Dea sedang mempertaruhkan segalanya untuk memberinya peluang. Namun, bagaimana mungkin ia meninggalkan Dea di tangan ketua mafia yang jelas-jelas berbahaya? Toni mengepalkan tangan, rasa bersalah dan tekad bercampur dalam pikirannya.Sementara itu, Dea dibawa melalui lorong y
Ketua mafia menghela napas, dan berucap, "Bawa mereka masuk." Setelah mengucapkan itu, tanpa diduga dia melepaskan tali yang mengikat tubuh targetnya.Dea terperangah mendapati sikap orang yang dari tadi sangat nafsu ingin menghajarnya. "Kenapa?" Wanita itu tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Sedikit kelonggaran untuk wanita semenarik dirimu. Aku sangat menyukai keberanianmu, Dea. Kalau saja bukan karena profesionalitas aku tidak akan memberikanmu pada mereka," uar ketua mafia dengan senyum licik. 'apa maksudnya?' batin Dea yang semakin bingung. Tak berselang lama, beberapa orang memasuki ruangan. Dan pada saat itu pula mata Dea berubah tajam saat seseorang berdiri angkuh di hadapannya.Wendy melangkah masuk dengan anggun, mengenakan setelan blazer mahal berwarna hitam yang memancarkan aura percaya diri dan keangkuhan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi matanya dipenuhi dengan kepuasan yang sulit disembunyikan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan wa
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Benturan hebat terjadi dipembatas jalan,membuat besi pembatas jalan penyok karena benturan mobil. Darah segar mengalir didahi wanita itu, Dea nama wanita itu. Wanita yang seminggu lagi akan melaksanakan hari bahagianya. Rasa nyeri menjalar disekujur tubuhnya, serpihan kaca lembut menancap dikulitnya yang putih mulus, terlihat kabin mobil yang hancur didepannya, kaca yang semula melindunginya dari bahaya ketika berkendara kini menjadi bumerang yang melukai tubuhnya. Dengan pengheliatan kabur dia melihat kekasihnya yang bersimbah darah disampingnya dengan kepala yang sudah tertancap disetir mobil. Airon nama kekasih Dea, sekaligus yang akan menjadi suaminya kelak. Degup jantungnya terasa begitu hebat, badannya merinding sekaligus nyeri ketika dia melihat darah, badannya menjadi kaku dan sulit digerakkan. Dengan pengheliatan yang buram, Dea melihat bibir Airon yang tersenyum tipis. “Kakk,” panggil Dea kepada kekasihnya, mencoba mengulurkan tangan untuk memegang tu
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te
Ketua mafia menghela napas, dan berucap, "Bawa mereka masuk." Setelah mengucapkan itu, tanpa diduga dia melepaskan tali yang mengikat tubuh targetnya.Dea terperangah mendapati sikap orang yang dari tadi sangat nafsu ingin menghajarnya. "Kenapa?" Wanita itu tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Sedikit kelonggaran untuk wanita semenarik dirimu. Aku sangat menyukai keberanianmu, Dea. Kalau saja bukan karena profesionalitas aku tidak akan memberikanmu pada mereka," uar ketua mafia dengan senyum licik. 'apa maksudnya?' batin Dea yang semakin bingung. Tak berselang lama, beberapa orang memasuki ruangan. Dan pada saat itu pula mata Dea berubah tajam saat seseorang berdiri angkuh di hadapannya.Wendy melangkah masuk dengan anggun, mengenakan setelan blazer mahal berwarna hitam yang memancarkan aura percaya diri dan keangkuhan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi matanya dipenuhi dengan kepuasan yang sulit disembunyikan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan wa
"Tidak. Nyonya!" teriak Toni, suaranya penuh kepanikan dan amarah ketika Dea ditarik semakin jauh dari pandangannya. Ia meronta sekuat tenaga, tetapi tali yang mengikat tangannya terlalu kuat, dan dua pria berbadan besar menahan tubuhnya dengan kasar. Toni hanya bisa melihat punggung Dea yang semakin menjauh, diiringi suara langkah kaki berat dari pria yang membawanya.Namun, sebelum Dea benar-benar menghilang di balik bayangan, Toni melihat gerakan bibir majikannya. Dea mengucapkan sesuatu, tanpa suara, tetapi Toni tahu persis apa yang dikatakannya. "Pergi. Bawa tim, lalu selamatkan aku."Pesan itu menancap tajam di benak Toni. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa takut atau frustrasi, tetapi karena ia tahu Dea sedang mempertaruhkan segalanya untuk memberinya peluang. Namun, bagaimana mungkin ia meninggalkan Dea di tangan ketua mafia yang jelas-jelas berbahaya? Toni mengepalkan tangan, rasa bersalah dan tekad bercampur dalam pikirannya.Sementara itu, Dea dibawa melalui lorong y
Titik merah itu bergerak perlahan, nyaris tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama. Lars segera memperbesar tampilan di layar. "Apa itu?" tanya Aiden, yang kini berdiri di belakang Lars dengan wajah penuh ketegangan. Lars menyipitkan mata, menganalisis pola gerakan titik merah tersebut. "Titik ini berbeda. Ini bukan sinyal telepon atau alat biasa. Ini seperti…" Pria itu menimang diagnosisnya. "chip pelacak." Aiden terkejut. "Chip pelacak? Siapa yang punya chip itu?" Lars mengetik cepat di tablet-nya, mencoba mencocokkan sinyal dengan database internal mereka. Setelah beberapa detik, wajahnya berubah serius. "Ini dari Toni. Chip ini tertanam di kaki prostetiknya. Sepertinya dia masih hidup, dan dia bergerak." Mata Aiden membelalak. "Toni? Kau yakin itu dia?" "Ya," Lars menjawab tegas. "Chip itu dirancang khusus untuk situasi darurat seperti ini. Dia mungkin sadar bahwa kita sedang melacaknya." Mr. Bad mendengar percakapan itu melalui headset. "Jika chip itu ak
Toni berhenti melangkah begitu mendengar majikannya bergumam. Ia menoleh, melihat Dea memegang map dengan tulisan nama itu di sampulnya. Ekspresi wajah wanita itu berubah, campuran antara keterkejutan dan kecemasan."Apa itu, Nyonya?" tanya Toni dengan berbisik, kemudian mendekati majikannya perlahan.Dea membuka map tersebut dengan tangan bergetar, menemukan tumpukan dokumen di dalamnya. Matanya membaca cepat setiap halaman. Foto-foto, catatan transaksi, dan sebuah daftar nama yang mencolok di tengah dokumen itu. Nama Airon tercantum, dengan keterangan tambahan: "Target utama pengacara, ancaman hukum.""Ini daftar klien mereka, Toni," gumam Dea dengan suara serak. "Nama-nama yang memesan mereka untuk menyergap seseorang dan di sini, Airon adalah targetnya."Toni mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan. "Airon? Maksud Anda mantan tunangan Anda? Kenapa dia ada di daftar ini?"Dea menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. "Airon adalah pengacara